A. Pembuka :
Realitas Yang Menginspirasi.
Sebagian besar dari kita terbiasa dan terlatih
membangun karya mandiri. 100% otoritas ada di tangan kita dan tak tersentuh
oleh siapapun, kecuali aturan-aturan dan norma-norma yang berlaku. Sebagian
dari kita sukses membuat capaian luar biasa dengan menempatkan orang lain hanya
sebatas “konsumen” tanpa pernah menjadi “pemilik”. Oleh karena
itu, tak satu pun yang bisa menggugat keberhasilan itu, karena pencapaiannya
oleh upaya kita sendiri. Sebaliknya,
ketika “jatuh ke dasar yang paling rendah”, maka tak satupun yang bisa
di mintai tolong, kecuali pada orang yang bersimpati atau pada orang yang
sangat berharap bisa meraih sorga. Jika tak menemukan satu dari 2 (dua) orang
tersebut, apa yang kemudian terjadi..???
Satu
pertanyaan menarik patut dicari jawabnya: seberapa besar kah “koperasi” dalam
mencapai tujuan-tujuan hidup pribadi anggotanya???. Mungkin jawaban dari tanya
ini akan menginspirasi banyak gagasan dalam perjalan koperasi selanjutnya.
B. Koperasi
Sesungguhnya Tidak Bebas Nilai
Kalau
di telaah lebih jauh, kita akan menemukan kemuliaan nilai-nilai yang
diperjuangkan. Disamping itu, “telaah jauh” akan membawa kita pada temuan obyektif mengapa
koperasi kita tak kunjung berkembang (baca : seadanya) dan sekaligus akan menginspirasi dalam
merumuskan apa-apa yang harus kita selesaikan untuk membangun sebuah koperasi
yang kuat, besar dan penuh manfaat.
Sebagai
upaya me re-fresh ingatan kita tentang Jati Diri Koperasi, berikut
ini di sajikan hasil kesepakatan induk koperasi dunia (ICA/International
Cooperative’s Alliance), pada tangggal 23 September 1995, di Manchester,
Inggris :
1.
Defenisi
:
Koperasi adalah perkumpulan otonom dari orang-orang yang
bersatu secara sukarela untuk
memenuhi kebutuhan-kebutuhan dan aspirasi-aspirasi ekonomi,sosial
& budaya bersama melalui perusahaan yang mereka miliki bersama & mereka kendalikan secara
demokratis.
2.
Nilai-nilai
:
Koperasi
berdasarkan nilai-nilai menolong diri sendiri, tanggungjawab sendiri,
demokrasi, persamaan, keadilan dan kesetiakawanan. Anggota koperasi percaya
pada nilai-nilai etis kejujuran, keterbukaan, tanggungjawab sosial, serta
peduli terhadap orang lain.
3.
Prinsip-prinsip
:
(i)
Keanggotaan sukarela dan terbuka; (ii) .Pengendalian oleh anggota-anggota
secara demokrasi ; (iii) .Partisipasi ekonomi anggota; (iv) .Otonomi dan
kebebasan; (v) .Pendidikan, pelatihan dan informasi; (iv) .Kerjasama antar
koperasi; (vii) .Kepedulian terhadap komunitas
Berikut
ini disajikan beberapa cerita singkat yang mungkin bisa menginspirasi gairah
kita untuk mengembangkan koperasi demi tercapaianya kemanfatan-kemanfaatan baru
dalam berkoperasi. Adapun beberapa
cerita yang dimaksud di jelaskan berikut ini :
3. Suatu ketika, seorang yang kebetulan
berprofesi PNS merasa “ jengkel sendiri” saat berjalan-jalan di sebuah tempat
perbelanjaan modern. Hal ini dikarenakan dia melihat label harga baju yang sama
dengan yang dipakainya ternyata jauh lebih murah dibanding dengan di
kota asalnya. Kebetulan baju yang dia pakai baru saja dia beli kemarin di kota
asalnya. Namun, jengkel itu malah menginspirasi dirinya untuk berfikir bijak
bahwa hal itu disebabkan oleh perbedaaan strategi masing-masing swalayan.
Persoalan kemudian yang ada dibenaknya adalah mengapa dia menjadi “obyek” dari
strategi itu. Di akhir lamunannya, dia berfikir hal ini sesungguhnya bisa di
selesaikan dengan cara bijak yaitu mengkomunikasikannya dengan koperasi yang
kebetulan dia berstatus sebagai anggota. Ternyata komunikasi ini membuahkan
hasil dan terbentuk komitmen di segenap unsur organisasi untuk membangun unit
layanan berbentuk “toko khusus fahion” yang di kelola dengan cara modern. Sejak
saat itu, segenap anggota selalu mentransaksikan kebutuhan fashion nya di
koperasi. Akhirnya, tak ada lagi orang yang jengkel atau merasa tertipu .
4.
Berawal dari keinginan memajukan
ekonomi pedesaaan, disebuah desa
dilakukan musyawarah yang berujung pada kesepakatan untuk membentuk
sebuah lembaga keuangan. Mereka
berkomitmen tidak akan merambah pada unit layanan yang sudah di kerjakan oleh
anggotanya, seperti warung, produksi jajanan kecil, usaha bakso, mie ayam dan
lain sebagainya. Tujuan dasar dari pembentukan lembaga keuangan ini adalah :
(i) mengajak masyarakat untuk
membiasakan hidup sederhana dan membangun kebiasaan untuk menabung; (ii)
mendorong bakat-bakat kewirausahaan di lingkungan pedesaan; (iii) memberi
pinjaman kepada anggota tanpa dikenakan jasa dan hanya ada tambahan 0,2% untuk
biaya operasional pengelolaan dan pengembangan lembaga keuangan tersebut. Satu
hal yang menjadi catatan, setiap kali anggota meminjam, pengelola memastikan
bahwa pinjaman tersebut hanya untuk kepentingan produktif dan atau benar-benar
kepentingan mendesak (sebuah keadaan yang tidak di duga sebelumnya). Segenap perangkat desa sampai RT disarankan
untuk terus mengkampanyekan semangat menabung dan semangat berwirausaha.
Beberapa waktu kemudian, desa itu begitu maju dan guyub. Semangat
kegotongroyongannya begitu kental dan desa itu jauh dari kejadian-kejadian yang
meresahkan masyarakat. Apa
kesan anda dengan kisah ini ?
5.
Dalam diskusi beberapa petinggi KUD
ada fakta menarik dimana banyak petani
yang menjual padi nya kepada tengkulak saat padi baru akan menguning. Hal yang
menyebabkan hal itu adalah karena petani membutuhkan uang cepat untuk
membiayai kelanjutan hidupnya. Akibatnya, petani sang pemilik lahan seolah
menjadi pekerja bagi tengkulak tersebut. Rasa kesetiakawanan telah membawa
mereka pada pembicaraan serius untuk mencari solusi integratif atas permasalahan
para petani tersebut yang mayoritas juga adalah anggota KUD. Setelah melalui
diskusi panjang, di sepakatilah untuk melakukan beberapa hal baik bersama-sama,
maupun dilakukan oleh masing-masing KUD yaitu : (i) mengintensifikan toko
saprotan (sarana produksi pertanian) dengan sistem pengelolaan profesional;
(ii) menjadikan KUD sebagai pilihan utama menjual gabahnya; (iii) meng-intensifkan
simpan pinjam, baik dari sisi tabungan maupun pinjaman yang diberikan kepada
anggota untuk mendukung pengadaan saprotan; (iii) menyelenggarakan “rice
mill” baik yang kelilingan maupun yang standby di tempat; (iv) secara
bersama-sama menjalin kemitraan dengan koperasi lainnya dalam hal pemasaran
beras. Setalah dilakukan upaya-upaya tersebut, KUD-KUD tersebut kemudian menjelma
menjadi satu kekuatan yang sangat berpengaruh, khususnya dalam hal ketahanan
pangan. Di sisi lain, kesejahteraan petani
dalam arti luas meningkat tajam.
6.
Di sebuah kabupaten terdapat 75 (enam
puluh) koperasi yang berhasil mengembangkan “semangat menabung” di
koperasi nya masing-masing, sehingga memunculkan surplus kas (idle
cash) dengan rata-rata Rp 1 M per koperasi. Atas keberhasilan itu,
kemudian mereka berfikir untuk membuat kerja sama mendirikan sebuah “supermarket”.
Setelah melakukan komunikasi kepada anggota masing-masing koperasi, akhirnya
mereka memutuskan untuk merealisasikan gagasan tersebut. Mereka tak cukup
berpengalaman dalam pengelolaan “supermarket”, sehingga mereka merekrut para expertis (ahli) yang bertugas
mengelola supermarket tersebut. Setahun kemudian, supermarket itu berdiri megah
dan di pintu masuk terpampang dengan gagah
tulisan “SELAMAT BERBELANJA DI PERUSAHAAN
MILIK SENDIRI”. Supermarket ini menerapkan perlakuan khusus pada
anggotanya, yaitu menerapkan harga pokok, sementara margin nya diserahkan
sepenuhnya kepada anggota (yang ngasih tambahan margin di ucapkan terima kasih
dan yang tidak ngasih kebangetan...he22). Sementara kepada yang bukan anggota dari
koperasi pendiri Supermarket di berlakukan harga sesuai label.
Disamping itu, bagi anggota koperasi, supermarket ini juga berfungsi sebagai “tempat
menerima tabungan”. Sehingga, apabila seorang anggota ingin menabungkan
sisa kembalian belanjanya (walau hanya Rp 300,oo) juga di layani. Hal yang sungguh aneh lagi di setiap kasir
supermarket itu tertulis pesan aneh :
(i) “belanjalah
secukupnnya” dan ; (ii) “gunakan uang anda dengan bijaksana”.
Tulisan ini tampak berlawanan dengan spirit pertumbuhan omzet, tetapi sangat
bernilai “pendidikan” bagi mereka yang meresapinya. Beberapa tahun
kemudian, berbekal budaya menabung yang tumbuh subur dan supermarket yang kian hari kian berkembang, koperasi-koperasi
pendiri supermarket tersebut melanjutkan kerjasamanya dalam bidang pembangunan
industri berbentuk pabrik. Luar biasa, akhirnya kota itu perlahan menjadi kota
koperasi dan masyarakatnya terkenal dengan ciri ramah dan bijaksana.
Satu
hal yang menjadi catatab penting, semua cerita diatas adalah fiksi atau lebih tepat dikatakan sebagai
sebuah mimpi indah tentang dahsyatnya kebersamaan dalam koperasi ketika di
kelola dengan serius dan di dukung oleh anggota yang loyal.
D. Alat Ukur Obyektif Keberhasilan Berkoperasi.
Dalam
kontek yang paling sederhana, mengukur tingkat keberhasilan koperasi bukan lah
hal yang sulit. Kita cukup menyebar 1 (satu) pertanyaan tertutup pada segenap
unsur organisasi (baca: pengurus, pengawas dan anggota), yaitu : “bahagiakah
anda menjadi bagian dari koperasi???”. Jangan lupa berikan 2 (dua) pilihan
jawaban “ ya” atau “belum”.
Besarnya prosentasi yang menjawab “ya” merupakan indikator obyektif tingkat
keberhasilan koperasi itu. Demikian sebaliknya, besarnya prosentase yang
memberi jawaban “belum” menggambarkan tingkat “ke-belum berhasilan dan luasan PR”
yang harus di selesaikan oleh koperasi tersebut. Apakah sulit melakukan hal
ini??
E. Penghujung : Sedikit Berkontemplasi
Ketika
koperasi mampu menyatukan kepentingan ekonomi dengan memobilisasi karakter
sosial dan budaya anggotanya hingga mencintai kebersamaan, maka apapun menjadi
sangat mungkin di jalankan oleh koperasi. Disamping itu, koperasi dipastikan
akan mampu menyelesaikan masalah-masalah ekonomi yang dihadapi oleh
anggotanya. Oleh karena itu, tak
heran PBB mengeluarkan resolusi yang
menetapkan tahun 2012 sebagai tahun koperasi dunia. Bahkan dalam tagline
tahun koperasi dunia PBB memilih thema “the
cooperative’s entreprise build better world” (perusahaan-perusahaan
koperasi membangun dunia yang lebih baik).
Logika
menelusur bahwa koperasi sangat mulia dan sangat mungkin untuk dioperasinalkan.
Persoalannya adalah seberapa besar kemauan segenap stake holder koperasi
menyatukan diri untuk kemudian membangun keberdayaan kolektif. Pada koperasi
yang benar, segenap stake holder bisa mengembangkan tujuan-tujuan pribadinya
melalui kerjasama yang mereka ciptakan
di dalam koperasi yang mereka miliki dan kendalikan secara demokratis.
Oleh
karena itu, kalau kemudian realitas mayoritas koperasi stagnan (baca: kalau
tidak mau dikatakan belum maju), sesungguhnya bukan karena “ketidakrasionalan” konsepsi
koperasi di kekinian zaman, tetapi di ke-belum nemuan cara efektif memobilisasi
terciptanya kebersamaan dan men-drive kebersamaan ke dalam aksi-aksi produktiv
multy dimensi. Koperasi membimbing ke arah kemandirian dan selayaknya koperasi
membangun kemandirian diatas kolektivitasnya.
Demikian
tulisan sederhana ini tersampaikan kepada segenap peserta diklat. Semoga
menginspirasi kebaikan dan memacu lompatan
kemajuan koperasi......amin....
Posting Komentar
.