“THE COMPLICATED JOURNEY”
Catatan Kecil Dari Sebuah Perjalanan Yang Rumit
A. Mendudukkan Diri Di Lantai Bandara Raden
Intan Lampung
Mungkin
kurang bijak mengatakan ini perjalanan yang tidak menyenangkan, seolah diri ini
terkesan mengutuk dan jauh dari rasa syukur. Tetapi, perjalanan ini sungguh
unik dan sebagian besar dinamika berkategori rumit. Tulisan ini tersusun saat satu
bagian kurang nyaman dari perjalanan sedang berlangsung, yaitu “menunggu”
panitia penjemputan yang mungkin sedang terjebak macet. Terasa menjadi agak
sedikit bete mungkin karena sederetan hak aneh sejak perjalanan ini bermula.
Ku
keluarkan laptop dari dalam tas sebagai upaya pengusir kejenuhan. Sesaat
kemudian jemari ini pun mulai menari diatas papan keybord laptop mengikuti apa
saja yang membenak dihati atau teringat di memori. Upaya ini mungkin lebih
tepat dikatakan pengalihan konsentrasi sambil menunggu tim penjemputan muncul
dan membawaku ke tempat pegelaran seminar dan Diklat.
B. Sederetan Kisah Unik Yang Memantik Hikmah
Re-schedulling
mendadak dari satu Seminar dan Diklat menjadi muasal tulisan ini. Awalnya akan
digelar tanggal 2 juni 2016. Namun, karena pihak kampus memajukan schedule
Ujian Akhir Semester (UAS) mahasiswa, demi efektivitas terpaksa panitia mengundur perhelatan seminar maupun diklat untuk
waktu yang belum ditentukan.
Sebulan
kemudian, tepatnya di Rabu Sore, 12 July 2016 sekitar pukul 15.00 wib-an, saat
sedang kosentrasi menyetir melalui jalan alternatig untuk menghindari kemacetan
lebaran menuju Jakarta, tiba-tiba telepon berdering dari nomor yang belum ter-list dalam phonebook. Panggilan pertama
dan kedua ku abaikan dan tetap fokus menyetir. Panggilan ketiga kemudian ku
respon siapa tahu ada hal yang begitu
penting sehingga nomor yang sama ini bolak balk menelepon. Ternyata panggilan berulang
itu berasal dari panitia seminar dan diklat di Propinsi Lampung yang sempat
tertunda bulan lalu. Mereka mengabarkan kalau seminar dan diklat yang seharusnya
tanggal 02 Juni lalu akan digelar tanggal 17 Juli 2016.
Aku
sedikit kaget karena terkesan begitu mendadak dan pasti sulit mencari
transportasi menuju Lampung mengingat masih dalam suasana arus balik pasca
lebaran idul fitri 1437 H. Namun, terlihat panitia begitu memaksa untuk bisa
hadir mengingat publikasi sudah disebar sedemikian rupa. Dalam rasa sedikit kesal
yang masih tersisa, aku mencoba membangun bijak dan sarankan mereka untuk meng-arrange tiket perjalanan pulang pergi
Purwokerto-Lampung dan meminta menghubungiku kembali bila sudah fix. Aku pun
melanjutkan perjalanan mengantar orang tua ke bandara Soekarno Hatta mau pulang
ke kampung halaman di Sumatera Utara setelah berkunjung ke Purwokerto menilik
cucu dan sekalian berlebaran.
Sambil
melanjutkan perjalanan, terbenak tanya dalam hati hikmah apa dibalik
ke-mendadak-an ini. Apalagi ditanggal yang sama sudah terjadual harus standby
di Purwokerto mengawal hot match antara Persibas Banyumas vs
Persis Solo dalam lanjutan Turnamen ISC. Namun, setelah menyampaikan
situasi ini kepada personil kunci dikepanitiaan, mereka bisa memahami dan siap
menggantikan posisiku bila tidak ada ditempat.
Beberapa
hari kemudian, tepatnya Jum’at, kekhawatiranku terjadi dimana panitia kesulitan
mendapatkan tiket kereta Purwokerto-Jakarta. Aku tidak terlalu kaget atas
berita ini karena sudah kuduga sebelumnya. Sampai Sabtu jam 11.00 siang, panitia tidak
kunjung mendapatkan tiket kereta walau sudah mendapatkan tiket pesawat pulang
pergi Jakarta-Lampung. Mereka mencoba alternatif penerbangan Yogya-Lampung yang
memungkinkan membawaku terbang tepat waktu di lampung, namun upaya ini pun
tidak memperoleh hasil.
Pilihan
yang tersedia adalah “tetap berangkat” bagaimanapun caranya untuk mencapai
Jakarta. Ter-ide menghubungi salah satu sahabat siapa tahu bisa mendapatkan
tiket cadangan atau batalan tiket penumpang. Disisi lain, aku mencoba
menghubungi keponakan dan mengajaknya menemaniku ke Jakarta naik mobil mengingat tempat
tinggalnya di sekitar Bandara Soekarno-Hatta. Saat sang keponakan siap dan fix
ter-schedule berangkat jam 16.00 wib dengan mobil, tak berapa lama kemudian
diperoleh informasi dari sahabat yang mengabarkan ada 1 (satu) tiket batalan
taksaka lebaran yang berangkat jam 14.00 wib. “Alhamdulillah kemudahan pertama
hadir diperjalanan ini”, fikirku sambil siap-siap pulang kantor menuju ke
rumah untuk berkemas.
Alhamdulillah,
sekitar jam 13.30 Wib aku mencapai stasiun purwokerto. Saat memasuki ATM
kudapati sedang error sedangkan aku benar-benar sedang tidak memegang uang
cash. Untung saja istri berinisiatif tidak langsung pulang dan menunggu sampai keberangkatan
kereta sehingga persoalan teratasi.
Kereta
tergolong tepat waktu tiba di stasiun gambir. Setelah menyelesaikan sholat
jama’ magrib dan isya di Musholla stasiun, ter-ide mengisi perut keroncongan karena
laper. Sesudahnya, sekitar jam 21.00 Wib langsung menuju pangkalan Damri untuk
beranjak ke bandara Soakrano-Hatta. “Maaf
Mas...Damri yang ke Bandara sudah habis, ada lagi jam 03.00 pagi”.
Hmmmm..cobaan dalam perjalanan ini mulai datang. Penerbanganku sebenarnya masih
besok pagi jam 05.40 wib, namun rasanya terlalu beresiko untuk tetap disekitar Stasiun
Gambir khawatir ketiduran. Sementara taksi ke bandara cukup mahal.
Akhirnya,
kupilih menenangkan diri dan duduk sebentar disebuah cafe sambil memesan minum
siapa tahu muncul ide. Tiba-tiba aku ingat sang keponakan tadi yang rumahnya
didekat bandara. Kucoba menghubungi untuk memastikan apakah bapak/ibu nya sedang
dirumah. Tak lama berselang, mbakyunya malah me-WA ku dan mengkonfirmasi apakah
aku jadi ke Tangerang atau tidak. Ku katakan kemungkinan batal karena Bus Damri
sudah tidak ada. Beliau menyarankanku naik kereta MRT aja dan kemudian
memanduku untuk start dari stasiun Juanda. Aplikasi gojek membantuku mendapatkan
ojek ke Juanda yang berjarak hanya sekitar 2,5 km dari Stasiun Gambir.
Perjalanan KRL dimulai walau aku sebenarnya kurang familiar dengan sarana
transportasi umum andalan kota Jakarta ini. Rutenya cukup panjang, mulai harus
transit di Stasiun Mangarai, kemudian lanjut ke stasiun Duri baru transit lagi menuju
tangerang. Setibanya disana kakak iparku (bapaknya keponakan) sudah standby di pintu keluar menunggu
kedatanganku.
Secangkir
teh panas dan semangkok soto komplit dengan ayam goreng sudah tersaji menyambut
kehadiranku. Setelah istrahat sejenak
dan menyantap soto super enak, aku ambil laptop untuk menyelesaikan penghujung
materi yang belum kelar disepanjang perjalanan kereta Purwokerto-Jakarta. Begitu
selesai, aku langsung meng-emailkan ke panitia dan kemudian beranjak tidur.
Jam
04.05 wib, aku dianter kakak ipar ke bandara dengan sepeda motor menuju
terminal 01 bandara domestik. Sesampai di parkiran, aku langsung bergegas ke
arah bandara. Ups...ternyata penerbangan pesawat yang membawaku adanya di
terminal 02. Aku langsung berinisiatif bertanya pada petugas bandara tentang jadual
kedatangan shuttle bus. Katanya masih
lama dan menyarankanku naik taksi saja bila ingin cepat sampai disana. Baru
saja mau melangkah menuju taksi, tiba-tiba kakak ipar muncul. Sepertinya beliau
mau memastikan bahwa aku sudah check-in. “Lho..kok belum chek in dek?”,
tanyanya. Setelah kuceritakan beliau langsung mengajakku ke parkiran agar langsung
di antar ke terminal 02. Setelah berjalan sekitar 200 m, tanpa di duga muncul persoalan baru di parkiran. Kakak ipar lupa
dibagian mana me-markir kendaraannya. Beliau mencoba mengitari area parkir
sambil mengingat dimana meletakkan sepeda motornya. Aku pun mencoba membantu
bermodalkan nomot plat yang tertera di STNK-nya. Sambil terus mengitari barisan
kendaraan yang berjejer, aku mencoba membangun senyum atas kejadian lucu dan
jarang ini. “mungkin sang kakak sudah terlalu tua untuk mengingat”:,
bathinku menghibur hati sambil terus ikut melakukan pencarian.
Samai waktu
menunjukkan pukul 05.05 Eib, kendaraan belum juga ditemukan. Aku mulai gusar
mengingat jadual penerbangan jam 05.40 wib. Akhirnya, aku menyampaikan
permohonan maaf tidak bisa menunggu dan kemudian berlari kecil ke area bandara untuk mendapati taksi. Saat mau menyeberang,
aku melihat shuttle bus datang dan kemudian ber-inisatif langsung naik. Ini
rejeki, fikirku sambil meletakkan tas rangsel.
Tak berselang lama, persepsiku terkoreksi oleh kenyataan berikutnya
dimana shuttle bus berhenti di
terminal 1C. Aku pun langsung turun dan berinisiatif menyetop taksi. Walau
lampu atas taxi menyala pertanda kosong, namun taksi pertama tak mau berhenti.
Aku mencoba lagi taksi kedua dengan sedikit nekat menyetopnya sambil berdiri ditengah
jalan sehingga menghalangi jalannya. Dia pun berhenti namun langsung menebar
kekhawatiran, “Pak, kalau nanti petugas memaksa bapak turun mohon difahami ya karena
aturan bandara tak mengijinkan menaikkan
penumpang di zona ini”. Aku iyakan saja sambil berharap keajaiban
menolongku. Baru berjalan 50 meter,
Petugas bandara langsung memerintahkan stop. Sebelum supir taksi menjawab
pertanyaan petugas bandara itu, aku langsung bilang ke petugas tegap berseragam
itu, “mohon maaf banget Pak, ini emergency karena pesawat tinggal 15 menit
lagi berangkat dari terminal 02”. Nada dan wajah memelasku sepertinya
efektif dan kemudian beliau mempersilahkan melanjutkan perjalanan. Sang supir taxi
pun langsung ngebut karena empati atas sempitnya waktuku. Saat turun, aku lupa
melihat argo taksi dan langsung saja memberikan Rp 15.000 dan kemudian ngacir menuju tempat check-in. Aku
masih terngiang ucapan terima sang sopir begitu kencang saat aku membuka pintu
dan kemudian berlari. Mungkin saja uang uang yang kuberikan melebihi argo.
Semoga saja demikian.....
Aku tercatat
sebagai penumpang terakhir yang chek-in
untuk penerbangan 05.40 wib. Sang petugas memintaku untuk segera berlari menuju
pesawat lewat gate 01. Aku berlari sekencang mungkin walau harus terhenti saat harus
melewati pemeriksaan terakhir yang memaksaku haru meletakkan tas, HP dan juga
mencopot ikat pinggang. Sepertinya bulan puasa yang baru saja usai membuat celanaku begitu longgar dibagian
pinggang, namun tak ada waktu untuk memasangkan sabuk kembali saat pemeriksaan
selesai. Akupun berlari dengan tas rangsel bermuatan penuh dengan ikat pinggang
ditangan kanan. Sementara tangan kiriku menahan celana agar tidak kedodoran saat berlari. Alhamduillaj...perburuan
berujung indah dan aku belum berhasil
mencapai pesawat.
Dalam nafas yang pasti ter-engah-tengah aku mendapati kursi
sesuai nomor yang tertera dalam tiket dan kemduan langsung duduk sesudah
meletakkan tas di bagasi atas. Sesaat kemudian, muncul hal yang menarik
perhatianku ketika petugas bandara mendemonstrasikan standar penumpang selama
penerbangan. Aku melihat wanita penumpang disebelahku begitu memperhatikan sang
petugas dan langsung mengikatkan sabuk pengamannya saat pramugari mencontohkan
cara mengencangkannya.
Sepertinya dia tahu aku sedang memperhatikannya sejak
tadi. Dengan santainya..tiba-tiba wanita ini langsung menjelaskan kalau
penerbangan kali merupakan pengalaman pertamanya naik pesawat. Aku hanya tersenyum dan kemudian mengatakan sangat
bisa memahami karena juga pernah mengalami nervous
serupa. Awal perbincanganku dengan wanita bernama laras ini pun bermula dari sini. Gadis ini berasal dari kebumen dan
orang tuanya asli Purbalingga dimana istriku juga terlahir disana. Ego
kewilayahan pun semakin mengakrabkan perbincangan
setelah aku menceritakan berasal dari Purwokerto/Banyumas dan istriku terlahir
di Purbalingga. Dari perbincangan disepanjang penerbangan itu, terjelaskan
kalau wanita ini ternyata sedang melakukan petualangan. Pesawat adalah jenis
kendaraan yang belum dia naikin selama mengikuti hobbynya travelling. lulusan
sarjana pendidikan dari IKIP PGRI semarang ini ternyata memang terbiasa
melanglang buana dari satu daerah ke daerah lainnya hanya sekedar mencari jawab atas kepenasarannya atas sesuatu.
Bahkan dia rela naik bis mulai jam 10.00 Wib dari Kebumen menuju Jakarta hanya
untuk menyelesaikan misi terakhirnya “naik pesawat”. Tak heran wanita ini cepat akrab
berkomunikasi dengan siapa saja karena memiliki pribadi yang fleksibel dan
supel. Tanpa gengsi, dia pun bertanya padaku bagaimana cara mengambil tas-nya
yang dititipkan dibagasi pesawat. Sesampai di tujuan, dia mengingatkanku untuk
membimbingnya ke tempat pengambilan barang. Akupun bilang “siap” dan kemudian
berjalan bareng menuju tempat pengambilan barang. Tak lama menunggu, satu
persatu barang pun mulai diturunkan transporter
dan akhirnya dia pun mendapati tasnya. Sesudahnya aku pun berpamitan dan
kusampaikan semoga dipertemukan lagi disuatu waktu. “Hati-hati ya mbak dan
semga sukses petualangannya”, ujarku.
Aku pun kemudian mengambil HP dan mencoba menghubungi
panitia penjemputan. Sepertinya panitia masih pulas dengan mimpinya karena
panggilanku hanya dijawab operator yang memberitakan kalau HP sedang tidak
aktif atau berada diluar jangkauan. Hmmmm....keanehan perjalanan ini terjadi
lagi. Tadinya aku berfikir mereka sudah standby
menanti kehadiranku di bandara. “mungkin
aku harus menunggu lebih sabar”, fikirku menghibur diri atas situasi kurang
nyaman ini. Setalah 10 menit menunggu, panitia meneleponku dan mohon maaf kalau
HP nya baru ON. Beliau mengabarkan kalau tim penjemputan sedang dalam perjalanan
menuju bandara. “oke mas....saya tunggu disini ya..mungkin macet sehingga belum sampai
bandara”, ujarku merespon teleponnya. Akhirnya aku pun mencari tempat nyaman
untuk menunggu. Namun, bandara yang sedang dalam renovasi ini membuat tidak
banyak pilihan. Akhirnya aku duduk dilantai dan kebetulan tak jauh dari Laras
yang juga sedang menunggu jemputan saudaranya yang ada dilampung. Akhirnya,
perbincangan pun berlanjut diantara dua penumpang bernasib sama, “menunggu”. Alih-alih menghilangkan bete, kuambil labtop
sekedar merangkai tulisan perjalanan ini dan sesekali mendengarkan celetukan
laras yang juga mulai bete menunggu karena yang menjemput tak kunjung datang. Baru
saja menyelesaikan beberapa paragraf, teleponku berdering. Ternyata panitia sudah sampai bandara dan akupun mohon
izin pada Laras untuk duluan.
Setelah melalui perjalanan dengan waktu tempuh 45 menit,
kami pun tiiba di lokasi. Tidak banyak waktu untuk istrahat, sebab acara
seminar sudah akan dimulai. Sempitnya waktu membuatku hanya sempat mandi dan
berganti pakaian. Sarapan yang disiapkan panitia tidak sempat kulahap. Untung
saja tersedia secangkir teh dan beberapa snack sebagai pengganjal perut yang memang
sedang mengalami lapar berat. Sebagai antisipasi berikutnya, sebelum memasuki
ruang seminar aku sempetkan mengingatkan panitia untuk memastikan ketersediaan tiket
kereta route Jakarta-Purwokerto.
Alhamdulillah, semangat dan keseriusan para mahasiswa/i menyimak
paparan disepanjang seminar membuat rasa lapar terlupakan begitu saja. Satu
sesi selesai dan break 1 (satu) jam tak maximalkan untuk makan, sholat dan
istrahat sejenak. Tak sempatkan mengguyur sekujur tubuh dengan shower sekedar
menawar lelah agar lebih segar saat tampil sesi ke-2 (dua) berkonsep Diklat
(Pendidikan dan Pelatihan). Jam 15.45 Wib Diklat pun selesai dan kemudian
langsung ke kamar bersiap-siap untuk penerbangan pulang jam 18.10 wib. 5 (lima)
menit menjelang keberangkatan menuju bandara, tiba-tiba panitia mohon izin
masuk ke kamar dan mengabarkan kalau mereka tidak berhasil meng-akses
tiket kereta route Jakarta-Purwokerto. Aku terdiam sesaat dan mencoba tenang,
walau senin pagi harus sudah ada di Purwokerto. “Oke deh Mas..mungkin ada hikmah dibalik semua
ini...kita lihat saja nanti apa kataTuhan”, responku dan kemudian
berpamitan pada panitia dan beberapa peserta yang kebetulan berpapasan saat
menuju kendaraan.
Jam 16.35 wib, aku bersama 3 (tiga) panitia bergegas
menuju bandara. Lagi-lagi keadaan diluar dugaan. Jalanan macet dan tak mungkin
menyalip agar lebih cepat. Pilihan yang tersedia hanya pasrah. Aku mendapati
panitia mulai gusar oleh waktu. Sang sopir pun bolak balik melihat jam
ditangannya. Aku tahu mereka merasa tidak enak hati padaku. Aku tahu apa yang
sedang dirasakan mereka, sebab aku pun pernah muda seperti mereka dan pernah menjadi
panitia. Mendapati suasana senyap dalam nuansa
ketegangan itu, aku mencoba menenangkan suasana. Aku katakan, “lakukan
saja yang terbaik dan apakah sampai dibandara tepat waktu atau tidak kita
pasrahkan saja pada ketetapan Tuhan. Kalaupun terburuknya terlambat,
kita cari penerbangan berikutnya. Insya Allah akan selalu ada jalan”.
Mereka agak sedikit terheran dan kemudian bertanya mengapa aku bisa tetap
tenang dalam situasi crowded semacam
ini. Kujawab singkat dengan satu tanya, “memang kalau marah atau berteriak, suasana
berubah?”.
Akhirnya mereka tersenyum membenarkan apa yang barusan ku
katakan. Alhamdulillah, sepertinya situasi berpihak dan kendaraan sudah sampai
di gerbang Bandara Raden Intan, Lampung. Tapi, lagi-lagi terjebak macet di
pintu masuk. Setelah memperhitungkan tak mungkin untuk menunggu, akhirnya aku
berinisiatif turun dafri mobil dan jalan kaki bersama 2 (dua) panitia melewati deretan antrian mobil guna mencapai
ruang check-in lebih cepat sebab
hanya tersisa 15 menit dari jam penerbangan. Hmmm...terulang lagi tercatat
sebagai penumpang terakhir yang. Hanya saja kali ini ada yang berbeda
dibanding saat pemberangkatan tadi pagi. Adanya pengunduran waktu penerbangan
15 menit membuat masih cukup waktu memasang sabuk pinggang pasca melewati pos pemeriksaan terakhir.
Sebenarnya, disepanjang penerbangan aku juga bertemu hikmah luar biasa, namun sengaja
dibuat dalam tulisan tersendiri di blog ini dengan judul IDEALISME DILINGKAR DUNIA MALAM
(http://www.arsadcorner.com/2016/07/idealisme-di-lingkar-dunia-malam.html)
Alhamdulillah, 26 menit penerbangan membawaku kembali
menginjak ibu kota. Masih ada 2 (dua) tanya bernada kekhawatiran; (i) apakah Bus
Damri menuju Gambir masih ada? Dan; (ii) akankah aku berhasil mendapatkan tiket kereta menuju
ke kota mendoan?. Begitu pintu shuttle
bus yang membawa penumpang dari posisi pesawat mendarat ke area bandara,
aku langsung bergegas menelusuri lorong dan langsung menuju penjualan tiket Bus
Damri. Alhmdulillah, kali ini berbeda
dibanding saat pemberangkatan dan aku berhasil memperoleh 1 (aatu) tiket. Tak
lama menunggu, Bus Damri bertuliskan Gambir pun muncuk dan kemudian membawaku
menuju Stasiun Gambir. Perjalanan tergolong lancar walau masih sedikit
deg-degan karena belum tahu apakah dapat tiket kereta atau tidak. Sambil
meinkmati kenyamanan pelayanan Damri, kucoba menghubungi sahabat yang memang
pakar dalam urusan travelling dan ticketting. Beberapa saat kemudian,
beliau memberi angin segar dan mengatakan masih tersisa 63 kursi untuk
pemberangkatan kereta yang Jam 22.15 wib. “Semoga saja tidak diborong orang atau
setidaknya menyisakan satu tiket untukku”, candaku padanya sambil
menghibur diri dan membunuh kegusaran. Begitu Damri tiba di Stasiun Gambir, aku
langsung lari menuju ticket box. Alhamdulillah, aku masih
kebagian jatah tiket. Aku menghela nafas panjang sejenak sambil mengucapkan
puji syukur atas kemurahan dan kasih sayang Tuhan disepanjang perjalanan rumit
ini penuh dinamika ini.
Setelah menyempatkan mengisi perut disela waktu tersisa
sebelum keberangkatan, aku pun memasuki stasiun dan menuju kereta yang akan
membawaku ke Purwokerto. Aku mendapati banyak kursi yang kosong. Kebetulan
disebelah dan kursi di belakangku juga kosong. Dikursi seberang sejajar
denganku, ku dapati seorang ibu muda dengan 2 (dua) anaknya yang mash
kecil-kecil dan tampan. Melihat banyak yang kosong, beliau menanyakan pada
petugas adakah 2 (dua) shaft kursi kosong agar dia lebih anakanya lebih nyaman istrahat. Walau mata ini sudah
sulit diajak kompromi tetep melek, tergerak berinisiatif bertukar kursi dengan
ibu muda satu ini. Aku pun adalah seorang ayah yang punya anak dan mengerti apa
yang diharapkan Ibu tersebut. Aku pun menawarkan tukaran kursi pada ibu muda
satu ini. Dengan penuh semangat dan ucapan terima kasih berulang-ulang, Ibu tersebut
menyambut baik tawaranku. Aku bantu memutar kursi sehingga dsaling berhadapan
dan mempermudah mengontrol tidur anaknya. Sesudahnya aku terlelap dan baru terjaga
oleh alarm HP yang sengaja ku atur 10 menit sebelum kereta tiba di Stasiun Purwokerto
jam 15.35 wib. Tak lama berselang dan memastikan tidak ada yang tertinggal, aku
pun bergegas turun dari kereta. Ku sempatkan berpamitan dengan Ibu sebelah yang
sedang meng-awasi anaknya yang pulas tidur. Kuperoleh informasi Beliau baru
akan turun di stasiun berikutnya, Maos.
Beliau mempersilahkan dan sekali lagi mengucapkan terima kasih.
Sambil menuju pintu keluar stasiun, aku mencoba
menghubungi istri yang sejak keberangkatan kereta menawarkan jemputan.
Ternyata, Istri tercinta baru saja bangun oleh panggilan teleponku dan
menyampaikan permohonan maaf. Suara serak dari nyawa yang belum terkumpul genap
itu menginspirasi maaf dan mendatangkan kesabaran menunggu. Mungkin istriku terlalu lelah setelah
seharian beraktifitas bersama 3 (tiga) jagoan buah cinta kami.
Terima kasih Tuhan atas perjalanan unik ini. Sungguh
melelahkan namun kaya akan hikmah. Semua ini karena perkenan-Mu. Sampainya aku
kembali ke rumah adalah bentuk kemurahan dan nikmat-Mu yang tak terkira. Engkau telah mengajarkan banyak hal sejak
keberangkatan sampai kembali ke rumah. Semoga perjalanan singkat ini menjadikan
satu catatan kebaikan di pandangan-Mu. Amin.
Posting Komentar
.