SAAT PARA "REGIONAL OPINION MAKER"
PESERTA DISEMINASI IMF-WBG ANNUAL MEETINGS 2018 DISAJIKAN PAPARAN TENTANG REALITAS & TANTANGAN
EKONOMI DOMESTIK & GLOBAL
Catatan 02 Hari Pertama Dari Pegelaran Desiminasi IMF-WBG,
Bali 12-13 Juli 2018.
Bali 12-13 Juli 2018.
Diskusi session 02
Diseminasi IMF-WBG Annual Meetings 2018
kepada Regional Opinion Maker mengangkat tentang Update Perkembangan
Indonesia “Peluang & Tantangan” . Session ini di moderatori oleh Ibu Is Havid,
kepala divisi Voyage to Indonesia . dipermulaan,
beliau sempat menjelaskan secara singkat seputar semangat yang ada dalam tagline “Voyage To Indonesia 2018”,
yaitu, “kita ingin dunia melihat
indonesia di kekinian”.
Showcasting ekonomi Indonesia pada saat pegelaran AM nanti diharapkan
bisa mendatangkan sentiment positif yang berdampak pada apresiasi dan implikasi
positif bagi akselerasi tumbuhkembang perekenomian Indonesia. Session kali ini menghadirkan 2 (dua)
narasumber, yaitu; (i) Bapak Fajar Majardi, Deputi Direktur Bank Indonesia dan;
(ii) Bapak Winang Budoyo, Chief Economist BTN.
Bapak Fajar Majardi
menyampaikan bahwa Perekonomian Indonesia tidak lepas dari pengaruh
perekonomian global. Sekilas perekonomian domestik kekinian sedang tumbuh dan
baik-baik saja, namun dinamika ekonomi global yang turun tak bisa dihindarkan
pengaruhnya terhadap perekonomian domestik. Atas hal ini, BI perlu memberikan
respon bijak.
Saat ini ekonomi
global masih diliputi ketidakpastian yang tinggi. Hal ini tercermin dari
meningkatnya peluang kenaikan Fed Fund
Rate (FFR). Kondisi tersebut memicu
harmonisasi respon kebijakan (tightening)
diberbagai negara. Oleh sebab itu, dampak peningkatan suku bunga kebijakan
terhadap stabilitas pasar keuangan perlu diwaspadai. Ketidakpastian baru
dipasar keuangan dunia kemudian muncul yang bersumber dari penurunan GMW oleh
PboC, volatilitas harga minyak dan ketegangan hubungan dagang
AS-Tiongkok. Hal ini bisa berdampak pada
koreksi PDB Dunia 2018-2019.
Ketidakpastian
tersebut ini juga memberikan tekanan pada pasar keuangan domestik dan memicu
pembalikan modal dari negara berkembang. Akibat lainnya adalah pelemahan
rupiah. Nilai tukar rupiah kembali terdepresiasi pada juli 2018 dengan
rata-rata pelemahan 2,30% menjadi Rp 14.374 per dolar AS. Sementara itu,s ecara
poin to poin, rupiah melemah 3,41% menjadi Rp 14.385 per dollar AS.

Posisi cadangan devisa
Indonesia akhir juni 2018 cukup tinggi sebesar USD 119,8 miliar. Posisi
cadangan devisa tersebut setara dengan pembiayaan 7,2 bulan impor atau 6,9
bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, serta berada diatas
standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor. Angka inflasi juni 2018
terkendali dalam kisaran sasaran inflasi 3,5+-1%. Sementara itu, Sisi perbankan
menunjukkan rasio kecukupan modal (CAR) perbankan cukup tinggi sebesar 22,1%.
NPL juga dibawah 5%. Pertumbuhan kredit menjadi 10.3% (yoy) pada mei 2018, dari
8,9% (yoy) pada bulan sebelumnya. Disisi lain, simpanan juga mengalami
peningkatan.
"Ke depan, BI akan
terus mencermati perkembangan dan prospek perekenomoian baik domestik maupun
global untuk memperkuat respon bauran kebijakan yang perlu ditempuh", tandas pak fajar.
Di presentasi narasumber
berikutnya, Bapak Winang budoyo, Chief Economist BTN, membahas tentang “tantangan dan peluang
ekonomi Indonesia”, Beliau mengawali
dengan menyampaikan 2 (dua) fakta tentang negara berkembang, yaitu tiongkok dan
india, (i) Ekonomi tiongkok melanjutkan
proses re-balancing dan mitigasi pasar keuangan dan; (ii)
ekonomi india rebound pasca
demonetisasi dan penerapan system pajak baru.
Selanjutnya beliau memberi
warning bahwa dunia akan menghadapi
perang dagang (trade war) yang
diinisiasi AS dan kebijakan moneter non-konvensional (likuiditas longgar/murah)
sudah berakhir, yang mendorong arus balik dana asing yang selama ini telah ikut
membiayai investasi di negara berkembang.
Membincang tentang
ekonomi domestik, beliau menyampaikan bahwa pertumbuhan ekonomi indonesia akan
terus meningkat setelah mencapai level terendah di 2015, yang didorong oleh
investasi dan ekspor, serta konsumsi yang stabil. Namun, jika dilihat secara
sektoral, ternyata industri yang tumbuh tinggi mempunyai penyerapan tenaga
kerja yang rendah sehingga mempengaruhi daya beli.
Penurunan daya beli
dialami oleh kelompok masyarakat kelas menengah kebawah seiring dengan turunnya
penghasilan riil mereka (terutama kelompok “nyaris miskin”). Sementara itu,
untuk kelompok masyarakat kelas menengah ke atas yang terjadi adalah kombinasi
antara menunda konsumsi dan mengubah
konsumsi menjadi saving (menabung).
Hal ini tidak terlepas dari turunnya kepercayaan (confidence) mereka untuk melakukan konsumsi (spending) ditengah kondisi ekonomi yang masih dianggap tidak menentu. Ketika penghasilan riil turun (upah
nominal naik tapi jam kerja kurang) sementara ada jenis konsumsi yang tidak
bisa (tidak mau) diturunkan seperti makan dan rekreasi, maka rumah tangga mulai
mengurangi jenis konsumsi jangka pendek seperti piranti dan perlengkapan rumah
tangga. Pengurangan kedua jenis konsumsi ini yang membuat penjualan ritel
mengalami kelesuan. Namun sejak 2017 sudah
kembali rebound.

1. Konservatif
terhadap risk tolerance, mereka lebih
memilih untuk memegang cash daripada
melakukan investasi
2.
Meskipun sudah
mulai menabung tapi belum mau meng-insivestasikan tabungannya.
3. Memprioritaskan travelling (leisure) daripada membeli
rumah atau bayar cicilan barang.
4. User generated
Content (UGC), mereka jauh lebih percaya pada konten dan informasi yang dibuat oleh perorangan.
5. Terkait UGC,
instagram merupakan platform media sosial paling berpengaruh dalam
keputusan mereka berbelanja.
6. Mereka tertarik
pindah kerja ke suatu tempat lantaran kesempatan baru yang dibuka ditempat
tersebut, bukans ekedar uang (gaji)
Di penghujung, ada
hal yang menarik dari closing statemen
di presentasinya dimana Bung Winong menandaskan bahwa “ketidakpastian ekonomi akan terus meningkat dan satu-satunya hal yang
pasti adalah ketidakpastian itu sendiri”.
Posting Komentar
.