MEN-TAFSIR KEMERDEKAAN KE DALAM “KEDAULATAN BERKARYA” DI BINGKAI KE-INDONESIAAN YANG TERJAGA | ARSAD CORNER

MEN-TAFSIR KEMERDEKAAN KE DALAM “KEDAULATAN BERKARYA” DI BINGKAI KE-INDONESIAAN YANG TERJAGA

Senin, 17 Agustus 20201komentar

 

MEN-TAFSIR KEMERDEKAAN KE DALAM “KEDAULATAN BERKARYA”

DI BINGKAI KE-INDONESIAAN YANG TERJAGA

 


Hari ini, kita memasuki fase kesejarahan negara medeka di usia 75 tahun, tepatnya 17 Agustus
2020.  Hari ini merupakan momentum baik me-refresh spirit kebangsaan, bangga menjadi dan sebagai Indonesia.  
Romantika dan deretan kisah bagaimana bangsa ini diperjuangkan layak digelar agar setiap anak bangsa memahami bahwa hari ini tidak terbentuk begitu saja, tetapi buah perjuangan dan deretan pengorbanan rasa, nyawa dan bahkan  harta. Kekinian zaman yang memberi kemudahan akses terhadap  dokumen dan arsip kejuangan demi kemerdekaan menjadikan wajib bagi setiap orang untuk mengetahui dan meresapi bagaimana bangsa ini  merdeka dan ber-ikrar sebagai negara bernama Indonesia. Tentu hal ini tidak berhenti sampai menyaksikan  tetapi  harus bisa membangunkan nasionalisme  dan meningkatkan moral kebangsaan yang termanifestasi ke dalam tindakan heroic versi kekinian tanpa menegasikan akar budaya bangsa yang harus tetap di junjung tinggi, yaitu kekeluargaan dan kegotongroyongan.

 

Dalam tinjauan kekinian, tentu semangat “kekeluargaan dan kegotongroyongan” harus ditransformasi ke dalam cara yang lebih kontributif bagi kemajuan dan kemakmuran diri sendiri dan juga masyarakat lainnya. Kalau dulu kita bergotongroyong dalam hal mengerjakan saluran air, memperbaiki got di kampung, membersihkan pekarangan kuburan menjelang Ramadhan tiba dan atau bergotong royong dalam memanen hasil pertanian, tanpa menanggalkan dan tetap harus melestarikan kebiasaan baik itu, kita juga harus meningkatkan derajat tindakan sehingga berdampak luas bagi peningkatan kasta hidup yang selanjutnya berpengaruh pada peningkatan kualitas tema yang diperbincangkan anggota keluarga di meja makan. Dengan demikian, perbaikan peradaban terbangun dan linier pula dengan penguatan subtansi tindakan ke arah yang lebih produktif.

 

Untuk itu, kita perlu mendengungkan kata “ber-daulat” ke dalam tindakan “merdeka” yang didalamnya terjaga “semangat ke-Indonesiaan”. Kita harus membangunkan kesadaran tentang deretan pemberian Tuhan terhadap bumi Indonesia dengan segala limpahan potensi sumber daya alamnya, sehingga ada gairah  meningkatkan kaspasitas diri dan memperluas wawasan sehingga berkemampuan mengolahnya. Kita tak sedang anti dengan kemajuan yang mungkin di- drive oleh negara lain, namun harus tetap memiliki filter bijak sehingga tidak menegasikan karakter bangsa. Kita tidak alergi terhadap  kacanggihan teknologi, namun nalar kritis harus hadir sehingga adaptasi terhadap kekinian tak lantas menghilangkan kecintaan terhadap produk anak negeri kita sendiri.

 

Kita juga bukan anti globalisasi, namun kita harus memiliki bargainning position setara sehingga tidak melulu menjadi obyek dari kecerdasan bangsa lain yang mewujud dalam produk-produk yang menggiurkan. Kita boleh saja meng-apresiasi kemajuan negara lain, namun bukan untuk memberi jalan lapang bagi mereka untuk menjadikan rakyat kita sebagai obyek, tetapi harus diikuti keterbangunan percaya diri bahwa kita juga bisa. Kita harus kritis apakah segala kemudahan bertransaksi atau berdagang yang ditawarkan ragam aplikasi yang bukan karya anak negeri sendiri, sebab bisa saja  hanya memberi “angin surga” sesaat dan kemudian terjebak pada eksploitasi sumber daya alam, pemerasan keringat rakyat dan bahkan pembajakan potensi anak negeri.

 

Kita harus membangun semangat ke-Indonesiaan yang menandaskan bahwa "kita bisa" karena memiliki SDM unggul. Kita juga harus pastikan pada anak-anak negeri kita melekat kebijaksanaan dimana dalam mengembangkan “ruang-ruang kreatif” tidak hanya fokus pada kalkulasi seberapa besar kemenangan yang akan di raih karena menguasai teknologi mengingat 200 juta-an rakyat Indonesia adalah pasar potensial, namun juga harus berfikir seberapa besar peluang masyarakat untuk terus bisa terlibat dan menjadi bagian dari kecerdasan dan kecanggihan itu sendiri.

 

Sebagai pengingat, negara perlu meningkatkan budaya apresiasi. Negara juga perlu terus mem-fasilitasi kehebatan, keunikan dan bakat  dengan tetap berorientasi pada pembangunan kemandirian dan tidak menciptakan ketergantungan. Pada mereka perlu dibangun keyakinan untuk berani bermimpi, berhak atas masa depan yang cerah dan percaya diri  ber-ide. Perlu dibangun ekosistem yang memantik setiap anak bangsa untuk semangat berkarya.  Disamping itu, negara juga perlu hadir di bentangan ruang kreatif itu  sehingga tidak terjadi eksploitasi atau bahkan peperangan diantara anak negeri sendiri, sebab hal itu hanya akan menegasikan arti kata “merdeka”  karena yang satu meng-eksploitasi lainnya.  Negara juga tidak boleh abai terhadap pemerataan kesempatan yang berpotensi membuat si kaya dan si pinter dominan dan cenderung eksploitatif. Negara juga harus concern menilik kontribusi setiap karya anak negeri terhadap koreksi kesenjangan, sehingga pada si pintar dan si kaya terbangun kebijaksanaan dan semangat kekeluargaan dalam mengembangkan eksistensinya. Dengan demikian, setiap orang merasa menjadi bagian dari lainnya. Pada anak negeri pun terbangun tanggung jawab sosial dan tidak terjebak menjadi pribadi yang egois, asik dengan diri sendiri dan cendrerung individual.      

 

Imajinasi indahnya, pada setiap anak negeri terbangun kesadaran  memacu diri untuk terus belajar, meningkatkan  kapasitas dan kemudian meng-indonesiakan dirinya ke dalam karya-karya kreatif yang tidak saja memandirikan dirinya, tetapi juga meng-inspirasi lainnya untuk berkontribusi pada statistic kebaikan di negeri ini. Dengan demikian, ekosistem produktif akan hadir bercirikan semangat berbangsa dan bernegara.   “berlomba menciptakan karya” harus digelorakan sebagai koreksi  “persaingan” yang hanya menegasikan lebih baik dari  pada lainnya. Rasa malu tak memiliki “pengetahuan, kapasitas dan karya” harus di massifkan sehingga terbangun kecerdasan dan kreativitas yang didalamnya terjaga  kebijaksanaan dalam men-tafsir “kemerdekaan”.  


Majulah Bangsaku...Sejahteralah Rakyatnya..Dirgahayu RI Ke-75

Share this article :

+ komentar + 1 komentar

17 Agustus 2020 pukul 18.02

Siiaaap...smangat merdekaaa

Posting Komentar

.

 
Copyright © 2015. ARSAD CORNER - All Rights Reserved