MENELISIK
POSISI KOPERASI
DALAM
LINGKAR HIDUP ANGGOTA DAN KARYAWAN/TI
Tulisan ini menjadi bagian dari materi buku berjudul "SHU 0 (nol)"
yang Insya Allah akan segera terbit. Mohon Do'anya ya dari segenap pembaca "arsadcorner"
A. Posisi Koperasi Dalam Lingkar
Hidup Anggota
Ada hal menarik menelisik
seberapa jauh makna koperasi sesungguhnya bagi kehidupan seorang anggota. Hal ini penting untuk mendudukkan porsi
ekspekstasi anggota terhadap koperasinya sendiri. Kalau koperasi menjadi
satu-satunya topangan hidup, maka anggota ini seharusnya berperan juga sebagai
seorang karyawan/ti di unit layanan yang diselenggarakan oleh koperasi. Tetapi
kalau anggota tersebut memiliki penghasilan
tetap dari pekerjaannya, maka bagi anggota tersebut, koperasi mungkin hanya bagian dari unsur
yang mendukung dalam mewujudkan sebagian atau mendukung cita-cita pribadinya. Kalau kemudian anggota
tersebut memposisikan koperasi sebagai lembaga investasi, mungkin fokus orang
tersebut adalah menjaga tumbuh kembang nilai investasi yang dia tanamkan.
Maksud semacam ini hanya mungkin terfasilitasi bila anggota tersebut berada di
lingkungan koperasi yang getol dengan pertumbuhan SHU atau koperasi yang
menawarkan return berupa jasa yang tinggi melebihi lembaga keuangan lainnya.
Kalau hal ini yang terjadi, ada kecenderungan (walau tidak mutlak) koperasi
tersebut mungkin abai dengan jati diri
koperasi. Alasannya sederhana, agar koperasi berkemampuan memberi return
yang menarik atas tabungan anggotanya,
maka koperasi tersebut harus mendapatkan income besar dari akumulasi
pemasukan jasa pinjaman yang di berikan kepada anggota. Artinya, koperasi
menjadikan anggota lainnya sebagai obyek yang di eksploitasi secara terus
menerus untuk kepentingan sedikit anggota yang kebetulan memiliki uang untuk
diinvestasikan dalam koperasi. Hal lainnya yang mungkin terjadi adalah hasrat
anggota meminjam dibiarkan tanpa filterisasi
apakah pemberian pinjaman tersebut membawa kebaikan atau keburukan, sehingga
fokus anggota lainnya hanyalah “keterpenuhan naluri meminjam” dan
abai dengan perolehan SHU. Praktek
semacam ini tentu kontra produktif terhadap visi besar koperasi yang sering di identikkan
dengan pemberdayaan. Disisi lain, banyak anggota berharap SHU yang besar dari rutinitas partisipasinya membayar iuran rutin bulanan. Kalau ini menjadi "arah" yang akan di tuju koperasi, seberapa besar peluang koperasi mampu mewujudkannya. Sebagai illustrasi, andai sebuah koperasi memiliki anggota 1000 orang dan masing-masing anggota adalah pribadi-pribadi produktif dan memiliki pekerjaan tetap dengan rata-rata penghasilan Rp 2.500.000,oo (dua juta lima ratus ribu rupiah). Kalau dalam konteks anggota menginginkan SHU per tahun nya sebesar 1 (satu) bulan gaji yang diterimanya dari tempatnya bekerja, maka hal itu berarti koperasi harus memiliki SHU sebesar Rp 2,5 M. Untuk itu, usaha apakah yang harus dijalankan koperasi agar bisa mencapai SHU sebesar itu?. Ketika akumulasi margin (SHU) yang diperoleh juga didapat dari transaksi anggota, mungkin saja koperasi akan meng-eksploitasi anggotanya sendiri. Apalagi dari perspektif UU No.17 Tahun 2012 tentang "perkoperasian" mengatur bahwa SHU yang diperoleh koperasi dari transaksi dengan non-anggota tidak boleh dibagikan dengan anggota, maka hal membagi SHU kepada anggota sebesar itu menjadi jauh dari kemungkinan. Berbeda halnya bila dengan berkoperasi diharapkan mampu meningkatkan kualitas usaha yang dijalankan anggota, baik lewat pembinaan manajemen ataupun penyediaan modal dengan jasa rendah, maka posisi koperasi menjadi tegas sebagai institusi yang mendorong laju pertumbuhan usaha yang dijalankan oleh anggotanya secara pribadi. Hal senada juga terjadi bila lewat berkoperasi anggota mendapatkan efisiensi kolektif sehingga terbentuk peningkatan pendapatan riil anggota saat mereka mentransaksikan kebutuhan sehari-harinya di toko swalayan koperasi yang meyelenggarakan “harga pokok” kepada segenap anggotanya.
B. Posisi Koperasi Dalam Lingkar
Hidup Karyawan/ti
Karyawan/ti koperasi adalah
insan-insan yang mengabdikan diri dalam penyelenggaraan unit-unit layanan
koperasi. Mereka menambatkan masa depannya di koperasi dan meyakini bahwa
koperasi adalah mesin penjawab terhadap pencapaian cita-cita pribadi mereka.
Oleh karena itu, sebagai institusi yang menjunjung tingga nilai-nilai
kemanusiaan, koperasi harus mampu memposisikan pekerjanya dalam porsi yang
tepat sehingga mereka memiliki seribu alasan untuk totalitas dalam
menumbuhkembangkan manajemen perusahaan koperasi. Kebijakan-kebijakan yang
diambil koperasi dalam memperluas kebermanfaatan kepada anggota jangan sampai
melukai kehidupan ekonomi karyawan/ti. Artinya, unsur kesejahteraan pekerja
koperasi harus masuk dalam pertimbangan setiap kebijakan pengelolaan perusahaan
koperasi. Fakta menunjukkan bahwa banyak koperasi yang belum mengapresiasi
pekerjanya dengan layak. Disamping karena kualitas pekerja masih dibawah rata-rata,
orientasi dan kreativitas pengembangan organisasi dan perusahaan sangat minim
sehingga koperasi berjalan alamiah dan apa adanya. Kondisi semacam ini
menjadikan sulit untuk mengembangkan apresiasi kepada segenap pekerja koperasi.
Tidak hanya itu sebenarnya, apresiasi terhadap pengurus dan pengawas juga sulit
dirumuskan. Mindset koperasi sebagai lembaga pengabdian alias lembaga sosial
begitu kental dan hal ini merupakan kekeliruan besar yang berpengaruh dalam
pertumbuhan dan perkembangan kualitas berkoperasi. Oleh karena itu, perlu melakukan reposisi
mindset dalam berkoperasi sehingga terdorong untuk mengembangkan ragam
kreativitas berbasis aspirasi dan kebutuhan anggota. Pemaknaan koperasi harus
tepat dan berkemampuan memposisikan perusahaan koperasi sebagai mesin penjawab
efektif dari dinamika kebutuhan dan aspirasi anggota. Dinamika keseharian
koperasi harus dibuat atraktkif dalam nuansa pemberdayaan yang senantiasa
terbangun dan terjaga. Koperasi yang lahir dari semangat kemanusiaan harus
menandaskan dirinya sebagai institusi yang
sangat peka terhadap persoalan-persoalan kemanusiaan, keadilan dan
kesejahteraan dalam arti luas. Untuk itu, koperasi harus membentuk ketauladanan
internal sehingga melahirkan satu apresiasi dan keberpihakan dari segenap
lapisan masyarakat. Para pegiat dan pekerja koperasi harus memiliki kebanggaan
atas apa yang mereka kerjakan. Dengan demikian, gaung kebaikan-kebaikan
koperasi akan tersosialisasikan secara alamiah melalui testimonial yang
dilakukan pekerja, pegiat dan juga segenap anggota koperasi. Dalam kondisi
semacam ini, maka apresiasi dan gairah masyarakat untuk menjadi bagian dari
barisan koperasi akan terus meningkat dan saat itu koperasi akan semakin
berpeluang mengembangkan kebermanfaatannya.
C. Nalar Keadilan Apresiasi Terhadap
Pegiat dan Pekerja Koperasi.
Saat pegiat (baca: pengurus
dan pengawas) dan pekerja koperasi mencurahkan segenap kemampuannya untuk
membangun atau memperluas kebermanfaatan berkoperasi bagi anggota, maka mereka
akan kehilangan kesempatan untuk memikirkan private sector mereka.
Disisi lain disaat yang sama, lewat
tumbuh kembangnya ragam kebermanfaatan berkoperasi yang dirasakan oleh anggota,
maka semakin besar pula peluang anggota mengembangkan private sector nya. Sebagai contoh, tatkala pegiat dan pekerja koperasi mampu
memobilisasi semangat anggota dalam berkontribusi atau berpartisipasi dalam
mengembangkan perusahaan koperasi, kemudia terbentuk sebuah toko swalayan yang
menyajikan harga yang lebih murah ketimbang di toko yang lain. Artinya,
pendapatan anggota akan meningkat secara riil dan efisiensi yang dihasilkan
bisa dimanfaatkan untuk kepentingan lainnya seperti menabung untuk pendidikan
anak-anaknya dan lain sebagainya. Demikian halnya, saat pegiat dan pekerja
koperasi mampu mengedukasi dan memotivasi anggota untuk mengembangkan tabungan
anggota yang berimbas langsung pada kemampuan koperasi untuk menyelenggarakan
pinjaman dengan tingkat jasa yang sangat
rendah, maka hal ini akan meningkatkan kemampuan anggota dalam meng-akselerasi
pertumbuhan usaha pribadi yang dijalankannya. Dengan biaya modal kerja yang
lebih murah akan membuat usaha anggota lebih berdaya saing sehingga berpeluang
mendapat penghasilan yang lebih baik. Kalau kemudian hal ini terus berlangsung
maka pada titik tertentu usaha pribadi anggota tersebut akan membesar dan
menjadi satu jalan hidup bagi pemenuhan kebutuhan dan cita-citanya.
Dalam konteks pegiat dan
pekerja koperasi mampu mewujudkan hal
sebagaimana di contohkan diatas, maka bisa di nalar bahwa pada ukuran waktu
tertentu anggota akan sejahtera bersama koperasi. Kemudian muncul pertanyaan menggelitik,
bagaimana dengan nasib para pegiat atau pekerja koperasi?. Apakah pada kurun waktu yang sama mereka
sudah punya private sector yang
menjadi tumpuan hidup mereka dalam
jangka panjang?. Ataukah pertanyaan ini
cukup dijawab hal tersebut sebagai sebuah resiko memilih menjadi pegiat atau
pekerja koperasi?. Adakah jawaban semacam itu bijak dalam sebuah institusi yang
katanya memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan?.
Mungkin pertanyaan semacam ini
tak layak ditanyakan di lingkungan perusahaan-perusahaan non-koperasi dimana
pekerja di eksploitasi untuk kepentingan pertumbuhan modal. Hubungan antara
pemilik perusahaan dan pekerja sebatas hubungan industrialis yang kemudian di notasikan
ke dalam perjanjian kerja dan salary. Hal semacam ini pun memang tidak ada
kewajiban moral perusahaan yang mengharuskan
menilik relevansi pertumbuhan perusahaan dengan pertumbuhan kualitas
hidup pekerjanya.

Posting Komentar
.