A. Pembuka : Menguak Sejarah Singkat Kelahiran
Koperasi di Dunia
B. Koperasi
di Tengah Himpitan Individualisme Menggejala
Satu hal yang menjadi catatan penting bahwa
mengembangkan koperasi identik dengan
mengembangkan perilaku kolektif didalam mencapai tujuan-tujuan bersama.
Disinilah letak persoalan bermula dimana realitas masyarakat kekinian telah
teracuni apa yang disebut dengan virus “individualisme” yang bermula dari
tumbuh kembangbangnya faham hedonisme bercirikan budaya konsumerisme. Perasaan bangga bila lebih unggul dibanding lainnya
(semangat kompetisi yang menyesatkan), keberhasilan yang di ukur dari kemampuan
mengumpulkan harta, menipisnya kepedulian terhadap sesama, menipisnya kemauan untuk
saling mencerdaskan (saling asah,saling asuh,salah asih), menipisnya rasa malu
bertindak menyimpang , gampangnya masyarakat kelas bawah tersulut isu,
merupakan sederet fakta yang menegaskan virus
individualisme kian akud menggerogoti karakter asli masyarakat Indonesia. Nilai-nilai “kebersamaan dan kesetiakawanan” telah mengalami kemerosoton tajam. Dalam peta
yang demikian, koperasi dipaksa berhadapan langsung (face to face) dengan
realitas karakter mayoritas masyarakat yang jelas-jelas berseberangan dengan
spirit dan nilai-nilai yang diperjuangkan koperasi.
Dalam perspektif makro, menjadi menarik untuk menemukan
muasal masuknya virus individualisme
sehingga lebih mudah membentuk pertahanan (blokade) atau semacam perlawanan terhadap
penyebaran virus dan sekaligus mempermudah perumusan anti virus yang terlanjut
merasuk. Agenda ini menjadi penting guna memuluskan masuknya faham koperasi dalam
mindset
masyarakat. Pada saat koperasi sudah menjadi “life style”, pada saat
yang sama pembangunan masyarakat dalam arti luas otomatis menjadi lebih mudah. Pada titik
inilah sesungguhnya titik temu antara tujuan pembangunan nasional dengan
pembangunan koperasi karena hahekat obyek yang dibangun adalah “sama” yaitu
masyarakat. Oleh karena itu, berbicara koperasi sesungguhnya tidak terbatas
membicarakan ekonomi saja, tetapi juga menyangkut pembentukan karakter sosial
dan budaya dari masyarakat.
C. Menilik Sekilas Realitas Mayoritas Koperasi
dan Menelusur “Core Problem”.
Berdasarkan pemangatan dan pengalaman empiris, “core
problem” dari ke-belum majuan
dan ke-belum berkembangan koperasi adalah karena koperasi telah meninggalkan Jati
diri nya dan tergiur ber-praktek layaknya non koperasi (PT, UD dan lain
sebagainya). Koperasi menjeburkan diri pada logika-logika bisnis ansih yang
diwarnai semangat saling mengalahkan (baca: persaingan) demi perolehan
keuntungan yang sebesar-besarnya. Nafas kebersamaan,
kegotong royongan, saling tolong menolong, kesetiakawanan, kian hari kian tidak
terlihat dalam proses transaksi koperasi. Bahkan koperasi semakin asik
dengan semangat pertumbuhan modal tanpa peduli apakah harus meng-eksploitasi
potensi anggota. Anggota sebagai pemilik, penentu kebijakan dan control
operasional hampir tidak berfungsi lagi
dan anggota diposisikan sebagai market (pangsa pasar). Dalam hal ini, hubungan
koperasi dengan anggotanya menjadi sebatas hubungan transaksional layaknya
antara konsumen dan produsen (baca: penjual dan pembeli) di
perusahaan-perusahaan non koperasi. Koperasi hampir tak lagi tertarik memobilisasi
kebersamaan sebagai modal terbesar dalam menghasilkan karya-karya multi
makna. Koperasi tak berfikir lagi menpersonifikasikan diri
sebagai “sosial movement” dan penjaga gawang budaya. Koperasi telah
difahami hanya dalam konteks ekonomi dan menjalankannya dengan prinsip-prinsip
ekonomi ansih. Istilah SHU (Sisa Hasil Usaha) sudah tak memiliki nilai beda
signifikan dengan istilah “LABA” pada
badan usaha non koperasi. Bahkan, koperasi telah terjebak menjadi “agen
strategis” yang mempersubur produk-produk kapitalis. Koperasi tak berfungsi
lagi sebagai media edukasi yang mewarnai
pola hidup anggotanya. Kepentingan-kepentingan pribadi yang dikerjasamakan tak
lebih hanya aktivitas transaksional yang jauh dari spirit kebersamaa dan
terjebak fokus pada pemenuhan kebutuhan. Koperasi tak tertarik lagi mengambil
tanggungjawab untuk mengajarkan kepada anggotanya bagaimana menggunakan uang
dengan bijak (use money wisely). Koperasi pun tak berfungsi lagi sebagai
edukator bagaimana anggota mensikapi
pola hidup kekinian dengan tetap berpegang teguh pada prinsip-prinsip
kesederhanaan. Bahkan, tanpa disadari koperasi telah menjadi “agen sempurna” dalam menyuburkan spirit hedonisme
yang berujung tumbuhnya pola hidup individualis.
Ironisnya, di satu sisi anggota selalu merasa tidak puas
dengan kinerja koperasi nya dan berujung pada pendeskriditan pengurus dan
pengawas, di sisi lain secara organisasi dan usaha koperasi tak kunjung lebih
baik di banding dengan pelaku-pelaku ekonomi non koperasi.
Koperasi harus kembali pada Jati Dirinya, sehingga layak
berharap menjadi sokoguru ekonomi bangsa.
D.
Telisik Masalah Koperasi Secara Mikro.
Secara singkat, ada 7 (tujuh) masalah utama yang melekat
pada orang-orang koperasi, yaitu; (i)
lemahnya pemahaman tentang koperasi; (ii) tidak tegasnya tujuan berkoperasi;
(iii) belum adanya distribusi peran diantara unsur organisasi dalam mencapai
tujuan; (iv) belum adanya distribusi hasil yang memotivasi partisipasi; (v)
lemahnya jiwa kewirausahaan; (vi) lemahnya managerial skill dan; (viii)
lemahnya kepemimpinan (leadersip).
Oleh kaarena itu, kalau koperasi ingin mengakar dan
besar, 7 (tujuh) masalah dasar tersebut harus di selesaikan secara bertahap dan
berkesinambungan.
E.
Edukasi Sebagai Kunci Membangun Koperasi Benar
Dalam konsep jati diri koperasi, salah satu prinsipnya
berbunyi pendidikan. Lewat pendidikan akan terbentuk pemahaman yang tepat
tentang apa, mengapa dan bagaimana seharusnya berkoperasi. Lewat pemahaman,
akan lahir tindakan berpihak dan advokasi (pembelaan) terhadap koperasi. Lewat
akumulasi tindakan berpihak akan
teridentifikasi ragam potensi yang bisa dikelola menjadi aktivitas produktif
koperasi berbasis kebutuhan bersama . Pada titik inilah koperasi bisa di defenisikan
sebagai market terlokalisir (located market). Pada iklim
kebersamaan (kolektivitas) yang senantiasa terbangun dan terjaga,
keberlangsungan dan masa depan organisasi dan usaha koperasi akan lebih terjamin.
Semua berawal dari pendidikan, sebab pendidikan adalah pintu
memasuki perubahan. Oleh karena itu, idealnya koperasi mendidik calon anggota
sebelum bergabung menjadi anggota. Dengan demikian, setiap anggota akan
memahami bahwa ber-koperasi sesungguhnya ikut mengambil tanggungjawab secara
sadar untuk membesarkan organisasi dan perusahaan. Anggota akan menyadari bahwa
setiap partisipasinya berpengaruh besar pada ketercapaian apa-apa yang
menjadi cita-cita bersama. Disamping
itu, anggota juga akan mengambil inisiatif untuk saling menyemangati satu sama
lain demi kesuksesan koperasi yang
mereka miliki dan kendalikan bersama secara demokratis
Pada akhirnya, koperasi yang di huni oleh anggota yang
memiliki kesadaran dan memahami apa, mengapa dan bagaimana seharusnya
berkoperasi akan mewujud menjadi koperasi yang mengakar. Kemengakaran
selanjutnya akan berimbas pada kebesaran koperasi itu sendiri. Selanjutnya akumulasi koperasi yang “mengakar dan besar” akan mampu memberikan kontribus dalam pembentukan
tatanan kehidupan masyarakat yang lebih bermartabat, khususnya dalam bidang
ekonomi, sosial dan budaya.
Untuk itu, metodologi pendidikan koperasi menjadi kunci
efektif dalam skenario pembangunan koperasi yang genuine (sesuai dengan
konsepsinya). Metodologi yang diterapkan harus memperhatikan obyek yang akan di
didik, sehingga tingkat efektivitasnya lebih terjamin. Di samping itu,
ketersediaan edukator juga menjadi bagian penting terselenggaranya proses
pendidikan yang efektif.
Hal ini memang bukan perkara mudah, tetapi kebaikan dan
kemuliaan nilai-nilai yang diperjuangkan dan peluang kontribusi koperasi
terhadap pembangunan “kehidupan yang lebih baik”,
menjadikan hal ini pantas di utamakan.
Semangat koperasi sepatutnya terus di kobarkan lewat keseimbangan antara
perkataan dan perbuatan, sehingga akan mendatangkan kepercayaan dan sekaligus
semangat masyarakat untuk menjadi bagian dari keluarga besar koerasi.
F.
Menggagas Kerja Sama Antar Koperasi
Sebagai ideologi yang menjunjung tinggi “kerjasama”, maka
roh pembangunan koperasi identik dengan
upaya mempertinggi nilai
kerjasama itu sendiri. Demikian halnya ketika antar koperasi membangun sebuah
kerjasama, sesungguhnya koperasi-koperasi tersebut tidak sedang belajar tentang membangun kerjasama tetapi hanya memperluas
kerja sama itu sendiri.
Dalam dataran praktis, ada 2 (dua) hal minimal yang perlu diperhatikan dalam membangun kerja sama
produktif , yaitu :
1.
“Trust
atau kepercayaan”. Kepercayaan adalah modal terpenting dalam membangun kerja sama yang nyaman dan
langgeng. Kepercayaan tidak bisa
dipaksakan dan tidak lahir dalam waktu singkat, tetapi merupakan akumulasi dari
track
record (rekam jejak) kebaikan dan konsistensi. Oleh karena itu, koperasi harus membangun mesin
reputasi dalam bentuk karya-karya nyata berbasis kebersamaan. Satu hal
yang menjadi catatan bahwa reputasi
tidak bisa dibentuk lewat manipulasi
persepsi, sebab waktu akan menguji kebenaran reputasi itu sendiri.
2.
Kebermanfaatan. Dalam perspektif
produktivitas, kemitraan yang terbangun
di antara koperasi men-syaratkan adanya perekat berbentuk peningkatan nilai
kebermanfaatan yang selanjautnya kan menjadi sumber semangat dan sekaligus
energi dalam mensukseskan hal-hal yang dikerjasamakan.
G.
Menilik Ragam Potensi Kemitraan Antar Koperasi
Sebagai stimulan, berikut ini dipaparkan beberapa gagasan
yang mungkin dikerjasamakan antar koperasi :
1.
Join
Education.
Sebagaimana di jelaskan di
alinea sebelumnya tentang pentingnya pendidikan di koperasi, maka
penyelenggarakan pendidikan koperasi yang berkualitas dan tepat sasaran (baca:
berimplikasi nyata bagi percepatan perkembangan koperasi) memang bisa dilakukan
bersama-sama. Koperasi-koperasi bisa membuat
education centre (pusat pendidikan) yang fokus mendidik
anggota, pengurus dan pengawas koperasi.
2.
Join Business
Dalam mewujudkan kemampuan
diri memenuhi aspirasi ekonomi, sosial dan budaya, koperasi perlu
menyelenggarakan aktivitas usaha, baik berbasis kebutuhan anggota, potensi/bakat
yang melekat pada anggota dan atau peluang yang mungkin bisa di maksimalkan dalam
rangka meningkatkan kinerja organisasi dan kelembagaan.
Bicara operasionalisasi
usaha koperasi, tentu koperasi tidak bisa melepaskan diri dari prinsi-prinsip
umum walau di beberapa hal terdapat kekhususan
yang merupakan pembeda koperasi dibanding dengan usaha lainnya. Oleh karena itu, usaha koperasi juga sangat
memperhatikan efisiensi, efektivitas dan
produktivitas dalam arti luas. Atas dasar itu, koperasi perlu mengembangkan
ragam strategi yang mengarah pada tujuan yang sama, yaitu “perluasan kebermanfaatan
berkoperasi bagi segenap stake holder nya”.
Salah satu strategi yang
bisa diambil adalah mengembangkan kerjasama antar koperasi dengan prinsip
saling memperkuat dan memperluas nilai
manfaat. Berikut dijelaskan beberapa gagasan kerja sama antar koperasi di bidang usaha yang mungkin bisa di laksanakan:
- Join Buying (Membeli Bersama). Pada koperasi konsumsi, join buying sangat mungkin dilakukan karena dipastikan lebih efisien melalui pembelian dalam skala yang lebih besar. Harga perolehan yang lebih rendah tentu akan membentuk harga jual yang lebih rendah pula dan hal ini sangat menguntungkan anggota koperasi. Di sisi lain, ketika koperasi juga melayani non anggota, maka range margin yang di dapatkan akan menjadi lebih besar.
- Join marketing.
Dalam sudut pandang “peta
kebutuhan”, koperasi juga merupakan “kumpulan kebutuhan” sejak
kelahirannya dan kian meluas seiring dengan pertumbuhan jumlah anggotanya.
Artinya, antar koperasi yang memiliki kemampuan untuk memproduksi produk
tertentu bisa kerjasama dalam hal pemasarannya dengan koperasi lain yang
anggotanya membutuhkan produk tersebut.
- Join Management
Me-manage usaha koperasi
memiliki tingkat keunikan tersendiri. Hal ini mengingat koperasi bukan
organisasi bebas nilai, tetapi terikat pada konsepsi “jati
diri” yang sekaligus berfungsi sebagai pembeda nyata dibanding bentuk
usaha lainnya. Pada titik inilah,
koperasi dituntut bisa mengelola ragam usaha dengan baik dan mendasarkan diri
pada nilai-nilai koperasi itu sendiri.
Jika tidak, koperasi akan terjebak pada praktek non-koperasi sehingga
terfokus pada pertumbuhan nilai uang semata. Namun demikian, menghadirkan
seorang yang ahli dan faham koperasi mulai dari konsepsi sampai dengan
operasionalisasi tidaklah mudah dan jumlahnya pun tidak banyak. Sulitnya
mendapatkan para expertis (ahli) di bidang koperasi bermula dari rendahnya budaya
apresiasi koperasi terhadap manajemen (baca: pengelola) sehingga hal ini tidak
memotivasi sumber daya manusia potensian untuk bergabung dalam manajemen
koperasi. Akibatnya, mendapatkan manajemen pelayanan berbasis nilai koperasi tergolong sangat jarang. Mayoritas
pelayanan tersaji seadanya dan hampir tak mencerminkan semangat untuk
berkembang. Hal ini sangat disayangkan, sebab kondisi ini tidak hanya membuat koperasi secara kelembagaan
kurang berkembang, tetapi juga berakibat kurang teroptimalkannya ragam potensi
yang melekat pada koperasi tersebut. Akhirnya, kebahagiaan segenap stake
holder menjadi bagian dari
keluarga koperasi menjadi beritu rendah.
Oleh karena itu, dalam
meng-akselerasi
pembangunan koperasi secara integratif, perlu dikaji pelibatan para profesional
yang benar-benar mumpuni. Dalam hal mendatangkan para profesional
tersebut, beberapa koperasi bisa bekerja
sama untuk mengangkat profesional menangani koperasi-koperasi yang secara roh
dan tata pengelolaan memiliki kesamaan pola. Inilah yang dimaksud dengan join
management. Join management tidak
hanya membuat peluang koperasi lebih berkembang, tetapi juga menjadi lebih
efeisien tanpa mengurangi efektivitas dari pembangunan koperasi-koperasi itu
sendiri.
- Join Teknologi
Di kekinian zaman,
teknologi banyak mempengaruhi tata kelola usaha dan juga pelayanan. Kecanggihan
teknologi terbukti bisa menggerus waktu,
jarak, meningkatkan validitas, mempengaruhi budaya dan bahkan citra organisasi dan perusahaan. Namun demikian,
pelibatan teknologi dalam tata kelola organisasi dan usaha memerlukan biaya
yang tidak sedikit. Untuk itu, kerja sama antar koperasi di bidang teknologi
juga berpotensi menciptakan efisiensi
tanpa mengurangi substansi teknologi dalam menunjang informasi,
pelayanan,pencitraan, pembangunan trust dan lain sebagainya.
- Interlanding
Sampai saat ini, koperasi
belum punya lembaga penjamin likuiditas sehingga pola pelayanan masih
mengandalkan kondisi internal masing-masing koperasi. Sebenarnya, koperasi juga bisa membentuk kerjasama dengan
koperasi lainnya. Sebab, pada satu waktu
sebuah koperasi mengalami over likuid dan di koperasi yang
lain sedang membutuhkan tambahan dana
untuk mendukung pelayanan. Ketika terjadi kerja sama interlanding
maka hal ini akan sangat
membantu perkembangan koperasi masing-masing yang bekerja sama.
- Join Public Relation. Mayoritas koperasi masih lemah dalam hal pembangunan citra organisasi dan kelembagaan. Ragam aktivitas yang dilakukan tidak terkomunikasikan dengan baik terhadap stake holder koperasi itu sendiri. Akibatnya pesan dari sebuah aktivitas tidak tersosialisasikan atau tidak teredukasikan dengan tepat, sehingga rentetan aktivitas kurang memberi kontribusi optimal bagi pembentukan persepsi dan apresiasi dari pihak-pihak yang di targetkan. Oleh karena itu, Join Public Relation antar koperasi menjadi layak untuk di gagas sebagai bagian dari peningkatan persepsi dan apresiasi segenap stake holder koperasi.
- Join Investmen (Investasi bersama).
Kalau ditilik dari sudut
kebutuhan, sesungguhnya masing-masing anggota
dari primer memiliki kesamaan. Akumulasi kesamaan ini bisa di drive menjadi inspirasi
keterlahiran “join Investmen” diantara
beberapa koperasi dalam hal pembuatan pusat-pusat pemenuhan kebutuhan ekonomi anggota,
misalnya : join investmen dalam hal pembangunan supermarket, hotel, rumah
makan, pembanguna perumahan dan lain sebagainya yang berorientasi pada
pengembangan layanan kebutuhan anggota.
- Dan lain sebagainya.
Banyak hal lain yang bisa
dikerjasamakan antar koperasi sepanjang hal tersebut memperluas kebermanfaatan
koperasi bagi segenap stake holdernya dan tidak bertentangan dengan aturan dan
undang-undang yang berlaku.
Dari penjelasan di atas, mengembangkan kerjasama antar
koperasi sesungguhnya bukanlah perkara sulit bagi koperasi-koperasi yang sudah
mengakar, sebab pada hakekatnya tindakan itu hanyalah memperluas kerjasama
dimana koperasi sudah terlatih secara internal.
Namun demikian, minimnya
kreativitas, kurangnya saling percaya dan rendahnya keterlatihan dalam hal
berbagi peran dalam pencapaian maupun distribusi hasil, sering jadi faktor-faktor
penghambat terwujudnya kerjasama antara koperasi itu.
H.
Keluh Kesah Muasal Gairah
Pengungkapan peta realitas dan masalah yang melingkupi
kehidupan koperasi dalam tulisan ini, sesungguhnya bagian dari upaya membentuk kesamaan
persepsi dan sekaligus membangun semangat untuk duduk bersama menyusun
langkah-langkah. Kalau kemudian faktanya belum berkembang, pada titik itulah
sesungguhnya letak medan perjuangan. Bayang keberhasilan nan indah sepatutnya
dijadikan sebagai magnet semangat dan sumber inspirasi bagi tertemukannya
cara-cara yang lebih efektif bagi keberdayaan koperasi. “Continues improvement”
harus dijadikan sebagai budaya dalam mengembangkan setiap gagasan dan mensikapi
pencapaian koperasi.
Keberhasilan tidak tersaji tiba-tiba, tetapi melalui
rangkaian upaya konstruktif yang dibarengi dengan keteguhan, kesabaran dan kebijaksanaan
berpandangan atas setiap dinamika yang tak jarang mengundang lelah dan bahkan
rasa putus asa. Oleh karena uty, keberhasilan hanya di hadiahkan bagi pejuang
tangguh yang sanggup berproses. Keberhasilan bukan diperuntukkan bagi para pecundang
atau oppourtunis yang hanya fokus apa yang di dapat dan
bukan fokus pada apa yang di buat..
I. Penghujung
: Menggugat Judul Tulisan
Dalam perspektif usia, kebijaksanaan sering didapati pada
mereka yang sudah tua (baca: kakek-kakek atau nenek-nenek) dimana mereka telah mengalami
asam garam kehidupan. Mereka mulai fokus
pada investasi sosial (social investmen) sebagai bagian
dari upaya mempertinggi “nilai kebaikan” di pandangan Tuhan. Sementara itu, di kebanyakan kaum muda yang
lahir di zaman serba instan banyak terjangkit virus individualisme yang
cenderung egois dan bahkan autis dalam tanda kutip. Hal ini sangat
berseberangan dengan nilai-nilai kolektivitas (kebersamaan) yang diperjuangkan
koperasi.
Akhirnya, semua ini bukan tentang kakek-kakek,
nenek-nenek atau anak muda yang aneh, tetapi tentang perlunya membudayakan kebijaksanaan
berfikir dan bertindak di keseharian hidup sebagai pra-syarat membangun
sebuah koperasi yang tangguh. Semoga
berkoperasi tidak hanya meningkatkan kualitas ke “KITA”an segenap lapisan
masyarakat , tetapi juga menjadi bagian dari upaya mempertinggi “nilai
kebaikan” di pandangan Tuhan. Aminn. Semoga menginspirasi......
Posting Komentar
.