" Kalau kalian kuliah hanya demi selembar kertas bernama ijazah dan menjadi pembenar penyematan gelar di depan atau di balakang nama kalian, maka itulah fikiran terpicik dari orang yang berstatus Maha-Siswa. Namun, ketika kalian memaknai status Maha-Siswa itu sebagai tanggungjawab untuk berkontribusi pada peradaban, maka kalian punya modal awal pertanggungjawab yang layak di hadapan Tuhan". Demikian kalimat pembuka Sang Mentor untuk memberi denyut kaget yang diharapkan berbuah keterbangunan kesadaran dan keterbentukan lompatan motivasi untuk menjadi bagian dari barisan yang akan menjejakkan nilai-nilaik kebaikan di atas muka bumi.
"Ada 2 (dua) kelompok manusia, yaitu manusia yang bisa diajak berfkir dan manusia yang mendefenisikan dirinya untuk difikirkan. Kalian yang mana?", pancing Sang Mentor diujung statemennya untuk memulai mengajak mereka berfikir. Dengan harga diri yang seketika memuncak, mereka memilih sebagai kelompok yang pertama, yaitu orang yang bisa diajak berfikir. "well...inilah muasal mengapa kalian dikumpulkan. Kita ingin mendapati fikiran dan bakat hebat kalian serta mendorongnya ke titik optimal agar kalian tidak menjadi beban bagi siapapun tetapi justru memiliki peran penting dari deretan agenda perubahan yang tidak saja bermanfaat bagi diri kalian, tetapi juga bermakna bagi sesama. Untuk tujuan besar itu, kita akan mulai dari melatihkan "kedisiplinan dalam hal waktu" yang akan berdampak pada kedisiplinan kalian dalam seluruh aspek kehidupan. Ingat....Kedisiplinan adalah tiket menuju kebebasan. Artinya, kedisiplinan akan membawa kalian pada kepemilikan ragam kompetensi yang memberi kalian kebebasan dalam merangkai ide/gagasan dan menginisiasi ragam karya serta peroleh daya dukung dari berbagai pihak yang se-frekeuensi. Tidak ada keberhasilan tanpa keprihatinan. Keberhasilan hanya bagi mereka yang secara sadar mengambil tanggungjawab berkarya walau itu merupakan jalan yang sunyi. Keberhasilan hanya hinggap pada mereka yang ikhlas bersusah payah memperjuangkan nilai-nilai dan mimpinya". Lanjut sang Mentor memompa semangat generasi masa depan bangsa itu.
Mendapati mereka yang mulai tersengat, sang mentor pun melanjutkan; "Adek-adek....ada tiga tingkatan capaian pendidikan, yaitu hidup, menghidupi dan menginspirasi kehidupan. Kalau kalian berkuliah hanya untuk memiliki ilmu yang menjadi modal kalian bisa hidup, kalian akan terjebak pada egoisme. Namun, kebijaksanaan dalam diri kalian mulai hadir saat mentargetkan bisa meng-hidupi. Artinya, di fase itu kalian sudah terpanggil mengambil tanggungjawab atas ragam keresahan dan persoalan sekitar yang memerlukan solusi komprehensif. Puncaknya terletak ketika kalian bisa meng-inspirasi hidup. Pada titik itu, kalian sudah berhasil menjadikan ilmu sebagai sumber cahaya yang menyinari dan meng-energi orang lain untuk menghadirkan kebaikan bagi diri dan juga lingkungannya. Kala itu mewujud, perubahan peradaban ke arah yang lebih baik menemukan titik cerahnya".
Di bagian akhir, sang mentor menandaskan bahwa tidak ada hasil luar biasa dengan cara biasa. Untuk itu, mulailah berkeberanian berfikir tidak biasa lewat melatihkan memandang sesuatu dari sudut berbeda. Kita harus memaksakan diri sehingga menjadi kebiasaan yang membimbing pada budaya hidup yang lebih baik. Dengan cara begitu, peluang menterjemahkan kata "ibadah" (yang nota bene tujuan keterciptaan manusia) ke dalam ruang keseharian hidup menjadi demikian terbuka. Ini sebuah langkah awal yang pastinya melahirkan kekagetan-kekagetan pada diri kalian. Namun, semua itu harus mulai dilakukan sebagai bentuk syukur dan sekaligus tanggungjawab atas kesempatan lebih yang diberikan Sang Khalik, khususnya dalam menuntut ilmu. Simpulnya, semua ini bukan tentang kedirian, tetapi tentang tanggungjawab atas ilmu yang harus mencapai titik cahaya.
Sebelum menutup session pertama ini, Sang Mentor bertanya dengan mimik serius..apakah kalian akan tetap menjadi bagian dari program ini??..ataukah memilih hari ini sebagai pertemuan pertama sekaligus terakhir?. Atas pertanyaan sakral itu, semua memilih untuk melanjutkan. Artinya,anak-anak muda ini siap untuk mengikuti rangkaian lanjutan program yang akan membawa mereka dalam ruang juang penuh keprihatinan.
Tampaknya, kesadaran "ber-ilmu dan ber-Tuhan" efektif mendatangkan lompatan kemauan untuk berproses dengan cara tidak biasa dari para mahasiswa/i yang juga tercatat sebagai santri PP Anto Djamil Tebuireng Cabang 17, Sokaraja, Jawa Tengah, Indonesia. Semoga ini menjadi awal yang berpengharapan. Aamin.
Posting Komentar
.