MENGGODA PEMAKNAAN SEBENTUK KEGELISAHAN
Saat kiriman gambar itu mengganggu fikiran dan rasa
“ahhhh…ruang ibadah yang dipertontonkan Allah…semoga kita bertemu hikmah..” demikian responku saat Om Herry (demikian sahabat unikku satu ini biasa ku sebut) berkirim WA berisi 9 (sembilan) buah gambar berisi orang-orang yang tengah tertidur lelap di emperan toko, tepatnya di jam 05.12 wib . Kalimat singkat “obat hati ”yang menjadi caption massage di jam 03.59 ib itu benar-benar sukses menghantam perasaanku dipagi ini. “insya Allah…”, jawab pemilik Duren Kampoeng ini 6 (enam) menit kemudian saat aku tengah menunggu keran air memenuhi mesin cuci sebelum memencat tombol “mulai”.
3 (tiga) menit kemudian aku meninggalkan ruang dapur dan membiarkan mesin cuci
menyelesaikan sendiri apa yang menjadi tugasnya. Ku raih Alqur’an dan kemudian mencari Surat Alkahfi serta mulai membacanya. Namun, gambar-gambar kiriman tadi benar-benar berhasil menyayat perasaan dan juga memenuhi fikiranku. Muncul perasaan berdosa yang amat sangat.
Baru membaca 5 (lima) ayat, kuraih kembali HP dan mem-fhoto lembar Alqur’an yang tengah kubaca dan langsung mengirimkan via WA ke Om Herry dengan menyertakan caption “Rasa terpukul mendapati gambar-gambar itu disaat mengalunkan kalam Tuhan berlangsung di Jum’at pagi...luaskan kesempatan kami berbuat bagi sesama dan bijaksana merespon setiap kalam alam yang kesemuanya juga atas kehendak-Mu..aamiin”. Sesaat kemudian, kulanjutkan membaca Alqur’an itu dengan perasaan gelisah dan bersalah yang amat sangat. Diri ini merasa telah berlaku begitu egois karena disaat mereka terlelap di dingginnya lantai emperan toko, aku tidur di dalam rumah sehingga terlindung dari dinginnya malam dan diatas kasur yang setidaknya membuat tubuhku sedikit termanjakan.
Bibirku terus melantunkan ayat-ayat dari surat yang katanya sangat baik dibaca pada hari Jum’at. Perasaanku masih tetap berkecamuk dan fikiranku pun kemudian tertuju pada pencarian hikmah atas hadirnya gambar-gambar yang sukses menyayat hatiku di pagi subuh ini. “sahabat satu ini memang selalu punya cara kreatif dan tak terduga dalam mendulang pahala. Dia selalu punya cara menggoda siapapun untuk bebuat baik tanpa perlu menyertakan satu ayat atau hadist ”, celoteh ku dalam hati.
Akibat Kebodohankah?
Walau punya kecenderungan berpendapat, namun tak ada keberanian menyimpulkan apakah
tidur di emperan toko adalah sebuah pilihan sadar atau keadaan yang memaksa.Satu hal yang pasti, tubuh mereka terlihat demikian akrab dengan lantai dan dinginnya malam sehingga tak tampak kekhawatiran sama sekali pilihan itu berpotensi mengakibatkan masuk angin,demam atau semacamnya. Mereka begitu nyaman layaknya tidur di atas kasur empuk yang biasanya akrab di keseharian hidup si-empunya.
Adakah terlintas dalam benak mereka sekedar “ber-andai” tidur dikasur empuk ketika mulai berjuang memejamkan mata sambil merenungi nasib atau beban hidup?. Ataukah rumitnya realitas hidup telah menge-nol-kan keberanian mereka walau hanya ber-imajinasi tentang “keindahan dan kenyamanan” sekalipun?. Adakah mereka terjebak pada sikap apatis dan kemudian memilih menjalani hidup sampai Tuhan mencukupkan masa edar di muka bumi?. layakkah itu dikatakan sebentuk kepasrahan yang inspiratif?. Ataukah lebih tepat didefenisikan sebagai akibat kebodohan dan kemalasan mengoptimalkan waktu, akal,fikir, bakat dan energi?. Deretan tanya itu memang tak bertemu jawab. Namun, kurang bijak juga men-judge pada pilihan jawaban tertentu. Bahkan, bisa jadi para penghuni emperan itu pun memandang hal ini bukan sesuatu yang perlu dipersoalkan karena mereka sendiri sudah terlatih berkawan dengan dinginnya malam dan atau gigitan nyamuk. Mereka juga tidak merasa terganggu saat tikus melintas layaknya kendaraan ber-knalpot bobokan melintas kencang di sunyinya malam. Bahkan, lamanya bertahan di situasi yang serupa dan lelah panjang tentang kenyataan hidup yang tak kunjung berpihak pada kenormalan telah mendorong mereka menemukan defenisi sendiri tentang apa itu “bahagia dan nyaman”.
Dampak Ketidakpeduliankah?
Dalam dimensi kesetiakawanan, mungkin layak tergoda menguntai tanya apakah keberadaan tunawisma itu di emperan itu sebagai dampak ketidakpedulian. sepertinya, ada baiknya tanya itu cukup sebagai pemantik kontemplasi individu saja tanpa perlu mencari kesimpulan sahih berbasis penelitian ilmiah dengan jadikan populasi masyarakat tertentu untuk diobservasi. Alasannya sederhana saja, khawatir tergiring pada judgement yang kurang baik dan kemudian memantik ragam fitnah fikir lanjutan yang justru semakin menjauhkan dari nilai-nilai kebijaksanaan. Apalagi bila perdebatan sudah melibatkan harga diri, tentu deretan pembelaan akan mengedepan demi obsesi untuk tetap masuk dalam kategori “berkepedulian”. Perdebatan pun diyakini akan semakin meluas ketika dikaitkan dengan efektifitas pembangunan. Bukan tidak mungkin kemudian mendatangkan ragam sentiment yang justru semakin menjauhkan dari substansi yang tengah menjadi fokus perbincangan. Bukan tidak mungkin pula ragam argumen terjebak pada nada saling mempersalahkan demi tergolong ber-kinerja baik. Bahkan, bisa jadi para tunaiwisma itu malah terheran-heran ketika mereka dijadikan “obyek perbincangan” karena mereka sendiri tidak pernah sekalipun menyuarakan derita mereka hari ini sebagai bentuk ketidakadilan yang nyata atau akibat ketidaksetiaan teman dan tetangga. Pergulatan hidup demi mencari jawab “hari ini makan apa” sudah cukup menyibukkan hari-hari mereka. So..tulisan ini sesungguhnya tentang apa?
Mulai Menggoda
Mengingat alasan keterciptaan manusia untuk beribadah, menarik melihat relevansi
keberadaan “tunawisma” itu dan kemagisan makna kata “ibadah”. Ini tentu berbeda dengan ritual sholat atau zikir di masjid yang mutlak sebagai kebenaran yang tidak terbantahkan sebagai bentuk penghambaan diri pada Sang Khalik. Mungkin tema ini lebih tepat dlirik sebagai “kesalehan sosial”sebab didalamnya terdapat tindakan yang berhubungan dengan orang diluar diri kita. Namun demikian, tulisan ini mencoba untuk tidak mengedepankan tentang “aksi heroik” yang mewujud dalam pertolongan bernada kepedulian, sebab hal ini sangat riskan ter-connect dengan penyakit hati bernama “ria”.
Tulisan sederhana ini hanya mencoba meggoda pembaca untuk men-defenisikan “berbuat baik sebagai kebutuhan” dan bukan sebuah “kehebatan”. Alasannya sederhana saja, karena “berbuat baik” adalah “media” untuk lebih disayang Allah, cara agar lebih diperhatikan Allah dan bentuk pendekatan demi keterkabulan deretan do’a dan atau hajat. Singkatnya, hampir selalu ada “motif” dalam setiap perbuatan baik. Kalau demikian adanya, tidak berlebihan ikut dalam barisan yang membenarkan dan melatihkan dalam diri satu kalimat yang tidak biasa,, “yang memberi seharusnya berterima kasih pada yang menerima”.
Kalimat itu memang terkesan transaksional dan menggiurkan, khususnya bagi mereka yang masih berada di level berfikir “dapat apa ketika berbuat apa”. Para penghamba lipatan balasan atas sebuah kerelaan selalu termotivasi janji Allah yang menandaskan ada balas atas setiap kebaikan. Tapi, cara baca demikian mungkin akan ditertawakan hamba Allah yang sudah mencapai level sufi yang selalu pada ketetapan Allah atas segala tindakan baik yang dilakukannya.
Godaan Lanjutan
“Tunawisma” hanyalah entry point untuk menggoda perluasan makna diri bagi sesama. “Tunawisma” hanyalah kata pengingat agar tidak terlalu asik dengan diri sendiri. Kata “tunawisma” pagi ini hanyalah pemantik lipatan rasa syukur yang diharapkan mewujud lebih dari sekedar berucap “Alhamdulillah”. Tidak ada salahnya sesaat meluangkan waktu menilik ke sisi luar untuk mempeoleh lebih banyak lagi persoalan yang tengah meresahkan keseharian hidup masyarakat.
Di luar sana, masih banyak yang bingung untuk sekedar bertemu hari ini makan apa; tidak sedikit orang tua tengah kelimpungan mencari pinjaman agar bisa melunasi tunggakan SPP anaknya yang menjadi syarat bisa ikut ujian naik kelas; masih ada orang tua sedang tak berkemampuan menyajikan sekedar menu sahur bagi anaknya yang tengah bersemangat menunaikan puasa sunnah syawal; masih banyak orang tua yang begitu resah dengan anaknya yang terjebak kecanduan game; masih banyak barisan generasi muda yang mengalami dis-orientasi dengan gemerlap dunia dan kemudian terjebak akud pada sekularisme; masih banyak pemegang ijazah namun tak kunjung berjodoh dengan lowongan kerja; masih banyak yang memilki semangat untuk membangun kehidupan lebih baik namun tidak tahu cara untuk mewujudkannya dan banyak lagi keresahan lain yang kerap menggangu tidur mereka. Bahkan, masih banyak yang punya persoalan keyakinan tentang relevansi antara ber-akrab ria dengan Tuhan dengan hadirnya ketentraman atau kesejahteraan hidup.
Andai ragam “deretan persoalan dan keresahan” itu difahami sebagai cara Tuhan berpesan, respon apa yang seharusnya dilakukan?. Andai ragam persoalan yang diperlihatkan atau diperdengarkan itu dipandang sebagai bentuk kepercayaan Tuhan untuk menjadi bagian dari barisan “pemberi solusi”, langkah apa yang seharusnya disegerakan?.
Tanya ini bukan sedang menggungat siapapun, tetapi hanya bentuk godaan awal menjadikan “keresahan dan deretan persoalan yang menghimpit kehidupan masyarakat” sebagai pemantik perluasan energi dan penguatan gairah untuk berbuat lebih banyak lagi kebaikan berkalang Ibadah. Tulisan Ini pun bukan bentuk pemaksaan, tetapi semacam penggugah dan sekaligus penguat kemauan untuk semakin meluaskan makna imu; pengetahuan; kepemilikan teknologi; kepemilikan harta; kecerdasan bergagasan; kelihaian berstrategi; kewenangan dan atau kekuasaan.
Namun demikian, hal ini hanya memungkinkan bila semua kepemilikan tersebut difahami sebagai titipan dan wujud kasih sayang dari Allah SWT yang luar biasa. Ini hanya akan efektif bila memandang semua kepemilikan itu sebagai bekal yang dipercayakan Tuhan meluaskan kesempatan berbuat baik yang mewujud dalam kepedulian dan berfikir tentang kesulitan orang lain. Singkatnya, tulisan ini hanya susunan kalimat biasa dengan harapan mendatangkan hikmah yang berujung pada lahirnya kebaikan-kebaikan baru yang inspiratif dan meng-energi satu sama lain.
Kombinasi Laku Instan dan Futuristik
Mereka yang butuh makan hari ini tentu tidak bisa menunggu sampai besok. Penundaan
penyelesaian tunggakan SPP tentu akan menghilangkan kesempatan seorang bocah sekolah untuk bisa ikut ujian naik kelas, kecuali mereka bertemu kebijaksanaan atau dispensasi dari pihak manajemen sekolah. Demikian halnya mereka yang terjebak rentenir dan harus mengembalikan pinjaman pada hari ini juga harus bertemu solusi konkrit bernama “pelunasan”. Mungkin saja persoalan yang memerlukan jawaban hari ini adalah akibat ke-alfa-an meraka di waktu lampau. Bisa jadi kerumitan hari ini juga akibat dari cara baca dan pensikapan hidup yang kurang tepat sehingga belum mampu meng-integraikan antara ilmu, akal dan iman ke dalam laku hidup yang bijaksana.
Diatas semua itu, tergodakah membangun pembacaan hal-hal semacam itu sebagai peluang ibadah yang dibukakan Allah SWT?. Atau justru tergiring memaknainya sebagai pengganggu yang bisa mengurangi saldo yang tertera pada rekening?. Atau bahkan dipandang sebagai “pengurang” atau bahkan berpotensi sebagai “penunda” ragam legit dunia yang sudah terecanakan untuk dinikmati?. Satu hal pasti, solusi kreatif nan komprehenif diperlukan untuk bertemu kondisi ideal dimana kemandirian mewujud melalui me-mampukan mereka untuk merencakan hidup dan melakukan serangkaian upaya sistematis sehingga melahirkan perubahan yang lebih berpengharapan. “Formula efektif” diperlukan agar mereka yang hari ini berposisi sebagai obyek pertolongan akan naik kelas dan memiliki gairah yang tinggi menjadi subyek penolong di suatu waktu.
Terbayang orang miskin berani bermimpi karena selalu ada yang memberi support untuk mewujudkannya. Tidak ada lagi kekahwatiran seorang anak pintar yang orang tuanya miskin karena selalu ada insan Tuhan lainnya akan hadir memberikan jalan bagi cita-citanya menjadi pewarna peradaban dunia dan sekaligus penawar kekeliruan arah modernisasi yang menjebakkan pada kesesatan. Tidak ada lagi ketakutan besok tidak bisa makan, karena ada hamba Allah yang hadir memberi jalan bagaimana meng-integrasikan keimanan dan ekonomi. Tidak ada lagi ketakutan dalam mengungkapkan gagasan brilian karena selalu ada yang memerankan pelindung atas setiap ide keren yang mendatangkan kemaslahatan.
Penghujung
Sebagai penghujung bernada penandas, tulisan ringan ini hanya sebentuk godaan yang
termantik oleh deretan fhoto kiriman seorang sahabat di pagi buta menjelang subuh. Tulisan sederhana ini hanyalah sebentuk celetukan seorang yang tengah belajar ber-Tuhan Pada akhirnya, semua kembali pada pribadi masing-masing karena tak ada hak untuk memaksa berbuat baik, sebab tidak ada paksaan dalam ber-agama.
Hidup adalah pilihan, namun kepekaan terhadap hidup memantik kepekaan Allah terhadap hidup itu sendiri. Memikirkan kesusahan orang lain adalah cara cerdas agar semua urusan kita menjadi urusan Tuhan. Namun demikian, ketika “asik dengan diri sendiri” lebih dipilih sebagai cara memakna kesempatan hidup dengan segala nikat yang diberikan Allah SWT, itupun sebuah pilihan yang semoga tidak mendapatkan koreksi dari Allah SWT sebelum kematian tiba. Namun, ketika semua yang melekat pada diri hari ini dipandang sebagai amanah dan bekal serta kesempatan berbuat baik seluas-luasnya, maka lakukanlah dalam kesadaran penuh dan atas niat ibadah demi kemuliaan dipandangan-Nya.
Pada akhirnya, penulis meningatkan pada diri sendiri dan sekaligus menggoda para pembaca untuk bersama-sama belajar dalam 3 (tiga) hal, yaitu; (i) belajar memaknai segala keresahan dan persoalan yang didengar dan disaksikan sebagai pesan dan kepercayaan Allah SWT untuk melibat dalam barisan pencipta solusi komprehensif; (ii) belajar memposisikan “berbuat baik sebagai kebutuhan” dan; (iii) saatnya belajar memposisikan “pemberi berterima kasih pada yang menerima”.
Jumat yang menginspirasi
Posting Komentar
.