“BERSAING SEHAT” SEBAGAI JALAN DAMAI
(PENSIKAPAN SEPUTAR PERSOALAN BANK PLECIT)
A. Prolog
Berangkat dari kepedulian dan keinginan
kuat tumbuh kembangnya UMKM dan
pembacaan masyarakat yang cenderung
minir dan kemudian melahirkan empati membentuk solusi integratif, kemudian BI Purwokerto
meng-inisiasi komunikasi informal dengan segenap pemangku kepentingan pada
tanggal 04 Maret 2014. Pada pertemuan pertama yang berlangsung sejak pukul 19.oo wib tersebut, komunikasi yang
berlangsung cenderung meng-eksplorasi pola operasional bank plecit melalui testimoni
dari para pelaku bisnis keuangan informal ini. Banyak informasi yang diperoleh,
baik mengenai pola operasional maupun resiko tinggi yang dialami mereka. Fakta adanya
beberapa pelaku bisnis ini yang bangkrut akibat kurang lihai dalam me-maintenance nasabah, menunjukkan tingginya resiko bisnis ini dimana
“kekeluargaan”
dijadikan sebagai prinsip operasional.
Ada fakta lain yang menarik dari
diskusi informal tersebut. Saat sebagian
penanya mencoba mendefenisikan praktek bisnis ini sebagai sebuah hal kurang
tepat dengan mengemukakan fakta minirnya persepsi masyarakat terhadap praktek
bisnis ini dan kemudian mendefenisikannya dengan istilah yang kurang enak di
dengar seperti bank ucek-ucek, rentenir dan lain sebagainya, para pelaku bisnis
keuangan informal ini justru tidak menganggap istilah-istilah itu membebani
psikologis mereka. Artinya, mereka mempersilahkan mayarakat berpersepsi atau
mendefenisilan bisnis ini dengan apa saja. Mungkin, sikap ini dilandasi fakta
lapangan dan keyakinan mereka bahwa masih banyak anggota masyarakat yang
membutuhkan kehadiran mereka. Fakta lain yang menarik juga terungkap dari
pengakuan pengalaman empiris salah satu bank teknis tentang kegagalan mereka men-drive pangsa pasar di lingkungan pasar walau
telah menawarkan jasa hanya sebesar 1% (satu prosen). Artinya, dimungkinkan
adanya “feel” dan “suasana kebathinan” dari umkm yang belum tertemukan oleh
bank teknis ini, sehingga 1% tak cukup menarik bagi para pelaku umkm untuk beralih.
Sayangnya, program ini sementara dihentikan dan belum dijelaskan apakah bank
teknis tersebut terus melakukan pendalaman untuk menemukan akar masalahnya dan
kemudian beraksi lagi di lingkungan pasar.
Pertanyaan menarik adalah: apakah sesungguhnya hal ini benar-benar
sebuah masalah?.
Untuk mendefenisikan hal ini
sebagai sebuah masalah, tentu sangat tergantung sudut pandangnya. Fakta
banyaknya yang menggunakan jasa Bank Plecit menunjukkan bahwa pedagang di lingkungan pasar tradisional masih membutuhkan
kehadiran mereka, terutama yang
sedang menghadapi persoalan serius dalam hal keuangan sehingga membutuhkan solusi cepat
dan mudah walau harus mengabaikan kata “murah” dari sisi jasa. Kalau kemudian “tingkat jasa”
yang menjadi persoalan utama karena analisa yang menyimpulkan bahwa praktek
bunga tinggi tidak akan membuat pelaku umkm berkembang, maka empati
atau keprihatinan semacam ini harus mampu di turunkan ke dalam satu formula
integratif sehingga menghasilkan solusi bijak yang berujung terbentuknya penguatan
umkm dalam arti luas.
B. Pokok-Pokok Perhatian Dari Hasil Penelitian.
Penelitian tentang Bank
Plecit yang di inisiasi oleh BI Purwokerto dimana dalam proses penelitiannya
bekerjasama dengan Laboratorium IESP Fak Ekonomi dan Bisnis Unsoed, telah
menginspirasi “tema diskusi” menarik. Publikasi hasil penelitian di media massa
pun ikut membuat tema ini menjadi makin penting untuk di gagas, khususnya solusi terbaik.
Me-referensi pada ringkasan dan kesimpulan hasil
penelitian, ada beberapa hal yang menjadi perhatian antara lain :
1. 22,73 % dari
pedagang/bakul di pasar menggunakan modal pinjaman dari Bank Plecit untuk
menopang keberlangsungan usahanya.
2. Bank plecit mengenakan
tingkat bunga atas pinjaman sebesar 20 sampai dengan 100 prosen dengan plafon
antara Rp 50.000 sd 500.000.
3. Pangsa pasar yang
digarap adalah para pedagang dengan omzet/bulan rata-rata sebesar Rp 1.000.000,oo sd Rp 10.000.000,oo.
Pada kategori pedagang ini, Bank plecit berhasil menggarap sebanyak
54,54%.
4. Produk yang mereka
tawarkan berbentuk uang, perabot rumah tangga, baju, sepeda dan emas. Dari
ragam produk tersebut uang memiliki porsi terbesar yaitu 52,63%.
5. Pola hubungan antara
nasabah dengan bank plecit mengedepankan kekeluargaan dan tidak ada sanksi yang
tegas sebagaimana pada lembaga keuangan formal.
6. 62,50% pedagang tidak
pernah mendapatkan kredit dari bank formal.
7. alternatif solusi agar
para pedagang memilih bank sebagai supporting modalnya adalah kemudahan
prosedur, syarat agunan yang mudah, proses pencairan dana yang cepat, syarat
dan kelayakan usaha berdasarkan omzet dan fleksibel dalam hal pembayaran
angsuran.
8. Berkembangnya bank
plecit dipandang sebagai faktor penghambat pertumbuhan
usaha.
9. Edukasi diyakini
sebagai ”tool” dalam membangun kesadaran para pedagang bahwa meminjam di bank formal adalah lebih
baik dan menguntungkan
C. Menggagas Solusi Integratif
Sebagai Sebuah Kewajiban.
Fakta menunjukkan bahwa pelaku
Bank Plecit cukup sukses men-drive market di lingkungan pasar tradisional walau
dengan bunga tinggi. Kalau kemudian ini dipandang sebagai faktor penghambat
kemajuan umkm, maka konsep solusi wajib di formulasikan. Langkah awal BI
Purwokerto cukup strategis dengan melakukan penelitian dan menindaklanjutinya dalam bentuk komunikasi informal dengan
segenap pemangku kepentingan. Diskusi informal tersebut sukses merekam
fakta-fakta lapangan yang bersifat memperkuat terhadap hasil penelitian.
Godaan berikutnya adalah apakah
ini hanya sebatas menggugurkan kewajiban untuk bisa menyajikan fakta realitas yang
valid ataukah adrenaline tergiring untuk menindaklanjuti ke langkah-langkah
konstruktif.
Sebagai pemikiran awal, saat
pemberdayaan umkm dijadikan sebuah fokus atau concern, maka keberadaan
bank plecit hanyalah satu variabel yang kemudian dikategorikan sebagai faktor penghambat,
khusunya dalam aspek permodalan yang efisien. Artinya,
formula efektif harus mendefenisikan langkah-langkah konstruktif dan integratif
agar umkm terberdayakan dan mampu meningkatkan kontribusinya terhadap geliat
perkenomian, termasuk dalam hal penyediaan permodalan yang edukatif dan
motivasional.
D. Sekedar Berwacana
Umkm merupakan bagian dari barisan
pelaku ekonomi yang terbukti tetap bertahan saat terjadi goncangan ekonomi
global, kecuali pelaku umkm yang dalam operasionalnya berhubungan dengan
percaturan ekonomi global, seperti bakul mendoan yang sangat tergantung dengan
kedelai dan lain sebagainya. Namun demikian, beberapa tahun terakhir ini isu globalisasi
tak dapat dihindarkan sehingga semua komoditas hampir terpengaruh dengan dinamika
ekonomi global.
Namun demikian, satu hal yang
menjadi catatan dari fakta kehebatan umkm adalah “kemampuannya” beradaptasi
dalam segala situasi. “Hidup harus berlanjut apapun keadaannya”,
menjadi peyemangat dan memaksa mereka
untuk terus bergerak. Jadi, umkm sesungguhnya menjerit dengan realitas yang
selalu berubah dan diluar jangkauan akal mereka, tetapi “semangat hidup” terus
mendorong mereka untuk terus beradaptasi. Disamping itu, spiritualitas ketuhanan
membuat mereka tetap berkeyakinan bahwa rejeki akan selalu ada sepanjang mereka
berusaha.
Oleh karena itu, dalam dimensi
kehidupan berbangsa dan bernegara, mendefenisikan bank plecit sebagai
sebuah persoalan sesungguhnya berangkat dari sebuah kepedulian dan keinginan
kuat untuk memberdayakan umkm yang pada gilirannya menciptakan multiplier
efek bagi kehidupan perekenomian masyarakat. Pada saat itu hal semacam
itu mewujud, maka pola intervensi negara bisa di katakan efektif.
“bersaing sehat” adalah
gagasan awal dalam membentuk solusi bijak dalam bidang permodalan di lingkungan
umkm, khususnya pelaku pasar. Hal ini berangkat dari asumsi bahwa setiap orang
berhak melakukan usaha sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang dan
norma yang berlaku di lingkungan masyarakat. “Bersaing sehat” yang
dimaksud adalah melahirkan alternatif pendanaan baru yang “lebih efisien dan familiar”
serta “edukatif dan motivasional”. Dengan demikian,
langkah ini akan membentuk satu koreksi bijak atas realitas yang dianggap
sebagian orang sebagai sebuah persoalan. Menghadirkan pemain baru
bercirikan tingkat jasa yang lebih
rendah dan penggunaan ruh pengelolaan yang
juga mengusung semangat kekeluargaan dan pemberdayaan menjadi harapan
baru bagi pelaku umkm .
E. Mendeteksi Potensi Memberdayakan
BI yang salah satu fungsinya
adalah membentuk regulasi berpotensi menjadi mediator strategis dalam judul pemberdayaan
umkm. Lewat regulasi yang dibentuk, BI memiliki kekuatan mendorong bank-bank
teknis untuk lebih memperhatikan umkm. Fakta menunjukkan bahwa persoalan “kecepatan,
birokrasi dan fleksibilitas” telah menjadi inspirasi bagi berkembangnya
bank plecit. Bahkan, untuk mendapatkan suntikan dana segar umkm sampai abai dengan persoalan tingkat bunga yang
tinggi yang dipraktekkan oleh bank plecit.
Disatu sisi, sikap bank teknis
bisa difahami. Spirit pertumbuhan laba yang menjadi titik tekan keberhasilan
telah mendorong psikologis operasional perbankan untuk lebih meng-arus
utamakan pelayanan terhadap para pelaku bisnis yang sudah besar dan terlatih atau familiar dengan urusan perbankan. Disamping itu, mengurus sedikit
orang dalam kapasitas besar tentu lebih menarik ketimbang mengurus banyak orang
tapi dalam skala kecil. Oleh karena itu, adalah sebuah kewajaran ketika alam
bawah sadar pun mendorong perbankan cenderung abai dengan umkm yang memiliki persoalan kompleks dan susah untuk didefnisikan “layak”
dari perspektif perbankan. Namun demikian, disisi lain muncul pertanyaan siapa
yang akan mendorong pelaku usaha mikro beranjak menjadi kecil
dan kemudian meningkat lagi menjadi menengah dan berujung besar
?. Apakah umkm dibiarkan berproses secara alamiah untuk menjadi besar?. Terlalu
berlebihan kah menyimpulkan bahwa dunia
perbankan cenderung egois?. Ironisnya, kesimpulan sementara semacam ini semakin
menguat kala dana CSR perbankan pun di salurkan dengan setengah hati dimana “spirit
marketing” masih melekat dalam proses penyalurannya. Sekali lagi, dalam
perspektip bisnis ansih, sikap perbankan semacam ini bisa di fahami. Namun
demikian, menjadi kurang tampak dalam perspektif “spirit kepedulian” dan
keberpihakannya terhadap umkm.
Satu hal yang menjadi catatan,
bahwa hakekatnya semua pengusaha ingin besar dan tidak satupun bercita-cita
menjadi atau tetap bertahane di skala umkm. Ironisnya, hanya sebagian kecil yang
menemukan cara tepat untuk menjadi besar dan sebagian besar lainnya tetap
terkungkung dalam skala kecil dan agenda setiap harinya hanyalah menjawab
pertanyaan “makan apa hari ini?”. Artinya, sebagian besar umkm belum
beranjak memiliki kemampuan untuk menjawab tentang hari esok, sebab masih
jarang pihak yang mau dan ikhlas mengambil
inisiatif atau bertindak sebagai “angel investor”. Oleh karena itu,
suksesnya beberapa umkm menjadi besar cenderung bukan by design tetapi lebih
tepat dikatakan persoalan keberuntungan. Demikian halnya bagi
umkm yang tetap masih terpaku di ranah umkm juga bukan persoalan kesalahan design
tetapi hampir mutlak menjadi persoalan nasib.
Oleh karena itu, ketika “spirit
kepedulian” bisa menjadi ruh perbankan dalam berinteraksi dengan umkm,
maka mendorong “perbankan” sebagai institusi pemberdayaan umkm akan terbuka.
Artinya, ruwetnya persoalan umkm akan disentuh dengan semangat edukasi dan
motivasi, sehingga keberdayaan umkm akan terwujud secara bertahap dan
berkesinambungan. Spirit kepedulian pula yang akan mendorong terbentuknya
regulasi yang lebih berpihak dan memungkinkan umkm bisa tumbuh dan berkembang.
F. Menakar Peluang Koperasi Sebagai Alternatif
Dalam tinjauan idealnya, koperasi
adalah soko guru ekonomi. Namun demikian, fakta menunjukkan bahwa sampai saat
ini koperasi belum bisa berbuat banyak dan tak kunjung mewujud sebagai sebuah
lembaga pemberdayaan yang tangguh. Hasil pengamatan panjang menyimpulkan bahwa
kesalahan sesungguhnya bukan pada “konsepsinya”, tetapi prakteknya yang mayoritas
terjebak pada semangat pertumbuhan modal sehingga meninggalkan dan menanggalkan
jati dirinya sebagai sebuah institusi pemberdayaan.
Sebagai illustrasi singkat untuk
menuntun nalar rasionalitas koperasi sebagai intstitusi pemberdayaan, koperasi
adalah kumpulan orang yang berkomitmen untuk hidup bersama memenuhi aspirasi
dan kebutuhan
ekonomi, sosial dan budaya melalui perusahaan yang mereka miliki bersama dan
kendalikan secara demokratis. Artinya, warna aktivitas perusahaan koperasi
sesungguhnya sangat ditentukan oleh dinamika aspirasi dan kebutuhan yang
berlangsung di lingungan internalnya. Hal ini pula yang mendukung kesimpulan
bahwa koperasi adalah institusi pemberdayaan dimana segenap unsur organisasi
bergerak bersama-sama sesuai porsinya hingga terbentuk keberdayaan kolektif.
Penyatuan komitmen menjadi modal sosial yang kemudian di-drive dengan semangat
kekeluargaan sehingga kebermanfaatan lahir secara bertahap dan
berkesinambungan. Semangat “dari,
untuk dan oleh anggota” juga menandaskan bahwa idealnya koperasi memberdayakan
karena dalam mencapai tujuannya semua unsur bergerak bersama.
Secara obyektif fakta mayoritas
koperasi menunjukkan bahwa dominasi elite organisasi telah mendorong koperasi
tak ubahnya korporasi dan terjebak pada fokus pertumbuhan laba dan bahkan menjadikan anggota
sebagai obyek yang dieksploitasi.
Akibatnya, koperasi terjebak pada pertarungan berdarah-darah dan head
to head dengan korporasi-korporasi yang memiliki manajemen yang lebih seatle.
Pada akhirnya, elite koperasi tidak menemukan apa yang mereka cari dan pada
wilayah anggota pun tidak terbentuk keberdayaan. Kalaupun kemudian ada
praktek-praktek seperti kosipa yang tidak ubahnya hampir
sama dengan bank plecit, mutlak semangat utamanya adalah pertumbuhan modal dan
masih jauh dari semangat pemberdayaan. Sehingga tidak mengherankan kalau kehadiran kosipa
kurang memiliki implikasi nyata pagi peningkatan keberdayaan umkm.
Namun demikian, dalam konteks
koperasi konsisten dengan jati dirinya sebagai sebuah lembaga
pemberdayaan, maka koperasi bisa dijadikan salah satu alternatif strategis yang
akan dijadikan sebagai institusi yang
terjun di pasar-pasar tradisional. Dalam konteks sederhana, logika kerja
awalnya adalah meng-koperasikan segenap pedagang pasar. Dalam operasional nya,
Disamping menyediakan modal yang murah koperasi harus
meng-edukasi para pedagang yang sudah menjadi anggota penuh koperasi
tentang bagaimana me-manage usaha dan keuangannya. Dengan demikian, mindset
dan pola hidup para pedagang tersebut berubah dan keberdayaan akan terbentuk
secara bertahap dan berkesinambungan.
G. Penghujung
Dalam konteks praktek bisnis keuangan informal di nilai berpotensi menghambat perkembangan UMKM, Koreksi bijak dalam
bentuk menghadirkan institusi alternatif yang lebih baik dalam hal pendanaan bagi umkm menjadi opsi yang menarik, sebab tampaknya terlalu sulit berharap
bank plecit merubah mindset dan kemudian menjeburkan diri nya dalam logika pemberdayaan. Sementara itu, Mendorong bank teknis (dengan pola regulasi
pemberdayaan) atau menghadirkan koperasi
(yang sesuai dengan konsepsi dan jati dirinya) merupakan 2 (dua) alternatif yang bisa dipilih atau bahkan di kombinasikan
melalui kemitraan strategis kedua lembaga tersebut dalam melahirkan
kontribusi yang nyata bagi pemberdayaan umkm.
Demikian pemikiran sederhana ini yang
merupakan hasil dari kontemplasi seputar bank plecit dan
umkm, khususnya di lingkungan pasar tradisional. Tulisan ini tentu masih jauh
dari sempurna, semoga bisa menginspirasi kebaikan dan hadirnya solusi
integratif yang berimplikasi
pada pertumbuhan dan perkembangan geliat ekonomi secara bertahap dan
berkesinambungan. Amin.
Purwokerto,
06 Maret 2014
Muhammad Arsad Dalimunte
Wakil
Ketua Kadin Banyumas
Posting Komentar
.