BERSAING SEHAT SEBAGAI PENSIKAPAN SEPUTAR PERSOALAN BANK PLECIT | ARSAD CORNER

BERSAING SEHAT SEBAGAI PENSIKAPAN SEPUTAR PERSOALAN BANK PLECIT

Jumat, 07 Maret 20140 komentar



“BERSAING SEHAT” SEBAGAI JALAN DAMAI
(PENSIKAPAN SEPUTAR PERSOALAN BANK PLECIT)


A. Prolog
Diskusi informal yang di inisiasi oleh BI mengindikasikan bahwa beroperasionalnya bank plecit adalah sebuah persoalan yang membutuhkan solusi. Hal ini mungkin berangkat dari kepedulian dimana praktek Bank Plecit dinilai berpotensi menghambat laju pertumbuhan pelaku UMKM, khususnya di lingkungan pasar. Mungkin, kesimpulan ini didasarkan ada penerapan tingkat jasa yang cukup besar (20% sd 100%) sehingga mempersulit UMKM untuk berkembang dan pada akhirnya secara makro mempengaruhi geliat ekonomi di lingkungan pasar, khususnya sektor riil.

Berangkat dari kepedulian dan keinginan kuat  tumbuh kembangnya UMKM dan pembacaan  masyarakat yang cenderung minir dan kemudian melahirkan empati membentuk solusi integratif, kemudian BI Purwokerto meng-inisiasi komunikasi informal dengan segenap pemangku kepentingan pada tanggal 04 Maret 2014. Pada pertemuan pertama yang berlangsung sejak pukul 19.oo wib tersebut, komunikasi yang berlangsung cenderung meng-eksplorasi pola operasional bank plecit melalui testimoni dari para pelaku bisnis keuangan informal ini. Banyak informasi yang diperoleh, baik mengenai pola operasional maupun resiko tinggi yang dialami mereka. Fakta adanya beberapa pelaku bisnis ini yang bangkrut akibat kurang lihai dalam me-maintenance nasabah, menunjukkan tingginya resiko bisnis ini dimana “kekeluargaan” dijadikan sebagai prinsip operasional.

Ada fakta lain yang menarik dari diskusi informal tersebut.  Saat sebagian penanya mencoba mendefenisikan praktek bisnis ini sebagai sebuah hal kurang tepat dengan mengemukakan fakta minirnya persepsi masyarakat terhadap praktek bisnis ini dan kemudian mendefenisikannya dengan istilah yang kurang enak di dengar seperti bank ucek-ucek, rentenir dan lain sebagainya, para pelaku bisnis keuangan informal ini justru tidak menganggap istilah-istilah itu membebani psikologis mereka. Artinya, mereka mempersilahkan mayarakat berpersepsi atau mendefenisilan bisnis ini dengan apa saja. Mungkin, sikap ini dilandasi fakta lapangan dan keyakinan mereka bahwa masih banyak anggota masyarakat yang membutuhkan kehadiran mereka. Fakta lain yang menarik juga terungkap dari pengakuan pengalaman empiris salah satu bank teknis tentang kegagalan mereka men-drive pangsa pasar di lingkungan pasar walau telah menawarkan jasa hanya sebesar 1% (satu prosen). Artinya, dimungkinkan adanya “feel” dan “suasana kebathinan” dari umkm yang belum tertemukan oleh bank teknis ini, sehingga 1% tak cukup  menarik bagi para pelaku umkm untuk beralih. Sayangnya, program ini sementara dihentikan dan belum dijelaskan apakah bank teknis tersebut terus melakukan pendalaman untuk menemukan akar masalahnya dan kemudian beraksi lagi di lingkungan pasar. 

Pertanyaan menarik adalah:  apakah sesungguhnya hal ini benar-benar sebuah masalah?.

Untuk mendefenisikan hal ini sebagai sebuah masalah, tentu sangat tergantung sudut pandangnya. Fakta banyaknya yang menggunakan jasa Bank Plecit menunjukkan bahwa pedagang di lingkungan pasar tradisional masih membutuhkan kehadiran mereka, terutama  yang sedang menghadapi persoalan serius dalam hal keuangan sehingga membutuhkan solusi cepat dan mudah walau harus mengabaikan kata “murah” dari sisi jasa. Kalau kemudian “tingkat jasa” yang menjadi persoalan utama karena analisa yang menyimpulkan bahwa praktek bunga tinggi tidak akan membuat pelaku umkm berkembang, maka empati atau keprihatinan semacam ini harus mampu di turunkan ke dalam satu formula integratif sehingga menghasilkan solusi bijak yang berujung terbentuknya penguatan umkm dalam arti luas.    


B. Pokok-Pokok Perhatian Dari Hasil Penelitian.
Penelitian tentang Bank Plecit yang di inisiasi oleh BI Purwokerto dimana dalam proses penelitiannya bekerjasama dengan Laboratorium IESP Fak Ekonomi dan Bisnis Unsoed, telah menginspirasi “tema diskusi” menarik. Publikasi hasil penelitian di media massa pun ikut membuat tema ini menjadi makin penting untuk di gagas, khususnya solusi terbaik. 

Me-referensi  pada ringkasan dan kesimpulan hasil penelitian, ada beberapa hal yang menjadi perhatian antara lain :
1.   22,73 % dari pedagang/bakul di pasar menggunakan modal pinjaman dari Bank Plecit untuk menopang keberlangsungan usahanya.
2.  Bank plecit mengenakan tingkat bunga atas pinjaman sebesar 20 sampai dengan 100 prosen dengan plafon antara Rp 50.000 sd 500.000.
3.  Pangsa pasar yang digarap adalah para pedagang dengan omzet/bulan rata-rata  sebesar Rp 1.000.000,oo sd Rp 10.000.000,oo. Pada kategori pedagang ini, Bank plecit berhasil menggarap sebanyak 54,54%. 
4.  Produk yang mereka tawarkan berbentuk uang, perabot rumah tangga, baju, sepeda dan emas. Dari ragam produk tersebut uang memiliki porsi terbesar yaitu 52,63%.
5.  Pola hubungan antara nasabah dengan bank plecit mengedepankan kekeluargaan dan tidak ada sanksi yang tegas sebagaimana pada lembaga keuangan formal. 
6.  62,50% pedagang tidak pernah mendapatkan kredit dari bank formal. 
7.  alternatif solusi agar para pedagang memilih bank sebagai supporting modalnya adalah kemudahan prosedur, syarat agunan yang mudah, proses pencairan dana yang cepat, syarat dan kelayakan usaha berdasarkan omzet dan fleksibel dalam hal pembayaran angsuran.
8.  Berkembangnya bank plecit dipandang sebagai faktor penghambat pertumbuhan usaha.
9.  Edukasi diyakini sebagai ”tool” dalam membangun kesadaran para pedagang  bahwa meminjam di bank formal adalah lebih baik dan menguntungkan  


C.  Menggagas Solusi Integratif Sebagai Sebuah Kewajiban.
Fakta menunjukkan bahwa pelaku Bank Plecit cukup sukses men-drive market di lingkungan pasar tradisional walau dengan bunga tinggi. Kalau kemudian ini dipandang sebagai faktor penghambat kemajuan umkm, maka konsep solusi wajib di formulasikan. Langkah awal BI Purwokerto cukup strategis dengan melakukan penelitian dan menindaklanjutinya dalam bentuk komunikasi informal dengan segenap pemangku kepentingan. Diskusi informal tersebut sukses merekam fakta-fakta lapangan yang bersifat memperkuat terhadap hasil penelitian.

Godaan berikutnya adalah apakah ini hanya sebatas menggugurkan kewajiban untuk bisa menyajikan fakta realitas yang valid ataukah adrenaline tergiring untuk menindaklanjuti ke langkah-langkah konstruktif.

Sebagai pemikiran awal, saat pemberdayaan umkm dijadikan sebuah fokus atau concern, maka keberadaan bank plecit hanyalah satu variabel yang kemudian dikategorikan sebagai faktor penghambat, khusunya dalam aspek permodalan yang efisien. Artinya, formula efektif harus mendefenisikan langkah-langkah konstruktif dan integratif agar umkm terberdayakan dan mampu meningkatkan kontribusinya terhadap geliat perkenomian, termasuk dalam hal penyediaan permodalan yang edukatif dan motivasional.

D. Sekedar Berwacana
Umkm merupakan bagian dari barisan pelaku ekonomi yang terbukti tetap bertahan saat terjadi goncangan ekonomi global, kecuali pelaku umkm yang dalam operasionalnya berhubungan dengan percaturan ekonomi global, seperti bakul mendoan yang sangat tergantung dengan kedelai dan lain sebagainya. Namun demikian, beberapa tahun terakhir ini isu globalisasi tak dapat dihindarkan sehingga semua komoditas hampir terpengaruh dengan dinamika ekonomi global.

Namun demikian, satu hal yang menjadi catatan dari fakta kehebatan umkm adalah “kemampuannya” beradaptasi dalam segala situasi. “Hidup harus berlanjut apapun keadaannya”, menjadi peyemangat  dan memaksa mereka untuk terus bergerak. Jadi, umkm sesungguhnya menjerit dengan realitas yang selalu berubah dan diluar jangkauan akal mereka, tetapi “semangat hidup” terus mendorong mereka untuk terus beradaptasi. Disamping itu, spiritualitas ketuhanan membuat mereka tetap berkeyakinan bahwa rejeki akan selalu ada sepanjang mereka berusaha.

Oleh karena itu, dalam dimensi kehidupan berbangsa dan bernegara, mendefenisikan bank plecit sebagai sebuah persoalan sesungguhnya berangkat dari sebuah kepedulian dan keinginan kuat untuk memberdayakan umkm yang pada gilirannya menciptakan multiplier efek bagi kehidupan perekenomian masyarakat. Pada saat itu hal semacam itu mewujud, maka pola intervensi negara bisa di katakan efektif.    

bersaing sehat” adalah gagasan awal dalam membentuk solusi bijak dalam bidang permodalan di lingkungan umkm, khususnya pelaku pasar. Hal ini berangkat dari asumsi bahwa setiap orang berhak melakukan usaha sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang dan norma yang berlaku di lingkungan masyarakat. “Bersaing sehat” yang dimaksud adalah melahirkan alternatif pendanaan baru yang “lebih efisien dan familiar” serta “edukatif dan motivasional”. Dengan demikian, langkah ini akan membentuk satu koreksi bijak atas realitas yang dianggap sebagian orang sebagai sebuah persoalan. Menghadirkan pemain baru bercirikan tingkat jasa yang  lebih rendah dan penggunaan ruh pengelolaan yang  juga mengusung semangat kekeluargaan dan pemberdayaan menjadi harapan baru bagi pelaku umkm .   


E. Mendeteksi Potensi Memberdayakan
BI yang salah satu fungsinya adalah membentuk regulasi berpotensi menjadi mediator strategis dalam judul pemberdayaan umkm. Lewat regulasi yang dibentuk, BI memiliki kekuatan mendorong bank-bank teknis untuk lebih memperhatikan umkm. Fakta menunjukkan bahwa persoalan “kecepatan, birokrasi dan fleksibilitas” telah menjadi inspirasi bagi berkembangnya bank plecit. Bahkan, untuk mendapatkan suntikan dana segar umkm sampai abai dengan persoalan tingkat bunga yang tinggi yang dipraktekkan oleh bank plecit.

Disatu sisi, sikap bank teknis bisa difahami. Spirit pertumbuhan laba yang menjadi titik tekan keberhasilan telah mendorong psikologis operasional perbankan untuk lebih meng-arus utamakan pelayanan terhadap para pelaku bisnis yang sudah besar dan terlatih atau familiar dengan urusan perbankan. Disamping itu, mengurus sedikit orang dalam kapasitas besar tentu lebih menarik ketimbang mengurus banyak orang tapi dalam skala kecil. Oleh karena itu, adalah sebuah kewajaran ketika alam bawah sadar pun mendorong perbankan cenderung abai dengan umkm  yang memiliki persoalan  kompleks dan susah untuk didefnisikan “layak” dari perspektif perbankan. Namun demikian, disisi lain muncul pertanyaan siapa yang akan mendorong pelaku usaha mikro beranjak menjadi kecil dan kemudian meningkat lagi menjadi menengah dan berujung besar ?. Apakah umkm dibiarkan berproses secara alamiah untuk menjadi besar?. Terlalu berlebihan kah menyimpulkan bahwa dunia perbankan cenderung egois?. Ironisnya, kesimpulan sementara semacam ini semakin menguat kala dana CSR perbankan pun di salurkan dengan setengah hati dimana “spirit marketing” masih melekat dalam proses penyalurannya. Sekali lagi, dalam perspektip bisnis ansih, sikap perbankan semacam ini bisa di fahami. Namun demikian, menjadi kurang tampak dalam perspektif “spirit kepedulian” dan keberpihakannya terhadap umkm.

Satu hal yang menjadi catatan, bahwa hakekatnya semua pengusaha ingin besar dan tidak satupun bercita-cita menjadi atau tetap bertahane di skala umkm. Ironisnya, hanya sebagian kecil yang menemukan cara tepat untuk menjadi besar dan sebagian besar lainnya tetap terkungkung dalam skala kecil dan agenda setiap harinya hanyalah menjawab pertanyaan “makan apa hari ini?”. Artinya, sebagian besar umkm belum beranjak memiliki kemampuan untuk menjawab tentang hari esok, sebab masih jarang  pihak yang mau dan ikhlas mengambil inisiatif atau bertindak sebagai “angel investor”. Oleh karena itu, suksesnya beberapa umkm menjadi besar cenderung bukan by design tetapi lebih tepat dikatakan persoalan keberuntungan. Demikian halnya bagi umkm yang tetap masih terpaku di ranah umkm juga bukan persoalan kesalahan design tetapi hampir mutlak menjadi persoalan nasib.

Oleh karena itu, ketika “spirit kepedulian” bisa menjadi ruh perbankan dalam berinteraksi dengan umkm, maka mendorong “perbankan” sebagai institusi pemberdayaan umkm akan terbuka. Artinya, ruwetnya persoalan umkm akan disentuh dengan semangat edukasi dan motivasi, sehingga keberdayaan umkm akan terwujud secara bertahap dan berkesinambungan. Spirit kepedulian pula yang akan mendorong terbentuknya regulasi yang lebih berpihak dan memungkinkan umkm bisa tumbuh dan berkembang.


F. Menakar Peluang Koperasi Sebagai Alternatif
Dalam tinjauan idealnya, koperasi adalah soko guru ekonomi. Namun demikian, fakta menunjukkan bahwa sampai saat ini koperasi belum bisa berbuat banyak dan tak kunjung mewujud sebagai sebuah lembaga pemberdayaan yang tangguh. Hasil pengamatan panjang menyimpulkan bahwa kesalahan sesungguhnya bukan pada “konsepsinya”, tetapi prakteknya yang mayoritas terjebak pada semangat pertumbuhan modal sehingga meninggalkan dan menanggalkan jati dirinya sebagai sebuah institusi pemberdayaan.

Sebagai illustrasi singkat untuk menuntun nalar rasionalitas koperasi sebagai intstitusi pemberdayaan, koperasi adalah kumpulan orang yang berkomitmen untuk hidup bersama memenuhi aspirasi dan kebutuhan ekonomi, sosial dan budaya melalui perusahaan yang mereka miliki bersama dan kendalikan secara demokratis. Artinya, warna aktivitas perusahaan koperasi sesungguhnya sangat ditentukan oleh dinamika aspirasi dan kebutuhan yang berlangsung di lingungan internalnya. Hal ini pula yang mendukung kesimpulan bahwa koperasi adalah institusi pemberdayaan dimana segenap unsur organisasi bergerak bersama-sama sesuai porsinya hingga terbentuk keberdayaan kolektif. Penyatuan komitmen menjadi modal sosial yang kemudian di-drive dengan semangat kekeluargaan sehingga kebermanfaatan lahir secara bertahap dan berkesinambungan. Semangat  dari, untuk dan oleh anggota” juga menandaskan bahwa idealnya koperasi memberdayakan karena dalam mencapai tujuannya semua unsur bergerak bersama. 

Secara obyektif fakta mayoritas koperasi menunjukkan bahwa dominasi elite organisasi telah mendorong koperasi tak ubahnya korporasi dan terjebak pada fokus pertumbuhan laba dan bahkan menjadikan anggota sebagai obyek yang dieksploitasi. Akibatnya, koperasi terjebak pada pertarungan berdarah-darah dan head to head dengan korporasi-korporasi yang memiliki manajemen yang lebih seatle. Pada akhirnya, elite koperasi tidak menemukan apa yang mereka cari dan pada wilayah anggota pun tidak terbentuk keberdayaan. Kalaupun kemudian ada praktek-praktek seperti kosipa  yang tidak ubahnya hampir sama dengan bank plecit, mutlak semangat utamanya adalah pertumbuhan modal dan masih jauh dari semangat pemberdayaan. Sehingga tidak mengherankan kalau kehadiran kosipa kurang memiliki implikasi nyata pagi peningkatan keberdayaan umkm.

Namun demikian, dalam konteks koperasi konsisten dengan jati dirinya sebagai sebuah lembaga pemberdayaan, maka koperasi bisa dijadikan salah satu alternatif strategis yang akan dijadikan sebagai institusi  yang terjun di pasar-pasar tradisional. Dalam konteks sederhana, logika kerja awalnya adalah meng-koperasikan segenap pedagang pasar. Dalam operasional nya, Disamping menyediakan modal yang murah koperasi harus meng-edukasi para pedagang yang sudah menjadi anggota penuh koperasi tentang bagaimana me-manage usaha dan keuangannya. Dengan demikian, mindset dan pola hidup para pedagang tersebut berubah dan keberdayaan akan terbentuk secara bertahap dan berkesinambungan.  


G. Penghujung
Dalam konteks praktek bisnis keuangan informal di nilai berpotensi menghambat perkembangan UMKM, Koreksi bijak dalam bentuk menghadirkan institusi alternatif yang lebih baik dalam hal pendanaan bagi umkm  menjadi opsi yang menarik, sebab tampaknya terlalu sulit berharap bank plecit merubah mindset dan kemudian menjeburkan diri nya dalam logika pemberdayaan. Sementara itu, Mendorong bank teknis (dengan pola regulasi pemberdayaan) atau menghadirkan  koperasi (yang sesuai dengan konsepsi dan jati dirinya) merupakan 2 (dua) alternatif  yang bisa dipilih atau bahkan di kombinasikan melalui kemitraan strategis kedua lembaga tersebut dalam melahirkan kontribusi yang nyata bagi pemberdayaan umkm.

Demikian pemikiran sederhana ini yang merupakan hasil dari kontemplasi seputar bank plecit dan umkm, khususnya di lingkungan pasar tradisional. Tulisan ini tentu masih jauh dari sempurna, semoga bisa menginspirasi kebaikan dan hadirnya solusi integratif  yang berimplikasi pada pertumbuhan dan perkembangan geliat ekonomi secara bertahap dan berkesinambungan. Amin.


Purwokerto, 06 Maret 2014


Muhammad Arsad Dalimunte
Wakil Ketua Kadin Banyumas
Share this article :

Posting Komentar

.

 
Copyright © 2015. ARSAD CORNER - All Rights Reserved