A. Realitas Yang Menginspirasi
Seperti agenda rutin, demonstrasi telah menjadi satu kebiasaan yang berulang. Hal ini berbeda saat zaman orde baru yang kerap kali di pandang sebagai tindakan makar. Zaman telah berubah, popularitas istilah demokrasi menjadi pendorong keberanian semua orang mengemukakan pendapatnya.
Beberapa hari lalu, kaum buruh di bekasi bergejolak dan turun ke jalan. Lebih kurang 3200 personil polisi di turunkan untuk menjamin bahwa demonstrasi tersebut tidak berefek pada hal-hal yang tidak diinginkan. Bahkan, Pak Muhaimin selaku Mentri pun ikut menenangkan para pekerja yang sedang mempejuangkan nasibnya. Isu yang dibawa adalah tentang UMK Kota/Kabupaten. Intinya, para buruh sedang memperjuangkan hidupnya.
Ini bukan yang pertama kali dan isu serupa pun hampir terus berulang setiap tahunnya. Keterulangan ini pula yang kemudian menguatkan kesimpulan bahwa kaum buruh adalah kaum lemah dan selalu menjadi obyek penderita. Ironisnya, penilaian itu berefek pada terbangunnya pembacaan bahwa para investor atau owners group adalah kelompok kecil yang rakus dan terlalu bernafsu mengeruk keuntungan. Kondisi ini menginspirasi 2 (dua) pertanyaan besar; (1) apakah memang buruh adalah kaum lemah??? Atau; (2) para pengusaha memang terlalu rakus melipatgandakan modalnya lewat keuntungan???.
B. Menakar Kaum Buruh
PNS, karyawan dan atau managemen sesungguhnya hanyalah istilah yang bermakna sama, yaitu sama-sama berbasis pengabdian. Hanya saja, penggolongan itu seolah menjadi penegas kasta dan sekaligus pengklasifikasian kapasitas. Ketika seseorang mengatakan berprofesi sebagai buruh, maka yang kemudian tergambar dalam fikiran kita adalah kelompok yang rendah dalam hal edukasi. Berbeda ketika kita mendengar istilah staff, manajer, pejabat, apresiasi orang pun seolah terbawa pada penilaian kapasitas di level tertentu. Bahkan sebutan-sebutan itu seolah menjadi pembeda tingkat kesejahteraan yang mereka dapatkan dari tempat mereka mengabdi, disamping sebutan-sebutan itu pun seolah penegas strata kecerdasan (pendidikan).
Oleh karena itu, tidak mengherankan, strata yang rendah dan persepsi lingkungan sebagai kelompok yang kurang cerdas, membuat kelompok low educated ini lebih suka menggunakan cara-cara demonstrasi. Sebab dengan cara itu diyakini akan membangun harapan baru lewat berubahnya kebijakan perusahaan atau pemerintah selaku penentu regulasi, khususnya tentang nasib dan hidup mereka. Apalagi mereka menyadari betul, walau bagian dari strata terendah namun mereka adalah populasi terbesar dari sebuah struktur perusahaan. Mogok kerja dan demonstrasi diyakini mendapat perhatian pimpinan karena efek paling nyata dan langsung dirasakan perusahaan adalah berhentinya proses produksi. Disisi lain, karena demonstrasi biasanya membentuk keramaian yang mengundang perhatian banyak pihak, maka kemudian muncul multiplier efek sehingga mengundang perhatian masyarakat, media massa dan pemerintah berikut segenap struktur kelengkapannya. Pada titik ini, harapan ketercapaian tuntutan semakin berpeluang.
Berulang dan terus berulang dengan peserta yang relatif sama, isu yang sama, di motori orang yang sama dan di dorong oleh masalah yang sama pula yaitu persoalan ekonomi. Sampai kapan ini berulang???. Sampai mereka sejahtera semua atau sampai para pengusaha menyerahkan kepemilikan pabrik kepada semua buruh??.
C. Sekejap Menilik Rumitnya Berprofesi Pengusaha
Memasuki dunia usaha bukanlah seperti membalikkan tangan. Tak cukup bermodalkan ketajaman instuisi melihat atau menciptakan peluang, tetapi juga memerlukan nyali. Mengelola usaha bukanlah sekedar memiliki modal, mendapatkan bahan baku dan kemudian memprosesnya untuk menghasilkan output siap jual, tetapi pengusaha juga di tuntut mampu me-manage lingkungan dalam arti luas. Mereka tak hanya harus siap dengan stock modal untuk membayar salary karyawan/manajemen dan memenuhi seluruh biaya produksi, tetapi mereka juga harus menyiapkan dana overhead yang terkadang tak ada relevansinya dengan proses produksi.
Dalam cara baca skeptis, pasti pengusaha sudah menghitung segala sesuatunya sebelum memulai, sehingga meyakini akan mendapatkan keuntungan yang bisa melipatgandakan modalnya.
Tak ada yang salah dengan pembacaan itu dan semua orang berhak berkesimpulan. Namun demikian, bagaimanapun juga, nyali mereka untuk memasuki dunia usaha yang kompleks dan memiliki ketidakpastian yang tinggi layak diapresiate. Bagaimanapun, mereka telah berjasa menciptakan “peluang kehidupan” bagi banyak nyawa. Bagaimana dengan upah yang rendah ???
Fakta menunjukkan, rendahnya cost of labour terkadang menjadi daya tarik berinvestasi bagi investor. Namun demikian, dari perspektif kemanusiaan terkadang hal ini bertolakbelakang. Isu “kerakusan pengusaha” pun kerap menjadi “tema penting” dalam sebuah aksi perjuangan kaum buruh. Keadilanpun dipertanyakan. Rasa kemanusiaan pun muncul untuk menilai realitas yang telah mengeksploitasi kaum buruh. Salahkah Pengusaha ??. Kalau kaum buruh disimpulkan sebagai kaum marginal dan teraniaya, adakah relevansi pemerintah pada situasi ini???.
D. Menilik Muasal Kelahiran Hubungan Industrialis.
Tinjauan praktika, keterlahiran sebuah usaha dapat di golongkan menjadi 2 (dua) tahapan, yaitu ;
a) Keberanian pengambilan keputusan untuk memulai. Hal ini merupakan kombinasi antara ketajaman instuisi menilik atau menciptakan peluang, kesiapan atas faktor-faktor pendukung dan segala resiko yang mungkin muncul sebagai akibat sebuah keputusan.
b) Pengelolaan Hasil Keputusan. Dalam rangka pengelolaan hasil keputusan, kemudian dilakukan langkah-langkah realisasi. Pada titik inilah segala faktor pendukung digerakkan, termasuk SDM (sumber daya manusia) dan modal (uang). Uang adalah benda mati, tidak bergerak dan yang merubah bentuk uang menjadi aktiva, persediaan , piutang atau bentuk lainnya adalah manusia. Dengan demikian, tidak berlebihan kalau kemudian menyimpulkan bahwa SDM adalah pihak penentu ketercapaian apa-apa yang telah diputuskan sang pemilik perusahaan (owner). Sebab, manusia adalah benda bergerak yang memiliki akal/fikiran. Kemudian, untuk mengefektifkan segenap talenta dan energi yang ada pada kumpulan SDM, maka di bentuklah pembagian tugas dan tanggungjawab yang terdefenisi dalam bentuk struktur organisasi. Dari struktur ini, biasanya memunculkan istilah-istilah Top Managemen, Middle Managemen dan Low Managemen (sering disebut kaum buruh). Biasanya, tingkatan ini juga mempengaruhi tingkat salary yang besar kecilnya didasarkan pada persepsi dan apresiasi owner terhadap SDM. Pada titik penentuan besar salary ini sering memunculkan pro-kontra. Bahkan untuk menjamin tidak terjadinya praktek-praktek ketidakmanusiaan dalam hal salary karyawan di perusahaan, maka pemerintah menetapkan apa yang dinamakan UMR alias Upah Minimum Regional yang besarnya memperhatikan tingkat kehidupan yang layak di sebuah daerah. Pada realitas lapangan, hal ini sering memicu terjadinya perdebatan, baik antara grup karyawan dengan pemerintah kaitannya dengan besarnya nilai UMR yang ditetapkan, maupun antara grup karyawan dengan perusahaan tempat mereka bekerja kaitannya dengan tingkat kepatuhan perusahaan dalam memenuhi UMR yang ditetapkan oleh perusahaan. Pada kebuntuan komunikasi ini kemudian sering memicu terjadinya demonstrasi. Ironisnya, ketika aksi ini di susupi oleh orang-orang tak terkendali, maka terkadang demonstrasi damai berubah menjadi aksi anarkis yang mengundang keprihatinan. Hubungan industrialis memang kompleks dan multy demensi.
E. Hubungan Industrialis Bermartabat sebuah mimpi belaka…KAH??
Banyaknya aksi demonstrasi yang mengambil thema memperjuangkan nasib buruh (sebagai unsur manajemen terbawah tetapi berpopulasi terbesar dalam sebuah perusahaan), merupakan salah satu indikator betapa hubungan industrialis selalu tak menemukan “jalan tengah yang bijak” pada tingkat asa, baik di grup karyawan maupun grup owner. Apa yang sebenarnya terjadi??
Dari sisi owner ada ragam pertanyataan yang layak kita temukan jawabnya Adakah naluri dan hasrat owner yang terlalu tinggi untuk melipatgandakan kapitalnya???. Adakah faktor external di luar dirinya seperti regulasi pemerintah, pajak formal, pajak informal, tingkat suku bank, situasi perekonomian regional maupun dunia yang very crowded, dan lain sebagainya membuat situasi owner begitu kompleks..???.
Kalau ternyata ini tentang naluri dan hasrat owner, tentu hal ini memerlukan pendekatan bijak dan bahkan spiritual sehingga mindset pemaknaan atas perusahaan lebih bersahabat dengan nasib para buruh. Tetapi kalau ini akibat dari faktor2 di luar owner, maka hal ini memerlukan kebijakan semua pihak untuk mengambil inisiatif terbaik dalam judul kesetiakawanan dan kepedulian kepada sesama.
Terbersit ide agar pemegang regulasi (cq.pemerintah) segera menyusun formula tentang rasionalitas laba dari masing-masing sektor usaha. Dengan ini, maka akan lebih mudah dalam pengendalian pajak formal, pengendalian hasrat pengusaha dalam pelipatan modal dan juga lebih memungkinkan terdistribusinya pemerataan penghasilan tanpa mengurangi unsur keadilan. Tapi pertanyaan yang muncul kemudian, apakah semua pihak benar-benar siap karena semua pihak dituntut menjadi transfaran. Disatu sisi , peluang pajak informal mungkin akan hilang sehingga semua pihak terdidik dan terlatih untuk mendapatkan penghasilan berbasis kinerja, disisi lain hal ini menyisakan pertanyaan besar “apakah iklim investasi menjadi menarik di negeri ini???”. Apakah pola ini akan mendorong orang untuk tidak kreatif ???. Ataukah “rasa kesetiakawanan dan saling men-sejahterakan” akan menjadi pra-syarat mutlak ketika pola itu benar-benar menjadi sebuah regulasi yang wajib dipatuhi semua pelaku usaha. Ataukah negara perlu memberi insentif bila terjadi kerugian sebuah usaha yang benar-benar disebabkan oleh fakctor non teknis (di luar konteks rasionalitas manajemen), sehingga hal ini menjadi faktor keamanan bagi sebuah investasi..???.
Mungkin perlu sebuah contoh nyata penerapan pola ini lewat inisitif pribadi pengusaha. Kalau demikian adanya, berarti Negara membutuhkan para pengusaha yang memaknai “membangun perusahaan” adalah identik dengan memperluas kebermaknaan pada manusia lainnya dan sekaligus sebagai media untuk lebih mulia dipandangan Sang Pencipta. Kalau hal ini benar-benar ada, bisa dibayangkan hubungan industrialis yang terjadi antara karyawan dan pengusaha akan begitu mesra. Sang Pengusaha akan senantiasa terbuka atas segala situasi apapun yang sedang melingkupi perusahaan dan karyawan pun akan memiling “sense of belonging” yang linier dengan keterjagaan komitmen pengusaha dalam hal kebijakan bersikap dan berpandangan. Tapi…dalam kondisi hedonisme yang menggejala secara liar saat ini, mungkin kah di dapati satu pengusaha yang demikian diantara kelompok pengusaha sukses di negeri ini ???. Just heaven knows.
Sementara itu dari sisi group karyawan, paradigma kekaryawanan dalam menjalankan peran pengabdian kepada sang owner, mungkin layak dijadikan sebagai bahan kontemplasi. Satu hal, apapun posisi seorang karyawan adalah tetap pada posisi “peminta” kepada “pengusaha”. Namun demikian, ketika paradigma saling membutuhkan dapat sama-sama dirasakan oleh kedua belah pihak, maka posisi ini tidak begitu mengganggu perasaan masing-masing dan bahkan hampir tak tampak. Rasional dan empati mungkin 2 (dua) hal yang perlu menjadi perhatian. Rasional dalam artian tingkat harapan dan empati dalam artian mengembangkan sikap-sikap bijak sehingga mendorong terciptanya keseimbangan berinteraksi dalam konteks sosial.
Dalam bahasa semangat yang fair, Hal yang membuat seseorang dibawah adalah akibat dari akumulasi sikap dan tindakan dalam hidupnya. Artinya, kemiskinan difahami sebagai implikasi rasional dari berjaraknya tujuan dengan langkah-langkah pencapaiannya. Kalau demikian, bagaimana pensikapannya?.
Perbedaan kapasitas diri adalah faktor penyebab mengapa seseorang berada di atas, ditengah atau dibawah dari sebuah struktur organisasi. Artinya, berharap kesamaan kapasitas dalam keseluruhan grup karyawan adalah “mimpi belaka”. Namun demikian, pada titik inilah sesungguhnya para golongan Top Managemen diuji kebijaksanaannya. Selayaknya, kapasitas diri yang dititipkan Tuhan padanya dimanfaatkan untuk memperluas kebermaknaannya pada orang lain (baca: rekan sejawat yang lebih rendah kapasitasnya). Mereka selayaknya mengambil tanggungjawab mengkomunikasikan realitas asa di group karyawan kepada owner dengan cara-cara empati dan edukatif. Namun, hanya pada Top Manajemen yang memiliki karakter “tidak egois”, asa ini layak ditambatkan.
F. Penghujung Berakhir Tanya
Apapun hasil akhir dari proses demonstrasi buruh itu, terbersit ada potensi yang menarik dari demonstrasi yang berulang itu, yaitu adanya kebersamaan dalam memperjuangkan nasib. Tentu persamaan nasib menjadi faktor pendorongnya. Andai kebersamaan itu dimobilisasi menjadi semangat produktif berbasis kolektif, akan sangat mungkin lahir karya2 produktif yang akan mensejahterakan mereka dan bahkan lembaga-lembaga produktif itu dapat mereka miliki dan kendalikan bersama. Mereka tak perlu keluar dari tempat mereka bekerja saat ini. Selanjutnya, untuk menjalankan perusahaan yang mereka miliki bersama-sama, mereka cukup mengangkat manajemen yang bekerja atas indikator-indikator yang mereka ciptakan bersama. Mungkin, ini tampak utopis, kecuali bagi kaum pejuang dan menyukai tantangan. Namun, siapa yang harus memulai. Jawaban yang paling bijak adalah orang-orang yang memiliki kepedulian dan kebetulan dititipin Tuhan kemampuan. Mimpi kah…???
Posting Komentar
.