Disampaikan pada agenda “Diklat Perkoperasian Bagi Pengurus dan atau Pengawas Gerakan Koperasi Se-Kab. Banjarnegara” yang dilaksanakan oleh Dekopinda Kab.Banjarnegara, Prop.Jawa Tengah, Indoensia, di Gombong, 25 Nop 2012
A. Prolog Bernuansa Filosopis
Atas
dasar itu, sebelum melakukan aktivitas apapun, baiknya koperasi terlebih dahulu
duduk bersama membentuk “defenisi tujuan”. Sekilas, langkah
ini tampak sebatas pendefenisian, namun demikian ketika perumusan defenisi dilakukan melalui proses musyawarah
untuk mufakat dan dalam lingkar demokrasi yang senantiasa di junjung tinggi,
maka setiap orang memiliki ikatan emosional yang kuat atas defenisi tersebut dan
pada akhirnya melahirkan kesadaran untuk berkontribusi.
Disisi
lain, mengingat koperasi adalah organisasi yang keanggotaannya menganut prinsip
“suka rela dan terbuka”, maka setiap penambahan orang sebaiknya di dahului
dengan proses sosialisasi dan edukasi sehingga status keanggotaan koperasi
tidak hanya difahami sebagai titik masuk ke dalam “ruang manfaat”, tetapi juga
menyadari sepenuhnya bahwa berkoperasi juga identik dengan “tanggungjawab”
untuk ikut membesarkan koperasi secara bersama-sama.
B. Pendefenisian Kebahagiaan Sebagai Tujuan
Koperasi
bukanlah organisasi bebas nilai. Artinya, dalam perjalanannya koperasi terikat
pada nilai-nilai dan prinsip-prinsip sebagaimana termaktub dalam konsepsi jati
diri koperasi sesuai dengan hasil kesepkatan Induk Koperasi Dunia (baca: ICA/International Cooperative
Alliance) yang dikenal dengan istilah ICIS (identity Coperative ICA Statement).
Defenisi, nilai-nilai dan prinsip-prinsip ini lah yang selanjutnya menjadi
dasar bagi sebuah koperasi dalam mengembangkan tujuan maupun dalam langkah-langkah
di proses pencapaiannya.
Sedikit
menguak tentang “defenisi”, koperasi merupakan kumpulan orang-orang yang
bertujuan memenuhi aspirasi dan kebutuhan ekonomi, sosial dan budaya. Satu hal
yang menjadi perhatian adalah bahwa tujuan koperasi bukanlah hanya persoalan pembangunan
ekonomi semata (not economic only), tetapi juga menyangkut pembangunan sosial
dan budaya. Keluasan tujuan koperasi ini pula yang bila diimplementasikan
secara total akan membentuk kualitas yang
lebih baik sebagaimana tema koperasi dunia tahun 2012 tang bebunyi; “cooperative’s
entreprise build better word”.
C. Sekilas menilik Realitas
Dalam
situasi semacam ini, implementasi nilai-nilai
dan prinsip koperasi kian kabur dan pada akhirnya koperasi tampil
sebagaimana badan usaha non koperasi yang terjebak pada pertumbuhan modal.
Ironisnya, sebagian besar tak berhasil mencapainya.
D. Ketika SHU
dijadikan indikator keberhasilan
Sejenak
berfikir rasional, ketika sebuah koperasi yang beranggotakan orang-orang
produktif (misalnya KPRI yang anggotanya berprofesi sebagai PNS) dan
berpenghasilan tetap rata-rata Rp 2.000.000,oo/bulan, usaha apakah yang harus
diselenggarakan koperasi tersebut agar bisa membagi SHU ke setiap anggota
sebesar Rp 2.000.000,oo/bulan. Pertanyaan ini sebagai bahan kontemplasi yang
menarik untuk kemudian menyusun rasionalitas
berharap setiap orang terhadap koperasinya. Setidaknya, kontemplasi ini
titik masuk untuk kembali menata ulang
persepsi dan juga tujuan dari aksi berkoperasi. Satu hal lagi patut di
perhatikan , ketika proses perolehan SHU adalah dengan memposisikan anggota
sebagai konsumen murni, maka dimana letak “nilai dan semangat gotong royong”
yang menjadi muasal kelahiran sebuah koperasi.
Semoga pertanyaan sederhana ini menjadi bahan kontemplasi efektif dari “tujuan dan langkah”
koperasi di berikutnya
E. Menawar Kenyataan
Tertarik
untuk menawar realitas dengan menggagas hal baru dengan harapan adanya
perubahan paradigma nyata dalam dunia perkoperasian, khususnya di lingkungan
KPRI, yaitu :
- Mendefenisikan tujuan berkoperasi tak sebatas perjuangan ekonomi. Sudah saatnya koperasi mulai memasukkan unsur pembangunan sosial dan budaya dalam tujuannya. Implementasi ketiga tujuan ini (ekonomi,sosial dan budaya) yang terangkum dalam aksi lapangan akan memperjelas “nilai beda” antara koperasi dan non koperasi. Dengan demikian, pertumbuhan kebermanfaatan dalam arti luas dari aktivitas koperasi akan membangun apresiasi positif anggota yang pada akhirnya berujung pada lahirnya semangat untuk mengembangkan partisipasi positif dalam mencapai tujuan-tujuan berkoperasi. Pada akhirnya, koperasi sebagai kumpulan orang akan menjadi gerakan sosial berbasis empowering (baca: pemberdayaan).
- Tahapan perumusan aktivitas. Idealnya, aktivitas yang akan dibangun dan dikembangkan oleh koperasi selayaknya melalui proses musyawarah untuk mencapai mufakat. Dengan demikian, setiap keputusan yang diambil merupakan refresentasi (perwakilan) kepentingan mayoritas anggota koperasi. Disamping itu, apapun aktivitas yang dijalankan koperasi harus memiliki relevansi yang kuat dengan peningkatan kesejahteraan anggotanya dalam arti luas.
- Mendulang kesejahteraan dengan 2 (dua) alternatif langkah. Peningkatan kesejahteraan tidak melulu melalui peningkatan pendapatan, tetapi juga bisa lewat pencerdasan dalam menggunakan pendapatan. Mereferensi pada kalimat tersebut, maka ragam aktivitas koperasi bisa di kelompokkan menjadi 2 (dua) kelompok besar yaitu; (i) aktivitas-aktivitas yang berhubungan dengan peningkatan pendapatan anggota dan; (ii) aktivitas-aktivitas peningkatan kecerdasan dalam menggunakan pendapatannya. Dalam aksi peningkatan pendapatan, pembangunan koperasi tidak mengarus utamakan pembangunan koperasi (secara kelembagaan dan usaha) sehingga mewujud menjadi sebuah perusahaan besar, tetapi menekankan pada peningkatan produktivitas anggotanya lewat daya dukung nyata dari koperasi, seperti penyediaan modal, akses pemasaran, support manajemen dan lain sebagainya. Dengan demikian, koperasi akan memposisikan diri sebagai kantong wirausaha (baca: anggotanya menjadi wirausahawan). Sementara itu, dalam rangka mencerdaskan penggunaan pendapatan, koperasi mengambil tanggungjawab untuk meng-edukasi anggotanya dalam pola yang variatif, misalnya dengan menyelenggarakan swalayan dengan sistem harga pokok, menyelenggarakan simpan pinjam dengan jasa minimalis, koperasi mengkampanyekan tentang hidup sederhana dan meningkatkan gairah menabung, koperasi menyelenggarakan pendidikan pengelolaan manajemen keuangan rumah tangga dan lain sebagainya. Dalam cara baca ini, “spirit edukasi” sebagai roh koperasi menjadi nyata di tingkat tindakan.
- Menjunjung tinggi azas subsidiary. Azas subsidiary merupakan semacam kode etik dimana apa yang sudah dikerjakan oleh anggota tidak dilakukan oleh koperasi dan demikian sebaliknya. Dengan demikian, koperasi tidak akan pernah men-zholimi anggotanya dengan mengatas namakan kepentingan mayoritas. Hubungan usaha koperasi dengan usaha anggota adalah saling memperkuat dan bukan saling meniadakan. Sebagai contoh, ketika banyak anggota koperasi yang menyelenggarakn toko di rumahnya, maka jika mengganggu stabilitas toko-toko milik anggota itu, koperasi tidak boleh menyelenggarakan usaha toko lagi, karena dikhawatirkan akan terjadi persaingan antara koperasi dan anggotanya. Kalaupun koperasi ingin menjalankan usaha di jalur yang sama, maka koperasi sebaiknya bermain di grosir atau distributor sehingga bisa men-support toko-toko milik anggota.
- Penerapan Margin Hanya Untuk Kepentingan Penambahan Pelayanan. Dalam pemaknaannya, kalimat ini menyemangati lahirnya “efeisiensi kolektif” sebagai implikasi keterbangunan kualitas kolektivitas segenap unsur organisasi. Dengan berkomitmennya segenap anggota mentransaksikan kebutuhannya di koperasi akan membuka peluang keterbentukan “harga perolehan” yang lebih efisien. Inilah yang dinamakan dengan “efeisensi kolektif”. Sebagai contoh, ketika koperasi menyelenggarakan unit layanan toko, koperasi menerapkan sistem harga pokok sehingga memperbesar peluang anggota mendapatkan harga beli yang lebih murah. Sementara itu, ketika koperasi meningkatkan margin nya, semata-mata diperuntukkan bagi pengembangan kebermanfaatan seperti menambah unit layanan. Dengan kata lain, penambahan margin di luar peruntukan menutup biaya operasional adalah untuk kepentingan investasi baru alias menambah unit layanan koperasi kepada anggotanya.
- Pelibatan Profesional. Dalam buku nya tentang manajemen koperasi modern, peter davis mengatakan “management is lead and committe is refresentative of democracy”. Dalam bahasa sederhana, kalimat ini menekankan bahwa operasionalisasi koperasi selayaknya di serahkan pada manajemen (baca: para profesional) dan pengurus atau pengawas adalah perwakilan (refresentasi) dari proses demokrasi di koperasi. Kalau di kaji rasionalnya, khususnya di KPRI-KPRI, para pengurus sudah memiliki pekerjaan tetap di kedinasan yang memerlukan konsentrasi penuh, sehingga berharap lebih berbuat untuk koperasi menjadi sulit. Hal ini bukan karena ketidakmampuan, tetapi keterbatasan waktu yang tidak mungkin di lawan. Oleh karena itu, ada baiknya operasionalisasi koperasi di serahkan kepada para pengelola (baca: profesional) dan selanjutnya pengurus dan pengawas lebih concern pada design makro dan pengawasan operasionalisasi koperasi. Pelibatan profesional yang fokus dan faham jati diri koperasi (terdiri dari defenisi, nilai dan prinsip koperasi) akan membawa sebuah koperasi ke arah yang lebih berpeluang untuk berkembang. Alasan lain yang rasional adalah periodisasi kepengurusan yang biasanya setiap 3 (tiga) tahun mungkin berganti, sehingga rentan membawa koperasi kembali ke titik awal atau bahkan berubah arah secara radikal dan tak mempertimbangkan sejarah sebelumnya. Dengan kehadiran profesional, maka kontinuitas tahapan pembangunan koperasi akan lebih dimungkinkan mengingat para profesional tetap ada di koperasi walau terjadi pergantian kepengurusan atau kepengawasan.
- Sebentuk khayal indah di lingkungan KPRI. Setelah bertanya pada bebrapa kawan pemilik supermarket besar, mereka mengatakan bahwa pendirian sebuah supermarket dalam kategori layak membutuhkan investasi lebih kurang Rp 75M. Ter-Ide untuk mendirikan sebuah supermarket sebagai salah satu cara mencerdaskan penggunaan pendapatan, sebab dipastikan harga perolehan ragam produk menjadi lebih murah sehingga hal ini akan meningkatkan pendapatan riil anggota koperasi. Untuk memenuhi permodalan yang ada, terfikir untuk menggabungkan potensi modal dari seluruh KPRI di sebuah kabupaten. Dengan penggabungan potensi ini, maka Rp 75M sangat mungkin untuk dilakukan. Sementara itu, untuk kepentingan operasional, koperasi bisa mendatangkan para expertis (ahli) supermarket dengan sistem salary yang menarik, sehingga para expertis merasa nyaman untuk bekerja di supermarket tersebut. Supermarket ini kemudian membuat satu ciri khusus dimana “membeli berarti menabung”. Artinya, pada saat seorang anggota koperasi berbelanja, maka margin keuntungan yang dia bayarkan akan diperlakukan sebagai tabungannya di koperasi. Bila perlu, kasir supermarket ini juga sebagai outlet untuk menabung di koperasi dalam jumlah berapapun. Terbayang indahnya melihat tulisan “selamat bertransaksi di perusahaan milik sendiri” di pintu masuk supermarket tersebut. Apakah ini hanya sebatas khayal indah???
F.
Penutup
Sebagai
penghujung, saatnya memaknai koperasi sebagai gerakan yang tidak hanya
terbatas pada bidang ekonomi saja, tetapi juga menyangkut bidang
sosial dan budaya. Pemahaman koperasi sebagai kumpulan orang akan menjadi
inspirasi dalam menempatkan “insan koperasi” sebagai obyek dan sekaligus subyek
pembangunan koperasi itu sendiri.
Demikian
tulisan sederhana ini, semoga menginspirasi kebaikan, khususnya dalam
mengembalikan semangat berkoperasi ke jalur yang semestinya. Amin.
GALLERY
Posting Komentar
.