Yang Mereka Lakukan Hanyalah Ber-kepedulian

Suatu
ketika mereka membagi sarapan gratis kepada kaum dhuafa. Tumpukan bungkusan nasi itu merupakan hasil urunan mereka.
Ada yang urun nasi, ada yang urun lauk dan lain sebagainya sehingga menjadi
sebungkus nasi komplit siap untuk di santap. Tidak berhenti sampai disitu, mereka
pun menabung sisa belanja sehari-hari di rumah, mengumpulkannya dan kemudian dijadikan
paket baksos (baca : bhakti sosial) yang
di bagikan ke kawasan-kawasan pinggiran dimana ada kelompok masyarakat yang
hidupnya tergolong kurang beruntung. Kepedulian
itu ternyata tidak berhenti sampai di situ saja, mereka pun berinisatif men-solusikan persoalan beberapa siswa/i yang
sedang kesulitan menunaikan kewajiban di sekolah karena keluarganya sedang
mengalami kesluitan ekonomi. Tidak terhitung sudah berapa kali mereka
melakukannya. Uniknya adalah ketika si penerima (siswa/i dan juga orang tuanya)
pun tidak pernah tahu siapa yang sudah melunasi kewajibannya di sekolah. Mereka
tidak ingin siswa/i penerima bantuan itu merasa minder karena keadaan ekonomi keluarga yang kurang berpihak. Cara ini
mereka pilih demi menjaga semangat siswa/i tersebut untuk tetep belajar dan
menuntut ilmu. Disisi lain, cara ini juga bentuk menjaga kemurnian niat dalam
melakukan kebaikan.
Semua
berlangsung alamiah dan terus tumbuhkembang seiring menguatnya pegalaman
spiritual dari setiap orang yang melibat di setiap aksi kebaikan berlangsung.
Mungkin saja semua melakukan aksi serupa (misalnya memberi sarapan pagi
gratis), namun bisa saja mendatangkan pengalaman spiritual yang berbeda antara
satu dengan lainnya. Namun demikian, saat kebanyakan mereka memilih tetap
berada dalam barisan Annisa Community, mungkin tidak berlebihan berkesimpulan
bahwa mereka telah menemukan hikmah yang menentramkan dari ragam kebaikan yang
mereka persembahkan, sehingga berbuat baik telah menjadi satu kebutuhan.
Tidak
ada yang memerintahkan untuk memulai dan
atau mengulangi nya untuk kesekian kali. “ semua ini dilakukan bukan untuk pujian yang bisa melambungkan
atau membawa pada posisi kemuliaan tertentu di mata manusia lainnya, tetapi semata-mata
ingin belajar berkepedulian dan keinginan kuat dipedulikan Tuhan. Berbagi atau
berkepedulian bukanlah aksi menandaskan lebih baik daripada si penerima, tetapi
bentuk rasa syukur dan belajar berbagi kebahagiaan walau dari memulainya dari hal-hal
sederhana”, ungkap salah satu anggota yang tidak berkenan namanya
dituliskan dalam artikel ini. “Sepi dari
pemberitaan dan jauh dari hiruk pikuk publikasi, mungkin kalimat ini tepat menggambarkan segala hal yang telah mereka lakukan”.
Mereka
merupakan ibu-ibu yang layak dicap super keren, walau mereka pasti tidak berharap
pujian semacam itu. Sebagai simbol spiri yang
mempersatukan dan menguatkan semangat, mereka mendefenisikan kelomponya dengan
istilah “Annisa Community”. Mereka dipersatukan oleh kesamaan status sebagai wali murid di lingkar SD Al Irsyad
Alislamiyyah 02 Purwokerto, Mereka sering bertemu dan bercengkrama di sekitar
pagar sekolah sambil menunggu bel pulang berbunyi. Komunitas yang berisi kaum ibu ini sebagian
besar berprofesi sebagai “pendo’a
paling mujarab” bagi perjuangan suami dalam menunaikan tugasnya sebagai
kepala rumah tangga. Dalam kesehariannya,
mereka selalu membaur dengan lainnya. Mereka juga mempersilahkan siapa saja yang ingin
bergabung sepanjang bersedia dan sanggup menjaga pagar-pagar spirit dan
panji-panji perjuangan yang sudah menjadi tradisi dan menubuh ke dalam diri
anggota komunitas.
Sebagai
catatan akhir, awalnya redaktur pun mengalami
kesulitan mendapat izin untuk menuliskan
segala hal baik nan inspiratif yang
telah mereka torehkan. Alasan mereka sederhana saja, “khawatir merusak niat”. Namun demikian, ketika ditandaskan bahwa penyusunan
tulisan dimaksudkan untuk menginspirasi lebih banyak orang untuk melakukan
kebaikan, akhirnya mereka pun berkenan dengan harapan semakin banyak orang yang
tergerak men-solusikan ragam keresahan yang kerap mewarnai keseharian sebagian anggota
masyarakat. Anak-anak usia sekolah perlu memiliki percaya diri di ruang
kelasnya tanpa perlu terganggu dengan persoalan uang sekolahnya yang menunggak,
sebab diluar sana banyak yang ber-kepedulian dan ber-kemauan untuk berbagi.
Dari
berbagai hikmah, pelajaran dan inspirasi dari serangkaian aksi heroik
tersembunyi yang mereka lakukan, ada satu pelajaran menarik dimana kolektivitas (baca: kebersamaan) yang
berujung dengan penggabungan sumber daya, telah membuat aksi kepedulian melebihi
imajinasi awalnya. Siapa yang menduga akumulasi sumber daya dari kaum ibu ini
pun bisa berkontribusi dalam bedah rumah. Andai saja semakin banyak orang yang bergabung
dan atau melakukan hal serupa di tempat-tempat lain, maka hal ini bukan saja
tentang menyelesaikan persoalan dan keresahan masyarakat, tetapi juga menyentuh
ke titik penguatan persatuan dan kesatuan bangsa.
Mungkin
di luar sana masih banyak praktek serupa
berangkat dari kepedulianyang belum
tersajikan dalam tulisan, semoga tulisan sederhana ini melengkapi
tulisan-tulisan yang sudah ada dan juga berharap bisa memantik kehadiran
tulisan-tulisan serupa yang menandaskan bahwa aksi-aksi kegotongroyongan itu
masih kental di lingkar keseharian masyarakat Indonesia ditengah derasnya godaan
individualisme dan egoisme yang menggirik untuk asik dengan
diri sendiri.
Posting Komentar
.