12 YEARS A
SLAVE
“PERBUDAKAN”
Tulisan ini terinspirasi oleh
sebuah film by Steve McQueen yang berjudul “12 Years A Slave”. Film ini mengisahkan tentang derita perbudakan
di tahun 1800-an di Amerika. Film ini menggambarkan tentang penegasan bahwa diskriminasi
telah mengubur sisi nurani kemanusiaan dan juga menggambarkan bagaimana manusia
menjadi komoditas perdagangan bagi kepentingan pertumbuhan ekonomi sang pemilik
modal. Penyiksaan bernada ketegaan cukup memilukan yang dipertontonkan film ini
benar-benar membangkitkan emosi dan sekaligus kesadaran bahwa segala bentuk
penindasan terhadap manusia wajib
dihapuskan dari muka bumi. Perbedaan kulit bukan berarti membuat manusia berhak
saling merendahkan. Kepemilikan atas modal bukan pembenar untuk memperlakukan orang
lain seenaknya sendiri. Semua manusia harus dipandang sebagai makhluk Tuhan
yang terlahir sama-sama memiliki hati dan nurani.
Berbicara tentang perbudakan, terbersit tanya masih adakah praktek perbudakan dalam bentuk
lain di kekinian zaman?. Kalau
perbudakan didefenisikan sebagai aktivitas sadar melupakan nurani dan ingin
menang sendiri, mungkin perbudakan sesungguhnya masih berlangsung di keseharian
manusia di muka bumi ini.
Lihatlah berapa banyak para
pembantu rumah tangga (PRT) diperlakukan tidak manusiawi. Mereka harus
bekerja 24 jam dan harus siap
mengerjakan perintah setiap kali Sang
Tuan membutuhkan bantuan. Lihat pula apakah
para Tuan itu memberikan kompensasi yang
layak atas pengabdian mereka?. Lihat
pula bagaimana orang pinter memanfaatkan orang bodoh dan miskin untuk tujuan-tujuan
sempitnya yang dikemas dalam bahasa “menolong”.
Lihatlah bagaimana uang telah membuat
para wanita cantik dan menyukai jalan pintas sering di beli paro waktu di tempat-tempat hiburan. Uang sepertinya telah
menjadi Tuhan dan memiliki kekuasaan tak terbatas serta mengatur apapun yang bentuknya
lebih sering berorientasi pada urusan
“kepuasan”. Bukankah tumbuh dan suburnya
tempat hiburan malam dan perdagangan minum-minuman keras juga pada akhirnya
berujung pada penyuburan perbudakan dalam
bentuk kekinian?. Lihat pula tragedi meninggalnya seorang karyawati karena
kelelahan kerja (over time) demi mengejar dead line. Kaji pula bagaimana para
bankir-bankir pemula mengejar target saving maupun landing demi mempertahankan dan atau meningkatkan status
kekaryawan dan juga status sosial mereka sebagai bankir. Lihat pula
pengabdian panjang yang dilakukan
honorer di lingkungan pemerintah untuk bisa memiliki NIP (nomor insuk kepegawaian).
Faktanya, tidak semua berakhir dengan manis walau mereka begitu bersungguh-sungguh dalam pengabdiannya
yang cukup lama. Pada akhirnya sebagian mereka menghibur diri dan menerima
kenyataan pahit sebagai sebuah “nasib”
atau “garis tangan”. Lihat pula
bagaimana tenaga out sourcing yang
beberapa waktu lalu menjadi trending topic. Karena tidak ingin
menanggung resiko kekaryawanan, beberapa perusahaan besar membuat partisi kepegawaian
dimana pada tingkat struktur tertentu di isi oleh karyawan/ti dari perusahaan
pemasok tenaga kerja atau biasa di sebut out sourcing. Dengan demikian, perusahaan terbebas dari resiko
apa yang disebut pesangon dan urusan lainnya yang biasa muncul bila terjadi pemberhentian
dan atau perselisihan perburuhan. Lihat pula bagaimana kesenjangan ekonomi dan sosial telah menjadi
isu dunia. Bagaimana kapitalisme selalu memperkaya pemilik modal dan menambah
deret angka kemiskinan dan kebodohan. Untuk melanggengkan sumber pendapatannya,
mereka berbagi dalam judul “salary” atau “insentif” yang jumlahnya hanya bisa memenuhi kebutuhan hidup standar, kecuali
orang-orang kunci yang dinilai strategis melipatgandakan makna angka kepemilikannya atas perusahaan.
Ironisnya, uang yang ada di saku atau di rekening para karyawan/ti kembali mengalir ke
kantong kapitalis, karena perusahaan-perusahaan tempat karyawan/ti
mentransaksikan kebutuhannya juga adalah perusahaan yang di miliki oleh orang
yang sama. Sekilas tampak tak ada yang salah ataupun masalah, karena kaya
bukanlah sebuah dosa. Tetapi, kesenjangan sosial dan ekonomi adalah sebuah
persoalan serius yang bisa berdampak pada revolusi sosial dan berujung pada krisis multy dimensi.
Adakah semua itu perbudakan
dalam bentuk lain?. Ataukah sang obyek tidak merasa menjadi budak hanya karena
mendapat kenikmatan yang setimpal dari upaya keras mereka?. Ataukah mereka
sengaja menjebakkan diri karena ketiadaan pilihan sehingga mengorbankan apapun
demi bertahan hidup?. Adakah kemartabatan berpeluang digenggap di
keseharian hidup manusia ???...
Tak ada kesimpulan dalam
tulisan ini... ujungnya tetep tanya tak berjawab dan membutuhkan pencarian pajang...
semoga pembaca terinspirasi kebaikan...
Posting Komentar
.