MEN-SOAL POSISI “GURU” DALAM PANDANGAN ORANG TUA SISWA/I | ARSAD CORNER

MEN-SOAL POSISI “GURU” DALAM PANDANGAN ORANG TUA SISWA/I

Kamis, 20 Agustus 20150 komentar



MEN-SOAL POSISI “GURU”
DALAM PANDANGAN ORANG TUA SISWA/I

Alhamdulillah artikel ini masuk dalam majalah AZKIYAH edisi Agustus 2015, sebuah majalah sekolah Yayasan Al-Irsyad Purwokerto yang menaungi sekolah Paud Al-Irsyad Purwokerto, TK Al-Irsyad Purwokerto, SD Al-Irsyad 01 Purwokerto, SD Al-Irsyad 02 Purwokerto, SMP Al-Irsyad dan SMA IT Al-Irsyad Purwokerto. Siapa tahu bisa menginspirasi kebaikan bagi segenap sahabat pembaca, penulis kemudian menyajikan artikel ini dalam blog.  

A.  Riak di kala liburan tiba
Teringat tawa kecil saat membaca status seorang ibu di salah satu media sosial, yang intinya berisi keluhan setiap putera/i nya mulai memasuki masa liburan sekolah. Kebetulan, Ibu yang satu ini memiliki 1 (satu) orang puteri yang  bersekolah di SD Al Irsyad Al Islamiyah 02 Purwokerto. Berselang beberapa hari masih dalam sesi liburan, beberapa orang tua pun mengunggah status bernada serupa, lagi-lagi tentang repotnya saat putera/i nya libur sekolah. Ternyata, nada serupa juga menjadi tema saat para orang tua itu becengkrama di lingkungan kerja. Bahkan, ada yang kemudian berharap liburan sekolah tidak pernah ada, karena secara keuangan keluarga menjadi lebih boros. Keluhan terakhir ini sangat bisa difahami, apalagi dalam mindset kebanyakan anak-anak bahwa liburan sekolah itu adalah kesempatan untuk jalan-jalan ke luar kota, bermain di tempat-tempat wisata terkenal, berkunjung ke tempat saudara dan lain sebagainya yang kesemuanya tentu menyebabkan pengeluaran keuangan keluarga meningkat tajam. Fakta lain yang menguatkan adalah seringnya para karyawan swasta atau PNS berebut ambil cuti di masa liburan anak sekolah.

Adakah hal ini dirasakan sebagian besar orang tua yang memiliki putera/i masih dalam usia sekolah?. Mungkin kurang bijak untuk menyimpulkan bahwa semua orang tua memiliki keluhan serupa. Namun, beberapa celetukan bertema sama itu telah menginspirasi lahirnya tulisan sederhana ini, dengan harapan bisa memantik untuk sekejap berkontemplasi tentang peran guru dalam stabilitas iklim sebuah keluarga dalam makna luas.

Mungkin, saat anak-anak bersekolah, ritme dalam sebuah keluarga tergiring pada pola yang cenderung stabil. Setelah sarapan pagi, bergegas mengantar anak sekolah dan sebagian orang tua yang bekerja sekaligus melanjutkan perjalanan menuju tempat kerja. Saat pulang kerja, biasanya sekalian mampir menjemput putera/i nya di sekolah. Sore harinya semua anggota keluarga berkumpul di rumah. Siklus demikian terus berulang sepanjang masa sekolah anak-anak berlangsung.

Namun demikian, siklus semacam ini beberapa minggu tak berlaku kala putera/i nya memasuki masa libur sekolah. Bagi keluarga yang kebetulan hanya ayahnya yang bekerja, kondisi ini tidak begitu mengkhawatirkan sebab masih ada istri di rumah yang mengawasi keseharian putera/i nya. Hanya saja, para ibu rumah tangga pasti menjadi lebih repot saat masa liburan itu datang. Namun, hal sangat berbeda akan didapati ketika istrinya pun kebetulan bekerja. Kekhawatiran pun mulai muncul dan ketidaktenangan di tempat kerja pun tak bisa di elakkan. Ragam tanya muncul di kepala saat jam kerja berlangsung, Fikiran menjadi tidak fokus dan cenderung mengkhawatirkan tentang anak-anak di rumah. Akibatnya, tak jarang  para orang tua bergantian mengambil cuti agar ketenangan bisa di rasakan. Persoalan muncul lagi tatakala anak-anak mulai bosan di rumah dan mulai membisikkan keinginan untuk jalan-jalan keluar kota, mengunjungi tempat wisata dan atau berlibur di tempat sanak saudara. Pernik-pernik semacam ini sepertinya hampir mewarnai kehidupan sebuah keluarga saat liburan tiba. Oleh karena itu, rata-rata orang tua sangat mendukung kala sekolah meng-agendakan liburan panjang dengan kegiatan-kegiatan out bond, pesantran kilat dan aktivitas sejenis lainnya.


B.  Sekilas Memakna Peran Sekolah dan Guru
Sekolah adalah institusi yang fokus aktivitas nya menyelenggarakan pendidikan terhada segenap peserta didik, baik berkaitan dengan ilmu pengetahuan dan keterampilan maupun pendidikan karakter. Intinya, sekolah adalah tempat dimana segenap  siswa/i di tempa agar memiliki kapasitas diri mumpuni yang kemudian menjadi modal penting untuk meraih masa depan yang cerah, berinteraksi di tengah kehidupan masyarakat yang plural dan juga membangun keyakinan tentang perlunya  mendekatkan diri pada Allah SWT. Akan tetapi, kala merujuk pada keluhan sebagian orang tua di sub bahasan sebelumnya, ternyata sekolah bukan hanya tempat menyekolahkan anak, tetapi tenpa disadari  telah menjadi tempat penitipan anak sehingga orang tua memiliki waktu cukup untuk bekerja guna memenuhi kebutuhan keluarga dan mengembangkan berbagai mimpi tentang sebuah hidup. Bukti sederhananya adalah munculnya keresahan setiap kali liburan sekolah saat dimana anak-anak tidak ada yang mengawasinya di rumah . Makna baru lainnya  pun akan tertemukan lagi ketika kesadaran vertikal muncuk dimana anak adalah sebentuk amanah dari Allah SWT yang juga menjadi bagian yang harus dipertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT di yaumil akhir nanti. Dalam tinjauan ini, sekolah telah menjadi partner strategis orang tua dalam menyelesaikan tanggungjawabnya di hadapan Sang Khalik. Dalam tinjauan yang sama pula, anak adalah yang akan menjadi salah satu penolong saat hidup didunia di cukupkan oleh Allah melalui do’a-di’a mereka. Dalam hal ini, sekolah pun telah menjadi bagian penting yang menyiapkan perserta didiknya menjadi anak yang sholeh/ah yang senantiasa melantunkan do’a untuk orang tuanya. 

Terbayang betapa lelahnya menjadi seorang Ustadz/Ustadzah yang setiap hari disibukkan dengan karakter siswa/i beragam. Target yang dibebankan tidak terbatas tersampaikannya ragam mata pelajaran, tetapi juga harus bisa di mengerti dan difahami oleh segenap siswa/i. Belum lagi, kala salah satu atau beberapa siswa sedang ngadat, Ustadz/Ustadzah pun harus mengeluarkan ratusan jurus agar siswa/i tersebut mau masuk ke dalam kelas dan mengikuti pelajaran sebagaimana seharusnya. Tidak hanya sampai di situ, kala semua siswa/i sudah masuk dalam kelas, bukan berarti iklim pasti kondusif. Beberapa siswa/i terkadang suka menggoda temennya sehingga mengganggu khidmadnya proses pemelajaran. Hal ini pun memaksa para Ustadz/Ustadzah memeras orak agar iklim belajar kembali normal. Mungkin, tidak berlebihan kalau acungan jempol disematkan kepada para Ustadz/Ustadzah yang memiliki kesabaran kebijaksanaan dan tidak mengenal kata menyerah untuk terus mencerdaskan siswa/i nya. Wajar pula kalau kemudian peribahasa memposisikan guru sebagai pahlawan tanpa tanda jasa.   

Kurang bijak rasanya kalau kemudian peran ini hanya dibebankan sepihak kepada sekolah lewat para ustadz/ustadzah yang berupaya keras dan tak kenal lelah. Para orang tuapun harus mengambil inisiatif sehingga tercipta situasi saling mendukung. Hal ini pun dipastikan akan meningkatkan efektivitas pembentukan kapasitas dan karakter seorang anak. Kemampuan yang dititipkan Allah SWT untuk memenuhi segala persyaratan administratif berseragam Al Irsyad tidaklah cukup menjadi alasan pembenar untuk kemudian memasrahkan sepenuhnya tanpa inisiatif dan daya dukung nyata orang tua terhadap kesukesan proses pemelajaran di sekolah. Adalah benar kalau keseharian orang tua juga telah disibukkan dengan aktivitas rutin demi keterpenuhan ragam kebutuhan keluarga. Namun hal itu pun bukan alasan untuk kemudian cuek dan mencukupkan partisipasi sebatas memenuhi kewajiban kepada sekolah. Anak-anak itu juga perlu disemangati hingga lebih berenerdi saat memasuki arena sekolah. Anak-anak itu juga perlu di kontrol perkembangannya sehingga tahu apa yang harus di bantu agar sang anak lebih bisa mengikuti segala proses pemelajaran di sekolah. Anak itu juga perlu diapresiasi orang tuanya tiap kali memperoleh nilai bagus dan atau berhasil membuat karya. Anak itu juga perlu di dengar suara hatinya, perlu diberi tepuk tangan saat dia memperontonkan kebisaannya dengan bangga. Anak itu juga perlu di besarkan jiwanya dikala sedang kurang beruntung saat ujian. Satu hal yang pantas di catat, orang tua lah sesungguhnya yang paling kenal karakter seorang anak. Orang tua pula lah yang seharusnya lebih mengetahui cara terbaik untuk menyemangati dan memberi motivasi kepada anak agar lebih berprestasi.       



C.  Penghujung Menggiring Ke Kebijaksanaan
Secara egois mungkin hal ini tak perlu di buat rumit dengan cukup mengutarakan satu kalimat tanya, “bukankah persoalan pendidikan memang tugas yang melekat pada seorang guru?”. Kalimat itu memang betul dan tidak ada yang bisa membantah kebenarannya. Mungkin ada baiknya sekejap mengingat seberapa sering diantara para orang tua terpancing emosi kala di rumah terjadi perselisihan antara seorang anak dengan adik atau kakaknya. Juga berapa perlu di ingat berapa kali terjebak dalam khilaf  saat sang anak berulah dan tetap berulah serupa walau sudah dinasehati berkali-kali. Sekarang coba dibayangkan bagaimana seorang Ustadz/Ustadzah yang setiap harinya berhadapan dengan minimal 30 siswa/i dengan karakter yang berbeda-beda. Tentu mejalankan peran sebagai Ustadz/Ustadzah itu sangat tidak mudah. Bisa dibayangkan bagaimana sulitnya mengheningkan suasana kelas agar kondusif untuk proses belajar mengajar (pemelajaran) , betapa perlunya ragam akal untuk membuat seisi kelas fokus pada apa yang dijelaskan oleh Ustadz/Ustadzah, betapa sulitnya saat diantara siswa terjadi perselisihan faham yang tak jarang tergiring ke aksi adu mulut dan bahkan fisik. Dengan penuh kesabaran dan kebijaksanaan, ustadz/ustadzah terus berupaya untuk selalu mencerdaskan segenap anak didiknya. Apapun kondisinya, apapun keadaannya dan bahkan saat ustadz/ustadzh juga harus berfikir tentang dinamika  kehidupan dirinya dan keluarganya sendiri, keadaan  selalu menuntut mereka untuk tetap konsisten berdiri tegak sebagai seorang pendidik dan juga motivator. Dalam benak Ustadz/ustadzah pun tidak mengenal kata jera, mutung, marah dan atau benci terhadap  siswa/i nya.  Bahkan mereka harus tetap tersenyum, berada dikebijakan dan terus menyemangati saat mendapati anak didiknya sedang bad mood, galau, tidak bersemangat dan ogah-ogahan dalam mengikuti pelajaran. Mereka selalu melakukannya dengan sepenuh hati dan ketulusan yang senantiasa terjaga.

Atas dasar itu, sesungguhnya kurang bijak kala para orang tua menyerahkan segala sesuatunya kepada para Ustadz/Ustadzah. Diperlukan kerja sama dan komunikasi intensif antara para orang tua dan para Ustadz/Ustadzah sehingga lebih mudah memahami karakter siswa/i nya dan lebih gampang merumuskan “cara terbaik” untuk mendidik para siswa/inya. Bukankah orang tua adalah palang pintu pertama proses pendidikan terhadap seorang anak itu bermula?. Bukankah rumah adalah tempat pertama kali seorang anak mendapat asupan pendidikan dalam arti luas?. Oleh karena itu, kesesuaian pola sangat diperlukan hingga mewujud efektivitas dalam membentuk pengetahuan, wawasan dan karakter seorang anak. Singkat kalimat, pendidikan memerlukan sinergitas antara orang tua dan Ustadz/Ustadzah. Karena pada akhinya, anak dan orang tua juga yang akan mendapat paling banyak manfaat dari proses pendidikan yang di selenggarakan oleh sekolah.

Sebagai pengingat dan bahan perenungan bersama, para ustadz/Ustadzah telah menjadi bagian penting dari proses perkembangan anak. Mereka telah berbuat banyak hal dan menjadi bagian penting penentu kualitas anak-anak. Kalau sang anak adalah menjadi sumber bahagia, maka secara tidak langsung peran Ustadz/Ustadzah begitu besar dalam mempengaruhi kebahagiaan sebuah keluarga,

Semoga pengingat dalam bentuk tulisan sederhana ini membentuk atau meningkatkan kebijaksanaan berpandangan, bersikap dan sekaligus memposisikan “para Ustadz/Ustadzah” dalam mindset para orang tua segenap peserta didik.
Amin Ya Robbal ‘Alamin.       
Share this article :

Posting Komentar

.

 
Copyright © 2015. ARSAD CORNER - All Rights Reserved