
What..??,
seketika aku terkaget mengetahui kalau mereka naik roda 2 (dua) dan berkesimpulan
awal kalau kawan-kawan ini bener-bener nekat. Tetapi, aku mencoba menepis
kekagetan itu dan meng-apresiasi sebagai bagian dari bentuk ekspresi dan
semangat anak muda dalam memperjuangkan sebuah
idealisme.
Tepat jam 10.27 wib, 2
(dua) punggawa Kopma Unnes (Koperasi Mahasiswa Univ. Negeri Semarang) ini sampai
di rumah. Mas Agus yang saya kenal sebagai ketua Kopma Unnes, Semarang kemudian memperkenalkan Mas
Faris yang merupakan ketua Kopma Unnes yang baru saja terpilih namun belum dilantik.
Kemudian saya persilahkan masuk dan disambut dengan salaman 3 (tiga) lelakiku yang
sedang asik dengan mainan game di komputer.

Setelah berkisah ringan seputar perjalanan menuju purwokerto, diskusipun mulai berlangsung dalam suasana santai dan mengalir. Karena kedua kawan ini adalah aktivis koperasi, tentu pembicaraan dipastikan tidak jauh dari seputar ber-koperasi khususnya di kalangan mahasiswa/i Univ Negeri Semarang.
Dalam prolog awalnya, Mas Agus
menyampaikan bahwa keikutsertaan Mas Faris ke Purwokerto merupakan bagian dari upaya memperkaya inspirasi
sehingga memiliki bahan yang cukup untuk diaplikasikan di Kopma Unnes saat nanti
beliau mulai memangku jabatannya selaku Ketua Kopma Unes.
Revitalisasi Mindset Sebagai Core Gagasan
Seperti Kopma pada umumnya
di negeri ini, pasang surut spirit kader menjadi kekahwatiran sendiri dari Mas
Agus dan Mas Faris. Hal ini disadari sebagai dampak belum efektifnya pola
kederisasi sehingga konsistensi semangat dan dinamika bergagasan maupun
berkarya menjadi factor penghambat.
Adanya kecenderungan beberapa kopma di Tanah air yang mulai terpinggirkan oleh
kepentingan Universitas yang lebih besar, juga menjadi bagian dari kekhawatiran
kedua aktivis Kopma Unnes ini. Atas
dasar itulah, kedua aktivis ini datang jauh-jauh ke Purwokerto untuk sharing gagasan dan sekaligus memantik kreativitas yang lebih
beragam.
Setelah mendengar prolog
dari Mas Agus yang dilengkapi oleh Mas Faris, saya mencoba merespon dengan
kalimat-kalimat yang sekiranya bisa menyemangati dan sekaligus menepis ragam
keraguan. Aku memulai dengan statemn
bahwa kelahiran karya sesungguhnya adalah buah dari
semangat yang terjaga dan terus tumbuh. Sekilas aku menjelaskan
bahwa koperasi itu kumpulan orang yang berkomitmen untuk hidup bersama. Aku pun
menegaskan bahwa fokus berkoperasi itu sesungguhnya mencerdaskan
sehingga pendidikan menjadi kuci keberhasilan berkoperasi, Lewat
mencerdaskan anggota akan lahir berbagai gagasan yang pada akhirnya
meningkatkan kualitas hidup mereka yang sering didefenisikan dengan kata “kesejahteraan”.
Dari pembacaan ini,
lahirnya unit-unit layanan yang terkemas dalam perusahaan koperasi sesungguhnya
berawal dari gagasan dan cerminan kebutuhan yang serupa dari mayoritas anggota.
Dengan demikian, perusahaan dalam
koperasi sesungguhnya bukan tujuan ber-koperasi, tetapi difungsikan sebagai media/sarana
pemenuhan aspirasi dan kebutuhan anggota. Nalar semacam ini juga menegaskan
bahwa sehubungan dengan kelahiran unit layanan koperasi berawal dari aspirasi
mayoritas anggota yang juga pemilik, maka aktivitas pemasaran koperasi sudah terkonstruktifkan
bersamaan diputuskannya pilihan-pilihan aktivitas produktif yang disetujui
mayoritas anggota.
Oleh karena itu, pendidikan
harus diefektifkan bagi keterbentukan
pemahaman atau persepsi sama tentang apa itu koperasi, agenda-agenda yang
diperjuangkan atas nama kepentingan bersama dan menekankan relevansi kuat
antara pendidikan dan perluasan manfaat yang akan diperoleh seluruh anggota
koperasi. Dalam hal ini, pendidikan diharapkan menjadi inspirasi lahirnya
aspirasi-aspirasi cerdas dari anggota dan
saat hal itu mewujud maka aktivitas koperasi akan menjadi tak terbatas seiring
berkembangnya kebutuhan dari para anggotanya. Sedikit berkelakar memecah
suasana, aku mengkisahkan saat ditanya salah seorang peserta di sebuah pelatihan
mengapa toko swalayan sebuah koperasi sulit maju. Saat itu aku jawab toko swalayan koperasi lambat berkembang
karena anggotanya berselingkuh. Mereka memiliki toko sendiri di koperasi tetapi
berbelanja di toko yang lain. Pengkisahan ini mengundang tawa sekaligus pembenaran
dari Mas Agus maupun Mas Faridz.
Tentang konsistensi spirit dari segenap kader Kopma, hal itu merupakan
akibat langsung dari belum terpolanya kaderisasi secara sistematis. Untuk itu, pendefenisian motif harus dilakukan pertama kali sehingga
setiap aktivis Kopma ter-edukasi tentang motif-motif rasional yang bisa
diharapkan dari berjalannya Kopma. Pendefenisian motif ini harus mencerminkan adanya hubungan yang
pasti antara ber-kopma dengan kecerahan masa depan segenap pejuangnya.
Artinya, proses-proses yang berlangsung di kopma harus difahami sebagai bagian
dari pembentukan kapasitas diri yang akan memperbesar peluang para pejuang
Kopma untuk lebih eksis di era pasca kampus dimana setiap diri dari mereka akan
berjuang untuk sebuah hidup atau masa depan. Dengan demikian, ber-kopma tidak
akan dibaca sebagai pengganggu proses kuliah, sebab Ber-kopma adalah tindakan
cerdas meng-efektfikan waktu bermain. Demikian pula dengan raihan IP (Indeks
Prestasi) juga tidak memiliki relevansi
atau factor penghalang, tetapi justru
mempertinggi peluang meraih IP lebih tinggi karena proses penalaran yang
terus mengalami perkembangan lewat ragam aktivitas yang dijalankan dalam
lingkungan Kopma. Saat pemahaman dan pemaknaan ber-kopma semacam ini sudah
berhasil di massif kan ke seluruh
kader kopma, maka semangat dan motivasi tinggi akan berimplikasi langsung pada
pertumbuhan karya-karya di lingkungan
Kopma.
Disisi lain, pola kaderisasi harus dibentuk sebagai tindak lanjut dari
pendefenisian motif. Sistem kaderisasi harus efektif memainkan peran sebagai
penjaga konsistensi bara semangat juang dan sekaligus pemantik kreativitas.
Untuk itu, pola kaderisasi harus memberi peluang bagi setiap orang untuk
menemukan potensi dirinya dan mengembangkannya dalam ruang yang memiliki
kesesuaian dengan visi dan misi Kopma secara kelembagaan. Pada situasi dimana seseorang bisa menemukan
dirinya dalam penugasannya sebgai aktivis kopma, maka saat itulah orang tersebut
akan merasa enjoy dan loyalitas terhadap kopma terbangun dan senantiasa
terjaga. Kala hal ini sukses dilakukan, maka disamping kebermanfaatan kopma
terus tumbuh bersamaan dengan tumbuhkembangnya karya, kapasitas kadernya pun
terus mengalami perkembangan seiring dengan perluasan aktivitas yang di
slenggarakan.
Kemauan sebagai
Kunci
Semua orang ingin berada diketinggian tertentu tetapi tidak semua dari mereka
berkeinginan sungguh-sungguh berjuang untuk keinginan itu. Dengan kata lain,
sering kali seseorang memiliki harapan tetapi melakukan hal-hal yang justru
kontraproduktif terhadap ketercapaian harapan itu sendiri. Sukses hanya bagi
mereka yang sabar dan ulet berproses. Sukses hanya bagi mereka yang ikhlas
mentahapi satu demi satu dan belajar dari setiap kesalahan yang pernah
dilakukan. Untuk semua itu, “kemauan” adalah kunci atau
penentunya.
Berikut diberikan illustrasi sederhana ketika kemauan terbangun dan
senantiasa terjaga konsistensinya :
Dalam
membangun sebuah Kopma, 50 (lima puluh) orang mahasiswa/i berkomitmen
“memindahkan” kebiasaan makan dari warung ke dapur umum kopma yang mereka
miliki bersama. Ide ini berawal dari analisa sederhana dimana usaha warung
makan itu biasanya memiliki margin rata-rata 30%. Dengan demikian, dengan biaya
setiap kali makan diwarung rata-rata Rp 7.000/orang, maka potensi margin yang
disumbangkan ke pemilik warung adalah Rp 2.100/orang per hari. Andai kemudian
di kelola dalam bentuk satu dapur umum dengan mempekerjakan 1 (satu) orang
tukang masak, maka perhitungannya menghasilkan tabungan yang tidak terfikirkan
sama sekali sebelumnya sebagaimana di jelaskan dalam bentuk berihitungan
berikut ini :
Untuk tujuan
mensukseskan program “dapur umum” tersebut, kemudian disepakati bahwa syarat
menjadi anggota kopma cukup dengan 2 (dua) syarat saja: (1) Berkomitmen untuk mengikuti program
“dapur umum” secara konsisten dan; (2) Sanggup menyerahkan satu gelas, satu
piring, satu sendok dan satu garpu.
Contoh diatas menegaskan hal
sesunggguhnya yang dilakukan hanya “memindahkan” kebiasaan makan di warung ke
“dapur umum” yang dimiliki bersama.
Artinya, ini hanya merubah kebiasaan saja dan modal utamanya adalah “kemauan”.
Bahkan tidak perlu membayar SP
(Simpanan Pokok) dan iuran rutin SW (Simpanan
Wajib).
Kalau melihat table
diatas, maka untuk satu dapur umum beranggotakan 50 (lima puluh orang) saja,
bila ingin mengembangkan kemanfaatannya lewat manajemen akumulasi tabungan,
maka tiap 3 (tiga) bulan mereka bisa membeli satu mesin cuci sehingga bisa
menyelenggarakan “laundri berjama’ah” secara gratis. Begitu seterusnya dan bisa
dikembangkan ke aktvitas-aktvitas lainnya yang merupakan kebutuhan mayoritas
anggota yang berstatus mahasiswa. Bahkan, ketika hal-hal mendasar sudah
terpenuhi dan dapur umum sudah berkembang 10 (sepuluh) unit misalnya, maka
dengan Rp 25 juta/bulan ( 10*Rp 2.500.000/dapur umum) bisa merencanakan banyak
hal seperti; pengembangan diri anggota lewat kegiatan seminar, lokakarya,
pendidikan dan pelatihan kewirausahaan, pendelegasian ke kopma atau ke koperasi
lain guna meningkatkan pengetahuan, study tour, membantu temen yang kesulitan membayar SPP dan lain sebagainya. Bahkan
dalam obrolan santai itu, saya sempat berkelakar bukan tidak mungkin kemudian Kopma
memberikan “bea siswa gratis” S2 bagi calon dosen di kampusnya. Mas Agus dan Mas
Faris pun tersenyum atas kelakar liar saya.
Satu hal yang menjadi catatan, gagasan sederhana berbentuk “dapur umum”
ini dipastikan akan memandirikan kopma secara finansial, meng-otonomikan kopma
secara aktivitas dan bahkan me-nol kan ketergantungan kopma terhadap universitas.
Disisi lain, hal ini juga akan berpengaruh pada kualitas kehidupan sosial
mahasiswa yang mengagungkan kebersamaan dan mengikis sifat egois atau
individualis. Intinya, “dapur umum” tidak sekedar menciptakan “makan yang
efisien” tetapi juga memantik kecerdasan-kecerdasan tak terbatas.
Semua hanya bermodalkan “kemauan”. Oleh karena itu, kalau kemudian kopma
tidak berkembang, persoalan utama sesungguhnya bukan pada ketidakmampuan tetapi
mutlak pada tidak terbangunnnya “kemauan” kolektif. Kalau kemudian ada
alasan-alasan lain, pasti hal itu hanya apologi atau excuse dan atau alasan
yang lebih buruk yaitu saling menyalahkan satu satu sama lain.
Penghujung yang
menjebak
Setelah menunaikan sholat berjama’ah, kemudian saya mengajak Mas Agus
dan Mas Faridz untuk makan siang. Selanjutnya, kami field trip kecil-kecilan
ke 2 (dua) contoh karya yang kebetulan dibangun bermodalkan semangat, yaitu;
(1) Kopkun (Koperasi Kampus Unsoed) dengan 3 (tiga) swalayannya yang tersebar di 3 (tiga) lokasi dan;
(2) Swalayan BK (Boersa Kampus) yang
lahir dari kebersamaan beberapa orang aktivis Unsoed di tahun 1997.
Kamu mulai mengunjungi Kopkun 2 (dua) yang berlokasi di Jalan
dr.Soeparno, Karangwangkal. Disana, kedua pendekar Kopma Unnes ini sempat
berbincang-bincang dengan beberapa part timer yang juga mahasiswa dan sekaligus
anggota kopkun. Saat naik ke lantai 02, mereka juga sempat berdiskusi singkat
dengan para volulenteer kopkun yang terorganisasi dalan “Student Committe/Komite mahasiswa”.
Setelah mengambil beberapa dokumentasi, kami melanjutkan perjalanan ke Kopkun 3
(tiga) yang berlokasi di Desa Teluk. Swalayan di titik ini memiliki market yang
berbeda yaitu masyarakat umum, sebab lokasinya berada didekat perumahan
penduduk. Mereka juga menyempatkan diri naik ke lantai 02 dan melihat ruang
Kopkun Institute dimana para kader-kader Kopkun di didik untuk menjadi loyalis
Kopkun. Mungkin ruang ini lebih tepat
disebut “brain wash room”. Sesudah ber-fhoto, kami kemudian melanjutkan
perjalanan ke Kopkun 1 (satu) yang ber-alamat di Jalan H.R. Boenyamin,
Purwokerto. Lokasi swalayan yang satu ini berdekatan dengan Kampus Unsoed. Di
sini, mereka juga sempat bertegur sapa sesaat dengan Sang GM, yaitu Mr.Sony.
Akhirnya, kunjungan terakhir di lakukan ke Swalan Boersa Kampus (BK). Untuk
yang terakhir ini, kami tidak sempat turun dan hanya melihat dari luar saja
dikarenakan waktu yang terbatas dan harus segera pulang lagi ke Semarang.
Setelah sampai kembali ke
rumah, Mas Agus dan Mas Faridz kemudian berkemas untuk sia-siap pulang. Diraut
wajah mereka tampak menjadi lebih bersemangat. Sepertinya 1000 mimpi kemudian
terbangun untuk mewarnai Kopma Unnes, Semarang.
Akhirnya saya menekankan
kembali bahwa semua berawal dari “kemauan”.
saya pun mengingatkan tentang etika ber-ilmu yaitu mengamalkan dan
mengajarkannya kembali. Menjelang jam 16.00 wib, Mas Agus dan Mas Faris
berpamitan dan memacu kendaraan bermotor untuk kembali ke Kota Semarang. Sebuah
semangat belajar punggawa Kopma Unnes yang sangat menginspirasi……..Sukses untuk
kalian.
Semoga pemaparan
perjalanan singkat kalian di kota Mendoan dalam bentuk tulisan sederhana ini akan
menjadi pemantik semangat bagi segenap pejuang Kopma (Koperasi Mahasiswa) di
tanah air Indonesia.
Amin
Posting Komentar
.