MEMBINCANG TENTANG KE-SEDERHANA-AN
Oleh-Oleh Ringan Dari Perbincangan Ringan Bersama Ustadz Rofiq
Seorang Ustadz SMA Al-Irsyad Al-Islamiyyah Purwokerto
“Assalamu ‘alaikum ustadzh..mohon
izin menghadap Bapak Kepala Sekolah”,
ucapku saat menghadap Ustadzah yang sedang piket. Tidak lama berselang, Ustadzah
hadir kembali dan mempersilahkanku masuk
ruang kepala sekolah SLTA Al-Irsyad Al Islamiyyah Purwokerto dan perbincangan pun dimulai.
Kita pun kemudian membicarakan hal-hal
umum tentang aktivitas sekolah dan dimulai tentang perilaku keseharian mayoritas
siswa/i SLTA yang secara usia terdefenisi sebagai generasi milenial. Seputar proses
kegiatan belajar mengajar secara umum pun menjadi bahasan berikutnya. Membincang
SMA memang begitu meng-asikkan dan kita pun ter-mantik ber-romantika ria tentang masa lalu saat masih duduk di
SLTA. Ego kesejarahan pun mendorong
untuk melakukan perbandingan antara dulu dan saat ini.
Dulu dan saat ini pasti berbeda seiring dengan perubahan lingkungan, paradigma
dan tata cara hidup masyarakat. Kita pun
bersepakat bahwa dinamika hidup adalah sebuah keniscayaan yang
tidak mungkin bisa di tolak oleh
siapapun. Namun demikian,
tidak sedikit fakta yang menandaskan modernitas telah menjadi muasal ragam keresahan
dikehidupan saat ini. Lihatlah betapa banyak tindakan negatif yang diinspirasi
oleh kegagalan dalam membangun kebijaksanaan terhadap kemajuan zaman.
Hal ini pun meng-inspirasi tanya, “apakah sekolah sebagai pusat ilmu pengetahuan dan peradaban
perlu “menawar” kenyataan hari ini?”.
Jawabannya, “Ya”, sebab perkembangan
zaman memerlukan filter bijak agar segala efek negatif yang mungkin timbul bisa
ter-minimalisir sedini mungkin”. Ter-ide untuk melestarikan hal-hal baik dari
nilai-nilai ke-dulu-an. Hal ini bukan berarti anti kemajuan, tetapi sebagai
bagian dari membangun karakter kuat pada segenap siswa/i SLTA
Al-Irsyad Al-Islamiyyah sehingga berkemampuan mensikapi zaman dengan cerdas
dan bijak dimana nilai-nilai ketuhanan
selalu melibat didalam setiap tindakan. Untuk itu, sekolah sebagai tempat berprosesnya
segenap siswa/i dinilai perlu melakukan serangkaian uapaya sistematis dan terukur
serta terimplementasi secara berkelanjutan.
Ide lain yang muncul adalah tentang perlunya me-redefenisi tentang
kata “keren”, dimana sampai
hari ini selalu dikaitkan dan bahkan diidentikkan dengan hal-hal berbau materialitas.
Sejalan dengan itu, keren pun kemudian di–simbol-kan
dengan kepemilikan atas kebendaan yang tanpa
disadari telah membentuk pribadi konsumtif.
Akibatnya, sebagian remaja saat ini mempersepsikan keren itu bila bisa memakai pakaian serba mahal, bisa ke sekolah
memakai sepeda motor mahal, bisa makan dengan menu terkesan mewah, bila memakai
tas dan peralatan sekolah harus mahal, memiliki hand phone yang sedang nge-trend dan lain sebagainya.
Ironisnya, kepemilikan terhadap kebendaan mahal itu telah menjadi sumber percaya diri mereka untuk hadir di
tengah-tengah teman sebayanya. Ajang
perlombaan gengsi pun hampir tidak dapat dihindarkan di setiap perbincangan.
Bahkan tidak sedikit remaja bertindak irrasional
melebihi kemampuan orang tuanya. Sebagian
dari remaja pun tak jarang berani membentak orang tuanya bila satu keinginannya tidak dikabulkan . Akankah hal semacam ini terus dibiarkan?
Muncul satu ide untuk meng-kampanyekan tentang “kesederhanaan” sebagai
sesuatu yang keren. Disamping sebagai
hal yang ditauladankan Rasulullah SAW, kesederhanaan merupakan salah satu
bentuk koreksi bijak terhadap paradigma materialitas akud dan
konsumerisme yang menggejala di kehidupan masyarakat saat ini. Untuk mendukung hal itu, dinilai perlu menggelar
langkah lanjutan yang antara lain: (i) men-sosialisasikan dan meng-edukasikan perlunya
mem-budayakan hidup sederhana disetiap kesempatan; (ii) membangun “budaya
apresiasi” kepada setiap siswa/i
yang memilih kesederhanaan sebagai gaya hidup dikesehariannya dan; (iii menciptakan
simbol-simbol
kesederhanaan di berbagai sisi sekolah yang berfungsi sebagai pengingat
perlunya membudayakan hidup sederhana. Intinya, “sederhana
itu keren”

Sebagai catatan penghujung, kita perlu terus berupaya menemukan ribuan
cara sehingga sekolah dipersepsikan sebagai ruang aktivitas yang menyenangkan
bagi setiap siswa/i. Serangkaian upaya perlu diterapkan sehingga mereka menemukan
dirinya di sepanjang proses yang berlangsung di sekolah. Kalau iklim demikian bisa diwujudkan,
mem-bolos sekolah akan dipandang sebagai sebuah kerugian besar karena
melewatkan banyak hal yang begitu membahagiakan. Untuk
cita-cita besar itu, kita perlu terus melakukan pencarian dan pengayaan gagasan
serta tidak boleh berhenti pada satu cara. Semua ini dirasakan perlu karena menyangkut tentang kualitas sebuah generasi
sang “penentu warna kehidupan” di
mendatang.
Posting Komentar
.