MENGELOLA BISNIS BERVISI JAUH | ARSAD CORNER

MENGELOLA BISNIS BERVISI JAUH

Senin, 01 Oktober 20120 komentar



A. Re-fresh Sejarah Keterlahiran

Sebelum jauh membicarakan "pengelolaan usaha", ada baiknya me-refresh sedikit muasal keterlahiran sebuah usaha, sehingga mempermudah pemahaman dan pembahasan ditahap pengelolaan.

Ditinjau dari muasal kelahirannya, usaha berawal dari adanya keyakinan untuk memanfaatkan  peluang yang diyakini mengandung nilai harapan. Sementara itu, peluang bisa berawal dari sebuah keadaan/situasi,  bisa melalui aplikasi taktik 3M (melihat,meniru dan menambahkan) atau memang peluang tersebut sengaja diciptakan lewat sebuah gagasan brilian yang benar-benar baru alias genuine. Keyakinan itu selanjutnya dibarengi dengan "keberanian memulai" dan "kesiapan"  atas segala kondisi yang muncul kemudian, baik tentang   akhir positif maupun negatif.
Jika tidak, maka peluang tinggal peluang dan gagasan tak kan pernah muwujud menjadi sebuah karya. Dengan kata lain, tak berlebihan  berkesimpulan bahwa menjadi wirausaha alias pebisnis memerlukan ketajaman instuisi dan mental yang cukup untuk mengambil keputusan.  

B.  Beda Ruang Antara Wirausahawan dan Pengelola
Sebuah pepatah bisnis mengatakan;"sesuatu yang besar berawal dari yang kecil". artinya, besarnya usaha merupakan akibat positif dari "kemampuan mengelola (me-manage)" mulai dari  perencanaan, operasionalisasi, sampai dengan pengembangan (developement). Oleh karena itu, "pola pengelolaan" memegang peranan penting dan menentukan bertahan tidaknya sebuah bisnis. 

Satu hal yang perlu menjadi bahan perenungan, salah satu kebiasaan dari pebisnis (baca: entrepreneur) adalah lihai dalam melihat atau menciptakan peluang, tetapi tak sedikit pebisnis kurang  punya kecakapan dalam mengelola (to manage). Hal ini bisa difahami karena mengelola men-syaratkan ketekunan dan ketelatenan serta kesabaran dalam menapaki tahap demi tahap. Demikian sebaliknya, orang yang jago mengelola bisnis belum tentu lihai dalam melihat atau menciptakan peluang. Disamping itu, biasanya mereka bukan dari golongan yang berani mengambil resiko atau risk taker.

Sebagai catatan, sebagian besar dari wirausahawan memiliki kebiasaan in-konsisten. Hal ini didukung oleh kondisi lapangan usaha yang memang begitu dinamis sehingga memerlukan penyesuaian-penyesuaian tindakan sehingga peluang tetap terjaga. Sementara itu, pengelolaan selalu berorientasi pada keteraturan yang didukung dengan perencanaan matang dan  tindakan sistematis. Oleh karena itu, titik idealnya adalah ketika terjadi kolaborasi yang renyah, sehingga lompatan-lompatan gagasan yang meletup-letup dari sang wirausahawan bisa diikuti oleh pengelola yang memiliki daya adaptasi dan respon tinggi.

Itulah sebabnya, para pebisnis yang menyadari memiliki karakter demikian disarankan hanya mengambil peran  sebagai pengambil keputusan dan penyedia sarana pendukung saja, sedangkan urusan pengelolaannya diserahkan sepenuhnya pada pengelola profesional. Namun demikian, bukan tidak mungkin  kedua keahlian itu terangkum atau melekat pada diri seorang wirausahawan.


C. Referensi Obyektif Dalam  Penyusunan  Strategi Pengelolaan
Dalam tinjauan logika, hidup tidaknya sebuah bisnis tergantung pada kualitas dan kuantitas respon pasar (target market). Dengan kata lain, konsumen adalah penentu masa depan sebuah usaha (demand driver). Pemahaman semacam ini  mendasari ragam gagasan demi terciptanya kepuasan konsumen yang merupakan titik kunci keberhasilan sebuah usaha. Ketika konsumen puas, diharapkan  akan  membuatnya menjadi pelanggan loyal dan atau bahkan kemudian menjadi agen pemasaran alamiah lewat penyebaran informasi kepada teman-temannya tentang nilai-nilai kebaikan dari produk-produk yang  biasa dia konsumsi. Ini yang biasa disebut dengan pemasaran alamiah.

Dari sudut pandang operasional sebuah bisnis,”kepuasan konsumen” merupakan bentuk reaksi positif dari ”rangkaian proses penyajian dan penawaran” terhadap calon konsumen.  Tentu hal ini berawal dari kejelian mengenali target konsumen dan kemudian  mempelajari karakter mereka secara detail. Pemetaan ini selanjutnya menjadi dasar dalam membentuk produk dan juga pola pengkomunikasiannya, sehingga konsumen tidak hanya ” tahu dan ingin” memanfaatkan produk yang ditawarkan, tetapi juga menetapkan nya sebagai ”kebutuhan” yang harus dipenuhi.  Itulah sebabnya, dalam bisnis sebaiknya tidak memaksakan untuk menjual apa yang dipunyai, tetapi fokuslah menjual apa yang dibutuhkan. Sebab menjual yang dibutuhkan memiliki probabilitas tinggi  mendapatkan respon positif dari konsumen.

Sementara itu, membuat target konsumen merasa ”butuh” juga memerlukan rangkaian strategi. Sifat produk yang ditawarkan ikut mempengaruhi strategi yang diambil. Sebagai contoh, dalam menjual produk sembako lebih mudah dibandingkan menjual sebuah handphone atau produk teknologi lainnya. Karena sembako termasuk kategori kebutuhan primer, maka hal ini tak memerlukan promosi yang njlimet dalam memasarkannya. Karena kemudahan dalam menjalankannya,  maka tidak mengherankan banyak pesaing dalam bisnis ini. Sementara itu, dari tinjauan  range margin keuntungan juga relatif kecil sehingga bisnis sembako biasanya menekankan pada kuantitas transaksi. Berbeda dengan bisnis teknologi, tentu memerlukan rangkaian promosi dan bahkan edukasi market. Disamping produk-produk teknologi memerlukan pengetahuan cukup dalam penggunaannya, sebagian masyarakat juga masih memposisikan  sebagai kebutuhan sekunder yang  dikonsumsi hanya bila telah selesai  memenuhi kebutuhan primernya.  Namun demikian, para pelaku bisnis di bidang teknologi banyak yang mampu mengemas pola eduksi terhadap masyarakat, sehingga yang tadinya tidak tahu berubah menjadi tahu dan bahkan merasa butuh. Sebagai contoh,  di sebagian besar masyarakat  telah menempatkan handphone sebagai kebutuhan pokok. Ini merupakan  keberhasilan perusahaan dibidang telekomunikasi membentuk ”mindset” masyarakat terhadap produk yang mereka tawarkan. Mereka sukses mengedukasi masyarakat mulai dari tidak tahu menjadi tahu, dari tahu menjadi ingin, dari ingin menjadi butuh dan kemudian butuh menjadi aksi beli.  

D.  Mengelola Bisnis
Tak satupun ”rumusan pengelolaan bisnis” di dunia ini yang memiliki tingkat efektivitas 100%.   Satu-satunya indikator obyektif  ketepatan strategi tergantung seberapa besar respon positif dari calon konsumen atas apa-apa yang tawarkan. Jika respon target konsumen kurang memuaskan, itu artinya pola pengelolaan tersebut harus melakukan auto koreksi untuk menemukan sisi mana yang harus di perbaiki.  Atas dasar itulah, setiap pebisnis di tuntut memiliki kemampuan beradaptasi tinggi atas setiap kondisi dan ragam karakter calon konsumen. Inilah yang dikatakan ”mengelola bisnis”.

Di lingkungan bisnis pemula, biasanya bisnis berawal dari sebuah struktur kecil baik mulai ”hanya dirinya” atau mengawalinya dari ”kelompok kecil” yang memiliki komitmen untuk berjuang  bersama untuk meraih kesuksesan.  Bagi mereka yang memulai nya dari ”diri sendiri” alias ”seorang diri”, mengelola bisnis relaitif lebih mudah , khususnya dalam proses pengambilan keputusan. Pada titik ini, pebisnis memulainya dengan membangun komitmen tinggi  pada satu prinsip, yaitu ”memuaskan konsumen”. Prinsip ini selanjutnya mempengaruhi semua langkah-langkah yang dilakukan sepanjang proses bisnis berlangsung. Sementara itu, dinamika pengelolaan biasanya di drive oleh dinamika konsumen atau dinamika pribadi pebisnis tersebut. Seiring dengan perkembangan bisnis (meluasnya konsumen), komitmen yang terjaga terhadap ”kepuasan konsumen” akan memunculkan gagasan untuk melibatkan orang lain di luar dirinya yang kemudian biasa di sebut dengan karyawan, baik untuk melayani konsumen maupun dalam rangka mendukung konsistensi produksi. Pada tahap ini, seorang pebisnis mulai dihadapkan pada tantangan berikutnya, baik dari keterjaminan kualitas produksi maupun keterjaminan kualitas pelayanan terhadap pelanggan.  Disinilah kepemimpinan seorang pebisnis mulai diuji kemampuannya dalam hal mentransfer pengalaman dan sekaligus membangun integritas karyawan terhadap pelayanan sebagaimana yang dia rintis sejak awal berdirinya bisnis tersebut. 

Berbeda dengan bisnis yang dimulai dari ”kelompok kecil” yang di huni oleh beberapa orang,  hal utama yang perlu diagendakan adalah penyatuan visi dan misi  serta membangun moral tim dalam mewujudkan mimpi bersama. Jadi, bisnis yang dimulai dari kelompok kecil, proses transfer of knowledge dari ruh bisnis itu sudah terbentuk sejak awal. Berbicara bisnis yang dimulai dari kelompok kecil,  beberapa diantara kelompok bisnis justru pecah  saat bisnis sedang mengalami perkembangan. Bahkan tidak sedikit dari kelompok itu kemudian bubar secara total karena gagal dalam membangun  ego kolektif dan juga kisruh dalam hal pola distribusi peran efektif diantara mereka. Pada titik ini, prinsip ”memuaskan konsumen” tak lagi bisa menjadi inspirasi terbentuknya jalan tengah diantara perbedaan-perbedaan yang mengemuka. Namun demikian, banyak juga bisnis yang dimulai kelompok kecil  berusia panjang dan mampu meraih kesuksesan luar biasa. Mereka senantiasa mengembangkan budaya keterbukaan satu sama lain dan memaknai perbedaan sebagai sumber inspirasi perekat komunikasi.

Terlepas apakah bisnis dimulai dari seorang diri atau kelompok kecil, pada saat bisnis mulai berkembang dan semua orang dalam kondisi overload, maka  pelibatan orang lain (baca: karyawan) menjadi satu keharusan. Jika tidak, hal ini berpotensi  merusak kualitas pelayanan maupun kualitas produksi yang berujung terbangunnya kekecewaan konsumen. Namun demikian, penambahan orang baru (karyawan) juga memerlukan proses adaptasi. Oleh karena itu, transfer pengetahuan dan pemahaman tentang ”tata cara” juga sangat diperlukan untuk menghindari terciptanya  ”jurang” kualitas yang bisa berakibat  penurunan angka transasi.  

Lain lagi   dengan bisnis yang dibangun dan diawali dari struktur yang mapan serta melibatkan modal  besar. Pengelolaan bisnis level ini biasanya dimulai dari penyusunan studi kelayakan yang demikian detail/rigit. Dalam tahapan implementasinya pun  biasanya  menggunakan tahapan-tahapan manajemen yaitu; (i) planning;(ii) organizing; (iii) actuating; (iv) controlling dan; (v) evaluating. Disamping itu, distrisbusi peran setiap orang juga sudah dipilah berdasarkan konsentrasi masing-masing bagian yang minimal terdiri dari : (i) bagian pemasaran; (ii) bagian operasional; (iii) bagian pemasaran dan; (iv) bagian personalia. Semua berjalan demikian tertata dan tersistematis. Segala perjalanan usaha bisa dideteksi dengan rigit sehingga  pengambilan keputusan pun di dasarkan data dan bukan hanya instuisi semata.

Sebenarnya, pebisnis pemula juga bisa menerapkan prinsip-prinsip manajemen modern sebagaimana diterapkan oleh usaha besar yang sudah seattle, hanya saja dalam implementasinya harus melakukan penyesuaian-penyesuaian dengan skala bisnis yang sedang di kelola. Jika tidak demikian, hal ini  berpotensi menciptakan in-efisiensi dan in-efektifitas dalam perjalanannya. Oleh karena itu, setiap penambahan orang minimal harus identik dengan penambahan pendapatan, sehingga ritme pertumbuhan terjaga dengan baik. Oleh karena itu, penambahan orang harus diawali dengan perencanaan yang  matang dan  diisi oleh orang yang tepat. Dengan demikian, semakin luasnya struktur organisasi menjadi identik dengan semakin tumbuh kembangnya sebuah perusahaan.

E.  Membangun Nilai Beda
Mengelola usaha hakekatnya adalah menyusun dan mengaplikasikan cara yang efektif. Terbangunnya respon positif konsumen sebagai target, membuat cara mengelola usaha terus mengalami perubahan seiring dengan dinamika yang ada pada konsumen. 

Kreativitas yang berujung pada terciptanya keunikan yang menjadi daya pikat senantiasa  digali sebagai cara untuk membina loyalitas konsumen atau pelanggan yang lebih banyak lagi. Inovasi beragam guna menarik perhatian terus diupayakan sebagai bagian dari strategi membangun pertahanan dan sekaligus menciptakan perkembangan usaha

Sebagai illustrasi yang mungkin bisa menginspirasi, berikut ini di ceritakan beberapa kreatifitas yang tergolong unik dalam membangun dan mengelola sebuah usaha :
1.       Ketika Pedagang Tahu Mendadak Jadi Juragan.  
Seorang sarjana yang baru lulus tinggal di sebuah kampung  yang dikenal penghasil tahu terinspirasi untuk berdagang tahu di pasar tradisional. Setelah berkomunikasi dengan pengrajin tahu, akhirnya dia memulai rencananya berdagang tahu. Dengan gayanya yang khas dalam menawarkan tahu kepada pembeli yang kebanyakan dari kalangan ibu-ibu, dia cepat mendapat banyak pelanggan. Setelah menekuninya selama sebulan, dia berhasil memperoleh laba  rata-rata Rp 30.000,oo/hari. Suatu ketika dia berfikir bagaimana mungkin punya masa depan cerah kalau hanya punya penghasilan Rp 30.000,oo/hari, namun berwirausaha sudah dia tetapkan sebagai jalan hidup. Disuatu pagi malam menjelang tidur, ter-ide untuk menggandakan penghasilan. Ke esokan harinya, sesudah pulang dari berdagang tahu, dia mendatangi seorang anak muda pengangguran untuk membantunya berdagang tahu di pasar. Dia sukses menyemangati anak muda pengangguran itu dan keesokan harinya  ikut bersamanya berdagang dipasar tempat biasa dia berdagang. Selama satu minggu pertama, dia sisihkan Rp 10.000,oo untuk anak muda itu. Tentu anak muda ini sangat senang, apalagi awalnya dia hanyalah seorang pengangguran tulen. Memasuki minggu ke-3 (tiga), dia sampaikan pada anak muda itu kalau mulai besok dia akan berdagang di pasar tradisional yang lain, sementara anak muda itu diminta untuk tetap berdagang di pasar tradisional yang biasa. Semenjak itu, setiap harinya anak muda itu di beri tambahan jatah sehingga manjadi Rp 15.000,oo/hari tiap kali dagangannya habis.  Sementara itu, sang sarjana pun berhasil menjual tahu dalam jumlah yang hampir sama dengan pasar sebelumnya, sehingga hal ini menyebabkan pendapatannya menjadi Rp 45.000,oo/hari ( Rp 15.000,oo dari pasar yang lama karena sudah berbagi dengan anak muda tersebut dan Rp 30.000,oo dari pasar yang baru). Pengalaman ini membuat dia melakukan hal sama seperti sebelumnya dan dalam waktu yang tidak terlalu lama dia sudah punya 10 (sepuluh) orang asisten di sepuluh pasar tradisional. Akhirnya, dia sukses menjadi juragan tahu dan kian waktu kian banyak jumlah asistennya.  
2.       Dokter itu akhirnya memiliki klinik.
Berawal dari membuka praktek pribadi di rumah, kian hari kemanjuran sentuhan sang dokter satu ini kian menyebar. Disamping orangnya yang ramah dan humble, dia juga disukai karena dikenal tidak terlalu mahal dalam urusan tarif. Setelah 2 (dua) tahun berjalan, pasien dokter ini semakin sampai dia  kesulitan mencari waktu untuk istirahat. Disisi lain, anaknya yang masih kecil juga memerlukan perhatian darinya sebagai seorang ayah. Komitmennya terhadap pelayanan kesehatan masyarakat dan juga tekadnya menjadi kepala keluarga yang bijaksana, menginspirasi dia menemukan jalan tengah. Akhirnya dia merekrut seorang dokter yang baru saja lulus. Selama sebulan dokter baru itu diajaknya untuk mendampingi saat memeriksa pasien. Di sela-sela waktu yang ada, dia juga gunakan untuk mengajarkan prinsip-prinsip pelayanan yang dia berikan kepada setiap pasien. Disamping memperkenalkan sang dokter baru kepada setiap pasien, dia juga mengabarkan kepada setiap pasien  bahwa dokter baru ini akan membantunya. Dia juga meyakinkan setiap pasien itu bahwa sang doktek baru akan menangani pasien dengan kualitas yang sama dengannya. Hal ini dia lakukan untuk menepis kekhawatiran pasien bila suatu waktu di tangani oleh dokter baru tersebut. Setelah satu bulan proses pendampingan, sang dokter baru di beri tugas melayani  setiap hari senin.  setelah efektif berjalan selama satu bulan dan terbukti kepercayaan pasien terjaga, sang dokter menambah  satu dokter lagi. Setelah melalui proses yang sama dengan sebelumnya, akhirnya sang dokter diberi tugas untuk bertugas hari selasa. Begitu terus sampai akhirnya sang dokter hebat itu tak bersentuhan langsung dengan pasien lagi, tetapi  hanya melakukan control dan pembinaan terhadap dokter-dokter yang telah menggantikannya. Akhirnya, praktek dokter harian itu berubah wujud menjadi sebuah klinik yang kian hari kian ramai pasiennya.
3.       Pemilik Swalayan Yang Berawal Dari Menjebakkan Diri Di Ketiadaan Pendapatan       
Semasa kecil, pemuda ini sudah terbiasa dengan urusan perniagaan. Berawal dari jual es lilin berkeliling sepulang sekolah, kemudian  dia menekuni toko kelontong dan  juga sempat menekuni usaha ayam broiler bersama orang tuanya. Setelah menyelesaikan SLTA, dia   melanjutkan pendidikan ke universitas. Ditengah kesibukannya bergelut dengan buku, dia juga  aktif di sebuah organisasi yang  concern dalam pengembangan minat dan bakat terhadap kewirausahaan. Satu hal yang menarik baginya adalah tentang swalayan yang kebetulan dikelola organisasi tersebut, sebab hal ini mengingatkannya saat menekuni toko kelontong di kampung halaman. Dia semakin tertarik karena swalayan ini memiliki gaya yang berbeda dibanding dengan apa yang pernah dia kelola seorang diri.  Selama aktif di organisasi tersebut, dia selalu berinisiatif  dalam proses pengelolaan swalayan tersebut. Secara bertahap, semua bagian dari sisi struktur organisasi swalayan tersebut dia pelajari satu per satu walau dia tidak mendapatkan penghasilan sepeserpun dari apa yang dia lakukan. Dia benar-benar mendalami setiap pekerjaan yang harus dilakukan masing-masing bagian, mulai dari bagian pengadaan, bagian penjualan, bagian pemasaran, bagian personalia dan bagian-bagian lainnya termasuk  bersih-bersih kamar mandi/wc.  Setiap pulang kuliah dia langsung bergegas ke swalayan tersebut untuk belajar secara detail A sampai Z.   Seiring berjalannya waktu dan bertambahnya pengetahuan, dia pun mulai aktif menyumbangkan ragam gagasan pengembangan dan peningkatan  produktivitas swalayan tersebut. Dia lakukan hal itu selama 3 (tiga) tahun  dan berakhir saat dia lulus kuliah.  Pengalaman yang dia dapatkan menginspirasinya untuk membuat sebuah swalayan di tempat lain. Dengan modal pengalaman (baca: intelectual capital) dia berhasil menggaet pemodal dengan sistem kerja sama saling menguntungkan (mutualism partership) dimana dia memainkan peran ganda, yaitu sebagai manager dan juga sebagai salah satu pemilik perusahaan. Atas peran itu, disamping dia mendapatkan salary bulanan  sebagai manager profesional dan juga mendapatkan pembagian laba  sebagai salah satu pemilik. Dalam perjalanannya kemudian, berkat keahliannya dalam mengelola, swalayan itu berkembang pesat dan sudah membuka cabang di beberapa kota.
 

F. Penutup
Bertahan tidaknya sebuah usaha sangat tergantung pada loyalitas konsumen. Atas dasar itu, gaya pengelolaan usaha yang mampu mendatangkan kenyamanan konsumen menjadi satu keharusan yang terbangun secara bertahap dan berkesinambungan dalam perusahaan. Penawaran berbentuk pelayanan kepada konsumen harus dipola sedemikian rupa sehingga konsumen merasa nyaman dan  mendefenisikan usaha tersebut sebagai bagian dari mesin penjawab ragam kebutuhannya. Untuk itu, kreatifitas dan inovasi pola pengelolaan menjadi satu hal yang terus dikembangkan guna melahirkan keunikan-keunikan yang selalu di kenang oleh konsumen dan hal itu hanya bisa didapatkan dari perusahaan yang memiliki manejemen yang tangguh.

Share this article :

Posting Komentar

.

 
Copyright © 2015. ARSAD CORNER - All Rights Reserved