KONSEP SALARY DALAM DIMENSI SHU 0 (Nol) | ARSAD CORNER

KONSEP SALARY DALAM DIMENSI SHU 0 (Nol)

Selasa, 18 Februari 20140 komentar



KONSEP SALARY

DALAM DIMENSI SHU 0 (Nol)


Tulisan ini merupakan bagian dari 
isi BUKU SHU 0 (nol) yang akan segera terbit..mohon do'a dari segenap pembaca setia 



A. Memaknai “bekerja” dan “pekerja”

Setiap orang memiliki motif dalam melakukan sesuatu, baik motif horizontal sebagai manusia pada umumnya maupun motif vertikal kaitannya dengan kualitas hubungannya dengan Sang Pencipta. Motif tidak selalu tentang perolehan materi semata, tetapi bisa juga menyangkut hal-hal im-material seperti penghargaan, popularitas, perasaan tenang, nyaman dan lain sebagainya.  



Demikian halnya bekerja. Setiap orang yang bekerja pasti mengharapkan imbalan, baik itu dalam bentuk salary, promosi dan lain sebagainya. Imbalan ini bukan hanya sebagai pengganti keringat, tetapi juga bentuk penghargaan atas jerih payah maupun pengorbanan fikiran, tenaga dan waktu. Dari sisi pekerja, imbalan ini dipandang sebagai alat pemenuhan kebutuhan dan juga dasar dalam menyusun rancang hidup di masa depan. Sehingga tak mengherankan, pola salary memiliki implikasi kuat dengan keterbangunan dan keterjagaan loyalitas dan integritas seseorang pada satu organisasi maupun perusahaan. Artinya, ketika seorang pekerja menemukan adanya kesesuaian antara tujuan-tujuan perusahaan dan tujuan-tujuan pribadinya, maka orang tersebut akan menjadikan perusahaan sebagai alat efektif mewujudkan impiannya sebagaimana perusahaan menggunakan keahlian orang tersebut untuk mencapai tujuannya. Disinilah yang diyakini sebagai titik integritas  seorang pekerja akan terbangun.



Sebagian orang memandang bekerja  adalah bentuk menggugurkan tanggungjawab dan sekaligus tiket untuk mendapatkan imbalan (baca : salary/gaji). Namun demikian, sebagian yang lain  berpandangan bekerja adalah media ekspresi dan juga pengembangan kapasitas diri . Dalam pandangan kedua, salary atau imbalan lainnya di baca sebagai imbas saja  dan bukan target. Bahkan orang-orang yang masuk dalam kelompok kedua ini cenderung tidak berhitungan waktu dan lebih mementingkan kelahiran karya yang bisa mendatangkan nilai-nilai baru atau nilai tambah bagi para konsumen. Diakui, bahwa sedikit orang yang masuk dalam kategori ke-2 (dua) dan kebanyakan cenderung  pada pembacaan pertama dimana salary atau imbalan sebagai dasar mereka untuk bekerja. Oleh karena itu, tak jarang mereka cenderung seperti kutu loncat dan selalu berpindah dari stau organisasi/perusahaan ke organisasi/perusahaan lainnya. Bagi kelompok ini, berhenti hanya menjadi pilihan bila mana sudah tidak ada pilihan, termakan usia sehingga tak mungkin lagi berpindah-pindah dan atau beruntung menemukan tempat kerja yang mereka idamkan. Sementara itu, orang yang tidak berkemampuan berpindah-pindah dari kelompok ini cenderung  kurang produktif kalau tidak patut di bilang sebagai penumpang gelap. Orang semacam ini  “memenjarakan diri nya” selama 8 (delapan) jam sehari dan kemudian menjadi dirinya sendiri untuk 16 jam kemudian.  Dengan kata lain, penderitaan 8 (delapan) jam setiap hari dijadikan tiket untuk kemerdekaan 16 (enam belas)  jam per hari. Tidak heran, orang semacam ini rendah inisiatif  dan cenderung apatis dengan agenda-agenda yang berbau pengembangan sesuatu.



Sementara itu, dari sisi penyedia kerja (baca: organisasi/perusahaan) terdapat 2 (dua) jenis pandangan atas pekerjanya. Jenis pertama adalah sebagai faktor produksi. Pada jenis ini, pekerja di eksploitasi sedemikian rupa untuk mengejar mimpi sang owner (baca: pertumbuhan modal)  dan cenderung abai dengan kesejahteraan pekerjanya. Sang owner juga cenderung otoriter dan ruang inisiatif atau improvisasi bagi pekerja cenderung tidak ada. Pekerja diposisikan sebagai pelayan yang tugasnya hanya menjalankan instruksi semata. Pekerja yang loyal pada sang owner semacam ini adalah pekerja yang masuk  kategori  miskin kreatif dan atau kuat berada dalam tekanan. Semoga saja, mereka tidak berkemampuan merancang kejahatan sebagai reaksi atas tekanan yang terus menerus datang kepada diri mereka.  Jenis lainnya adalah memandang pekerjanya sebagai investasi atau asset.  Jenis ini memposisikan bahwa pekerja adalah bagian penting dan penentu maju mundurnya organisasi/ perusahaan. Oleh karena itu, sang owner atau pengambil kebijakan secara terus menerus mengembangkan kapasitas diri pekerjanya melalui ragam metodologi. Demikian pula  halnya dengan salary dan apresiasi lainnya berbanding lurus dengan produktivitasnya.  Dengan demikian, perkembangan organisasi/perusahaan  dengan pertumbuhan kesejahteraan para pekerjanya akan berbanding lurus.





B. Bekerja dan Pekerja  di Koperasi

Secara konsepsi, dalam memenuhi kebutuhan dan aspirasi ekonomi, sosial dan budaya dari anggotanya, koperasi menyelenggarakan perusahaan yang dalam pengelolaannya menunjuk pengurus dan pengawas melalui mekanisme rapat anggota. Sementara itu, dari sudut UU No. 25 Tahun 1992, Pengurus boleh mengangkat pengelola tanpa mengurangi tanggungjawabnya terhadap anggota. Sementara itu, dari sudut pandang UU no.17 Tahun 2012, pimpinan pengelolaan koperasi melekat pada pengurus atau sebutan lain yang pengangkatannya melalui mekanime rapat anggota.  Intinya, dalam mengurus perusahaannya, koperasi mempekerjakan oang-orang  yang bertugas menyelesaikan tugas-tugas organisasi dan perusahaan sebagaimana terumuskan dalam Rapat Anggota.  



Dalam pandangan subyektif, bekerja di koperasi berpeluang lebih berat dari pada  di non-koperasi. Ada beberapa alasan logis yang mendukung kesimpulan ini :

  1. Jumlah pemilik yang tidak sedikit. Seseorang yang bekerja di non-koperasi memiliki stake holder  yang terbatas alias hanya beberapa orang saja. Kalau pun perusahaan itu adalah Tbk (aktif di bursa saham), namun pengendalian perusahaan tetep berada pada beberapa pemegang saham saja. Sementara itu, bekerja di koperasi unik karena melayani konsumen dan sekaligus owner nya. Tentu hal ini berbeda memiliki ke khasan tersendiri dan menguras energi lebih dibanding dengan bekerja di non-koperasi.
  2. Bidang garap penugasan. Kalau perusahaan non-koperasi fokus pada pertumbuhan modal lewat pengembangan produktivitas yang kental dengan efisiensi dan efektivitas. Sementara itu, koperasi tidak sebatas dimensi ekonomi saja, tetapi menginegrasikannya dengan nilai-nilai sosial dan budaya dari anggota. Hal ini memerlukan pemikiran yang lebih kompleks, apalagi koperasi fokus pada keterbangunan orang ( baca : anggota) sebagai konsekuensi logis koperasi sebagai kumpulan orang. Artinya, agenda koperasi jauh lebih luas dan terus mengalami dinamika bersamaan dengan perkembangan kebutuhan dan aspirasi anggotanya.  Disamping itu, keseharian koperasi yang lekat dengan pendidikan menuntut para pekerjanya untuk berkemampuan meng-edukasi dan memotivasi  segenap anggota untuk terus ikut bergerak bersama baik untuk pertumbuhan kualitas hidupnya maupun pertumbuhan kemampuan perusahaan koperasi menjadi mesin penjawab kebutuhan anggotanya.
  3. Ukuran keberhasilan tidak sebatas ekonomi. Kalau non-koperasi cenderung mengukur kinerja matematis ekonomis, koperasi fokus pada tingkat kepuasan anggota yang tidak hanya dalam dalam dimensi ekonomi, tetapi juga sosial dan budaya. Kinerja koperasi harus mengukur tingkat pengaruh positif keberadaan koperasi terhadap kehidupan anggotanya. Hal ini sebagai konsekuensi koperasi sebagai sebuah institusi pemberdayaan. Singkatnya, kinerja koperasi tidak hanya mengukur pertumbuhan perusahaannya saja, tetapi juga mengukur pertumbuhan kualitas hidup anggota yang sesungguhnya berposisi sebagai subyek dan obyek dari pembangunan koperasi itu sendiri. 



3 (tiga) hal diatas merupakan pembeda nyata dan faktor yang cukup untuk berkesimpulan bahwa bekerja di koperasi memiliki tanggungjawab lebih besar ketimbang di  non-koperasi.  Bahkan ada sebuah joke yang menyatakan bekerja di koperasi itu memerlukan energi 200% (dua ratus prosen) dimana 100% tentang profesionalisme pengelolaan perusahaan dan 100% (seratus prosen) lagi untuk mendalami perasaan dan dinamika keluh kesah anggota.



Oleh karena itu, selayaknya para pekerja di koperasi di apresiasi yang layak sehingga mereka memiliki keyakinan bahwa di koperasi ada masa depan dan layak dijadikan tempat bekerja yang juga akan membentuk status sosial mereka di tengah masyarakat. Fakta menunjukkan bahwa sampai saat ini masih jarang mendapati pekerja yang memiliki kebanggaan yang luar biasa ketika bekerja di koperasi. Hal ini memang persoalan kompleks dan banyak faktor yang mempengaruhi apresiasi masyarakat terhadap para pekerja koperasi. Namun demikian, memperbaiki pola apresiasi terhadap pekerja koperasi adalah juga bagian dari strategi menumbuhkan jumlah agen yang akan mengabarkan kebaiakan-kebaikan yang diperjuangkan koperasi.





C. Tingkat kelayakan Kesejahteraan Pekerja Koperasi 

Kerja bukanlah semata-mata tentang memperoleh uang, namun besarnya apresiasi koperasi terhadap pekerja nya juga simbol kualitas dari kebersamaan yang ada di koperasi. Sedikit menilik sejarah,  kelahiran koperasi di inspirasi oleh kerakusan  para pemilik modal yang mengeksploitasi pekerjanya secara terus menerus untuk kepentingan pertumbuhan laba. Artinya, koperasi lahir dari terjadinya penindasan dan persoalan kemanusiaan yang akud saat itu dan kemudian melahirkan kesadaran para pekerja  menyatukan diri guna membentuk kemandirian kolektif demi keterciptaan hidup yang lebih berpengharapan. 



Oleh karena itu, sebagai alat perjuangan kemanusiaan, koperasi harus berkomitmen tinggi untuk menjaga aura kemanusiaan dalam keseharian dan segala aktivitasnya. Rapat Anggota sebagai pemegang kekuasaan tertinggi memiliki tanggungjawab strategis bagi terjaganya semangat kemanusiaan, termasuk dalam hal merumuskan kelayakan kesejahjteraan bagi para pekerjanya. RA harus mampu memberikan keyakinan kepada pekerjanya bahwa koperasi melindungi mereka dengan sepenuh hati, sehingga pekerja koperasi merasa  tenang dan mengoptimalkan perannya dengan ikhlas dan sungguh-sungguh.



Tentang besaran jumlah memang relatif. Namun demikian, koperasi seharusnya bertekad mengapresiasi pekerjanya melebihi dari UMK (Upah Minimal Kabupaten). Hal ini sangat memungkinkan bilamana segenap anggota koperasi berkomitmen pada nilai-nilai kemanusiaan. Hal ini juga merupakan satu bentuk ketauladanan yang seharusnya menginspirasi perusahaan-perusahaan non-koperasi, khususnya dalam memperlakukan para pekerjanya. Untuk tujuan itu, anggota seharusnya di edukasi dengan tepat sehingga mereka mempersepsikan keberadaan pekerja sebagai bagian penting bagi tumbuhkembangnya koperasi dan bukan dimaknai sebagai penambah biaya yang berarti pengurang SHU anggota. Pekerja koperasi seharusnya difahami sebagai unsur yang akan memerluas kemanfaatan-kemanfaatan berkoperasi yang akan dirasakan langsung oleh anggota yang nota bene berposisi sebagai pelanggan dan juga pemilik perusahaan.

Dalam tinjauan konsep SHU 0 (nol) dimana kebermanfaatan lebih diarus utamakan, maka struktur pembiayaan pekerja harus dimaknai sebagai biaya pelayanan yang di topang secara bersama-sama. Bila anggota menginginkan topangan per anggota untuk biaya pekerja semakin kecil, maka koperasi bisa memperluas keanggotaanya. Hal ini sesuai dengan salah satu prinsip koperasi yang menganut keanggotaan yang terbuka. Artinya, pada total biaya tertentu, semakin banyak anggota yang  menopang, maka semakin ringan pula biaya per orangnya.  Hal ini juga merupakan bentuk efisiensi kolektif  yang dihasilkan dari sebuah kebersamaan.





Penghujung

Dalam pola pengelolaan korporasi, dimana pertumbuhan SHU dijadikan sebagai fokus, maka sebuah koperasi cenderung akan eksploitatif terhadap anggota dan juga pekerjanya. Hal berbeda akan diperoleh bisa koperasi fokus pada pertumbuhan kemanfaatan, maka koperasi  cenderung men-temakan pemberdayaan dan menempatkan pekerja sebagai bagian penting dalam menumbuhkembangkan partisipasi dari segenap unsur organisasi untuk memainkan perannya  secara optimal. Pekerja akan ditempatkan pada sisi yang mulia dan pada akhirnya berimbas pada keterbangunan loyalitas tanpa batas bagi pertumbuhan dan perluasan kebermanfaatan berkoperasi bagi seluruh anggota.  



Pada akhirnya, persoalan apresiasi terhadap pekerja koperasi akan menjadi simbol kualitas kesetiakawanan dan kemanusiaan yang terbangun di dalam sebuah koperasi. Besaran angka yang diberikan juga mencirikan seberapa jauh sebuah kebersamaan di koperasi ikhlas saling berbagi dan mengerti tentang orang lain. Hal ini memang relatif, tetapi ada standar-standar minimal yang lazim seperti UMR (Upah Minimum Regional), dimana angkanya berdasarkan pada pola perhitungan yang cermat dengan mempertimbangkan segala aspek.  Dalam dimensi apresiasi, koperasi seharusnya memberikan angka melebihi dari angka minimal untuk pekerjanya paling rendah. Angka ini tentu harus lebih baik untuk pekerja ekspertis atau kaum profesioanal yang memiliki keahlian dan kreativitas dalam membentuk perluasan kebermanfaan berkoperasi bag segenap anggotanya.



Selayaknya para pegiat dan atau pekerja koperasi di beri apresiasi yang layak dan bahkan melebihi mereka yang bekerja di sektor swasta murni. Alasannya sederhana, pegiat koperasi tidak hanya berfikir tentang pertumbuhan ekonomi saja, tetapi yang lebih berat adalah pertumbuhan kualitas hidup dari para anggota koperasi. Hal ini  sangat mudah dan rumit, tetapi kesabaran untuk mengurai dan menstratifikasi langkah secara kontinue akan membentuk capain-capaian baru yang menggembirakan. Keluasan tugas dan tanggungjawab semacam ini menjadi alasan logis untuk memberi apresiasi yang lebih kepada segenap pejuang koperasi.
Share this article :

Posting Komentar

.

 
Copyright © 2015. ARSAD CORNER - All Rights Reserved