RE-SOLUSI 2016 : IMPERIUM
KEMANUSIAAN?
Tak terasa 2015 sampai di penghujung dan esok tanggalan
2016 mulai diberlakukan. Penjual terompet pun sudah berjejer di sepanjang pinggiran
jalan. Terusik celetukan anak pertamaku seolah meng-claim muasal
ide trompet itu terinspirasi dari salah satu tanda kiamat dimana sangkakala
ditiupkan. Apalagi celetukan itu diakhiri dengan tanya bernada gugatan..emang dunia udah mau kiamat?. Aku hanya bisa
tersenyum dan tak lama kemudian berpamitan ke kantor untuk menjalankan
aktivitas.
2015 akan berlalu dan kontemplasi seputar hal apa
saja yang telah ku lakukan disepanjang 2015 berujung tanya dengan “seberapa jauh makna
diri?”. Terusik menilik capaian dan tampaknya berujung dengan
kalimat “masih jauh dari mimpi
sesungguhnya” sekalipun kesimpulan
ini bukan bermakna kurangnya rasa syukur atas segala rahmat, hidayah dan
kemurahan-Nya. Setidaknya, perasaan “masih jauh”
meng-inspirasi energi untuk melanjutkan sampai ke-titik terakhir dimana hak
untuk bernafas, berfikir dan melangkah dicukupkan Sang Khalik. “Masih jauh”
juga menjadi stimulan untuk melakukan auto koreksi hingga tertemukan apa-apa yang
harus diperbaiki demi hasil yang lebih baik. “Masih Jauh”....kemudian
melahirkan satu tanya besar tentang keberpihakan Tuhan atas segala upaya yang
sudah ditasbihkan dengan sekuat tenaga. Adakah hal ini berkaitan dengan kedekatan
yang masih labil pada kalam2 Nya?. Entahlah..yang jelas pelibatan tanya tentang
“keberpihakan Tuhan” sebagai wujud penghambaan yang serendah-rendahnya dan sekaligus
bentuk ikrar keimanan bahwa sesungguhnya Dia-lah yang Maha Kuasa dan meyakini senantiasa
menyajikan yang terbaik untuk hamba yang di cintai-Nya. Tetapi, satu pertanyaan
lagi muncul kemudian “apakah diri ini
sudah tergolong insan yang di cintai Tuhan?”. Lagi-lagi berujung
jawab “entah...lah”. Setidaknya “entah..lah” merupakan wujud semangat untuk
lebih keras lagi dalam berusaha mendekat pada-Nya. Akhirnya, kontemplasi di penghujung
2015 berujung dengan penegasan bahwa “niat baik, optimalisasi
energi, pendayagunaan akal dan perbuatan yang sungguh-sungguh”
hanyalah sebentuk upaya sebagai seorang hamba
dan tentang “hasil akhir”
sepenuhnya menjadi urusan-Nya. Di kepasrahan sedalam ini, asa tetap mengemuka
dalam semangat serupa dan membangun pemaknaan kebelumsempurnaan capaian sebagai bukti nyata tentang dahsyatnya
pengaruh Tuhan. Dalam fikiran positif yang terjaga, ku coba membanguk kesabaran
dan menghibur diri dengan mengingat bahwa “Tuhan lebih tahu apa
sesungguhnya yang dibutuhkan hamba-Nya”. Artinya, asa yang
berjarak dengan realitas bukanlah pembenar untuk mengutuk dan atau berhenti
berupaya, tetapi media untuk lebih mendekat pada-Nya.
2016 akan tiba dalam hitungan sekejap, setidaknya
demikian berdasarkan pembatasan tahun yang entah siapa dan untuk apa
didefenisikan. Sepertinya sudah menjadi kebiasaan, pergantian tahun dijadikan media
untuk me-refresh spirit diikuti serangkaian rencana yang kemudian di-cover dalam satu judul “resolusi”.
Kalau begitu kebiasaannya, apa yang menjadi re-solusiku?.
Lagi-lagi “entah..lah”.....Yang jelas, perjalanan dan perjuangan panjang hidup
ini memberikan pertegasan bahwa hidup bagaikan rangkaian puzzle dimana titik matching bisa
ditemukan oleh kebenaran atau kecanggihan akal dan tak jarang oleh satu keadaan
yang tidak terduga sama sekali. Tetapi, bijak kah menempatkan akal
di belakang dan kemudian sepenuhnya bersandar pada faktor kebetulan?. Kalau sudah
sampai di titik ini, ilmu tauhid pasti menjadi pemandu terbaik dalam mengurainya.
Teringat beberapa hari lalu dalam sebuah diskusi informal
seputar realitas sosial. Saat itu terlontar satu kalimat dari bibirku, yaitu “imperium kemanusiaan”. Tiba2 saja kalimat
itu seperti memiliki nilai magis tinggi yang membuatku jatuh cinta. Sesaat
kemudian, tiba2 pula terbangun keyakinan kalau IK (Imperium
Kemanusiaan) itu seolah menjadi tempat dan sekaligus obat manjur atas ragam
realitas dan persoalan sosial yang menyesakkan dada dan akal sehat.
Krentek pun meng-energi untuk kemudian mendeskripsikannya
IK (Imperium
Kemanusiaan) sebagai simbol hidup penuh ketentraman dan kedamaian dimana
didalamnya selalu berlangsung interaksi kesetaraan tanpa kasta; orang2 memaknai
kepemilikan kebendaan sebagai kesempatan untuk berbuat lebih banyak bagi sesama;
orang2 pintar terpanggil men-share
kecerdasannya untuk mencerahkan hidup sekelilingnya; orang2 yang dibenaknya
selalu mengemuka tanya “masihkah ada yang
lapar diluar sana” setiap kali duduk dan berhadapan dengan ragam menu
berselera di meja makannya; orang2 lebih suka memilih saling menjaga dan
melindungi ketimbang saling melukai dan atau saling meniadakan; orang2
beinteraksi atas dasar nurani dan membahasakan setiap kepentingan dalam kalimat
santun menyejukkan dan mendatangkan kerelaan satu sama lain; setiap orang percaya
diri untuk ber-cita-cita karena lingkungan selalu meng-apresiasi setiap kreasi,
inovasi dan segala inisiasi sesederhana apapun itu; orang2 miskin tidak
memandang keadaannya sebagai bentuk ketidak-adilan Tuhan atau memaki kenyataan,
tetapi justru menjadikannya inspirasi membangun
kebesaran jiwa dan men-stimulan spirit untuk belajar dan bekerja lebih giat
lagi; ; orang2 lebih menyukai sesuatu yang didalamnya mengandung ke-kita-an
ketimbang ber-selfie riya untuk sekedar menegaskan ke-aku-an nya; orang2 akan
lebih dihargai bukan karena harta atau kedudukannya tetapi karena kepeduliannya
yang tak berbatas dan tidak mengenal waktu; dan lain sebagainya
Akhhh.. utopis...mungkin
itu reaksi pertama para orang hebat yang sedang larut dan hanyut di kesuksesan
atau kebesarannya. Bahkan bukan tidak mungkin mencibir dan memilih
mempersalahkan kaum miskin nan bodoh mengapa tidak berusaha keras dan cerdas
seperti yang dia lakukan hingga sampai di ketinggian. Namun, kurang bijak
meng-kodifikasi orang2 ini egois karena paradigma persaingan seolah membenarkan
“hanya yang hebat yang
berhasil dan berhak atas kesuksesan”. Nalar ini pula yang
mungkin telah menggiring manusia untuk saling mengalahkan dan kemudian merasa
berhak penuh atas segala capaiannya.
Sepertinya...IK hanya bisa
difahami dan dihayati kalau dalam diri terbangun paradigma kepedulian. IK hanya mungkin
dibicarakan pada orang yang merasa berdosa atau terpanggil kala menyaksikan
atau mendengar penderitaan di sekitarnya. IK hanya bisa di
dengungkan pada yang memaknai hidup sebagai kesempatan membangun rekam jejak
kebaikan yang menginspirasi. IK hanya bisa diperdengarkan
pada yang merasa “berbuat baik adalah kebutuhan”. Tetapi tak
bijak untuk men-judgment siapapun
sebagai pribadi yang tidak peduli, sebab bisa saja mereka abai karena tidak ada
yang pernah mengingatkannya.
Adalah sebuah kebahagiaan tak ternilai kala melakukan
sesuatu yang membuat orang merasa
memiliki harapan dan kemudian menjadi optimis menatap hari esok. Juga merupakan
sebentuk kebijaksanaan ketika si miskin tidak merasa sendirian lagi karena
selalu ditemanin si kaya dalam mengentaskan kemiskinannya dan si bodoh pun merasa terbimbing oleh orang pintar dalam
memerangi kebodohannya. Juga bukanlah hal buruk ketika sistem kerja tidak
melahirkan tekanan kepada pekerjanya, tetapi justru menginspirasi kesadaran untuk berbuat yang lebih baik dari sebelumnya. Adalah bagai mukjizat kala
cita-cita atau gagasan menemukan jalan lewat hadirnya kepedulian disaat
sedang sangat membutuhkannya.
Every body should be happy....walau kebahagiaan
tidak datang dengan sendirinya. Tetapi menarik ketika spirit IK mendorong
setiap orang untuk saling membimbing, berbagi dan peduli dalam menalar bagaimana
kebahagiaan itu bisa hadir kedalam hidup setiap orang.
Akankah membangun “Imperium Kemanusiaan” menjadi inspirasi dalam memasuki tahun 2016?. Dalam keinginan kuat untuk belajar menjadi diri lebih baik dan bermakna bagi sesama, terfikir dan tergoda untuk mendefenisikannya sebagai re-solusi di 2016. akan KAH?.
31 Desember 2015
Kontemplasi dipenghujung
+ komentar + 2 komentar
manthabz luar biasa bang....so inspired...sangat menohok...tatkala jiwa dan raga ini terasa masih jauh dari di cintai tuhan....
Keren artikelnya
Posting Komentar
.