POSISI KOPERASI DALAM LINGKAR HIDUP ANGGOTA DAN KARYAWAN/TI | ARSAD CORNER

POSISI KOPERASI DALAM LINGKAR HIDUP ANGGOTA DAN KARYAWAN/TI

Senin, 24 Februari 20140 komentar



MENELISIK POSISI KOPERASI

DALAM LINGKAR HIDUP ANGGOTA DAN KARYAWAN/TI


Tulisan ini menjadi bagian dari  materi buku berjudul "SHU 0 (nol)"
 yang Insya Allah akan segera terbit. Mohon Do'anya ya dari segenap pembaca "arsadcorner"





A.  Posisi Koperasi Dalam Lingkar Hidup Anggota


Ada hal menarik menelisik seberapa jauh makna koperasi sesungguhnya bagi  kehidupan seorang anggota.  Hal ini penting untuk mendudukkan porsi ekspekstasi anggota terhadap koperasinya sendiri. Kalau koperasi menjadi satu-satunya topangan hidup, maka anggota ini seharusnya berperan juga sebagai seorang karyawan/ti di unit layanan yang diselenggarakan oleh koperasi. Tetapi kalau anggota tersebut memiliki penghasilan tetap dari pekerjaannya, maka bagi anggota tersebut, koperasi mungkin hanya bagian dari unsur yang mendukung dalam mewujudkan sebagian atau mendukung cita-cita pribadinya. Kalau kemudian anggota tersebut memposisikan koperasi sebagai lembaga investasi, mungkin fokus orang tersebut adalah menjaga tumbuh kembang nilai investasi yang dia tanamkan. Maksud semacam ini hanya mungkin terfasilitasi bila anggota tersebut berada di lingkungan koperasi yang getol dengan pertumbuhan SHU atau koperasi yang menawarkan return berupa jasa yang tinggi melebihi lembaga keuangan lainnya. Kalau hal ini yang terjadi, ada kecenderungan (walau tidak mutlak) koperasi tersebut  mungkin abai dengan jati diri koperasi. Alasannya sederhana, agar koperasi berkemampuan memberi return yang menarik atas  tabungan anggotanya, maka koperasi tersebut harus mendapatkan income besar dari akumulasi pemasukan jasa pinjaman yang di berikan kepada anggota. Artinya, koperasi menjadikan anggota lainnya sebagai obyek yang di eksploitasi secara terus menerus untuk kepentingan sedikit anggota yang kebetulan memiliki uang untuk diinvestasikan dalam koperasi. Hal lainnya yang mungkin terjadi adalah hasrat anggota meminjam dibiarkan  tanpa filterisasi apakah pemberian pinjaman tersebut membawa kebaikan atau keburukan, sehingga fokus anggota lainnya hanyalah “keterpenuhan naluri meminjam” dan abai dengan perolehan SHU.  Praktek semacam ini tentu kontra produktif terhadap visi besar koperasi yang sering di identikkan dengan pemberdayaan. Disisi lain, banyak anggota berharap SHU yang besar dari rutinitas partisipasinya membayar  iuran rutin bulanan. Kalau ini menjadi "arah" yang akan di tuju koperasi, seberapa besar peluang koperasi mampu mewujudkannya. Sebagai illustrasi, andai sebuah koperasi memiliki anggota 1000 orang dan masing-masing anggota adalah pribadi-pribadi produktif dan memiliki pekerjaan tetap dengan rata-rata penghasilan Rp 2.500.000,oo (dua juta lima ratus ribu rupiah). Kalau dalam konteks anggota menginginkan SHU per tahun nya sebesar 1 (satu) bulan gaji yang diterimanya dari tempatnya bekerja, maka hal itu berarti koperasi harus memiliki SHU sebesar Rp 2,5 M. Untuk itu, usaha apakah yang harus dijalankan koperasi agar bisa mencapai SHU sebesar itu?. Ketika akumulasi margin (SHU) yang diperoleh juga didapat dari transaksi anggota, mungkin saja koperasi akan meng-eksploitasi anggotanya sendiri.  Apalagi dari perspektif UU No.17 Tahun 2012 tentang "perkoperasian" mengatur bahwa SHU yang diperoleh koperasi dari transaksi dengan non-anggota tidak boleh dibagikan dengan anggota, maka hal membagi SHU kepada anggota sebesar itu menjadi jauh dari kemungkinan.

Berbeda halnya bila dengan berkoperasi diharapkan mampu meningkatkan kualitas usaha yang dijalankan anggota, baik lewat pembinaan manajemen ataupun penyediaan modal dengan jasa rendah, maka posisi koperasi menjadi tegas sebagai institusi yang  mendorong laju pertumbuhan usaha yang dijalankan  oleh anggotanya secara pribadi. Hal senada juga terjadi bila lewat berkoperasi anggota mendapatkan efisiensi kolektif sehingga terbentuk peningkatan pendapatan riil anggota saat mereka mentransaksikan kebutuhan sehari-harinya di toko swalayan koperasi yang meyelenggarakan “harga pokok” kepada segenap anggotanya.  





B.  Posisi Koperasi Dalam Lingkar Hidup Karyawan/ti

Karyawan/ti koperasi adalah insan-insan yang mengabdikan diri dalam penyelenggaraan unit-unit layanan koperasi. Mereka menambatkan masa depannya di koperasi dan meyakini bahwa koperasi adalah mesin penjawab terhadap pencapaian cita-cita pribadi mereka. Oleh karena itu, sebagai institusi yang menjunjung tingga nilai-nilai kemanusiaan, koperasi harus mampu memposisikan pekerjanya dalam porsi yang tepat sehingga mereka memiliki seribu alasan untuk totalitas dalam menumbuhkembangkan manajemen perusahaan koperasi. Kebijakan-kebijakan yang diambil koperasi dalam memperluas kebermanfaatan kepada anggota jangan sampai melukai kehidupan ekonomi karyawan/ti. Artinya, unsur kesejahteraan pekerja koperasi harus masuk dalam pertimbangan setiap kebijakan pengelolaan perusahaan koperasi. Fakta menunjukkan bahwa banyak koperasi yang belum mengapresiasi pekerjanya dengan layak. Disamping karena kualitas pekerja masih dibawah rata-rata, orientasi dan kreativitas pengembangan organisasi dan perusahaan sangat minim sehingga koperasi berjalan alamiah dan apa adanya. Kondisi semacam ini menjadikan sulit untuk mengembangkan apresiasi kepada segenap pekerja koperasi. Tidak hanya itu sebenarnya, apresiasi terhadap pengurus dan pengawas juga sulit dirumuskan. Mindset koperasi sebagai lembaga pengabdian alias lembaga sosial begitu kental dan hal ini merupakan kekeliruan besar yang berpengaruh dalam pertumbuhan dan perkembangan kualitas berkoperasi.  Oleh karena itu, perlu melakukan reposisi mindset dalam berkoperasi sehingga terdorong untuk mengembangkan ragam kreativitas berbasis aspirasi dan kebutuhan anggota. Pemaknaan koperasi harus tepat dan berkemampuan memposisikan perusahaan koperasi sebagai mesin penjawab efektif dari dinamika kebutuhan dan aspirasi anggota. Dinamika keseharian koperasi harus dibuat atraktkif dalam nuansa pemberdayaan yang senantiasa terbangun dan terjaga. Koperasi yang lahir dari semangat kemanusiaan harus menandaskan dirinya sebagai institusi yang  sangat peka terhadap persoalan-persoalan kemanusiaan, keadilan dan kesejahteraan dalam arti luas. Untuk itu, koperasi harus membentuk ketauladanan internal sehingga melahirkan satu apresiasi dan keberpihakan dari segenap lapisan masyarakat. Para pegiat dan pekerja koperasi harus memiliki kebanggaan atas apa yang mereka kerjakan. Dengan demikian, gaung kebaikan-kebaikan koperasi akan tersosialisasikan secara alamiah melalui testimonial yang dilakukan pekerja, pegiat dan juga segenap anggota koperasi. Dalam kondisi semacam ini, maka apresiasi dan gairah masyarakat untuk menjadi bagian dari barisan koperasi akan terus meningkat dan saat itu koperasi akan semakin berpeluang mengembangkan kebermanfaatannya.





C.  Nalar Keadilan Apresiasi Terhadap Pegiat dan Pekerja Koperasi.

Saat pegiat (baca: pengurus dan pengawas) dan pekerja koperasi mencurahkan segenap kemampuannya untuk membangun atau memperluas kebermanfaatan berkoperasi bagi anggota, maka mereka akan kehilangan kesempatan untuk memikirkan private sector mereka. Disisi lain disaat yang sama,  lewat tumbuh kembangnya ragam kebermanfaatan berkoperasi yang dirasakan oleh anggota, maka semakin besar pula peluang anggota mengembangkan private sector nya.  Sebagai contoh,  tatkala pegiat dan pekerja koperasi mampu memobilisasi semangat anggota dalam berkontribusi atau berpartisipasi dalam mengembangkan perusahaan koperasi, kemudia terbentuk sebuah toko swalayan yang menyajikan harga yang lebih murah ketimbang di toko yang lain. Artinya, pendapatan anggota akan meningkat secara riil dan efisiensi yang dihasilkan bisa dimanfaatkan untuk kepentingan lainnya seperti menabung untuk pendidikan anak-anaknya dan lain sebagainya. Demikian halnya, saat pegiat dan pekerja koperasi mampu mengedukasi dan memotivasi anggota untuk mengembangkan tabungan anggota yang berimbas langsung pada kemampuan koperasi untuk menyelenggarakan pinjaman dengan tingkat jasa yang  sangat rendah, maka hal ini akan meningkatkan kemampuan anggota dalam meng-akselerasi pertumbuhan usaha pribadi yang dijalankannya. Dengan biaya modal kerja yang lebih murah akan membuat usaha anggota lebih berdaya saing sehingga berpeluang mendapat penghasilan yang lebih baik. Kalau kemudian hal ini terus berlangsung maka pada titik tertentu usaha pribadi anggota tersebut akan membesar dan menjadi satu jalan hidup bagi pemenuhan kebutuhan dan cita-citanya.



Dalam konteks pegiat dan pekerja koperasi  mampu mewujudkan hal sebagaimana di contohkan diatas, maka bisa di nalar bahwa pada ukuran waktu tertentu anggota akan sejahtera bersama koperasi.  Kemudian muncul pertanyaan menggelitik, bagaimana dengan nasib para pegiat atau pekerja koperasi?.  Apakah pada kurun waktu yang sama mereka sudah punya private sector  yang menjadi  tumpuan hidup mereka dalam jangka panjang?.  Ataukah pertanyaan ini cukup dijawab hal tersebut sebagai sebuah resiko memilih menjadi pegiat atau pekerja koperasi?. Adakah jawaban semacam itu bijak dalam sebuah institusi yang katanya memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan?.



Mungkin pertanyaan semacam ini tak layak ditanyakan di lingkungan perusahaan-perusahaan non-koperasi dimana pekerja di eksploitasi untuk kepentingan pertumbuhan modal. Hubungan antara pemilik perusahaan dan pekerja sebatas hubungan industrialis yang kemudian di notasikan ke dalam perjanjian kerja dan salary. Hal semacam ini pun memang tidak ada kewajiban moral perusahaan yang mengharuskan  menilik relevansi pertumbuhan perusahaan dengan pertumbuhan kualitas hidup pekerjanya.
Share this article :

Posting Komentar

.

 
Copyright © 2015. ARSAD CORNER - All Rights Reserved