Ruang Sakral Itu Bernama IGD | ARSAD CORNER

Ruang Sakral Itu Bernama IGD

Minggu, 04 Januari 20150 komentar



Ruang Sakral Itu Bernama IGD

Kegetiran Suasana...
Jeritan memekakkan telinga memecah suasana hening beberapa detik sebelumnya pertanda tegas bahwa ada berita kesedihan yang datang dari petugas berseragam. Disebagian lagi dari kelompok sama, air mata mengalir deras dalam kebisuan  setelah mengetahui keadaan yang tak mungkin di tolak itu.

Satu jeritan belum berhenti...jeritan berikutnya pecah di sudut yang lain dan terlihat petugas berseragam putih mencoba membantu menenangkan anggota keluarga dari salah satu pasien. Meronta seolah tidak terima, menjerit sekeras-kerasnya, menangis sedu dan kemudian terdiam dalam pingsan. Ah...sungguh keadaan penuh kecamuk dan membuat tak kuat berdiri dalam kenormalan bersikap dan berpandangan.

Kesedihan selalu meliputi keseharian ruang ini. Wajah-wajah murung, tidak siap, shock,  penuh kekhawatiran dan bahkan sebagian memendam amarah dan kecewa, menjadi suasana yang akrab tampak dibarisan ruang tunggu. Wajah-wajah cemas, berjalan cepat setengah berlari menuju petugas informasi hampir selalu terlihat dari mereka yang datang tergopo-gopo ke area sakral ini. Mereka ingin mengetahui bagaimana keadaan orang-orang yang mereka sayangi atau cintai.  Sebagian, ada yang tampak tenang dan terbenam dalam gerak bibir tak bersuara sepertinya sedang melantunkan do’a dan berharap sebuah kemukjzatan dari Sang Pencipta.

Wajah tegang itu kemudian seketika bisa berubah menjadi senyum kala petugas mengabarkan adanya harapan hidup sehingga mematahkan bayangan buruk yang memenuhi fikiran sejak pertama kali terhubung dan harus berurusan dengan ruang sakral ini. Namun, wajah-wajah tegang itu pun tak jarang pecah menjadi tangis dan jeritan kala petugas dengan sangat hati-hati dan menggunakan intonasi rendah mengabarkan kondisi buruk dan tak tertolong. Ohhh...munculnya petugas seolah menjadi perwakilan Tuhan untuk mengabarkan sebuah nasib yang baik dan atau buruk.  
 
Jeritan-jeritan itu sungguh menyayat hati. Erangan kegalauan atas keadaan mendadak menunjukkan kekagetan mendapati orang yang disayangi terbujur di dipan. Mungkin saja mereka baru bersenda gurau dipagi hari, tetapi telah mendapati orang yang disayanginya berlumur darah dan terbaring lengkap dengan infus. Belum hilang sisa lucu dari humor yang dilontarkan saat makan siang bersama, beberapa jam kemudian sudah membujur sesosok tubuh dalam keranda. Shock..tak percaya..tetapi itulah kenyataannya.
 
Rancang bangun mewah ruangan ini seperti tak berpengaruh mengurangi kesedihan mendalam yang sedang menerpa. Mereka kalap...remuk redam bathin atas kepergian orang yang mereka sayangi telah membawa mereka pada suasana ketiadaan harapan. Keramahan petugas dan upaya maksimal yang telah dilakukan tak bisa berfungsi sebagai pengurang kesedihan atau pembangun kesadaran bahwa semua sudah menjadi takdir-Nya. Bahkan, tak jarang mereka menjerit sambil memukul-mukul petugas yang sedang membantu menenangkan diri. Semua berlangsung di luar kesadaran mereka. Kesedihan telah memupus akal sehat sementara waktu... hingga puncak lelah menjadi sumber membangun kesadaran bahwa yang telah terjadi tidak mungkin kembali.


Sekelumit Tanya..
Memang tak mudah tenang dalam keadaan sangat mengkhawatirkan dan mencekam. Apalagi di saat orang-orang yang dicintai sedang terancam hidupnya karena satu derita berkepanjangan atau tragedi yang terjadi tiba-tiba. Perasaan sayang dan cinta pasti melahirkan rasa takut kehilangan teramat sangat. Sisi melankolis seringkali menge-nol kan kemampuan otak kiri dari kenormalan berfikir.

Terbersit tanya mental apa yang dimiliki atau dilatihkan kepada para petugas hingga mereka bisa berfikir tenang saat menangani pasien dengan ragam keadaan yang mengenaskan. Bagaimana simbah darah memenuhi tubuh-tubuh pasien yang mengalami kecelakaan. Di saat yang sama, mereka harus tenang dan mengambil tindakan media yang tepat dan menentukan hal terbaik bagi sang pasien. Belum lagi suara-suara gaduh dari pasien yang tak jarang mengerang dalam luka yang menganga sering terjadi saat bius belum di injeksikan. Tentu semua itu mempengaruhi psykologi mereka dalam menjalankan tugas. Mungkin...”keterbiasaan” telah membuat mereka terlatih dan siap mental dalam situasi apapun juga. Artinya, bersikap untuk tenang dan bertindak arif di kegaduhan suasana adalah bagian dari keseharian menjalankan tugas yang melekat. Belum lagi bila satu dari mereka harus mengabarkan berita buruk pada keluarga pasien saat pasien tak mungkin tertolong.


Tentu semua itu tidak mudah dan bahkan bisa saja akan mempengaruhi psikis dan keseharian hidup para petugas. Adakah resiko bawaan dari kemuliaan tugas yang mereka jalankan di ruang sakral itu seperti menjadi pribadi labil, emosian dan lain sebagainya?. Penulis tak cukup ilmu dalam hal itu, tetapi menarik untuk mencermati kegesitan mereka yang siaga 24 Jam dan melayani pasien dalam kondisi apapun. Satu hal lagi yang sangat mengherankan adalah sepertinya semua itu tidak mempengaruhi selera makan mereka. Itu luar biasa walau mungkin hal itu tentang sebuah “kebiasaan” saja. Sepertinya, mereka telah menjadi orang kebal oleh ragam situasi buruk pasien yang mengisi hari-hari mereka. Perulangan serupa telah menjadi immun akud dalam diri mereka. Namun, disarankan untuk tidak mencobanya bila tidak benar-benar terlatih, sebab hal ini tak hanya membutuhkan keberanian, tetapi juga pengetahuan yang cukup. Seperti kisah kebanyakan orang yang menyaksikan atau bahkan berinisiatif menolong korban kecelakaan, ternyata membutuhkan beberapa hari untuk bisa kembali makan enak sebagaimana sebelumnya. Bahkan, tidak sedikit dari mereka mengalami trauma karena menyaksikan satu kecelakaan karambol yang menelan banyak korban jiwa. 



05 Januari 2015
di sudut ruang IGD sebuah rumah sakit
saat erangan begitu keras memekakkan telinga

Share this article :

Posting Komentar

.

 
Copyright © 2015. ARSAD CORNER - All Rights Reserved