
Zaman tidak hanya
merubah pola interaksi dan komunikasi antar orang tua dan anak, tetapi
juga merambah pada hubungan antar anak.
Salah satu contoh nyata adalah sikap seorang adik ke kakaknya. Saat ini, Sang kakak hampir tidak memiliki aura
seperti pengganti di saat orang tua pergi sementara atau selamanya. Anak yang
lebih tua pun sudah tidak lagi di agungkan oleh sang adik seperti dulu. Mungkin
ini pula muasal hilangnya penghormatan pada yang orang lebih tua ketika sang
anak ada di luar rumah dan berinteraksi dengan orang lain.
Waktu dan zaman telah
berhasil merubah segala sesuatunya. Hubungan orang tua dan anak tidak lagi layaknya
raja dan rakyatnya. Sekarang ini, sulit mendapati seorang anak
merunduk ketika lewat di depan
orang tua, sulit juga mendapatkan anak yang rikuh melewati ruang depan saat
orang tuanya asik berbincang dengan tamu. Dalam hal bersalaman pun demikian,
anak tidak lagi menempelkan jidatnya di tangan orang tua layaknya memberi rasa
hormat tulus dan mendalam, tetapi sering menempelkan pipinya dengan dalih ekspreasi
rasa sayang. Anak sekarang pun sudah lebih berani mengemukakan pendapat dan
bahkan berseberangan secara nyata dengan fikiran orang tua.
Adakah ini Keberhasilan kampanye kata “demokrasi” sehingga
pembacaan menjadi terbalik dimana anak adalah raja yang harus dilayani
permintaannya oleh orang tua. Adakah garis tengah yang di defenisikan
“kebijakan” adalah ketika anak dan orang tua terkondisi seperti berteman atau
bersahabat ??. Adakah zaman ini telah meyakini “komunikasi setara”
sebagai cara melahirkan anak brilian???. Masih tanya besar di benakku. Tetapi
terfikir untuk mengurai dari mana muasalnya perubahan ini??.
Tertarik menelusur tahapan
proses perubahan melalui perkembangan gaya komunikasi dan interaksi antar suami
istri. Sebab, jangan-jangan ini “muasal” perubahan di kalangan anak-anak.
Sebab banyak teori yang menyebutkan bahwa anak itu meniru dari kebiasaan orang
tuanya.
Mencoba mencari
testimoni dari seorang nenek tua jompo
beusia 82 tahun seputar hal ini. Beliau mengatakan, “ hubungan suami dan istri saat
ini juga sudah mengalami perubahan yang radikal. Dulu suami bagaikan raja dan
istri melayani suami atas nama pengabdian dan ibadah. Istri menempatkan suami
sebagai pemimpin dan keputusannya adalah hal sakral yang harus di patuhi nya berikut juga anak-anaknya.
Dulu, menjelang jam-jam pulang suami, istri
sudah menyiapkan dan manata makan di meja. Istri menyambut kedatangan
suami dengan mencium tangannya penuh rasa hormat. Anak-anak di kondisikan dalam
keadaan tersenyum dengan maksud agar lelah sang ayah terobati. Istri kemudian
mempersilahkan dan menunggu suami makan dengan khawatir kalau ada hal-hal yang
diperlukan saat suami makan. Bahkan ada yang radikal dimana anak-anak dan istri
belum berani makan kalau sang ayah belum selesai makan, kecuali sang suami
berpesan khusus sedang ada agenda ke luar kota atau agenda khusus lainnya di
luar rumah. Istri pun sangat tidak berani menatap sang suami bila sedang marah.
Bahkan seperti haram hukumnya ketika suami menyentuh pekerjaan-pekerjaan rumah,
seperti menyapu, mencuci piring atau pakaian dan lain sebagainya. Istri pun
tidak berani pergi tanpa izin suami”
Setelah menghela nafas
sesaat, sang nenek bijak itu melanjutkan, “berbeda dengan sekarang ini, para istri tampak
menjadi setara dengan suami. Bahkan tak jarang istri berani mempersalahkan
suami dengan lantang dan tatapan tajam. Nilai-nilai penghargaan istri telah meluntur.
Dulu istri hanya berani mem-bathin ketika ada hal yang kurang sesuai dengan
inginnya. Istri juga sangat hati-hati menyampaikan sesuatu kepada suami.
Situasi semacam ini pula yang kemudian mendatangkan rasa tanggungjawab besar
pada laki-laki, baik sebagai seorang suami maupun sebagai seorang ayah bagi
anak-anaknya. Pada zaman dulu kebanyakan istri di rumah dan jarang sekali
bekerja seperti kita dapati saat ini.
Kalau pun bekerja, biasanya hanya untuk membantu suami seperti ke sawah
dan ladang. Artinya, sangat jarang para istri berada di luar rumah tanpa di
dampingi suaminya. Inilah yang kemudian membuat anak begitu dekat dengan
ibunya. Kedekatan itu pula yang kemudian membuat nilia-nilai ajaran orang tua
kepada anak begitu magis. Faktor yang bisa
meluluhlantahkan penghormatan itu hanya bila orang tua tidak menunjukkan
ketauladanan dan berseberangan dengan apa yang telah diajarkan kepada para anaknya.
Hal itupun terbahasakan dalam bahasa sikap yang santun ”, pungkasnya.
Sekejap terhenyak
menghayati kalimat yang keluar dari nenek tua ini. Sederhana dan penuh makna,
itulah kesan yang didapat. Tergiring ber-hipotesis bahwa pergeseran pola komunikasi dan interaksi antar suami dan
istri sebagai muasal dari bergesernya nilai-nilai apresiasi dan penghormatan
anak terhadap orang tuanya.
Adalah dinamika zaman tak
mungkin dibendung, tetapi “perubahan” yang di terima tanpa filter berpotensi
membawa pada keterpurukan Ini perlu digali lebih dalam dan dicarikan solusi
bijak. Itu pun kalau memang realitas
saat ini dipandang sebagai sebuah masalah dan relevan untuk di khawatirkan.
Kesadaran akan pentingnya menjaga nilai-nilai sakral ini tidak hanya untuk
meningkatkan pamor orang tua terhadap anak, tetapi juga menyangkut persoalan
masa depan bangsa, sebab pada waktunya anak-anak tersebut yang akan mengambil
tanggungjawab atas estafet kepemimpinan di negara tercinta ini.
Adakah getolnya
pelaksanaan ESQ adalah sebuah bentuk pengakuan bahwa sesungguhnya hal tersebut
adalah bagian dari yang perlu di selesaikan??. Adakah terkedepankan nya isu “pendidikan
karakter” juga di inspirasi oleh kesadaran serupa??. Semoga tanya ini
menginspirasi hal baik bagi segenap pembaca dan juga bagi penulis yang sedang
belajar menterjemahkan sisa kesempatan hidup yang di berikan Tuhan. Amin.
Selamat Berakhir
Pekan...sebuah moment stratetgis me-refresh paradigma dan penguatan
nilai-nilai keluarga.
Posting Komentar
.