KEWIRAUSAHAAN,
KOPERASI dan KAJIAN
STUDI
KELAYAKAN PERUSAHAAN KOPERASI &
ANGGOTA
A. Pengantar
Dalam tinjauan ideal, jumlah
wirausahawan seharusnya 2% dari jumlah penduduk sebuah negara. Data kemenkop
dan UMKM RI menunjukkan, sampai tanggal
26 Februari 2014 jumlah wirausahawan baru mencapai 1,56% dari jumlah penduduk,
sehingga masih memerlukan 0,44% lagi. Atas dasar inilah kemudian pemerintah
terus mendorong dan menstimulan pertumbuhan jumlah wirausahawan dengan harapan mampu menopang
perekonomian dan sekaligus menekan angka pengangguran. Sebab pengangguran tidak
hanya menjadi persoalan ekonomi semata, tetapi juga berpotensi menimbulkan
persoalan-persoalan sosial yang meresahkan.
Untuk itu, menjadi
wirausahawan sesungguhnya adalah pilihan mulia sebab disamping terbentuknya
kemandirian, wirausahawan juga berpotensi menciptakan lapangan kerja bagi orang
lain. Oleh karena itu, para wirausahawan layak disebut sebagai pahlawan ekonomi
dari sebuah negara. Sementara itu, dari perspektif vertikal dan spiritualitas,
menjadi wirausawan berpotensi memperluas kebermaknaan diri bagi orang lain dan
hal ini mempertinggi peluang lebih baik
dipandangan Sang Pencipta.
Berbahagialah ketika anda
telah menjadi seorang wirausahawan, terlepas menjadi wirausahawan karena keterpaksaan
maupun secara sengaja memilih menjadi wirausahawan. Kandungan nilai-nilai
kebaikan menjadi wirausahawan selayaknya menjadi motivasi untuk terus berproses
dengan tekun dan selalu tabah dalam menghadapi segala rintangan. Niat baik akan
bertemu jalannya sendiri.
B. Peluang

C. Keyakinan, semangat dan penjiwaan
dalam Kewirausahaan

D. Visi Wirausaha

Para wirausahawan yang lahir
dari “kondisi atau keadaan yang memaksa” biasanya menjalankan usaha
secara alamiah. Orientasi awal cenderung pada keterjawaban kebutuhan yang
mendesak, seperti biaya hidup, biaya pendidikan anak dan kebutuhan lainnya.
Bahkan, keberkembangan seperti sebuah kebetulan dan bukan karena satu design
yang dirancang dengan baik. Kebutuhan
yang mendesak cenderung mendorong langkah-langkah mereka sporadis dan selalu
memanfaatkan peluang yang ada serta
tidak fokus pada sektor tertentu. Bagi sebagian
yang menemukan keberuntungan, mereka bisa survive dan bahkan berkembang.
“Waktu
dan pengalaman” biasanya membawa mereka konsentrasi pada sektor
tertentu dan kemudian menjadi core
business nya (bisnis utamanya). Namun demikian, pada golongan
wirausahawan semacam ini tak jarang pula mengalami “gagal total” pada
akhirnya dan biasanya berawal dari kekeliruan dalam mengendalikan emosi bisnis
dimana gairah atas hasil dan keberhasilan seringkali menghilangkan kewaspadaan.
Hal lain lagi dengan
wirausahawan yang bermodalkan visi
tetapi tanpa amunisi. Kreativitas membawa mereka pada perwujudan visi itu.
Memulainya dari ketiadaan tetapi kemampuan mengkomunikasikan visi pada banyak
orang melahirkan daya dukung terhadap realisasi visi yang di bawanya. Jenis
wirausahawan ini unik dan jumlahnya tidak banyak. Dalam visi besar, mereka memulainya dari
langkah kecil dan terus berproses dengan sabar dan tekun. Belajar dari satu
pengalaman ke pengalaman berikutnya, mereka terus berinovasi menuju visi
sesungguhnya. Ini yang sering disebut dengan intelectual capital,
dimana keyakinan, semangat ketekunan dipadukan dengan pengetahuan dan
pengalaman. Wirausahawan-wirausahan semacam ini banyak di cari oleh para
investor yang menginginkan nilai tambah
atas modal mereka yang sedang dalam posisi idle (nganggur). Para wirausahawan jenis ini meyakini bahwa “banyak orang punya ide tetapi
tidak punya uang dan disisi lain banyak
orang punya uang tetapi tidak punya ide
untuk mengembangkannya”. Oleh karena itu, berkolaborasi atau bermitra
secara mutual (saling menguntungkan) adalah jalan terbaik bagi keduanya.
Ragam jenis wirausahawan yang
dideskripsikan diatas merefresentasikan realitas muasal kelahiran berbagai
usaha yang berlangsung ditengah masyarakat. Penulis tidak berani men-Judgment
jenis wirausahawan mana yang terbaik, sebab disetiap jenis wirausahawan itu ada
yang sukses dan ada pula yang gagal. Namun beberapa hal yang menjadi catatan dari
mereka yang sukses berwirausaha adalah memiliki kesamaan dalam beberapa hal,
antara lain :
- Keunikan karakter.
- keyakinan tinggi terhadap keberhasilan.
- Berjiwa besar.
- Kesiapan atas resiko terburuk dari sebuah keputusan.
- Kesabaran, ketekunan, ketabahan dan ketangguhan berproses.
- kemampuan mengembangkan hubungan atau jaringan dengan berbagai pihak.
- Memiliki visi yang jelas.
- Berani berkorban untuk perwujudan visi.
- Pantang menyerah dan bepandangan selalu ada harapan sepanjang berkomitmen tidak pernah berhenti untuk berusaha.
Beberapa catatan diatas bisa
menjadi bahan perenungan atau kontemplasi
dalam rangka meraih kesuksesan melalui wirausaha.
E. Berbagi Dalam Wirausaha.
Berbagi adalah bagian dari
wujud kesetiakawanan dan merupakan salah satu sumber kelanggengan usaha. Berbagi
adalah bagian dari investasi masa depan yang akan
berbuah kebaikan pula di suatu waktu. Oleh karena itu, seorang
wirausahawan selayaknya membiasakan diri berbagi, sehingga terbentuk ikatan
moral yang akan menjadi penolong efektif dalam mempertahankan dan
sekaligus mengembangkan usaha. Sebagai bahan perenungan, berikut di jelaskan 3
(tiga) hal tentang berbagi :
1.
Berbagi dengan karyawan. Sebagaimana
dijelaskan sebelumnya bahwa berwirausaha tidak hanya akan membentuk kemandirian
kepada pelakunya, tetapi juga berpeluang menciptakan pekerjaan dan kehidupan
bagi orang lain. Hal ini pula yang kemudian menjadi pembenar bahwa berwirausaha
adalah sebuah kemuliaan. Namun demikian, ada pertanyaan menarik, adakah
kehadiran karyawan adalah bagian dari niat atau kebutuhan bisnis. Dala judul “bagian
dari niat” membentuk kehidupan bagi orang lain, maka “berbagi
dengan karyawan” mungkin akan berujung dengan semakin banyaknya orang
yang mendukung dan menjaga bisnis tersebut. Mereka akan merasa menjadi bagian
dari bisnis itu sendiri. Bahkan dalam tinjauan vertikal, akan semakin banyak
orang yang mendo’akan kesuksesan bisnis tersebut. Spiritualitas sang
wirausahawan juga akan menjadi sumber inspirasi dan energi untuk tetap
bersemangat, sebab ada banyak nyawa yang menggantungkan hidup pada dirinya. Namun
demikian, ketika kehadiran karyawan dipandang adalah kebutuhan bisnis, maka
sangat dimungkinkan lahirnya pemaknaan bahwa karyawan adalah sebuah pembiayaan
yang besarnya harus ditekan se-efisien mungkin. Akibatnya, tak jarang karyawan
memaki bos nya walau mungkin hanya dalam hati. Daya dukung dan hormat mereka
juga cenderung pura-pura. Bekerja pun cenderung sebatas menggugurkan tanggungjawab yang di
instruksikan sang bos. Ini layak menjadi bahan perenungan bagi para
wirausahawan, sebab bagaimanapun juga karyawan adalah bagian dari tulang
punggung dari kelancaran operasional usaha.
2.
Berbagi informasi, pengalaman atau
hasil. seorang wirausahawan sering disarankan untuk
mengembangkan silaturrahmi sekaligus memperluas jaringan. Lewat silaturrahmi
akan terbentuk ikatan emosional yang akan berujung semangat untuk saling
mendukung. Sebagai contoh, ketika anda
biasa berbagi informasi baik tentang usaha yang anda jalankan maupun berbagi
peluang, maka apabila seorang wirausahawan over order (kebanyakan order), maka
dia akan membaginya kepada anda. Atau suatu ketika seseorang mendapat peluang
yang menurut dia tidak ahli dalam urusan itu, maka dengan senang hati pula dia
akan memberikannya kepada anda.
3.
Berbagi dengan sesama.
Poin ini mungkin lebih condong persoalan spiritualitas yang meyakini adanya
relevansi antara kebiasaan berbagi dengan kelancaran rezeki. Kelompok yang suka
tema ini meyakini sepenuhnya bahwa berbagi adalah cara membersihkan dan
sekaligus melipat gandakan rezeki. Bahkan, sebagian dari mereka menyimpulkan
bahwa berbagi itu membuat addictive alias candu. Kesimpulan
ini didasarkan pengalaman empiris dimana
kebiasaan berbagi membuat mereka sering
mendapat rezeki yang tidak terduga atau terencana sebelumnya. Bahkan para kelompok
pengusaha maniak berbagi menyarankan
bagi
dulu sebelum memulai berusaha. Hal Ini memang sering menjadi bahan
perdebatan di kalangan pebisnis yang menganut faham rasionalitas. Mereka selalu
menanyakan logika “berbagi sama dengan bertambah”, sebab secara rasional “berbagi
sama dengan berkurang”.
F. Kebersamaan dalam wirausaha
Fakta menunjukkan bahwa
kebersamaan selalu menambah kekuatan sebab didalamnya terjadi penyatuan
potensi. Dalam kebersamaan, emosi dan ego melebur menjadi spirit komunitas yang efektif bagi lahirnya
lipatan energi. Lewat kebersamaan, terbentuk saling mendukung dan saling
menyempurnakan sebab disatu sisi mungkin kelebihan tersebut tidak terdapat pada
pribadi yang satu tetapi disisi lain terdapat pada pribadi yang lain dalam satu
kelompok. Pada titik inilah kebersamaan melahirkan sinergitas yang
memperbesar peluang untuk melahirkan nilai
tambah yang tidak mungkin di dapat kala sendirian. Lihatlah fakta
bisnis dimana untuk menggerus persaingan perusahaan-perusahaan sejenis
melakukan merger, sehingga energi persaingan bisa dialihkan untuk memperbaiki
kualitas produk dan layanan yang pada akhirnya meningkatkan animo pangsa pasar
untuk mengkonsumsi produk tersebut.
Kebersamaan dalam wirausahawan
adalah sesuatu yang sangat memungkinkan dikala semua pihak menyadari bahwa
kebersamaan identik dengan memperkuat diri masing-masing pihak. Nilai-nilai
manfaat harus terumuskan dengan logis sehingga setiap orang yang bergabung
menemukan alasan rasional untuk menjadi bagian dari kebersamaan yang dibangun.
Dengan demikian, agenda-agenda dalam “judul kebersamaan” berimplikasi
positif dari usaha-usaha yang dijalankan oleh masing-masing individu yang
tergabung. Artinya, “agenda kebersamaan” yang diusung
adalah agenda yang tidak mungkin dilakukan oleh pribadi-pribadi yang ada di
lingkungan kebersamaan tersebut, tetapi harus dilakukan guna untuk memperkuat
usaha-usaha yang dijalankan oleh seluruh anggotanya. Kebersamaan semacam ini
sesungguhnya “roh” dari organisasi yang sering di kenal berinisial “koperasi”.
Koperasi adalah simbol kebersamaan yang fokus pada “upaya memperkuat” dan buka
untuk meniadakan atau menzalimi anggotanya sendiri. Hal ini ditegaskan dengan
adanya “azas subsidiari” yang merupakan kode etik dalam
koperasi. Dalam azas subsidiary ditegaskan
bahwa apa-apa yang bisa dilakukan oleh anggotanya tidak boleh dikerjakan
oleh koperasi dan sebaliknya yang dikerjakan koperasi adalah apa-apa yang tidak
mungkin dikerjakan oleh koperasi. Sebagai contoh, ketika sebuah
koperasi beranggotakan para pengusaha voucher HP, maka koperasi tidak boleh
menyelenggarakan outlet voucher HP tetapi menyelenggarakan grosir yang akan
memasok kepada segenap anggotanya. Demikian pula ketika sebuah koperasi
beranggotakan para pedagang asongan di terminal, maka koperasi tidak boleh
menyelenggarakan usaha asongan yang melayani end user (konsumen akhir),
tetapi bila koperasi ingin berusaha di sektor tersebut maka koperasi hanya
boleh menyelenggarakan grosir yang akan memasok kepada segenap anggotanya yang
berprofesi sebagai pedagang asongan. Pertanyaan menariknya adalah mungkinkah
para wirausahawan yang menekuni berbagai usaha yang masing-masing berbeda
bersatu mendirikan koperasi?. Jawabannya mungkin saja sepanjang mereka
menemukan satu agenda yang akan memperkuat mereka semua. Sebagai stimulan, bisa
saja para wirausahawan itu mendirikan koperasi yang fokus pada kegiatan simpan
pinjam dimana fokusnya adalah; (i) membudayakan menabung dari x% keuntungan
yang diperoleh anggota dari usaha yang dijalankannya dan atau; (ii) menyelenggarakan
pinjaman dengan jasa rendah sehingga biaya modal anggota dalam menjalankan
usahanya rendah. Illustrasi tentang azas subsidiary sebagaimana diatas
merupakan rasionalitas konsepsi koperasi sebagai alat efektif
menumbuhkembangkan kewirausahaan.
G. Studi Kelayakan Perusahaan Koperasi dan Anggota

Untuk tujuan itu, pengelolaan
perusahaan koperasi harus memegang teguh prinsip-prinsip koperasi yang di racik
menjadi satu sistem kerja yang profesional berbasis nilai-nilai perjuangan
koperasi. Pengintegrasian kebutuhan da aspirasi ekonomi, sosial dan budaya ke
dalam mekanisme kerja yang terencana, terukur dan terantisipasi. Modal sosial (seperti
kesetiakawanan, saling percaya dan saling tolong menolong) sebagai muasal yang
mendorong kelahiran koperasi harus dijadikan dikelola dengan cara yang tepat
sehingga melahirkan kebermanfaatan berkoperasi yang terus tumbuh dan berkembang
serta berkelanjutan. Untuk itu, segenap
unsur organisasi koperasi (baca: pengurus, pengawas dan anggota) harus duduk bersama
merumuskan tujuan-tujuan kolektif dari aktivitas perusahaan yang akan di
jalankan dan sekaligus merumuskan pendistribusian peran setiap unsur dalam
proses pencapaiannya.
Sebagai sebuah awalan,
penentuan aktivitas perusahaan harus melalui satu perencanaan dan pengkajian
integratif yang diwujudkan dalam satu studi kelayakan. Secara singkat, studi
kelayakan ini mendefenisikan sebuah rencana aktivitas, maksud dan tujuan,
tahapan-tahapan realisasi berikut skedule, proyeksi permodalan, kinerja yang
diharapkan dan kesimpulan akhir tentang layak atau tidak untuk di tindaklanjuti
ke tahapan realisasi. Ada beberapa catatan menarik dari studi kelayakan ini
sebagaimana di jabarkan berikut ini :
1.
Perumusan Aktivitas.
Aktivitas perusahaan koperasi yang di rencanakan harus tunduk pada azas
subsidiary. Artinya, aktivitas yang direncanakan tidak berpotensi
mematikan aktivitas yang dijalankan oleh anggotanya. Sifat saling mendukung
antara aktivitas perusahaan koperasi dan aktivitas yang dijalankan oleh anggota
harus tegas terlihat. Dengan demikian, perusahaan koperasi akan mewujud menjadi
mesin penjawab atas kebutuhan dan aspirasi di kalangan anggota. Dengan kata
lain, aktivitas yang di pilih koperasi memiliki nilai tambah yang di rasakan
anggota secara nyata.
2.
Maksud dan tujuan.
Sebagaimana posisi “perusahaan” sebagai alat/media bagi pemenuhan aspirasi dan
kebutuhan anggota, maka maksud dan tujuan aktivitas yang direncanakan pun harus
relevan dengan kehidupan anggota, sehingga jalannya aktivitas tersebut akan
didukung penuh oleh seluruh anggotanya.
3.
Perumusan kesimpulan.
Tahapan ini menjadi penentu apakah sebuah kajian berujung layak atau tidak.
Indikator-indikator keberhasilan yang ditetapkan bersama menjadi rujukan atau
referensi dalam menyusun kesimpulan akhir. Bicara indikator, tentu mengacu pada
alat ukur yang lazim di gunakan dalam studi kelayakan, seperti Return
on Investmen
(RoI), Analisa Payback dan lain
sebaginya. Namun demikian, tulisan kali ini mencoba menawarkan “tujuan
” sebagai indikator induk dan paling menentukan. Hal ini memang belum lazim, tetapi tawaran ini memiliki landasan fikir yang
jelas, yaitu posisi perusahaan koperasi sebagai alat/media dimana roh
pengelolaannya sangat dipengaruhi oleh dinamika kebutuhan dan aspirasi ekonomi,
sosial dan budaya dari anggotanya. Untuk mempermudah pemahaman, berikut ini di
illustrasikan beberapa contoh berikut ini:
- Sekelompok individu yang berprofesi sebagai wirausahawan/ti mendirikan koperasi dan fokus aktivitas yang dipilih adalah simpan pinjam. Mereka menjadikan simpan pinjam sebagai buffer financial institution (institusi penyanggah keuangan) atas usaha-usaha yang mereka jalankan. Disamping itu, untuk meningkatkan kapasitas usaha anggotanya, koperasi menyewa konsultan manajemen yang berfungsi sebagai tempat anggota berkonsultasi dalam hal pengembangan usaha-usaha yang di miliki anggota secara pribadi.
- Beberapa wirausahawan/ti (pengrajin) membentuk koperasi. Untuk mendukung perkembangan usaha anggotanya, koperasi menyiapkan ruang pajang (gallery) guna untuk memasarkan hasil kerajinan anggotanya. Disamping itu, koperasi juga fokus pada pengembangan pemasaran atas hasil kerajinan anggotanya. Bahkan koperasi menyewa konsultan untuk meng-up grade teknologi proses produksi yang dilakukan oleh anggotanya sehingga bisa meningkatkan nilai tambah produk yang dihasilkan anggotanya.
- Beberapa wirausahawan/ti (pedagang eceran di terminal) mendirikan koperasi. Untuk mendapatkan harga yang lebih murah, maka koperasi menyelenggarakan join buying (pembelian bersama). Dalam hal ini, koperasi difungsikan sebagai grosir yang memasok semua kebutuhan barang dagangan anggotanya.
Merujuk pada
contoh-contoh diatas dimana aktivitas yang dijalankan perusahaan koperasi fokus
mendorong akselerasi pertumbuhan dan perkembangan usaha yang dijalankan
oleh anggotanya. Artinya, perusahaan koperasi tidak fokus pada pertumbuhan
modal yang berasal dari SHU Koperasi. Dalam konteks ini, maka pelibatan sebagian
alat analisa investasi yang lazim menjadi kurang relevan. Artinya, luasnya
kebermanfaatan yang akan tercipta dan bisa dirasakan langsung oleh anggota
menjadi indikator yang sangat berpengaruh dan menentukan apakah aktivitas
tersebut dijalankan perusahaan koperasi atau tidak. Penerapan konsep semacam
ini tetap menekankan pada profesionalisme pengelolaan dan memerlukan disiplin
organisasi yang baik. Model aktivitas perusahaan koperasi semacam ini
memungkinkan dilakukan sepanjang menjadi kesepakatan besama dari seluruh
anggota koperasi yang nota bene adalah pemilik sah koperasi.

Untuk
mempermudah pemahaman terhadap dasar-dasar penyusunan studi kelayakan, berikut
ini disajikan 2 (dua) buah tabel :
H. Penghujung
Kemuliaan berwirausaha
diharapkan akan menjadi catatan tersendiri bagi segenap peserta pelatihan dan
efektif menjadi sumber semangat untuk terus berproses. Tidak ada pelaut yang
tangguh dari air yang tenang. Oleh karena itu, ragam hambatan dan keterbatasan
harus dipandang sebagai tantangan yang harus dicarikan solusi, bukan menyebabkan
berhenti atau berbalik arah. Kebersamaan sebagai sumber memperkuat diri
merupakan salah satu solusi yang sangat mungkin untuk dilakukan guna memperkuat
pertahanan dan sekaligus mengembangkan eksistensi usaha yang dijalankan. Secara
konsepsi, koperasi adalah sebuah organisasi yang mengusung kebersamaan dalam
perjuangannya. Dengan demikian, membangun koperasi bagi para wirausahawan
bernilai sangat strategis dalam membentuk nilai-nilai baru, khususnya bagi
pertumbuhan produktivitas dari usaha-usaha pribadi yang dijalankan.
Posting Komentar
.