BERWIRAUSAHA dan KOPERASI
A. Pendahuluan
Indonesia masih
kekurangan jumlah wirausahawan/entrepreneur, sehingga perlu dilakukan
gerakan-gerakan yang mendorong tumbuhnya wirausahawan-wirausahawan baru,
khususnya generasi muda yang energik
dan visioner. Dengan demikian
diharapkan bisa meningkatkan geliat ekonomi yang akan berimplikasi pada
terbentuknya kemandirian dan sekalgus terserapnya tenaga kerja yang dapat
menekan angka pengangguran.
Untuk tujuan
itu, perlu mengkampanyekan secara terus menerus tentang nilai-nilai kebaikan
berwirausaha dengan menonjolkan sisi heroisme/kepahlawanan wirausaha dalam perspektif pembangunan nasional. Dengan demikian, akan lahir keberanian
dan juga kebanggaan untuk memilih
profesi wirausaha. fakta lapangan
menunjukkan banyak wirausaha lahir karena kecelakaan dalam arti karena
ketiadaan pilihan lain dan masih jarang
karena satu design yang disengaja untuk menjadikan wirausaha sebagai
pilihan. Disamping itu, langkah-langkah
pengkampanyean diharapkan bisa meningkatkan apresiasi dan daya dukung masyarakat atas
setiap keinginan setiap orang untuk terjun menekuni wirausaha. Sebab, tak jarang masyarakat dan bahkan
keluarga berpandangan minir ketika
seseorang memilih untuk berwirsauaha.
Mereka lebih mendukung putera/i nya menjadi karyawan perusahaan swasta
atau menjadi karyawan negara karena paradigma “bekerja “ masih diyakini
lebih memiliki kepastian pendapatan dan kecerahan masa dean. Mereka cenderung menghindari resiko ketidak
pastian walau sesungguhnya ada ketidakpastian pada pilihan mereka yaitu “sampai
kapan” perusahaan mampu membayar salary karyawannya.
Paradigma
semacam ini tidak bisa dipersalahkan karena memang terbentuk secara alamiah.
Beban hidup yang tinggi juga berkontribusi dalam mendorong masyarakat untuk berfikir
instan walau harus mengorbankan “peluang
besar” untuk mengoptimalkan talenta diri. Namun demikian, paradigma ini perlu dikoreksi
dengan bijak melalui pengkampanyean wirausaha dan juga membentuk opini
masyarakat tentang kemuliaan dalam memilih “hidup mandiri”. Mungkin
ada baiknya, langkah ini juga diikuti
dengan ragam ekspose yang berisi testimoni (kesaksian) dari para wirausahawan
sukses sehingga secara bertahap opini dan ekspektasi masyarakat terhadap “wirausaha”
mengalami peningkatan. Kalau hal demikian sudah berhasil dilakukan, maka daya dukung bagi setiap keinginan untuk
berwirausaha akan menemui jalannya.
B. Menatap Dunia Wirausaha
Seperti
testimoni banyak wirausahawan sukses, wirausaha itu 90% (sembilan puluh prosen)
adalah persoalan keyakinan, mentalitas dan semangat, sementara itu sisanya
adalah persoalan teknis usaha seperti pengelolaan, produksi dan pemasaran .
Proporsi ini tampak aneh, namun itulah penggambaran realitas sesungguhnya dari
dunia wirausaha.
Seorang
wirausahawan harus selalu berfikir
mengadakan yang belum ada, memikirkan yang orang lain belum memikirkannya dan
bahkan melakukan apa yang tidak terfikir sama sekali dalam benak siapapun. Pada
situasi ini, unsur kreativitas gagasan dan keberanian untuk segera mencobanya
menjadi satu keharusan. Oleh karena itu, tidak mengherankan bila pada diri wirausahawan
melekat karakter unik dalam arti berbeda dari kebanyakan orang. Mereka anti
berfikir linier dan cenderung terkesan bertindak aneh. Hal ini pula yang
menjadi pembenar bahwa dunia wirausaha memerlukan mental atau keberanian
bertindak diluar kebiasaan banyak orang.
Berbeda itu memerlukan mental sebab tidak jarang
mendatangkan cibiran dari banyak orang. Pujian hanya datang bila apa yang
diimpikan menjadi kenyataan dan kemanfaatannya bisa dirasakan oleh banyak
orang. Oleh karena itu, bila ingin menjadi seorang wirausahawan mulailah melatih diri untuk berfikir aneh atau berbeda dalam arti
positif. Sebab, menyengajakan diri selalu berfikir aneh atau beda adalah muasal
keterbangunan kreativitas. Satu hal lagi, persoalan ke-bisa-an sangat
tergantung pada keterlatihan atau kebiasahaan saja. Persoalan “ketepatan” juga
hanyalah persoalan kejelian dalam memilih berbagai alternatif gagasan. Tak
perlu takut untuk memulai, sebab kalau membiarkan gagasan dalam fikiran saja saja
tidak akan pernah menghasilkan apapun. Bermimpi tanpa aksi hanyalah ke
sia-siaan saja. Mulailah dari kecil, sebab besar itu adalah hasil dari
kesabaran dan ketekunan berproses. Jangan pernah mengeluhkan keterbatasan sebab
tidak akan pernah merubah kenyataan. Optimalkanlah setiap celah peluang secara cerdas
dan lakukanlah apa yang bisa dilakukan. Menangis atau bersedih bukanlah sesuatu
yang diharamkan bagi wirausahawan apabila hal itu memang bisa membangkitkan kembali atau melahirkan lompatan
energi untuk kembali melangkah. Satu kegagalan bukanlah akhir dari kehidupan,
tetapi belajar dari kegagalan dan menjadikannya inspirasi untuk bertindak lebih
baik adalah tindakan yang berpeluang mendatangkan kesuksesan.
C.
Niat Sebagai Muasal Keterlahiran
Semua berawal
dari niat. Niat adalah hal yang sangat
mempengaruhi kejiwaan dan juga tindakan manusia. Niat yang baik akan
membimbing pada fikiran dan langkah yang baik pula. Demikian juga dengan
berwirausaha, niat berwirusaha akan mempegaruhi fikiran dan langkah dalam
menjalankan usaha tersebut. Oleh karena itu, niat yang berbeda juga pasti akan
menghasilkan tindakan yang berbeda pula. Sebagai contoh, berwirausaha
berdasarkan niat ingin memperkaya diri sendiri akan berbeda
dengan berwirausaha atas niat memperluas makna diri bagi sesama.
Pada niat memperkaya diri, sang wirausahawan cenderung mengoperasionalkan gagasan guna
keterkumpulan laba optimal, kemampuan untuk memiliki atau bisa mendapatkan apa yang
diinginkannya. Sementara itu, bewirausaha atas niat memperluas makna diri akan mendorong gagasan dan
langkah untuk mambangun nilai-nilai kebermanfaatan bagi dirinya dan juga orang
lain. Dalam niat yang ke-dua ini, tanggungjawab sosial akan membawanya pada
inisiatif memberdayakan untuk mendatangkan kebermanfaatan luas serta
menghindarkan diri dari skap eksploitatif yang abai dengan persoalan-persoalan
kemausiaan dan alam sekitarnya. Ini lah contoh bagaimana niat sangat
mempengaruhi fikiran dan juga tindakan.
Niat
berwirausaha biasanya sangat bergantung pada pandangan wirausahawan tersebut
tentang “hidup”. Ketika hidup dimaknai sebagai kesempatan untuk
menikmati semua hal yang diinginkan, maka berwirausaha akan dijadikan sarana
untuk mewujudkan semua keinginan itu. Ketika hidup dimaknai sebagai kesempatan
membangun kemandirian dan juga
memperluas makna diri bagi lainnya, maka wirausahawan itu pun akan
menjadikan “usaha” sebagai sarana untuk mencapainya.
Oleh karena
itu, mulailah berwirausaha dari “niat” yang terdefenisi sehingga
tertemukan sumber energi untuk bergerak.
D. Ketidakpastian dan resiko Dalam Berwirausaha
Tidak ada yang
pasti dalam dunia ini kecuali kematian yang akan menjemput setiap yang bernyawa,
itupun tidak ada yang tahu kapan datangnya. Lihatlah tragedi PHK diperusahaan
swasta, pernahkah hal ini terbayang saat pertama kali orang tersebut menjadi
karyawan di perusahaan itu?. Lihat
pula di lingkungan PNS, tak
jarang terjadi pemecatan ketika melakukan satu kesalahan fatal. Petani pun tidak pernah bisa memastikan
berapa panen yang akan dihasilkan dari aksi tanam yang dilakukan saat ini.
Demikian pula dunia wirausaha, hari ini mungkin sukses, tetapi besok bisa jadi
tidak segembira hari ini. Tidak ada satu pun dari para wirausahawan yang tahu
pasti berapa yang akan didapat esok atau lusa dari investasi yang dilakukan
hari ini. Semua memerlukan keyakinan dan optimisme bahwa kebahagiaan selalu
berpeluang untuk digapai. Tentu saja hal itu memerlukan upaya keras dan cerdas,
sebab kesuksesan sesungguhnya sebentuk hadiah bagi yang mau berproses untuk
kesuksesan itu sendiri.
Demikian pula dengan
resiko, tidak ada yang tidak beresiko di
dunia ini. Orang berjalan atau berlari saja berpeluang untuk jatuh bila
menginjak lobang, naik kendaraan pun bisa jatuh baik karena dirinya tidak
hati-hati atau bahkan pengendara lain yang tidak hati-hati sehingga menabrak
kendaraannya walau mungkin saat itu sedang dalam kecepatan rendah. Saat Tidur
pun bisa jatuh dari kasur. Jadi, semuanya memiliki resiko. Oleh karena itu,
yang bisa dilakukan manusia adalah memompa keyakinan dan semangatnya untuk
terus bergerak dan memberdayakan akalnya
untuk terhindar dari resiko yang mungkin mewarnainya.
E. 3 (Tiga) Mentalitas Dalam Berwirausaha
Ketidakpastian
dalam usaha menjadikan “faktor mentalitas” menjadi sangat
penting. Ditinjau dari tahapan sebuah bisnis, ada 3 (tiga) tahapan yang harus
dimiliki oleh seorang wirausahawan, yaitu :
1.
Mentalitas Memulai. Berani memulai merupakan awal berjalannya sebuah usaha. Adanya keyakinan
tinggi atas potensi yang sangat mungkin dimobilisasi menuntut keberanian untuk
mengambil keputusan”memulai”. Keberanian memulai ini tentu harus diikuti
kesiapan atas segala resiko yang mungkin muncul. Oleh karena itu, disarankan
untuk memulai dari hal sederhana, sehingga keterbentukan mentalitas berlangsung
secara bertahap dan berkesimabungan.
2.
Mentalitas Berproses. Bisnis memerlukan proses dimana diperlukan kesabaran dan keuletan dalam
menjalankan detail dari bisnis itu sendiri. Masing-masing jenis bisnis tentu
melalui proses yang berbeda-beda sesuai karakter bisnis yang dijalankan. Hanya
saja, pada jenis bisnis apapun tetap men-syaratkan kesabaran dalam
menjalaninya. Oleh karena itu, tahapan-tahapan yang dilalui sebaiknya dimaknai
juga sebagai tahapan pembentukan mental dalam berwirausaha.
3.
Mentalitas Atas Hasil
Akhir. Hasil akhir dari sebuah bisnis adalah surplus (untung)
atau minus (rugi). Kalaupun ada istilah impas tapi sangat jarang terjadi. Pada titik
manapun hasil akhir dari sebuah usaha, semuanya membutuhkan mental. Saat merugi, seorang wirausahawan tidak boleh
berputus asa dan bahkan harus membangun pemaknaan yang menyemangati untuk terus
melangkah. Sementara saat untung, seorang wirausahawan harus tetap waspada
sebab bisa saja hari esok tak segembira hari ini. Sebagai sebuah catatan, banyak
orang yang memiliki mental kuat dalam berjuang tetapi tidak memiliki mental
sukses. Artinya, kesuksesan membuatnya terjebak pada lupa diri dan kehilangan
konsentrasi.
Ketiga mental
ini harus melekat pada setiap wirausahawan
agar berpeluang besar mencapai kesuksesan sebagaimana cita-cita awalnya.
F. Tuhan Dalam Berwirausaha
memasukkan sub
bahasan ini bukan karena kesempurnaan iman, tetapi sebagai pengingat bagi
penulis dan juga segenap calon wirausaha sukses di seminar ini bahwa masih ada
kekuatan diluar kehebatan manusia. Sebagimana dijelaskan di sub bahasan
sebelumnya bahwa dunia wirausaha itu penuh ketidakpastian dan juga ditekankan
bahwa kepastian itu terletak pada ketidakpastian itu sendiri. Hal ini
menjelaskan bahwa ada faktor lain yang
mempengaruhi kesuksesan disamping mobilisasi keyakinan, semangat , mental dan
optimalisasi gagasan dan akal manusia, yaitu keterlibatan dan keberpihakan
Tuhan. Peran Tuhan dalam mendukung
setiap gagasan, melipatgandakan hasil, menghindarkan dari gangguan dan bahkan meniadakan hasil yang sudah di
capai, menjadikan semua yang dilakukan manusia hanyalah sebatas “usaha”.
Oleh karena
itu, bagi mereka yang meyakini Tuhan dalam hidupnya, seyogyanya dalam
menjalankan usaha tidak pernah melepaskan diri dari nilai-nilai ketuhanan,
mulai dari bergagasan, mengambil keputusan, menjalankannya dan juga pada sesi
memaknai hasil akhirnya. Namun, mungkin hal
ini tidak berlaku bagi wirausahawan yang masih terlalu percaya diri dan
berpandangan bahwa kesuksesan semata-mata hasil kecerdasan akal dan upaya
hebat manusia.
Adalah setiap
kelahiran membawa rezeki yang takarannya hanya Tuhan yang berketetapan , tetapi
“niat
dan usaha” manusia dalam meraihnya menjadi faktor penentu apakah rezeki
itu bisa diraih atau tidak dan dalam jumlah yang kurang atau cukup dan atau bahkan
lebih. Dengn kata lain, setiap manusia harus selalu berusaha mengoptimalkan
segala potensi, bakat, waktu dan energi untuk ketercapaian cita-citanya. Sebab
pada dasarnya, usaha manusia adalah
tiket untuk pantas melantunkan “do’a” dihadapan Tuhan. Usaha juga sebagai
“pemantas” bagi setiap manusia untuk mendapati dan menikmati apa yang disebut
“rezeki”.
Yang menarik
dari kedua pandangan itu adalah sebuah tanya tentang “”peluang” keterlibatan
Tuhan di dalamnya dalam arti “daya dukung”.
Dalam hal ini, ketika di dalam usaha yang dijalankan ada niat
memberdayakan atau membangun kemanfaatan banyak orang, sepertinya akan lebih
berpeluang mendapatkan keberpihakan Tuhan
sebab didalamnya terdapat semangat
yang tidak hanya untuk membahagiakan diri sendiri tetapi juga melekat keinginan
kuat untuk membahagiakan lainnya. Bahkan, persoalan-persoalan yang tengah
membelit orang-orang yang ingin dibahagiakan menjadi sumber energi untuk mengembangkan
gagasan yang lebih besar lagi. Apalagi, setiap lelah dipandang sang
wirausahawan sebagai media untuk meningkatkan kemuliaan dimata Tuhan-nya, maka
energi seolah tak pernah habis untuk berfikir maupun melangkah.
Untuk mendalami
paragraf diatas, cobalah melakukan sesuatu yang baik untuk orang lain dan
kemudian deteksi perasaan anda saat melihat senyum bahagia orang yang anda
tolong itu. Andai anda lakukan itu berulang-ulang maka anda akan berulang-ulang
pula berada diperasaan yang luar biasa itu. Sebaliknya, ingatlah saat anda
pernah melakukan kesalahan yang membuat anda selalu berada dalam perasaan
berdosa, tanpa disadari konsentrasi anda
tersedot untuk perasaan bersalah itu dan akibatnya anda tidak optimal untuk
memikirkan hal lainnya. Perasaan bersalah sesungguhnya lahir dari kesadaran
horizontal (baca: sosial) dan juga kesadaran vertikal (baca: nilai-nilai
ketuhanan). Oleh karena itu, ketika anda senantiasa berada pada kesadaran
sosial yang tinggi dan dibarengi dengan kesadaran vertikal yang terjaga, maka
konsentrasi anda akan selalu “full” dalam melakukan sesuatu, termasuk dalam
menjalankan profesi “wirausaha”.
Kesadaran sosial dan vertikal tersebut selanjutnya membimbing anda untuk
bergagasan atau mengembangkan ide dan juga menjalankan ragam langkah sebagai
upaya untuk mewujudkannya.
Nalar pada
paragfaf sebelumnya mengggambarkan secara jelas hubungan kuat antara ber-Tuhan dan berwirausaha. Mempercayai niat
baik akan selalu berujung baik akan terus terjaga walau serangkaian hambatan
mewarnai perjalanan. Bahkan saat merugi pun tidak akan menyebabkan untuk
berbalik arah, tetapi terdorong
melakukan auto koreksi untuk menemukan hal apa yang harus diperbaiki
dilangkah berikutnya. Keyakinan kuat
akan keterwujudan mimpi lewat keberpihakan Tuhan, akan membuat sang
wirausahawan selalu ber-energi dalam menata tahapan-tahapan proses menuju
keberhasilan. Tak ada kata “putus asa” sebab hal itu
bertentangan dengan kalam Tuhan. Apapun hasil akhir selalu dimaknai sebagai
sesuatu yang terbaik baginya menurut Tuhan.
Disamping itu, Sang wirusahawan akan selalu mencari hikmah atas setiap
dinamika perjalanan usaha yang sedang ditekuninya.
G. Sejenak Menilik Konsepsi Koperasi.
Dari tinjauan
Filosopi perjuangannya, koperasi merupakan kumpulan otonom dari orang-orang
yang bergabung dengan sukarela. Bergabungnya mereka ke dalam koperasi minimal
didasarkan pada 2 (dua) hal, yaitu : (i) kesadaran mereka bahwa tidak mungkin
segala sesuatunya bisa dilakukan senndirian dan; (ii) keyakinan mereka bahwa
bersatu dalam koperasi adalah salah satu jalan bagi akselerasi keterbangunan
diri dan cita-cita mereka dalam arti luas. Untuk maksud itu, segenap unsur
organisasi koperasi menyelengggarakan agenda penyatuan potensi sumber daya yang
diikuti dengan perumusan aktivitas yang akan mendatangkan kemanfaatan bagi
segenap anggotanya. Jadi, apapun
aktivitas yang dijalankan koperasi harus merujuk pada nilai-nilai
kebermanfaatan bagi segenap anggotanya. Oleh karena itu, aspirasi mayoritas
merupakan guidence terbaik dalam mengambil keputusan aktivitas. Hal ini
untuk menjamin “rasa keterwakilan terhadap keputusan” dari setiap orang yang
ada dalam koperasi. Demikian seterusnya
hingga koperasi tersebut secara bertahap
dan berkesinambungan membentuk kemanfaatan yang terus tumbuh dan berkembang
serta membahagiakan anggota.
Pengelolaan
kebersamaan menjadi kunci penting untuk tujuan tersebut. Adanya pemahaman bahwa
koperasi adalah kumpulan orang yang memiliki latar belakang dan karakter
berbeda-beda serta ragam pemikiran, akan menggiring pada kesadaran akan perlunya aplikasi pola pengelolaan kebersamaan yang
mengakomodir perbedaan-perbedaan tersebut. Peran edukasi/pendidikan pun menjadi
sangat urgent dalam menyatukan persepsi dan merasionalkan ekspektasi
(harapan). Disamping itu, edukasi juga merupakan alat efektif bagi berjalannya fungsi pemberdayaan dalam
koperasi dimana tujuan dicapai melalui “peran optimal” dari semua unsur yang ada sesuai tugas dan
tanggungjawabnya masing. Jadi, hakekat pendidikan di koperasi adalah untuk
membangun kualitas orang-orang yang ada di dalam koperasi itu sendiri. Sebagai
sebuah catatan penting, hanya dari anggota terdidik akan lahir minimal hal-hal
sebagai berikut; (i) terbentuknya aspirasi cerdas dari anggota; (ii) lahir nya sikap-sikap pembelaan terhadap koperasi dan; (iii)
munculnya kesadaran setiap orang untuk mengembangkan kemanfaatan koperasi bagi
dirinya dan juga bagi sesama anggota dalam koridor iklim demokrasi yang
senantiasa terjaga . Oleh karena itu, penyelenggaraan pendidikan merupakan
muasal keterbangunan koperasi, baik secara kelembagaan maupun orang-orang yang
terlibat di dalamnya.
Sebagai wujud
dari keberhasilan pendidikan tersebut, maka keterwakilan kepentingan mayoritas
anggota selalu melekat pada setiap aktivitas yang dijalankan perusahaan
koperasi. Dengan demikian, setiap anggota bisa mendefenisikan kepentingannya
dalam setiap aktivitas yang dijalankan koperasi. Hal ini
pula yang menjadi inspirasi bagi anggota untuk mau mengembangkan kesadaran
untuk berpartisipasi dalam menjaga dan sekaligus membesarkan perusahaan.
H. Relevansi Koperasi dan Wirausaha
Sebagaimana
dijelaskan di sub bahasan sebelumnya, koperasi merupakan kumpulan orang untuk
memenuhi kebutuhan dan aspirasi ekonomi, sosial dan budaya melalui perusahaan
yang mereka miliki bersama dan mereka kendalikan secara demokratis. Merujuk
pada hal tersebut, maka perusahaan koperasi memiliki keunikan dimana dinamika
aspirasi anggota sangat menentukan jenis aktivitas yang dijalankan dan
juga pola pengelolaannya.
Backgound dan motif masing-masing anggota tentu akan mempengaruhi
aspirasi yang berkembang. Sebagai contoh, ketika koperasi beranggotakan
mayoritas petani, maka kemungkinan aspirasi yang berkembang mengarah pada aktivitas
perusahaan koperasi tidak jauh dari dunia
pertanian seperti penyelenggaraan saprodi (sarana produksi) mulai dari benih,
pupuk dan hasil panen. Demikian pula tatkala koperasi dihuni oleh para
wirausahawan, maka aspirasi yang berkembang kemungkinan besar mengarah pada aktivitas
perusahaan koperasi yang berhubungan erat dengan profesi mereka. Contohnya,
bila anggota koperasi adalah para wirausahwan yang bergerak di bidang produksi
kerajinan, maka aktivitas koperasi bisa berupa
kegiatan pemasaran hasil-hasil
kerajinan angotanya. Disamping itu,
koperasi juga bisa memerankan diri sebagai penjamin likuiditas bagi usaha-usaha
anggota agar bisa memenuhi permintaan pasar. Support manajemen dan teknologi
adalah hal lain yang juga mungkin bisa dikerjakan oleh koperasi, sehingga
kualitas dan pengelolaan usaha anggota akan menjadi lebih baik.
Intinya, apapun
yang akan dikerjakan oleh perusahaan koperasi harus me-refresentasikan
kebutuhan dan aspirasi mayoritas anggotanya. Disamping itu, dalam merumuskan
aktivitasnya, koperasi harus memperhatikan dan tunduk terhadap azas subsidiary.
Artinya, apa-apa yang bisa dikerjakan anggota sebaiknya tidak dikerjakan
koperasi dan sebaliknya, apa-apa yang tidak bisa dikerjakan oleh anggota secara
pribadi maka hal itulah yang harus dikerjakan oleh koperasi. Azas
subsidiary ini merupakan kode etik sehingga tidak akan terjadi persaingan
antara perusahaan koperasi dengan anggotanya sendiri. Disamping itu, hal ini juga menekankan peran perusahaan
koperasi sebagai “mesin penjawab” atas hal-hal yang dibutuhkan oleh para
anggotanya.
Nalar diatas
menunjukkan bahwa koperasi sangat mungkin memainkan peran sebagai organisasi
pencetak wirausahawan tangguh. Akumulasi penyatuan potensi sumber daya akan
membuat koperasi memiliki kemampuan untuk mengayomi dan mendorong laju
usaha-usaha yang dijalankan anggotanya.
Dalam logika yang demikian, maka koperasi akan mewujud sebagai lembaga
pemberdayaan produktif dalam arti luas.
I. Penghujung
Berwirausaha
adalah sebuah kemuliaan, sebab memilih menjadi wirausaha tidak hanya akan
melahirkan kemandirian pelakunya saja tetapi juga berpeluang menciptakan lapangan kerja dan implikasi positif lainnya.
Sementara itu, koperasi adalah wadah yang sangat potensial bagi para
wirausahawan untuk meng-akselerasi pertumbuhan usaha yang dijalankannya. Melalui penyatuan ragam potensi dari segenap
anggotanya, koperasi akan memiliki kemampuan mengatasi persoalan atau hambatan
yang dialami oleh anggotanya dalam menjalankan usahanya, mulai dari permodalan,
persoalan pengelolaan, pemasaran dan lain sebagainya.
Demikian
tulisan sederhana ini disampaikan, semoga mendatangkan lompatan semangat untuk
menekuni wirausaha dan sekaligus peningkatan gairah untuk menumbuhkembangkan
koperasi. Amin Ya Robbal ‘Alamin.
Posting Komentar
.