KOGAT demikian nama populer koperasi yang saat ini di huni oleh 310 orang berprofesi guru SD se Kecamatan Cilongok, sebuah kecamatan di lingkungan Kab.Banyumas, Jawa Tengah, Indonesia. KOGAT sendiri adalah singkatan dari Koperasi Guru Asistenan Tjilongok. Dari singkatan namanya, bisa dipastikan koperasi ini berdiri saat ejaan lama masih berlaku di negeri ini.
Pada Tahun ke-2, kebijakan tidak populer ditawarkan kepada anggota, yaitu tidak membagi SHU langsung kepada anggotanya. Akumulasi SHU di jadikan tabungan dengan harapan akan memperkuat permodalan koperasi yang berarti juga peningkatan kemampuan unit layanan utamanya, yaitu simpan pinjam. Setelah melalui penjelasan-penjelasan rasional lewat pola-pola yang edukatif, kebijakan tidak popular ini di setujui dan mulai di laksanakan. Lebih gila lagi, mereka mematok angka tabungan sebesar 10% dari setiap pinjaman anggota. Dalam perkembangan berikurtnya, semangat menabung ini kemudian di format ke dalam pola yang lebih dinamis dengan tetatp pada “pola tabungan berbasis transaksi”. Untuk memantapkan kesepakatn ini, disusunlah keputusan dalam RAT dimana margin (jasa yang dibayarkan atas pinjaman yang diberikan kepada anggota) di bagi menjadi 3 (tiga) bagian, yaitu; (a) 35% untuk pemupukan modal koperasi; (b) 35% dialokasikan sebagai jasa atas SHR (simpanan hari raya) yang dibayarkan tiap kali menjelang lebaran; (c) 30% untuk biaya-biaya di alokasikan untuk menopang operasional, biaya penyelenggaraan RAT dan lain sebagainya. Sisa alokasi dana operasional itu lah yang kemudian di defenisikan sebagai SHU.
Satu hal yang menjadi catatan penting, tagline yang di kampanyekan adalah “membudayakan menabung melalui pendekatan transaksi”. Artinya, proses menabung tidak dilakukan secara sengaja, tetapi disisipkan tiap kali anggota bertransaksi (meminjam).
Langkah ini betul-betul efektif dalam melipatgandakan modal yang bersumber dari tabungan anggota dan sekaligus mampu membentuk karakter hidup yang lebih terencana dari setiap individu anggota. Dalam konteks lebih luas, budaya menabung ini mampu menekan laju pertumbuhan “budaya konsumerisme”.
Langkah ini betul-betul efektif dalam melipatgandakan modal yang bersumber dari tabungan anggota dan sekaligus mampu membentuk karakter hidup yang lebih terencana dari setiap individu anggota. Dalam konteks lebih luas, budaya menabung ini mampu menekan laju pertumbuhan “budaya konsumerisme”.
Setelah pola ini berjalan lebih kurang 10 tahun, secara organisasi KOGAT tumbuh menjadi organisasi mandiri (membiayai kegiatannya sendiri). Bahkan, saat tulisan ini disajikan, KOGAT sedang memiliki idle cash (kas nganggur) lebih kurang Rp 600 juta, padahal permintaan pinjaman anggota telah terlayani seluruhnya. Dalam satu tahun ke depan, di proyeksikan idle cash tumbuh menjadi Rp 2M yang merupakan akumulasi pertumbuhan komitmen kolektif anggota dalam hal menabung.
Perlahan citra kualitas kolektivitas KOGAT kian membahana, sehingga hal ini menginspirasi banyak pihak untuk berkerja sama. Namun, koperasi ini tegas dan tidak mau di dikte oleh siapapun. Mereka hanya bekerja sama dengan pelaku bisnis yang menjunjung tinggi nilai kemandirian yang diusung oleh KOGAT. Tak ayal, situasi ini membuat banyak pengusaha yang hanya bermotif memanfaatkan pangsa pasar terlokalisir ini (located market) berakhir dengan hanya gigit jari. Bahkan banyak pelaku bisnis yang mencoba menembus langsung ke anggota KOGAT, namun anggota cukup jeli dan tak mau melayani rayuan sebelum ada persetujuan dari para pengurus KOGAT.
Dalam rancang berikutnya, saat ini KOGAT sedang berkomunikasi dengan salah satu Bank dalam hal aplikasi transaksi anggota KOGAT berbasis ATM. Dari kemitraan ini, KOGAT merencanakan semua transaksi menjadi lebih mudah bagi anggotanya. Untuk mendukung hal tersebut, saat ini KOGAT juga sedang merancang website, dimana semua anggotanya bisa mengakses saldo pinjaman atau saldo tabungannya masing-masing. Luar Biasa…itulah yang penulis rasakan ketika meninggalkan gedung KOGAT yang megah berlantai dua itu….
Posting Komentar
.