Tulisan ini merupakan Edisi I
Belajar Besama “Menjadi Orang Tua Yang Keren”...
merupakan bagian dari program kerja Komite SMP AL Irsyad Al Islamiyah Purwokerto. Tulisan ini di share lewat WAG (Whats App Grou) masing-masing kelas. Penyajian dalam blog ini dimaksudkan lebih menyebarluaskan pemikiran-pemikiran sederhana yang diharapkan meng-inspirasi kebaikan-kebaikan baru
“KETIKA TAK SEPERTI DULU LAGI....”
Dulu, setiap
kalimat orang tua adalah fatwa yang wajib dipatuhi dan tak mengenal ruang dialog.
Dulu, tak ada keberanian anak membantah perintah apapun, sebab aura magis orang
tua selalu membuat tertunduk dan tidak sedikit pun berani menengadahkan wajah
sekedar bertatap atau memandang. Dulu,
kala Ayah marah kepada salah satu penghuni rumah (kakak atau adik), seisi rumah
pun menjadi hening seketika. Berdiam diri dalam kamar menjadi pilihan favourite
dan baru keluar bila keadaan benar-benar sudah terkendali atau ayah sedang
keluar rumah. Dulu, saat akan meminta sesuatu pada orang tua, kita selalu melakukan
hal-hal yang sekiranya membuat orang tua bersimpati. Bahkan, saat
waktu tiba
membayar iuran buku sekolah tetapi orang tua belum memberi, anakpun kemudian membangun seribu bahasa
santun kepada gurunya. Disana ada
kesabaran anak, disana ada pembelaan anak terhadap kebelumsiapa orang tuanya,
disana ada kerelaan untuk membangun pembelaan harga diri keluarga walau tidak
diperintah orang tua. Dulu, apapun yang tersaji di meja makan pasti dilahap
walau kadang menunya tidak sesuai selera. Tidak ada keberanian untuk menolak
atau bahkan bergumam sedikitpun, sebab bila itu dilakukan maka serentetan
nasehat pun akan mengalir ke telinga. Akibatnya, tak jarang kita menelan nasi
sampai bercucuran air mata. Dulu, kita lebih sering menunggu ayah/ibu makan
duluan dan berikutnya baru giliran anak-anak. Dulu, liburan sekolah selalu
menjadi momen untuk membantu orang tua
seperti kesawah, ladang atau aktivitas senada. Dulu, tak jarang anak
menjadi bagian yang ikut berjuang membangun ekonomi keluarga. Bahkan, anak
cenderung selalu siap melayani orang tua kala diperlukan. Inisiatif menjadi
buah kesadaran berposisi sebagai anak, karena berbakti pada orang tua adalah
sebuah kehormatan. Adakah itu hanya dulu...?...
Saat
ini, generasi yang tumbuh di masa dulu telah berposisi sebagai orang tua.
Ironisnya, banyak orang tua yang berpendapat bahwa apa yang hari ini berlangsung
dikeseharian menjadi terasa begitu berbeda. Apa
sebenarnya yang sedang terjadi?
Saat
ini, anak cederung dilayani dan tampak begitu merepotkan orang tua. Bangun pagi
seorang ibu/ayah sudah harus menyiapkan sarapan, membangunkan anak, menyiapkan
seragam sekolah, menyiapkan sepatu, memastikan peralatan mandi siap pakai,
memastikan jadual dan buku yang harus dibawa dan lain sebagainya. Adakah sebagian
orang tua terjebak pada “rasa sayang” yang justru membunuh
kreativitas dan kemandirian anak?.
Dikekinian
zaman, sepertinya menjadi hal jarang dan bahkan terlihat aneh ketika melihat seorang
anak membantu orang tuanya berjualan di pasar atau ikut menjaga toko dirumah. Hari
ini, juga menjadi sesuatu yang istimewa mendapati seorang kakak menjaga adiknya
yang balita. Hari ini, juga sudah sulit mendapati sekelompok anak sedang
merangkai pohon pisang, sisa potongan papan atau bahan lainnya untuk membuat
mainan. Kebanyakan dari mereka minta uang pada orang tuanya dan membeli mainan
kesukaannya di supermarket. Hari ini, sepertinya
sudah sulit mendapati anak SD membawa termos es dan menjajakan es lilin sepulang
sekolah. Hari ini, sepertinya juga sulit mendapatiseorang anak yang sedang menawarkan
jajanan kepada para penonton dipinggir lapangan sepak bola di sebuah desa. Hari
ini juga sulit mendapati anak mencuci pakaian , menjemur sepatu sekolah,
mencuci piring atau menyetrika pakaian. Apakah anak zaman sekarang sudah
kehilangan kreativitas dan inisiatifnya?. Ataukah hal-hal semacam itu sudah
dianggap kuno dan bahkan memalukan orang tua?. Tidak terfikirkankah betapa
banyak pelajaran dan hikmah dari langkah seorang bocah yang membawa termos es
menuju lapangan sepak bola?. Tidakkah ada pelajaran kehidupan dalam aktivitas
seorang ketika mencuci pakaian, menjemur sepatu ,mencuci piring atau menyetrika?.
Hari
ini, hubungan antara orang tua dan anak begitu dekat. Hal ini memang terasa sangat
berbeda dibanding dulu dimana antara orang tua dan anak tampak begitu berjarak.
Rasa hormat terhadpa orang tua membuat setiap anak begitu hati-hati dalam mengutarakan
sesuatu. Anak lebih memilih untuk memendam parasaan yang dialaminya. Anak dulu
lebih memilih untuk menyelesaikan persoalannya sendiri. Hari ini, kedekatan dengan orang tua telah
membuat anak begitu ekpresif dan selalu menceritakan apapun yang dia alami, dia
rasakan, dia fikirkan dan dia inginkan. Kedekatan itupun menuntut respon cepat
sebagaimana dia begitu semangat menceritakannya. Hari ini memang lebih mudah mendeteksi perkembangan
anak dibanding dulu. Namun pertanyaan menariknya, apakah anak-anak sekarang lebih unggul dibanding
dulu?. Terlalu sulit menemukan jawaban pasti atas tanya ini.
Zaman memang
telah berubah. Paradigma sosial dan kemasyarakatan pun telah berganti serta berpengaruh
besar dalam cara orang tua membesarkan anak-anaknya. Setidaknya itulah pembelaan atas realitas
kekinian yang sesungguhnya tidak sepenuhnya membahagiakan dan baik bagi
pertumbuhan anak. Namun, mencari hikmah dan menguatkan filter atas
setiap perubahan sepertinya menjadi pilihan bijak sehingga perkembangan zaman
tidak menggerus nilai-nilai luhur. Kebiasaan-kebiasaan yang sangat baik bagi
pertumbuhan anak seharusnya tetap dipertahankan dan bahkan dijadikan bagian
dari budaya hidup (the way of life).
Mungkin
keadaan ekonomi keluarga saat ini sudah jauh lebih baik dibanding dulu. Kalau
dulu satu butir telor rebus dibagi empat, mungkin saat ini anak bisa makan
sebanyak yang dia inginkan. Mungkin keadaan ekonomi yang lebih mapan saat ini
membuat orang tua lebih selalu menawarkan anaknya mau makan apa sehingga pelajaran
tentang kesederhanaan menjadi terlupakan. Mungkin mewujudkan semua keinginan anak mendatangkan perasaan berhasil sebagai orang tua walau hal itu membuat anak lalai belajar
tentang kesabaran dan menahan ingin.
Dipenghujung
renungan, terbersit beberapa tanya; (i) akan jadi seperti apa anak kita ketika
mereka tidak pernah belajar tentang arti kesabaran dan menahan ingin?; (ii)
akan seperti apa mereka di mendatang saat di masa kanak-kanaknya jarang belajar
tentang perlunya mengembangkan inisiatif, tanggungjawab, kreatif dan kemandirian?.
Semoga tanya ini efektif menjadi bahan perenungan yang pada akhirnya menyemangati
kita semua untuk terus belajar menjadi orang tua yang lebih bijaksana. Semoga, anak-anak kita kelak menjadi
anak-anak yang soleh/solehah, berbakti pada orang tua, memiliki kesabaran, kebijaksanaan, inisiatif, kemandirian dan
tanggungjawab serta menentramkan hati dan menyejukkan pandangan. Satu hal
sebagai catatan akhir, pelajaran kehidupan apa yang mereka dapatkan hari ini,
menjadi penentu warna kehidupan seperti apa yang mereka bentuk di mendatang.
Keterangan : Gambar hasil searcing di google
Posting Komentar
.