KETIKA IBU SETENGAH BAYA ITU “TAK TERGODA”
Usai mengisi satu acara di sebuah tempat, kulihat
jam menunjukkan pukul 10.45 wib. Aku pun bergegas pamitan ke panitia
penyelenggara dan langsung menuju parkiran. Aku harus segera bergerak
agar bisa mencapai titik agenda berikutnya yang kuperkirakan memerlukan
waktu sekitar 45 menit. Namun, langkahku terhenti seketika kala salah satu
panitia berlari kecil mengejarku sambil memanggil. Ternyata beliau membawakan
oleh-oleh berupa makan siang dan snack.
Aku pun tersenyum memandangnya, mengucapkan terima kasih sambil memasukkan ke
dalam tas rangselku dan kemudian melanjutkan langkahku menuju parkiran.
Aku memulai memacu kendaraan roda duaku dengan
kecepatan lebih dari biasanya karena khawatir terlambat. Namun, aku terpaksa
menurunkan kecepatan dan kemudian berhenti saat akan melewati pertigaan dimana
beberapa kendaraan terlihat sudah siap-siap menyeberangi jalan. Saat berhenti dan mempersilahkan
mereka menyeberang, aku melihat ada becak dibarisan paling belakang antrian kendaraan
itu. Seketika aku ingat oleh-oleh yang dibawakan panitia dan kemudian ter-ide berbagi padanya. Bukannya aku menolak pemberian oleh-oleh dari panitia,
sebab di tempat acara berikutnya juga dipastikan ada agenda makan siang,
sehingga membaginya kutetapkan sebagai pilihan yang paling menarik untuk dilakukan. Untuk
niat itu, aku pun meminggirkan kendaraan dan kemudian menyapa tukang
becak itu saat akan melintas didepanku.
Alhamdulillah, sapaanku disambut baik dan tawaranku diterimanya dengan
wajah langsung berbinar sambil mengucapkan “maturnuwun” berkali-kali. Tadinya aku sempet
khawatir beliau menolak. Hal ini mungkin saja beliau lakukan sebagai bentuk
kewaspadaan mengingat beliau tidak mengenalku sama sekali dan lagi pula aku juga
hanya orang lewat yang tengah melintasi jalan. Sesaat kemudian, bapak tukang becak
itupun pamit dan menyeberang sambil melempar senyum sumringah padaku. Aku masih
ingat kalimatnya yang mendoakan kemudahan rejeki dan keselamatanku dalam perjalanan.
Aku juga masih terbayang kuat tentang wajah yang tengah membinar itu sampai tulisan ini dibuat.
Saat akan melanjutkan perjalanan, terik
matahari yang panas cukup membuat silau dan kemudian berinisiatif mengeluarkan
kacamata hitam dari saku celanaku. Saat sudah kupakaikan dan siap
melanjutkan perjalanan, tiba-tiba ada suara seorang ibu setengah baya, “Pak..itu uangnya jatuh”. Ternyata aku
tidak sadar beberapa lembar uangku jatuh bersamaan saat aku merogoh saku mengambil
kacamata. Aku pun mengucapkan terima kasih kepada ibu tersebut dan kemudian langsung
membungkukkan badanku mengambilnya tanpa
harus turun dari kendaraan karena masih terjangkau. Selanjutnya, aku berpamitan padanya dan langsung memacu kembali kendaraan.
Aku tersenyum-senyum sendiri sambil menjaga konsentrasi sebab sedang memacu kendaraan dikecepatan
antara 90 - 100. Tiba-tiba ada perasaan bersalah karena telah melewatkan satu
peluang kebaikan yang sungguhnya tengah dibukakan.”mengapa tadi tidak sekalian aku
berikan saja uang itu kepada beliau?”, tanyaku dalam hati. Tapi mungkin
saja ditolak karena niat
beliau benar-benar hanya ingin memberitahuku agar tidak kehilangan uang. Atau bisa
jadi beliau tadi sempet menyaksikan saat
kerdus makanan dan snack dari dalam tasku berpindah ke tangan tukang becak
itu?. Ragam tanya tak berjawab sempet menemani perjuanganku memacu kendaraan lebih
cepat dari biasanya karena tengah memburu waktu. Ketimbang terjebak dalam deretan tanya yang
pasti tak berjawab, kubangun fikiran positif dan men-simpulkan bahwa ibu itu adalah orang baik. Bagaimana
tidak?. Bisa saja beliau membiarkanku berlalu begitu saja melanjutkan
perjalanan dan kemudian mengambil uang itu saat aku sudah beranjak jauh. Disitulah letak kemuliaan
sang ibu yang memilih tidak memandang kejadian kecil itu sebagai
peluang mendapatkan uang, tetapi memaknainya sebagai peluang menyajikan kebaikan.
Aku sendiripun pun berupaya keras untuk tidak
terjebak men-simpulkan bahwa kehadiran ibu berikut sikap mulianya itu karena menyaksikanku saat berbagi makan siang dan snack kepada tukang itu.
Lebih dari itu, Aku pun berusaha menjaga
fikiran untuk tidak merasa heroic hanya
karena telah melakukan sesuatu yang
mungkin tampak baik dan mulia dipandangan manusia. Sebab, aksi itu sesungguhnya hanyalah tentang aku
yang sedang belajar ber-Tuhan. Andai kemudian Sang Tukang Becak merasa bahagia atas apa yang telah kulakukan padanya, semoga hal itu melipatgandakan
keyakinannya bahwa rezeki itu bisa datang dari sudut manapun atas izin dan
kasih sayang-Nya
Pada akhirnya, perjalanan siang itu mengajarkan bahwa
sesungguhnya diantara anggota masyarakat masih bisa saling mempercayai walau
hanya bertemu beberapa menit saja. Perkenan tukang becak menerima sesuatu
dari orang yang baru dikenalnya menjadi salah satu contoh-nya. Andai saja sang
tukang becak itu berfikir dus yang kuberikan berisi bom atau racun, tentu beliau
langsung menolak pemberian itu. Kemuliaan sikap yang ditauladankan sang ibu
tersebut juga menguatkan keyakinanku bahwa masih
banyak orang baik didunia ini dan pada setiap diri manusia selalu ada semangat kebaikan. Ragam hikmah dan pelajaran yang menemani perjalanan itu pun
tercukupkan saat kendaraanku mencapai tujuan
dan kemudian bergabung dengan rapat yang sudah dimulai beberapa saat sebelum
kehadiranku.
Perjalanan yang
meng-inspirasi hikmah
Posting Komentar
.