“KETIKA TAK SEPERTI DULU LAGI....” | ARSAD CORNER

“KETIKA TAK SEPERTI DULU LAGI....”

Senin, 12 Desember 20160 komentar

Tulisan ini merupakan Edisi I 
Belajar Besama “Menjadi Orang Tua Yang Keren”...
merupakan bagian dari program kerja Komite SMP AL Irsyad Al Islamiyah Purwokerto. Tulisan ini di share lewat WAG (Whats App Grou) masing-masing kelas. Penyajian dalam blog ini dimaksudkan lebih menyebarluaskan pemikiran-pemikiran sederhana yang diharapkan meng-inspirasi kebaikan-kebaikan baru


“KETIKA TAK SEPERTI DULU LAGI....”

Dulu, setiap kalimat orang tua adalah fatwa yang wajib dipatuhi dan tak mengenal ruang dialog. Dulu, tak ada keberanian anak membantah perintah apapun, sebab aura magis orang tua selalu membuat tertunduk dan tidak sedikit pun berani menengadahkan wajah sekedar bertatap atau memandang.  Dulu, kala Ayah marah kepada salah satu penghuni rumah (kakak atau adik), seisi rumah pun menjadi hening seketika. Berdiam diri dalam kamar menjadi pilihan favourite dan baru keluar bila keadaan benar-benar sudah terkendali atau ayah sedang keluar rumah. Dulu, saat akan meminta sesuatu pada orang tua, kita selalu melakukan hal-hal yang sekiranya membuat orang tua bersimpati. Bahkan, saat
waktu tiba membayar iuran buku sekolah tetapi orang tua belum memberi,  anakpun kemudian membangun seribu bahasa santun kepada gurunya.  Disana ada kesabaran anak, disana ada pembelaan anak terhadap kebelumsiapa orang tuanya, disana ada kerelaan untuk membangun pembelaan harga diri keluarga walau tidak diperintah orang tua. Dulu, apapun yang tersaji di meja makan pasti dilahap walau kadang menunya tidak sesuai selera. Tidak ada keberanian untuk menolak atau bahkan bergumam sedikitpun, sebab bila itu dilakukan maka serentetan nasehat pun akan mengalir ke telinga. Akibatnya, tak jarang kita menelan nasi sampai bercucuran air mata. Dulu, kita lebih sering menunggu ayah/ibu makan duluan dan berikutnya baru giliran anak-anak. Dulu, liburan sekolah selalu menjadi momen untuk membantu orang tua  seperti kesawah, ladang atau aktivitas senada. Dulu, tak jarang anak menjadi bagian yang ikut berjuang membangun ekonomi keluarga. Bahkan, anak cenderung selalu siap melayani orang tua kala diperlukan. Inisiatif menjadi buah kesadaran berposisi sebagai anak, karena berbakti pada orang tua adalah sebuah kehormatan. Adakah itu hanya dulu...?...        

Saat ini, generasi yang tumbuh di masa dulu telah berposisi sebagai orang tua. Ironisnya, banyak orang tua yang berpendapat bahwa apa yang hari ini berlangsung dikeseharian menjadi terasa begitu berbeda. Apa sebenarnya yang sedang terjadi?

Saat ini, anak cederung dilayani dan tampak begitu merepotkan orang tua. Bangun pagi seorang ibu/ayah sudah harus menyiapkan sarapan, membangunkan anak, menyiapkan seragam sekolah, menyiapkan sepatu, memastikan peralatan mandi siap pakai, memastikan jadual dan buku yang harus dibawa dan lain sebagainya. Adakah sebagian orang tua terjebak pada “rasa sayang” yang justru membunuh kreativitas dan kemandirian anak?.  

Dikekinian zaman, sepertinya menjadi hal jarang dan bahkan terlihat aneh ketika melihat seorang anak membantu orang tuanya berjualan di pasar atau ikut menjaga toko dirumah. Hari ini, juga menjadi sesuatu yang istimewa mendapati seorang kakak menjaga adiknya yang balita. Hari ini, juga sudah sulit mendapati sekelompok anak sedang merangkai pohon pisang, sisa potongan papan atau bahan lainnya untuk membuat mainan. Kebanyakan dari mereka minta uang pada orang tuanya dan membeli mainan kesukaannya di supermarket.  Hari ini, sepertinya sudah sulit mendapati anak SD membawa termos es dan menjajakan es lilin sepulang sekolah. Hari ini, sepertinya juga sulit mendapatiseorang anak yang sedang menawarkan jajanan kepada para penonton dipinggir lapangan sepak bola di sebuah desa. Hari ini juga sulit mendapati anak mencuci pakaian , menjemur sepatu sekolah, mencuci piring atau menyetrika pakaian. Apakah anak zaman sekarang sudah kehilangan kreativitas dan inisiatifnya?. Ataukah hal-hal semacam itu sudah dianggap kuno dan bahkan memalukan orang tua?. Tidak terfikirkankah betapa banyak pelajaran dan hikmah dari langkah seorang bocah yang membawa termos es menuju lapangan sepak bola?. Tidakkah ada pelajaran kehidupan dalam aktivitas seorang ketika mencuci pakaian, menjemur sepatu ,mencuci piring atau menyetrika?.

Hari ini, hubungan antara orang tua dan anak begitu dekat. Hal ini memang terasa sangat berbeda dibanding dulu dimana antara orang tua dan anak tampak begitu berjarak. Rasa hormat terhadpa orang tua membuat setiap anak begitu hati-hati dalam mengutarakan sesuatu. Anak lebih memilih untuk memendam parasaan yang dialaminya. Anak dulu lebih memilih untuk menyelesaikan persoalannya sendiri.  Hari ini, kedekatan dengan orang tua telah membuat anak begitu ekpresif dan selalu menceritakan apapun yang dia alami, dia rasakan, dia fikirkan dan dia inginkan. Kedekatan itupun menuntut respon cepat sebagaimana dia begitu semangat menceritakannya.  Hari ini memang lebih mudah mendeteksi perkembangan anak dibanding dulu. Namun pertanyaan menariknya, apakah anak-anak sekarang lebih unggul dibanding dulu?. Terlalu sulit menemukan jawaban pasti atas tanya ini.

Zaman memang telah berubah. Paradigma sosial dan kemasyarakatan pun telah berganti serta berpengaruh besar dalam cara orang tua membesarkan anak-anaknya.  Setidaknya itulah pembelaan atas realitas kekinian yang sesungguhnya tidak sepenuhnya membahagiakan dan baik bagi pertumbuhan anak. Namun, mencari hikmah dan menguatkan filter atas setiap perubahan sepertinya menjadi pilihan bijak sehingga perkembangan zaman tidak menggerus nilai-nilai luhur. Kebiasaan-kebiasaan yang sangat baik bagi pertumbuhan anak seharusnya tetap dipertahankan dan bahkan dijadikan bagian dari budaya hidup (the way of life).

Mungkin keadaan ekonomi keluarga saat ini sudah jauh lebih baik dibanding dulu. Kalau dulu satu butir telor rebus dibagi empat, mungkin saat ini anak bisa makan sebanyak yang dia inginkan. Mungkin keadaan ekonomi yang lebih mapan saat ini membuat orang tua lebih selalu menawarkan anaknya mau makan apa sehingga pelajaran tentang kesederhanaan menjadi terlupakan. Mungkin mewujudkan semua  keinginan anak  mendatangkan perasaan berhasil sebagai orang tua walau hal itu membuat anak lalai belajar tentang kesabaran dan menahan ingin.

Dipenghujung renungan, terbersit beberapa tanya; (i) akan jadi seperti apa anak kita ketika mereka tidak pernah belajar tentang arti kesabaran dan menahan ingin?; (ii) akan seperti apa mereka di mendatang saat di masa kanak-kanaknya jarang belajar tentang perlunya mengembangkan inisiatif, tanggungjawab, kreatif dan kemandirian?. Semoga tanya ini efektif menjadi bahan perenungan yang pada akhirnya menyemangati kita semua untuk terus belajar menjadi orang tua yang lebih bijaksana.  Semoga, anak-anak kita kelak menjadi anak-anak yang soleh/solehah, berbakti pada orang tua, memiliki kesabaran,  kebijaksanaan, inisiatif, kemandirian dan tanggungjawab serta menentramkan hati dan menyejukkan pandangan. Satu hal sebagai catatan akhir, pelajaran kehidupan apa yang mereka dapatkan hari ini, menjadi penentu warna kehidupan seperti apa yang mereka bentuk di mendatang.  


Keterangan : Gambar hasil searcing di google





Share this article :

Posting Komentar

.

 
Copyright © 2015. ARSAD CORNER - All Rights Reserved