Ruang Sakral Itu Bernama IGD
Kegetiran Suasana...
Jeritan memekakkan telinga memecah suasana hening beberapa detik sebelumnya pertanda
tegas bahwa ada berita kesedihan yang datang dari petugas berseragam. Disebagian
lagi dari kelompok sama, air mata mengalir deras dalam kebisuan setelah mengetahui keadaan yang tak mungkin di
tolak itu.
Satu jeritan belum berhenti...jeritan berikutnya pecah di sudut yang lain
dan terlihat petugas berseragam putih mencoba membantu menenangkan anggota
keluarga dari salah satu pasien. Meronta seolah tidak terima, menjerit sekeras-kerasnya,
menangis sedu dan kemudian terdiam dalam pingsan. Ah...sungguh keadaan penuh
kecamuk dan membuat tak kuat berdiri dalam kenormalan bersikap dan berpandangan.
Kesedihan selalu meliputi keseharian ruang ini. Wajah-wajah murung, tidak siap,
shock, penuh kekhawatiran dan bahkan sebagian
memendam amarah dan kecewa, menjadi suasana yang akrab tampak dibarisan ruang
tunggu. Wajah-wajah cemas, berjalan cepat setengah berlari menuju petugas informasi
hampir selalu terlihat dari mereka yang datang tergopo-gopo ke area sakral ini.
Mereka ingin mengetahui bagaimana keadaan orang-orang yang mereka sayangi atau
cintai. Sebagian, ada yang tampak tenang
dan terbenam dalam gerak bibir tak bersuara sepertinya sedang melantunkan do’a
dan berharap sebuah kemukjzatan dari Sang Pencipta.
Wajah tegang itu kemudian seketika bisa berubah menjadi senyum kala petugas
mengabarkan adanya harapan hidup sehingga mematahkan bayangan buruk yang
memenuhi fikiran sejak pertama kali terhubung dan harus berurusan dengan ruang
sakral ini. Namun, wajah-wajah tegang itu pun tak jarang pecah menjadi tangis
dan jeritan kala petugas dengan sangat hati-hati dan menggunakan intonasi
rendah mengabarkan kondisi buruk dan tak tertolong. Ohhh...munculnya petugas
seolah menjadi perwakilan Tuhan untuk mengabarkan sebuah nasib yang baik dan
atau buruk.
Jeritan-jeritan itu sungguh menyayat hati. Erangan kegalauan atas keadaan
mendadak menunjukkan kekagetan mendapati orang yang disayangi terbujur di
dipan. Mungkin saja mereka baru bersenda gurau dipagi hari, tetapi telah
mendapati orang yang disayanginya berlumur darah dan terbaring lengkap dengan
infus. Belum hilang sisa lucu dari humor yang dilontarkan saat makan siang bersama,
beberapa jam kemudian sudah membujur sesosok tubuh dalam keranda. Shock..tak
percaya..tetapi itulah kenyataannya.
Rancang bangun mewah ruangan ini seperti tak berpengaruh mengurangi kesedihan
mendalam yang sedang menerpa. Mereka kalap...remuk redam bathin atas kepergian
orang yang mereka sayangi telah membawa mereka pada suasana ketiadaan harapan. Keramahan
petugas dan upaya maksimal yang telah dilakukan tak bisa berfungsi sebagai
pengurang kesedihan atau pembangun kesadaran bahwa semua sudah menjadi
takdir-Nya. Bahkan, tak jarang mereka menjerit sambil memukul-mukul petugas
yang sedang membantu menenangkan diri. Semua berlangsung di luar kesadaran
mereka. Kesedihan telah memupus akal sehat sementara waktu... hingga puncak lelah
menjadi sumber membangun kesadaran bahwa yang telah terjadi tidak mungkin
kembali.
Sekelumit Tanya..
Memang tak mudah tenang dalam keadaan sangat mengkhawatirkan dan mencekam.
Apalagi di saat orang-orang yang dicintai sedang terancam hidupnya karena satu
derita berkepanjangan atau tragedi yang terjadi tiba-tiba. Perasaan sayang dan cinta
pasti melahirkan rasa takut kehilangan teramat sangat. Sisi melankolis
seringkali menge-nol kan kemampuan otak kiri dari kenormalan berfikir.
Terbersit tanya mental apa yang dimiliki atau dilatihkan kepada para
petugas hingga mereka bisa berfikir tenang saat menangani pasien dengan ragam
keadaan yang mengenaskan. Bagaimana simbah darah memenuhi tubuh-tubuh pasien
yang mengalami kecelakaan. Di saat yang sama, mereka harus tenang dan mengambil
tindakan media yang tepat dan menentukan hal terbaik bagi sang pasien. Belum
lagi suara-suara gaduh dari pasien yang tak jarang mengerang dalam luka yang
menganga sering terjadi saat bius belum di injeksikan. Tentu semua itu
mempengaruhi psykologi mereka dalam menjalankan tugas. Mungkin...”keterbiasaan”
telah membuat mereka terlatih dan siap mental dalam situasi apapun juga. Artinya,
bersikap untuk tenang dan bertindak arif di kegaduhan suasana adalah bagian
dari keseharian menjalankan tugas yang melekat. Belum lagi bila satu dari
mereka harus mengabarkan berita buruk pada keluarga pasien saat pasien tak mungkin
tertolong.
Tentu semua itu tidak mudah dan bahkan bisa saja akan mempengaruhi psikis
dan keseharian hidup para petugas. Adakah resiko bawaan dari kemuliaan tugas
yang mereka jalankan di ruang sakral itu seperti menjadi pribadi labil, emosian
dan lain sebagainya?. Penulis tak cukup ilmu dalam hal itu, tetapi menarik
untuk mencermati kegesitan mereka yang siaga 24 Jam dan melayani pasien dalam
kondisi apapun. Satu hal lagi yang sangat mengherankan adalah sepertinya semua
itu tidak mempengaruhi selera makan mereka. Itu luar biasa walau mungkin hal
itu tentang sebuah “kebiasaan” saja. Sepertinya, mereka telah menjadi orang kebal
oleh ragam situasi buruk pasien yang mengisi hari-hari mereka. Perulangan
serupa telah menjadi immun akud dalam diri mereka. Namun, disarankan untuk
tidak mencobanya bila tidak benar-benar terlatih, sebab hal ini tak hanya
membutuhkan keberanian, tetapi juga pengetahuan yang cukup. Seperti kisah kebanyakan
orang yang menyaksikan atau bahkan berinisiatif menolong korban kecelakaan,
ternyata membutuhkan beberapa hari untuk bisa kembali makan enak sebagaimana
sebelumnya. Bahkan, tidak sedikit dari mereka mengalami trauma karena
menyaksikan satu kecelakaan karambol yang menelan banyak korban jiwa.
05 Januari 2015
di sudut ruang IGD sebuah rumah sakit
saat erangan begitu keras memekakkan telinga
Posting Komentar
.