A. Re-fresh Sejarah Keterlahiran

Ditinjau dari muasal kelahirannya, usaha berawal dari adanya keyakinan untuk memanfaatkan peluang yang diyakini mengandung nilai harapan. Sementara itu, peluang bisa berawal dari sebuah keadaan/situasi, bisa melalui aplikasi taktik 3M (melihat,meniru dan menambahkan) atau memang peluang tersebut sengaja diciptakan lewat sebuah gagasan brilian yang benar-benar baru alias genuine. Keyakinan itu selanjutnya dibarengi dengan "keberanian memulai" dan "kesiapan" atas segala kondisi yang muncul kemudian, baik tentang akhir positif maupun negatif. Jika tidak, maka peluang tinggal peluang dan gagasan tak kan pernah muwujud menjadi sebuah karya. Dengan kata lain, tak berlebihan berkesimpulan bahwa menjadi wirausaha alias pebisnis memerlukan ketajaman instuisi dan mental yang cukup untuk mengambil keputusan.
B. Beda Ruang Antara Wirausahawan dan Pengelola
Sebuah pepatah bisnis mengatakan;"sesuatu
yang besar berawal dari yang kecil". artinya, besarnya usaha
merupakan akibat positif dari "kemampuan mengelola (me-manage)"
mulai dari perencanaan,
operasionalisasi, sampai dengan pengembangan (developement). Oleh karena itu,
"pola pengelolaan" memegang peranan penting dan menentukan bertahan
tidaknya sebuah bisnis.
Satu hal yang perlu menjadi
bahan perenungan, salah satu kebiasaan dari pebisnis (baca: entrepreneur)
adalah lihai dalam melihat atau menciptakan peluang, tetapi tak sedikit
pebisnis kurang punya kecakapan dalam
mengelola (to manage). Hal ini bisa difahami karena mengelola men-syaratkan
ketekunan dan ketelatenan serta kesabaran dalam menapaki tahap demi tahap. Demikian
sebaliknya, orang yang jago mengelola bisnis belum tentu lihai dalam melihat
atau menciptakan peluang. Disamping itu, biasanya mereka bukan dari golongan
yang berani mengambil resiko atau risk
taker.
Sebagai catatan, sebagian besar
dari wirausahawan memiliki kebiasaan in-konsisten. Hal ini didukung oleh
kondisi lapangan usaha yang memang begitu dinamis sehingga memerlukan
penyesuaian-penyesuaian tindakan sehingga peluang tetap terjaga. Sementara itu,
pengelolaan selalu berorientasi pada keteraturan yang didukung dengan
perencanaan matang dan tindakan
sistematis. Oleh karena itu, titik idealnya adalah ketika terjadi kolaborasi
yang renyah, sehingga lompatan-lompatan gagasan yang meletup-letup dari sang
wirausahawan bisa diikuti oleh pengelola yang memiliki daya adaptasi dan respon
tinggi.
Itulah sebabnya, para pebisnis
yang menyadari memiliki karakter demikian disarankan hanya mengambil peran sebagai pengambil keputusan dan penyedia sarana
pendukung saja, sedangkan urusan pengelolaannya diserahkan sepenuhnya pada pengelola
profesional. Namun demikian, bukan tidak mungkin kedua keahlian itu terangkum atau melekat pada
diri seorang wirausahawan.
C. Referensi
Obyektif Dalam Penyusunan Strategi Pengelolaan
Dalam
tinjauan logika, hidup tidaknya sebuah bisnis tergantung pada kualitas dan
kuantitas respon pasar (target market). Dengan kata lain, konsumen adalah
penentu masa depan sebuah usaha (demand driver). Pemahaman semacam ini
mendasari ragam gagasan demi terciptanya
kepuasan konsumen yang merupakan titik kunci keberhasilan sebuah usaha. Ketika
konsumen puas, diharapkan akan membuatnya menjadi pelanggan loyal dan atau
bahkan kemudian menjadi agen pemasaran alamiah lewat penyebaran informasi kepada
teman-temannya tentang nilai-nilai kebaikan dari produk-produk yang biasa dia konsumsi. Ini yang biasa disebut
dengan pemasaran alamiah.
Dari sudut
pandang operasional sebuah bisnis,”kepuasan konsumen” merupakan bentuk reaksi
positif dari ”rangkaian proses penyajian dan penawaran” terhadap calon konsumen.
Tentu hal ini berawal dari kejelian
mengenali target konsumen dan kemudian mempelajari
karakter mereka secara detail. Pemetaan ini selanjutnya menjadi dasar dalam
membentuk produk dan juga pola pengkomunikasiannya, sehingga konsumen tidak
hanya ” tahu dan ingin” memanfaatkan produk yang
ditawarkan, tetapi juga menetapkan nya sebagai ”kebutuhan” yang harus
dipenuhi. Itulah sebabnya, dalam bisnis sebaiknya
tidak memaksakan untuk menjual apa yang dipunyai, tetapi fokuslah menjual
apa yang dibutuhkan. Sebab menjual yang dibutuhkan memiliki probabilitas
tinggi mendapatkan respon positif dari
konsumen.
Sementara
itu, membuat target konsumen merasa ”butuh” juga memerlukan rangkaian
strategi. Sifat produk yang ditawarkan ikut mempengaruhi strategi yang diambil.
Sebagai contoh, dalam menjual produk sembako lebih mudah dibandingkan menjual
sebuah handphone atau produk teknologi lainnya. Karena sembako termasuk
kategori kebutuhan primer, maka hal ini tak memerlukan promosi yang njlimet
dalam memasarkannya. Karena kemudahan dalam menjalankannya, maka tidak mengherankan banyak pesaing dalam
bisnis ini. Sementara itu, dari tinjauan range margin keuntungan juga relatif
kecil sehingga bisnis sembako biasanya menekankan pada kuantitas transaksi.
Berbeda dengan bisnis teknologi, tentu memerlukan rangkaian promosi dan bahkan edukasi
market. Disamping produk-produk teknologi memerlukan pengetahuan cukup dalam
penggunaannya, sebagian masyarakat juga masih memposisikan sebagai kebutuhan sekunder yang dikonsumsi hanya bila telah selesai memenuhi kebutuhan primernya. Namun demikian, para pelaku bisnis di bidang
teknologi banyak yang mampu mengemas pola eduksi terhadap masyarakat, sehingga
yang tadinya tidak tahu berubah menjadi tahu dan bahkan merasa butuh. Sebagai
contoh, di sebagian besar masyarakat telah menempatkan handphone sebagai kebutuhan
pokok. Ini merupakan keberhasilan
perusahaan dibidang telekomunikasi membentuk ”mindset” masyarakat
terhadap produk yang mereka tawarkan. Mereka sukses mengedukasi masyarakat
mulai dari tidak tahu menjadi tahu, dari tahu menjadi ingin, dari ingin menjadi
butuh dan kemudian butuh menjadi aksi beli.
D.
Mengelola Bisnis

Di
lingkungan bisnis pemula, biasanya bisnis berawal dari sebuah struktur kecil
baik mulai ”hanya dirinya” atau mengawalinya dari ”kelompok kecil” yang
memiliki komitmen untuk berjuang bersama
untuk meraih kesuksesan. Bagi mereka
yang memulai nya dari ”diri sendiri” alias ”seorang diri”, mengelola bisnis
relaitif lebih mudah , khususnya dalam proses pengambilan keputusan. Pada
titik ini, pebisnis memulainya dengan membangun komitmen tinggi pada satu prinsip, yaitu ”memuaskan
konsumen”. Prinsip ini selanjutnya mempengaruhi semua langkah-langkah
yang dilakukan sepanjang proses bisnis berlangsung. Sementara itu, dinamika
pengelolaan biasanya di drive oleh dinamika konsumen atau
dinamika pribadi pebisnis tersebut. Seiring dengan perkembangan bisnis
(meluasnya konsumen), komitmen yang terjaga terhadap ”kepuasan konsumen” akan
memunculkan gagasan untuk melibatkan orang lain di luar dirinya yang
kemudian biasa di sebut dengan karyawan, baik untuk melayani konsumen maupun dalam
rangka mendukung konsistensi produksi. Pada tahap ini, seorang pebisnis mulai
dihadapkan pada tantangan berikutnya, baik dari keterjaminan kualitas produksi
maupun keterjaminan kualitas pelayanan terhadap pelanggan. Disinilah kepemimpinan seorang pebisnis mulai
diuji kemampuannya dalam hal mentransfer pengalaman dan sekaligus membangun integritas
karyawan terhadap pelayanan sebagaimana yang dia rintis sejak awal berdirinya
bisnis tersebut.
Berbeda
dengan bisnis yang dimulai dari ”kelompok kecil” yang di huni oleh beberapa orang,
hal utama yang perlu diagendakan adalah penyatuan
visi dan misi serta membangun moral tim
dalam mewujudkan mimpi bersama. Jadi, bisnis yang dimulai dari kelompok kecil, proses
transfer
of knowledge dari ruh bisnis itu sudah terbentuk sejak awal. Berbicara
bisnis yang dimulai dari kelompok kecil,
beberapa diantara kelompok bisnis justru pecah saat bisnis sedang mengalami perkembangan.
Bahkan tidak sedikit dari kelompok itu kemudian bubar secara total karena gagal
dalam membangun ego kolektif dan juga kisruh
dalam hal pola distribusi peran efektif diantara mereka. Pada titik ini, prinsip
”memuaskan
konsumen” tak lagi bisa menjadi inspirasi terbentuknya jalan tengah
diantara perbedaan-perbedaan yang mengemuka. Namun demikian, banyak juga bisnis
yang dimulai kelompok kecil berusia
panjang dan mampu meraih kesuksesan luar biasa. Mereka
senantiasa mengembangkan budaya keterbukaan satu sama lain dan memaknai
perbedaan sebagai sumber inspirasi perekat komunikasi.
Terlepas
apakah bisnis dimulai dari seorang diri atau kelompok kecil, pada saat bisnis
mulai berkembang dan semua orang dalam kondisi overload, maka pelibatan orang lain (baca: karyawan) menjadi
satu keharusan. Jika tidak, hal ini berpotensi
merusak kualitas pelayanan maupun kualitas produksi yang berujung
terbangunnya kekecewaan konsumen. Namun demikian, penambahan orang baru (karyawan)
juga memerlukan proses adaptasi. Oleh karena itu, transfer pengetahuan dan
pemahaman tentang ”tata cara” juga sangat diperlukan untuk menghindari
terciptanya ”jurang” kualitas yang
bisa berakibat penurunan angka transasi.
Lain lagi dengan
bisnis yang dibangun dan diawali dari struktur yang mapan serta melibatkan
modal besar. Pengelolaan bisnis level
ini biasanya dimulai dari penyusunan studi kelayakan yang demikian detail/rigit.
Dalam tahapan implementasinya pun biasanya
menggunakan tahapan-tahapan manajemen
yaitu; (i) planning;(ii) organizing; (iii) actuating; (iv) controlling dan; (v)
evaluating. Disamping itu, distrisbusi peran setiap orang juga sudah dipilah
berdasarkan konsentrasi masing-masing bagian yang minimal terdiri dari : (i) bagian
pemasaran; (ii) bagian operasional; (iii) bagian pemasaran dan; (iv) bagian personalia.
Semua berjalan demikian tertata dan tersistematis. Segala perjalanan usaha bisa
dideteksi dengan rigit sehingga pengambilan
keputusan pun di dasarkan data dan bukan hanya instuisi semata.
Sebenarnya,
pebisnis pemula juga bisa menerapkan prinsip-prinsip manajemen modern
sebagaimana diterapkan oleh usaha besar yang sudah seattle, hanya saja dalam
implementasinya harus melakukan penyesuaian-penyesuaian dengan skala bisnis
yang sedang di kelola. Jika tidak demikian, hal ini berpotensi menciptakan in-efisiensi dan in-efektifitas
dalam perjalanannya. Oleh karena itu, setiap penambahan orang minimal harus
identik dengan penambahan pendapatan, sehingga ritme pertumbuhan terjaga dengan
baik. Oleh karena itu, penambahan orang harus diawali dengan perencanaan
yang matang dan diisi oleh orang yang tepat. Dengan demikian,
semakin luasnya struktur organisasi menjadi identik dengan semakin tumbuh
kembangnya sebuah perusahaan.
E.
Membangun Nilai Beda
Mengelola
usaha hakekatnya adalah menyusun dan mengaplikasikan cara yang efektif.
Terbangunnya respon positif konsumen sebagai target, membuat cara mengelola
usaha terus mengalami perubahan seiring dengan dinamika yang ada pada
konsumen.
Kreativitas
yang berujung pada terciptanya keunikan yang menjadi daya pikat senantiasa digali sebagai cara untuk membina loyalitas
konsumen atau pelanggan yang lebih banyak lagi. Inovasi beragam guna menarik
perhatian terus diupayakan sebagai bagian dari strategi membangun pertahanan
dan sekaligus menciptakan perkembangan usaha
Sebagai
illustrasi yang mungkin bisa menginspirasi, berikut ini di ceritakan beberapa
kreatifitas yang tergolong unik dalam membangun dan mengelola sebuah usaha :
1.
Ketika
Pedagang Tahu Mendadak Jadi Juragan.
Seorang sarjana yang baru lulus tinggal di sebuah
kampung yang dikenal penghasil tahu
terinspirasi untuk berdagang tahu di pasar tradisional. Setelah berkomunikasi
dengan pengrajin tahu, akhirnya dia memulai rencananya berdagang tahu. Dengan
gayanya yang khas dalam menawarkan tahu kepada pembeli yang kebanyakan dari
kalangan ibu-ibu, dia cepat mendapat banyak pelanggan. Setelah menekuninya
selama sebulan, dia berhasil memperoleh laba rata-rata Rp 30.000,oo/hari. Suatu ketika dia
berfikir bagaimana mungkin punya masa depan cerah kalau hanya punya penghasilan
Rp 30.000,oo/hari, namun berwirausaha sudah dia tetapkan sebagai jalan hidup.
Disuatu pagi malam menjelang tidur, ter-ide untuk menggandakan penghasilan. Ke
esokan harinya, sesudah pulang dari berdagang tahu, dia mendatangi seorang anak
muda pengangguran untuk membantunya berdagang tahu di pasar. Dia sukses
menyemangati anak muda pengangguran itu dan keesokan harinya ikut bersamanya berdagang dipasar tempat biasa
dia berdagang. Selama satu minggu pertama, dia sisihkan Rp 10.000,oo untuk
anak muda itu. Tentu anak muda ini sangat senang, apalagi awalnya dia hanyalah
seorang pengangguran tulen. Memasuki minggu ke-3 (tiga), dia sampaikan pada
anak muda itu kalau mulai besok dia akan berdagang di pasar tradisional yang
lain, sementara anak muda itu diminta untuk tetap berdagang di pasar
tradisional yang biasa. Semenjak itu, setiap harinya anak muda itu di beri tambahan
jatah sehingga manjadi Rp 15.000,oo/hari tiap kali dagangannya habis. Sementara itu, sang sarjana pun
berhasil menjual tahu dalam jumlah yang hampir sama dengan pasar sebelumnya,
sehingga hal ini menyebabkan pendapatannya menjadi Rp 45.000,oo/hari ( Rp
15.000,oo dari pasar yang lama karena sudah berbagi dengan anak muda tersebut
dan Rp 30.000,oo dari pasar yang baru). Pengalaman ini membuat dia melakukan
hal sama seperti sebelumnya dan dalam waktu yang tidak terlalu lama dia sudah
punya 10 (sepuluh) orang asisten di sepuluh pasar tradisional. Akhirnya, dia
sukses menjadi juragan tahu dan kian waktu kian banyak jumlah asistennya.
2.
Dokter
itu akhirnya memiliki klinik.
Berawal dari membuka praktek pribadi di rumah, kian hari
kemanjuran sentuhan sang dokter satu ini kian menyebar. Disamping orangnya yang
ramah dan humble, dia juga disukai karena dikenal tidak terlalu mahal
dalam urusan tarif. Setelah 2 (dua) tahun berjalan, pasien dokter ini
semakin sampai dia kesulitan mencari
waktu untuk istirahat. Disisi lain, anaknya yang masih kecil juga
memerlukan perhatian darinya sebagai seorang ayah. Komitmennya terhadap
pelayanan kesehatan masyarakat dan juga tekadnya menjadi kepala keluarga yang
bijaksana, menginspirasi dia menemukan jalan tengah. Akhirnya dia merekrut
seorang dokter yang baru saja lulus. Selama sebulan dokter baru itu diajaknya
untuk mendampingi saat memeriksa pasien. Di sela-sela waktu yang ada, dia juga gunakan
untuk mengajarkan prinsip-prinsip pelayanan yang dia berikan kepada setiap
pasien. Disamping memperkenalkan sang dokter baru kepada setiap pasien, dia
juga mengabarkan kepada setiap pasien bahwa
dokter baru ini akan membantunya. Dia juga meyakinkan setiap pasien itu bahwa
sang doktek baru akan menangani pasien dengan kualitas yang sama dengannya. Hal
ini dia lakukan untuk menepis kekhawatiran pasien bila suatu waktu di tangani
oleh dokter baru tersebut. Setelah satu bulan proses pendampingan, sang dokter
baru di beri tugas melayani setiap hari
senin. setelah efektif berjalan selama
satu bulan dan terbukti kepercayaan pasien terjaga, sang dokter menambah satu dokter lagi. Setelah melalui proses yang
sama dengan sebelumnya, akhirnya sang dokter diberi tugas untuk bertugas hari
selasa. Begitu terus sampai akhirnya sang dokter hebat itu tak bersentuhan
langsung dengan pasien lagi, tetapi
hanya melakukan control dan pembinaan terhadap dokter-dokter yang telah menggantikannya.
Akhirnya, praktek dokter harian itu berubah wujud menjadi sebuah klinik yang
kian hari kian ramai pasiennya.
3.
Pemilik
Swalayan Yang Berawal Dari Menjebakkan Diri Di Ketiadaan Pendapatan
Semasa kecil, pemuda ini sudah terbiasa dengan urusan perniagaan.
Berawal dari jual es lilin berkeliling sepulang sekolah, kemudian dia menekuni toko kelontong dan juga sempat menekuni usaha ayam broiler
bersama orang tuanya. Setelah menyelesaikan SLTA, dia melanjutkan pendidikan ke universitas.
Ditengah kesibukannya bergelut dengan buku, dia juga aktif di sebuah organisasi yang concern dalam pengembangan minat dan
bakat terhadap kewirausahaan. Satu hal yang menarik baginya adalah tentang
swalayan yang kebetulan dikelola organisasi tersebut, sebab hal ini
mengingatkannya saat menekuni toko kelontong di kampung halaman. Dia semakin
tertarik karena swalayan ini memiliki gaya yang berbeda dibanding dengan apa
yang pernah dia kelola seorang diri. Selama
aktif di organisasi tersebut, dia selalu berinisiatif dalam proses pengelolaan swalayan tersebut.
Secara bertahap, semua bagian dari sisi struktur organisasi swalayan tersebut
dia pelajari satu per satu walau dia tidak mendapatkan penghasilan sepeserpun
dari apa yang dia lakukan. Dia benar-benar mendalami setiap pekerjaan yang
harus dilakukan masing-masing bagian, mulai dari bagian pengadaan, bagian penjualan,
bagian pemasaran, bagian personalia dan bagian-bagian lainnya termasuk bersih-bersih kamar mandi/wc. Setiap pulang kuliah dia langsung bergegas ke
swalayan tersebut untuk belajar secara detail A sampai Z. Seiring berjalannya waktu dan bertambahnya
pengetahuan, dia pun mulai aktif menyumbangkan ragam gagasan pengembangan dan
peningkatan produktivitas swalayan
tersebut. Dia lakukan hal itu selama 3 (tiga) tahun dan berakhir saat dia lulus kuliah. Pengalaman yang dia dapatkan menginspirasinya
untuk membuat sebuah swalayan di tempat lain. Dengan modal pengalaman (baca:
intelectual capital) dia berhasil menggaet pemodal dengan sistem kerja sama
saling menguntungkan (mutualism partership) dimana dia
memainkan peran ganda, yaitu sebagai manager dan juga sebagai salah satu
pemilik perusahaan. Atas peran itu, disamping dia mendapatkan salary
bulanan sebagai manager profesional dan
juga mendapatkan pembagian laba sebagai
salah satu pemilik. Dalam perjalanannya kemudian, berkat keahliannya dalam mengelola,
swalayan itu berkembang pesat dan sudah membuka cabang di beberapa kota.
F. Penutup
Bertahan
tidaknya sebuah usaha sangat tergantung pada loyalitas konsumen. Atas dasar
itu, gaya pengelolaan usaha yang mampu mendatangkan kenyamanan konsumen menjadi
satu keharusan yang terbangun secara bertahap dan berkesinambungan dalam
perusahaan. Penawaran berbentuk pelayanan kepada konsumen harus dipola
sedemikian rupa sehingga konsumen merasa nyaman dan mendefenisikan usaha tersebut sebagai bagian
dari mesin penjawab ragam kebutuhannya. Untuk itu, kreatifitas dan inovasi pola
pengelolaan menjadi satu hal yang terus dikembangkan guna melahirkan
keunikan-keunikan yang selalu di kenang oleh konsumen dan hal itu hanya bisa
didapatkan dari perusahaan yang memiliki manejemen yang tangguh.
Posting Komentar
.