KETIKA "SEDERHANA" ITU "KEREN" | ARSAD CORNER

KETIKA "SEDERHANA" ITU "KEREN"

Kamis, 02 November 20170 komentar

MEMBINCANG TENTANG KE-SEDERHANA-AN
 Oleh-Oleh Ringan Dari Perbincangan Ringan Bersama Ustadz Rofiq
Seorang Ustadz SMA Al-Irsyad Al-Islamiyyah Purwokerto


Assalamu ‘alaikum ustadzh..mohon izin menghadap Bapak Kepala  Sekolah”, ucapku saat menghadap Ustadzah yang sedang piket. Tidak lama berselang, Ustadzah hadir kembali  dan mempersilahkanku masuk ruang kepala sekolah SLTA Al-Irsyad Al Islamiyyah Purwokerto dan  perbincangan pun dimulai.

Bapak Kepala Sekolah ternyata sedang akan rapat sehingga tidak memiliki waktu cukup untuk berdiskusi.  Namun, beliau tetap memaksimalkan celah waktu sempit untuk mengetahui maksud kedatanganku. Sebelum  beranjak ke tempat rapat,  beliau memanggil Wakil Kepala Sekolah Bidang Kurikulum, Seorang Ustdzh. Setelah mempersilahkan melanjutkan diskusi denganku, Sang Kepala Sekolah pun izin pamit. Perbincangan pun berlanjut dengan Ustadzh. Ditengah pembicaraan, Ustadzh pun merasa perlu untuk melibatkan Ustadz lainnya yang kebetulan guru BK, Ustadz Rofiq. Hadirnya beliau sangat membantu tujuan utama ku untuk mencari detail informasi yang ingin kuketahui. “model pelayanan yang sangat keren”, ucapku dalam hati menilai cara kerja mereka. Tidak lama berselang, Sang Wakil Kepala Sekolah pun harus berpamitan karena ada tamu mendadak dari Kementrian Agama Kab. Banyumas. Perbincanganpun berlanjut antara aku dan Ustadz Rofiq.    

Kita pun kemudian  membicarakan hal-hal umum tentang aktivitas sekolah dan dimulai tentang perilaku keseharian mayoritas siswa/i SLTA yang secara usia terdefenisi sebagai generasi milenial.  Seputar proses kegiatan belajar mengajar secara umum pun menjadi bahasan berikutnya. Membincang SMA memang begitu meng-asikkan dan kita  pun ter-mantik  ber-romantika ria  tentang masa lalu saat masih duduk di SLTA.  Ego kesejarahan pun mendorong untuk melakukan perbandingan antara dulu dan saat ini.

Dulu dan saat ini pasti berbeda seiring dengan perubahan lingkungan, paradigma dan tata cara hidup masyarakat.  Kita pun bersepakat bahwa dinamika hidup adalah sebuah keniscayaan yang tidak  mungkin bisa di tolak oleh siapapun.  Namun demikian, tidak sedikit fakta yang menandaskan modernitas telah menjadi muasal ragam keresahan dikehidupan saat ini. Lihatlah betapa banyak tindakan negatif yang diinspirasi oleh kegagalan dalam membangun kebijaksanaan terhadap kemajuan zaman. 

Hal ini pun meng-inspirasi tanya, “apakah sekolah sebagai pusat ilmu pengetahuan dan peradaban perlu “menawar” kenyataan hari ini?”. Jawabannya, “Ya”, sebab  perkembangan zaman memerlukan filter bijak agar segala efek negatif yang mungkin timbul bisa ter-minimalisir sedini mungkin”. Ter-ide untuk melestarikan hal-hal baik dari nilai-nilai ke-dulu-an. Hal ini bukan berarti anti kemajuan, tetapi sebagai bagian dari membangun karakter kuat pada segenap siswa/i SLTA Al-Irsyad Al-Islamiyyah sehingga berkemampuan mensikapi zaman dengan cerdas dan  bijak dimana nilai-nilai ketuhanan selalu melibat didalam setiap tindakan. Untuk itu, sekolah sebagai tempat berprosesnya segenap siswa/i dinilai perlu melakukan serangkaian uapaya sistematis dan terukur serta terimplementasi secara berkelanjutan.

Ide lain yang muncul adalah tentang perlunya me-redefenisi tentang kata  “keren”, dimana sampai hari ini selalu dikaitkan dan bahkan diidentikkan dengan hal-hal berbau materialitas.  Sejalan dengan itu, keren pun kemudian di–simbol-kan  dengan kepemilikan atas kebendaan yang tanpa disadari telah membentuk pribadi konsumtif.  Akibatnya, sebagian remaja saat ini mempersepsikan keren itu bila bisa memakai pakaian serba mahal, bisa ke sekolah memakai sepeda motor mahal, bisa makan dengan menu terkesan mewah, bila memakai tas dan peralatan sekolah harus mahal, memiliki hand phone yang sedang nge-trend dan lain sebagainya.

Ironisnya, kepemilikan terhadap kebendaan mahal itu telah menjadi sumber percaya diri mereka untuk hadir di tengah-tengah teman sebayanya.  Ajang perlombaan gengsi pun hampir tidak dapat dihindarkan di setiap perbincangan. Bahkan tidak sedikit remaja bertindak irrasional melebihi kemampuan orang tuanya.  Sebagian dari remaja pun tak jarang berani membentak orang tuanya  bila satu keinginannya tidak dikabulkan . Akankah hal semacam ini terus dibiarkan?


Mungkinkah hal ini dampak kondisi ekonomi keluarga yang sudah jauh lebih baik dibanding dulu?. Ataukah ini karena rasa sayang berlebihan yang justru membuat anak tumbuh sebagai pribadi yang manja?. Bukankah memenuhi setiap permintaan membuat anak tidak pernah belajar tentang kata “sabar”?.  Ataukah jarangnya anak  dilibatkan dalam keseharian hidup seperti ikut menyapu rumah, membersihkan kamar mandi, mencuci piring, men-cuci kendaraan, menyetrika pakaian, membersihkan halaman rumah dan lain sebagainya, membuat mereka selalu ingin dilayani?. Ragam tanya bernada dugaan itu pun kami biarkan mengemuka diperbincangan pagi menjelang siang itu.

Muncul satu ide untuk meng-kampanyekan tentang “kesederhanaan” sebagai sesuatu yang keren.  Disamping sebagai hal yang ditauladankan Rasulullah SAW, kesederhanaan merupakan salah satu bentuk koreksi bijak terhadap paradigma materialitas akud dan konsumerisme yang menggejala di kehidupan masyarakat saat ini.  Untuk mendukung hal itu, dinilai perlu menggelar langkah lanjutan yang antara lain:  (i)  men-sosialisasikan dan meng-edukasikan perlunya mem-budayakan hidup sederhana disetiap kesempatan; (ii) membangun “budaya apresiasi” kepada setiap siswa/i  yang  memilih  kesederhanaan  sebagai gaya hidup dikesehariannya dan; (iii menciptakan simbol-simbol kesederhanaan di berbagai sisi sekolah yang berfungsi sebagai pengingat perlunya membudayakan hidup sederhana. Intinya, “sederhana itu keren” 

Ketika upaya ini mencapai titik efektivitasnya, maka perbincangan dikeseharian siswa/i, saat sebelum bel masuk sekolah berbunyi atau sesi istrahat sedang berlangsung, akan jauh dari persoalan ke-benda-an.  Tidak ada lagi perbincangan kehebatan yang bersumber dari kepemiliki harta benda, sebab siswa/i lebih tertarik membincang hal-hal sederhana yang  bernilai edukatif dan inspiratif.  Hari-hari mereka pun akan lebih disibukkan dengan persoalan-persoalan produktif, seperti membahas tentang tokoh-tokoh muda inspiratif, menggagas ide-ide kreatif yang bisa dikerjakan bersama, meng-evaluasi setiap  capaian, tentang kesulitan-kesulitan saat mengikuti pelajaran  dan hal lain yang kesemuanya diinspirasi oleh budaya apresiasi yang dikembangkan sekolah atas  setiap inisiatif  kreatif para siswa/i. 


Sebagai catatan penghujung, kita perlu terus berupaya menemukan ribuan cara sehingga sekolah dipersepsikan sebagai ruang aktivitas yang menyenangkan bagi setiap siswa/i. Serangkaian upaya perlu diterapkan sehingga mereka menemukan dirinya di sepanjang proses yang berlangsung di sekolah.  Kalau iklim demikian bisa diwujudkan, mem-bolos sekolah akan dipandang sebagai sebuah kerugian besar karena melewatkan banyak hal yang begitu membahagiakan. Untuk cita-cita besar itu, kita perlu terus melakukan pencarian dan pengayaan gagasan serta tidak boleh berhenti pada satu cara.  Semua ini dirasakan perlu karena  menyangkut tentang kualitas sebuah generasi sang “penentu warna kehidupan” di mendatang.   
Share this article :

Posting Komentar

.

 
Copyright © 2015. ARSAD CORNER - All Rights Reserved