Sisi Lain Pegelaran Derby Panginyongan di Liga 03 Group 3
Pada
Hari Sabtu, 28 Juli 2018, tergelar pertandingan Liga 03 yang mempertemukan 2
(dua) musuh bebuyutan di area penginyongan, yaitu Persibas Banyumas vs PSCS
Cilacap. Pertandingan ini di gelar di GSP (GOR Satria Purwokerto).
Secara umum, pertandingan berjalan lancar sejak pluit awal sampai sang pengadil menyatakan pertandingan berakhir. Artinya, tidak ada kondisi yang membuat commisioner match harus meng-hentikan pertandingan. Angka kacamata 0-0 pun menjadi hasil akhir dari pertandingan ini.
Secara umum, pertandingan berjalan lancar sejak pluit awal sampai sang pengadil menyatakan pertandingan berakhir. Artinya, tidak ada kondisi yang membuat commisioner match harus meng-hentikan pertandingan. Angka kacamata 0-0 pun menjadi hasil akhir dari pertandingan ini.
Ada
sisi lain yang menarik untuk menjadi perhatian atas pegelaran pertandingan ini,
yaitu tentang “aksi keberpihakan Suporter” untuk masing-masing klubmya. Mereka
selalu hadir dimanapun tim kesayangannya bermain, entah itu di kandang maupun tandang
dan bahkan tidak peduli panas, hujan,
dekat dan atau jauh.
Tidak
bisa dipungkiri bahwa keberadaan fans fanatik adalah pemain ke-12 bagi setiap
tim. Mereka selalu memberi dorongan
moral saat para pahlawannya berjibaku dilapangan membela panji-panji kebanggaan.
Para supporter ini biasanya tak henti-hentinya menyuarakan jargon-jargon magis
dan menyanyikan lagu-lagu khas yang meng-energi bagi para pemain kebanggaan
mereka. Itulah gambaran singkat bagaimana para pendukung menjalankan aksinya.
Pertanyaannya adalah apakah dalam kenyataan lapangan se-ideal itu?
Pada
prakteknya, sepak bola memang tidak sekedar urusan menang-kalah, tetapi sering
dikaitkan dengan gengsi dan bahkan harga diri sebuah daerah. Hal inipun sering
disuntikkan sehingga menjadi bagian dari kelompok supporter serupakan satu
kebanggaan dan refresentasi sebuah patriotisme.
Pada titik inilah kecintaan terhadap klub menyatu dengan diri sang fans
sehingga mewujud menjadi loylaitas tanpa batas dan bahkan tidak jarang mewujud
pada pembelaan tanpa logika.
Sisi
tribun penonton yang sempat beberapa kali memanas di sepanjang pertandingan Persibas
Banyumas vs PSCS Cilacap adalah contoh nyata tentang sebuah keberpihakan dan
loyalitas tanpa batas. Syukurnya, berkat kehebatan dan kesigapan pihak keamanan
membuat “aksi berlebihan dan berpotensi huru hara” dari para supporter itu kembali
menemukan titik bijak dan rasionalnya sehingga supporterpun kembali fokus
menyemangati masing-masing tim nya.
Kalau
di dalam stadion sikap para supporter bisa dipersepsikan sebagai wujud dukungan
terhadap tim kesayangannya masing-masing, namun menjadi terasa begitu aneh
terhadap aksi mereka diluar stadion usai pertandingan. Kedua kubu terlihat bersitegang
walau terpisahkan oleh pagar betis dan
barikade yang disiapkan oleh pihak keamanan. Yang satu seolah merasa hebat dan
berani, sementara kubu yang satu merasa harga dirinya diinjak-injak. Pada saat itu,
akal sehat pun hilang seketika dan bergeser ke “titik khilaf” yang mewujud pada
aksi-aksi kurang terpuji yang merusak ketenangan dan mengundang kekhawatiran
bagi banyak pihak, khusus nya para penonoton yang datang untuk menikmati
suguhan permainan yang menarik dari 2 (dua) tim yang dikenal sebagai musuh bebuyutan sejak dulu.
Sisi
uniknya, perseteruan itu hanya ter-identifikasi dengan simbol, yaitu simbol
klub masing-masing. Artinya, sangat kecil kemungkinan mereka saling mengenal
secara pribadi satu sama lain. Sejarah panjang dari dua kelompok suporter tampaknya ikut
menyulut suasana kebathinan setiap orang yang hadir di stadion. Inikah
yang disebut fanatisme? Atau lebih
tepat di defenisikan sebagai vandalisme?.
Apakah sebagain dari mereka yang suka menyulut emosi dan memelihara dendam meyakini bahwa “mati dalam membela tim-nya” sebagai wujud kepahlawanan?. Sayangnya, sampai hari ini tidak ada pemakaman yang dipintu gerbangnya tertulis “taman makam pahlawan sepak bola”. Artinya, bertindak arif mewujudkan dukungannya jauh lebih bijak dan mendapat simpati masyarakat.
Apakah sebagain dari mereka yang suka menyulut emosi dan memelihara dendam meyakini bahwa “mati dalam membela tim-nya” sebagai wujud kepahlawanan?. Sayangnya, sampai hari ini tidak ada pemakaman yang dipintu gerbangnya tertulis “taman makam pahlawan sepak bola”. Artinya, bertindak arif mewujudkan dukungannya jauh lebih bijak dan mendapat simpati masyarakat.
Cinta
itu suci yang mewujud dalam aksi-aksi mendamaikan dan menentramkan. Ke-butaan
hanyalah ekspresi sesaat yang pasti ber-ujung dengan penyesalan berkepanjangan.
Membiarkan diri terjebak pada provokasi hanya akan memancing emosi dan aksi kurang
sportif.
Terbayang
betapa indahnya kala supporter tamu datang penuh senyuman dan disambut
supporter tuan rumah dengan keramahan dan suka cita.Demikian juga saat pulang,
dimana para supporter tuan rumah berbaris rapi sambil bersamalam melepas
kembalinya supporter tim tamu. Kalau hal ini yang disuguhkan, maka indahnya
cinta dan bergairahnya sepak bola akan
bisa dinikmati siapa saja tanpa rasa kekhawatiran sedikitpun. Pada kondisi yang
demikian, menjadi bagian dari kelompok supporter adalah sarana memperluas
perkawanan yang mungkin suatu waktu menjadi
penolong saat sedang sangat membutuhkan.
Kita
semua harus masih terus belajar untuk menjadi pecinta sepak bola yang keren dan
meng-inspirasi. Kita pasti bisa saat kemauan untuk itu selalu ada dan hadir.
Posting Komentar
.