KONSEP SALARY
DALAM DIMENSI SHU 0 (Nol)
Tulisan ini merupakan bagian dari
isi BUKU SHU 0 (nol) yang akan segera terbit..mohon do'a dari segenap pembaca setia
A. Memaknai
“bekerja” dan “pekerja”
Setiap orang memiliki motif dalam
melakukan sesuatu, baik motif horizontal sebagai manusia pada umumnya maupun
motif vertikal kaitannya dengan kualitas hubungannya dengan Sang Pencipta. Motif
tidak selalu tentang perolehan materi semata, tetapi bisa juga menyangkut hal-hal
im-material seperti penghargaan, popularitas, perasaan tenang, nyaman dan lain
sebagainya.
Demikian halnya bekerja.
Setiap orang yang bekerja pasti mengharapkan imbalan, baik itu dalam bentuk
salary, promosi dan lain sebagainya. Imbalan ini bukan hanya sebagai pengganti
keringat, tetapi juga bentuk penghargaan atas jerih payah maupun pengorbanan
fikiran, tenaga dan waktu. Dari sisi pekerja, imbalan ini dipandang sebagai
alat pemenuhan kebutuhan dan juga dasar dalam menyusun rancang hidup di masa
depan. Sehingga tak mengherankan, pola salary memiliki implikasi kuat dengan
keterbangunan dan keterjagaan loyalitas dan integritas seseorang pada satu
organisasi maupun perusahaan. Artinya, ketika seorang pekerja menemukan adanya
kesesuaian antara tujuan-tujuan perusahaan dan tujuan-tujuan pribadinya, maka
orang tersebut akan menjadikan perusahaan sebagai alat efektif mewujudkan
impiannya sebagaimana perusahaan menggunakan keahlian orang tersebut untuk
mencapai tujuannya. Disinilah yang diyakini sebagai titik integritas seorang pekerja akan terbangun.
Sebagian orang memandang bekerja
adalah bentuk menggugurkan tanggungjawab
dan sekaligus tiket untuk mendapatkan imbalan (baca : salary/gaji). Namun
demikian, sebagian yang lain
berpandangan bekerja adalah media ekspresi dan juga pengembangan
kapasitas diri . Dalam pandangan kedua, salary atau imbalan lainnya di baca
sebagai imbas saja dan bukan
target. Bahkan orang-orang yang masuk dalam kelompok kedua ini cenderung tidak
berhitungan waktu dan lebih mementingkan kelahiran karya yang bisa mendatangkan
nilai-nilai baru atau nilai tambah bagi para konsumen. Diakui, bahwa sedikit
orang yang masuk dalam kategori ke-2 (dua) dan kebanyakan cenderung pada pembacaan pertama dimana salary
atau imbalan sebagai dasar mereka untuk bekerja. Oleh karena itu, tak
jarang mereka cenderung seperti kutu loncat dan selalu berpindah dari stau
organisasi/perusahaan ke organisasi/perusahaan lainnya. Bagi kelompok ini,
berhenti hanya menjadi pilihan bila mana sudah tidak ada pilihan, termakan usia
sehingga tak mungkin lagi berpindah-pindah dan atau beruntung menemukan tempat
kerja yang mereka idamkan. Sementara itu, orang yang tidak berkemampuan
berpindah-pindah dari kelompok ini cenderung kurang produktif kalau tidak patut di bilang
sebagai penumpang gelap. Orang semacam ini
“memenjarakan diri nya” selama 8 (delapan) jam sehari dan
kemudian menjadi dirinya sendiri untuk 16 jam kemudian. Dengan kata lain, penderitaan 8 (delapan) jam
setiap hari dijadikan tiket untuk kemerdekaan 16 (enam belas) jam per hari. Tidak heran, orang semacam ini rendah
inisiatif dan cenderung apatis dengan agenda-agenda yang berbau pengembangan sesuatu.
Sementara itu, dari sisi
penyedia kerja (baca: organisasi/perusahaan) terdapat 2 (dua) jenis pandangan
atas pekerjanya. Jenis pertama adalah sebagai faktor produksi. Pada
jenis ini, pekerja di eksploitasi sedemikian rupa untuk mengejar mimpi sang
owner (baca: pertumbuhan modal) dan
cenderung abai dengan kesejahteraan pekerjanya. Sang owner juga cenderung
otoriter dan ruang inisiatif atau improvisasi bagi pekerja cenderung tidak ada.
Pekerja diposisikan sebagai pelayan yang tugasnya hanya menjalankan instruksi
semata. Pekerja yang loyal pada sang owner semacam ini adalah pekerja yang
masuk kategori miskin kreatif dan atau kuat berada
dalam tekanan. Semoga saja, mereka tidak berkemampuan merancang kejahatan
sebagai reaksi atas tekanan yang terus menerus datang kepada diri mereka. Jenis lainnya adalah memandang pekerjanya
sebagai investasi atau asset.
Jenis ini memposisikan bahwa pekerja adalah bagian penting dan penentu
maju mundurnya organisasi/ perusahaan. Oleh karena itu, sang owner atau
pengambil kebijakan secara terus menerus mengembangkan kapasitas diri
pekerjanya melalui ragam metodologi. Demikian pula halnya dengan salary dan apresiasi lainnya
berbanding lurus dengan produktivitasnya. Dengan demikian, perkembangan
organisasi/perusahaan dengan pertumbuhan
kesejahteraan para pekerjanya akan berbanding lurus.
B. Bekerja dan Pekerja di Koperasi
Secara konsepsi, dalam
memenuhi kebutuhan dan aspirasi ekonomi, sosial dan budaya dari anggotanya,
koperasi menyelenggarakan perusahaan yang dalam pengelolaannya menunjuk
pengurus dan pengawas melalui mekanisme rapat anggota. Sementara itu, dari
sudut UU No. 25 Tahun 1992, Pengurus boleh mengangkat pengelola tanpa
mengurangi tanggungjawabnya terhadap anggota. Sementara itu, dari sudut pandang
UU no.17 Tahun 2012, pimpinan pengelolaan koperasi melekat pada pengurus
atau sebutan
lain yang pengangkatannya melalui mekanime rapat anggota. Intinya, dalam mengurus perusahaannya,
koperasi mempekerjakan oang-orang yang
bertugas menyelesaikan tugas-tugas organisasi dan perusahaan sebagaimana terumuskan
dalam Rapat Anggota.
Dalam pandangan subyektif,
bekerja di koperasi berpeluang lebih berat dari pada di non-koperasi. Ada beberapa alasan logis
yang mendukung kesimpulan ini :
- Jumlah pemilik yang tidak sedikit. Seseorang yang bekerja di non-koperasi memiliki stake holder yang terbatas alias hanya beberapa orang saja. Kalau pun perusahaan itu adalah Tbk (aktif di bursa saham), namun pengendalian perusahaan tetep berada pada beberapa pemegang saham saja. Sementara itu, bekerja di koperasi unik karena melayani konsumen dan sekaligus owner nya. Tentu hal ini berbeda memiliki ke khasan tersendiri dan menguras energi lebih dibanding dengan bekerja di non-koperasi.
- Bidang garap penugasan. Kalau perusahaan non-koperasi fokus pada pertumbuhan modal lewat pengembangan produktivitas yang kental dengan efisiensi dan efektivitas. Sementara itu, koperasi tidak sebatas dimensi ekonomi saja, tetapi menginegrasikannya dengan nilai-nilai sosial dan budaya dari anggota. Hal ini memerlukan pemikiran yang lebih kompleks, apalagi koperasi fokus pada keterbangunan orang ( baca : anggota) sebagai konsekuensi logis koperasi sebagai kumpulan orang. Artinya, agenda koperasi jauh lebih luas dan terus mengalami dinamika bersamaan dengan perkembangan kebutuhan dan aspirasi anggotanya. Disamping itu, keseharian koperasi yang lekat dengan pendidikan menuntut para pekerjanya untuk berkemampuan meng-edukasi dan memotivasi segenap anggota untuk terus ikut bergerak bersama baik untuk pertumbuhan kualitas hidupnya maupun pertumbuhan kemampuan perusahaan koperasi menjadi mesin penjawab kebutuhan anggotanya.
- Ukuran keberhasilan tidak sebatas ekonomi. Kalau non-koperasi cenderung mengukur kinerja matematis ekonomis, koperasi fokus pada tingkat kepuasan anggota yang tidak hanya dalam dalam dimensi ekonomi, tetapi juga sosial dan budaya. Kinerja koperasi harus mengukur tingkat pengaruh positif keberadaan koperasi terhadap kehidupan anggotanya. Hal ini sebagai konsekuensi koperasi sebagai sebuah institusi pemberdayaan. Singkatnya, kinerja koperasi tidak hanya mengukur pertumbuhan perusahaannya saja, tetapi juga mengukur pertumbuhan kualitas hidup anggota yang sesungguhnya berposisi sebagai subyek dan obyek dari pembangunan koperasi itu sendiri.
3 (tiga) hal diatas merupakan
pembeda nyata dan faktor yang cukup untuk berkesimpulan bahwa bekerja di
koperasi memiliki tanggungjawab lebih besar ketimbang di non-koperasi. Bahkan ada sebuah joke yang menyatakan bekerja
di koperasi itu memerlukan energi 200% (dua ratus prosen) dimana 100% tentang
profesionalisme pengelolaan perusahaan dan 100% (seratus prosen) lagi untuk
mendalami perasaan dan dinamika keluh kesah anggota.
Oleh karena itu, selayaknya
para pekerja di koperasi di apresiasi yang layak sehingga mereka memiliki keyakinan
bahwa di koperasi ada masa depan dan layak dijadikan tempat bekerja yang juga
akan membentuk status sosial mereka di tengah masyarakat. Fakta menunjukkan
bahwa sampai saat ini masih jarang mendapati pekerja yang memiliki kebanggaan
yang luar biasa ketika bekerja di koperasi. Hal ini memang persoalan kompleks
dan banyak faktor yang mempengaruhi apresiasi masyarakat terhadap para pekerja
koperasi. Namun demikian, memperbaiki pola apresiasi terhadap pekerja koperasi
adalah juga bagian dari strategi menumbuhkan jumlah agen yang akan mengabarkan
kebaiakan-kebaikan yang diperjuangkan koperasi.
C. Tingkat kelayakan Kesejahteraan Pekerja Koperasi
Kerja bukanlah semata-mata
tentang memperoleh uang, namun besarnya apresiasi koperasi terhadap pekerja nya
juga simbol kualitas dari kebersamaan yang ada di koperasi. Sedikit menilik
sejarah, kelahiran koperasi di inspirasi
oleh kerakusan para pemilik modal yang
mengeksploitasi pekerjanya secara terus menerus untuk kepentingan pertumbuhan
laba. Artinya, koperasi lahir dari terjadinya penindasan dan persoalan
kemanusiaan yang akud saat itu dan kemudian melahirkan kesadaran para
pekerja menyatukan diri guna membentuk
kemandirian kolektif demi keterciptaan hidup yang lebih berpengharapan.
Oleh karena itu, sebagai alat
perjuangan kemanusiaan, koperasi harus berkomitmen tinggi untuk menjaga aura
kemanusiaan dalam keseharian dan segala aktivitasnya. Rapat Anggota sebagai
pemegang kekuasaan tertinggi memiliki tanggungjawab strategis bagi terjaganya
semangat kemanusiaan, termasuk dalam hal merumuskan kelayakan kesejahjteraan
bagi para pekerjanya. RA harus mampu memberikan keyakinan kepada pekerjanya
bahwa koperasi melindungi mereka dengan sepenuh hati, sehingga pekerja koperasi
merasa tenang dan mengoptimalkan perannya
dengan ikhlas dan sungguh-sungguh.
Tentang besaran jumlah memang
relatif. Namun demikian, koperasi seharusnya bertekad mengapresiasi pekerjanya
melebihi dari UMK (Upah Minimal Kabupaten). Hal ini sangat memungkinkan
bilamana segenap anggota koperasi berkomitmen pada nilai-nilai kemanusiaan. Hal
ini juga merupakan satu bentuk ketauladanan yang seharusnya menginspirasi
perusahaan-perusahaan non-koperasi, khususnya dalam memperlakukan para
pekerjanya. Untuk tujuan itu, anggota seharusnya di edukasi dengan tepat
sehingga mereka mempersepsikan keberadaan pekerja sebagai bagian penting bagi
tumbuhkembangnya koperasi dan bukan dimaknai sebagai penambah biaya yang
berarti pengurang SHU anggota. Pekerja koperasi seharusnya difahami sebagai
unsur yang akan memerluas kemanfaatan-kemanfaatan berkoperasi yang akan
dirasakan langsung oleh anggota yang nota bene berposisi sebagai pelanggan dan
juga pemilik perusahaan.
Dalam tinjauan konsep SHU 0
(nol) dimana kebermanfaatan lebih diarus utamakan, maka struktur pembiayaan
pekerja harus dimaknai sebagai biaya pelayanan yang di topang secara
bersama-sama. Bila anggota menginginkan topangan per anggota untuk biaya
pekerja semakin kecil, maka koperasi bisa memperluas keanggotaanya. Hal ini
sesuai dengan salah satu prinsip koperasi yang menganut keanggotaan yang
terbuka. Artinya, pada total biaya tertentu, semakin banyak anggota yang menopang, maka semakin ringan pula biaya per
orangnya. Hal ini juga merupakan bentuk efisiensi
kolektif yang dihasilkan dari
sebuah kebersamaan.
Penghujung
Dalam pola pengelolaan
korporasi, dimana pertumbuhan SHU dijadikan sebagai fokus, maka sebuah koperasi
cenderung akan eksploitatif terhadap anggota dan juga pekerjanya. Hal berbeda
akan diperoleh bisa koperasi fokus pada pertumbuhan kemanfaatan, maka
koperasi cenderung men-temakan
pemberdayaan dan menempatkan pekerja sebagai bagian penting dalam
menumbuhkembangkan partisipasi dari segenap unsur organisasi untuk memainkan
perannya secara optimal. Pekerja akan
ditempatkan pada sisi yang mulia dan pada akhirnya berimbas pada keterbangunan
loyalitas tanpa batas bagi pertumbuhan dan perluasan kebermanfaatan berkoperasi
bagi seluruh anggota.
Pada akhirnya, persoalan
apresiasi terhadap pekerja koperasi akan menjadi simbol kualitas kesetiakawanan
dan kemanusiaan yang terbangun di dalam sebuah koperasi. Besaran angka yang
diberikan juga mencirikan seberapa jauh sebuah kebersamaan di koperasi ikhlas
saling berbagi dan mengerti tentang orang lain. Hal ini memang relatif, tetapi
ada standar-standar minimal yang lazim seperti UMR (Upah Minimum Regional), dimana
angkanya berdasarkan pada pola perhitungan yang cermat dengan mempertimbangkan
segala aspek. Dalam dimensi apresiasi,
koperasi seharusnya memberikan angka melebihi dari angka minimal untuk
pekerjanya paling rendah. Angka ini tentu harus lebih baik untuk pekerja ekspertis
atau kaum profesioanal yang memiliki keahlian dan kreativitas dalam membentuk
perluasan kebermanfaan berkoperasi bag segenap anggotanya.
Selayaknya para pegiat dan atau
pekerja koperasi di beri apresiasi yang layak dan bahkan melebihi mereka yang
bekerja di sektor swasta murni. Alasannya sederhana, pegiat koperasi tidak
hanya berfikir tentang pertumbuhan ekonomi saja, tetapi yang lebih berat adalah
pertumbuhan kualitas hidup dari para anggota koperasi. Hal ini sangat mudah dan rumit, tetapi kesabaran untuk
mengurai dan menstratifikasi langkah secara kontinue akan membentuk
capain-capaian baru yang menggembirakan. Keluasan tugas dan tanggungjawab
semacam ini menjadi alasan logis untuk memberi apresiasi yang lebih kepada
segenap pejuang koperasi.
Posting Komentar
.