KETIKA SANG ART MENIKMATI LIBURAN LEBARANNYA
A. Ketika Sang ART Libur
Tulisan
ini terinspirasi saat penulis berinisiatif pada satu pekerjaan yang sudah lama
tak dilakukan, “menyetrika”. Sebenarnya, ini
bukan pekerjaan asing bagi penulis. Apalagi, dulu saat masih SLTA dan
Kuliah penulis pernah jadi anak kost dimana segala sesuatunya harus dikerjakan
sendiri, mulai mencuci pakaian, mencuci piring dan juga menyetrika. Mungkin
agak sedikit berbeda dengan anak kos kebanyakan di zaman sekarang ini dimana laundry
bejibun dan tinggal anter, bayar dan kemudian tampil keren kembali. Sepertinya
“rasa
malas” berikut “ketersediaan uang cukup” mendorong
cara fikir mengapa harus repot cuci sendiri.
Bahkan saat anak muda saat ini diceritain tentang keprihatinan-keprihatinan
saat jadi anak kost, sebagian mereka langusng menyambar” itu kan dulu
ma/pa...sekarang zaman dah beda..teknologi sudah canggih”. Moga aja tak ada
yang berani nyeletuk “salahnya bapak/ibu lahirnya dulu”. Namun, tak jarang
sebagian mereka beralasan dengan laundry
bisa memanfaatkan waktu yang tadinya untuk mencusi pakaian kemudian dialihkan
untuk kegiatan lainnya yang lebih produktif.
Kembali
ke tema awal tentang menyetrika. Saat mengambil satu per satu dari tumpukan
pakaian yang sudah kering, penulis tersenyum dan sesaat merasa dipaksa keadaan untuk
men-sabotase pekerjaan yang biasa dilakukan oleh Sang Asisten Ruma Tangga
(ART). Penulis sengaja dan secara sadar tak
menggunakan istilah “pembokat atau pembantu”, sebab penggunaan
istilah itu mendatangkan perasaan tak nyaman dan terkesan merendahkan profesi
hebat yang satu ini. Bagaimana tidak hebat, fakta menunjukkan liburnya
sang ART telah mengubah iklim keseharian rumah. Kalau biasanya bisa menikmati
serangkaian menu channel TV, namun saat Sang ART libur seperti masa lebaran
seperti ini sebentar-sebentar harus ke pojok tempat cuci piring, sebab
penundaan bermakna penumpukan. Disamping itu, keadaan juga mendorong untuk
lebih bersahabat dengan sapu dan pakaian-pakaian kotor serta mesin cuci.
Liburnya
Sang ART memang begitu merepotkan seisi rumah. Tapi menarik menjadikannya
sebagai bahan kontemplasi yang semoga berujung bijak bagi penulis dan juga
pembaca setia www.arsadcorner.com. Liburnya
ART menjadi pengingat betapa hebat sesungguhnya peran mereka dalam keseharian sebuah
keluarga. Mereka memainkan peran penting yang kadang baru disadari saat mereka tidak
ada atau sedang pulang kampung. Mereka tidak saja telah mengerjakan
pekerjaan-pekerjaan rumah tangga di lingkar dapur,sumur, lantai dan halaman
rumah, tetapi juga telah menjadi bagian dari proses pertumbuhan anak-anak. Hal
ini lebih nyata pada suami istri yang dua-duanya bekerja, hampir bisa
dipastikan anak-anak tumbuh dalam asuhan ART. Bahkan bukan hal mengherankan
banyak anak-anak lebih dekat dan mungkin lebih nurut pada ART ketimbang orang
tuanya sendiri. Hal ini dikarenakan “perhatian tulus” dan “kesabaran
yang seolah tak berhujung”yang diberikan sang ART di keseharian mulai
sang anak bangun tidur sampai tidur kembali. Dalam situasi semacam ini, tidak berlebihan berkesimpulan bahwa ART memiliki
pengaruh signifikan dalam keterbentukan kualitas sebuah generasi.
Liburnya
Sang ART mungkin mendatangkan lelah tersendiri bagi orang tua, baik mereka yang
punya anak kecil maupun mereka yang kebetulan punya anak-anak yang usianya
sedang beranjak remaja. Oleh karena itu, tidak mengherankan kalau banyak orang
tua menjadi sedikit pemarah karena disibukkan pekerjaan-pekerjaan rumah
yang ditinggalkan
sementara oleh Sang ART. Dalam
situasi semacam ini, pilihan terbijak adalah menikmati dan akan jauh lebih baik
mencari hikmahnya.
Sambil
terus menyelesaikan setrikaan yang tingggal setengah, penulis mencoba membnagun
senyum dan sekaligus mencari hikmah sehingga terbangun pembacaan yang lebij dan
menyemangati. Dari pemikiran sambilan yang dilakukan pagi menjelang siang itu,
tertemukan beberapa hikmah yang bersifat general, antara lain :
1.
Repot yang dirasakan karena liburnya
Sang ART layak menjadi inspirasi dalam menakar ulang kelayakan apresiasi
dan juga reward yang diberikan kepada mereka. Artinya, munculnya kesadaran
beratapa besar dan signifikan-nya peran mereka menjadi pemantik efektif
munculnya kebijaksanaan berbagi lebih secara materi dan atau berbagi
perhatian dan peningkatan apresiasi.
2.
Inspirasi untuk memposisikan mereka ke
level persaudaraan ketimbang selalu
menempatkan mereka di golongan bawah yang terpinggirkan dalam semua suasana.
Pendekatan ini sepertinya lebih menjanjikan lompatan keikhlasan dan ketulusan serta
kinerja Sang ART.
3.
Ketiadakhadiran sementara Sang ART merupakan momen uji soliditas
sebuah keluarga. Bagi keluarga yang terbiasa berbagi peran, mungkin kondisi ini
tidak terlalu mengkhawatirkan. Namun, bagi anggota keluarga yang biasanya “tau
beres”, kesempatan ini menjadi baik untuk menumbuhkembangkan semangat
gotong royong dimana didalamnya terjadi distribusi peran dalam mengerjakan
seluruh pekerjaan rumah.
4.
Momentum Transfer nilai-nilai
kebijaksanaan kepada anak yang berimbas Liburnya
Sang ART juga merupakan momentum untuk men-transfer nilai-nilai kebijakan
kepada anak-anak, seperti bagaimana susahnya menyapu, membersihkan rumah,
mencuci piring, mencuci pakaian dan atau menyetrika. Memahamkan hal-hal semacam
ini diharapkan bisa melahirkan empati yang berpengaruh positif pada
pertumbuhan karakter anak. Lewat transfer nilai-nilai kebijaksanaan semacam
ini, dalam diri mereka akan terbangun pembacaan dan apresiasi yang berbeda
kepada Sang ART di berikutnya. Mereka akan lebih bijak dalam meminta tolong kala
butuh sesuatu kepada Sang ART.
5.
dan lain sebagainya
B. Kerisauan Ketika Tak Balik Lagi
Lebaran
sudah usai walau Bulan Syawal itu berumur 29 hari. Mungkin sebagian saat ini
sudah balik dari dari kampung masing-masing dan kembali pada aktivitas normal
sebagaimana sebelumnya. Semoga semua berkumpul kembali dengan selamat dan riang
gembira, termasuk Sang ART. Namun demikian, kemarin beberapa temen mulai
gelisah sebab sebagian dari ART mereka memilih tidak kembali lagi dengan
berbagai alasan, mulai dari mau istrahat, lebih lama di kampung, mau nikah, mau
pindah profesi dan lain sebagainya. Atas keluhan-keluhan bernada serupa itu,
penulis memberi reaksi bernada canda walau berbau kontemplasi dimana “seringnya gonta ganti ART merupakan salah satu indikator karakter dan
buruknya kualitas komunikasi segenap penghuni keluarga”. Sebagian dari
mereka hanya tersenyum walau beberapa orang yang memiliki kebesaran jiwa
meng-amini kalimat itu.
Yang
jelas, tidak kembalinya Sang ART pasti sangat memusingkan apalagi mencari
pengganti bukanlah urusan sederhana.
Kalaupun berhasil menemukan pengganti, tentu masih diliputi tanya besar apakah
akan
cocok atau tidak dengan situasi keseharian dan karakter segenap
penghuni di rumah. Kekhawatiran semacam
ini merupakan bentuk kejujuran bahwa berurusan dengan Sang ART bukanlah perkara
mudah dan bahkan jauh lebih sulit dibanding saat berurusan dengan staff atau
rekan kerja di kantor. Apalagi, rata-rata insan yang memilih profesi ART
berpendidikan rendah sehingga memerlukan pendekatan yang unik dan kesabaran
tersendiri agar menemukan titik matching nya.
C. Penghujung
Tulisan
ini hanyalah sebentuk kontemplasi pribadi penulis dengan harapan bisa
menginspirasi diri sendiri dan juga para pembaca setiar www.arsadcorner.com . Masing-masing orang tentu memiliki sudut pandang sendiri
tentang ART, namun penulis mengajak untuk sama-sama belajar dalam memandang
profesi mulia bertajuk “ART” kedalam penilaian yang lebih bijak. Mereka juga
ingin dihormati sebagaimana insan lainnya tidak ingin direndahkan.
Semoga
1 (satu) Bulan Puasa Ramadan dan Semangat Idul Fitri membimbing kita kedalam
tindakan-tindakan yang tidak saja menjadikan lebih mulia dipandangan Sang
Pencipta, tetapi juga bisa meng-insprasi insan-insan lainnya untuk berlaku sama
dan menempatkan Sang ART menjadi bagian dari satu keluarga sehingga serasa tak
berjarak dan sangat mendamaikan.
Purwokerto,
Juli 2016
Tumpukan
Setrikaan Yang Meng-Inspirasi............
Posting Komentar
.