Aku membencimu untuk sebuah alasan, aku memakimu sebagai wujud letih dan kecamuk bathin tak terkelola, karena tak ada cara lain yang ku nilai tepat setelah mencoba ribuan cara menghentikan ketidakberpihakan yang berulang. Kisah ini bermula disaat kenyataan kita sedang di keterbatasan yang luas. Kita arungi tanpa ada keraguan walau badai sering datang dan melululantahkan rancang bangun yang belum selesai.
Tak ingin kau mengetahui seberapa jauh upaya ini, karena ku takut itu membuatmu merasa berdosa. Aku pun tak mau kau kembali untuk alasan empati, karena itu tak akan membuatmu bisa bertahan lama. Aku pun tak punya keinginan mengabarkanmu sedalam apa gelap menyelimutiku disepeninggalmu, karena hanya akan membawaku pada asa kembalimu.
Sungguh…aku lelah dengan penantian ini, walau menyerah tak pernah ku pilih. Sesulit apapun, aku kan berdiri tegar atas nama keyakinan yang tak boleh di nodai secuil keraguan. Aku tak kan membiarkan ragu merasuki ruang suci penantian ini, karna itu hanya akan merusak defenisi kesabaran dan ikhlas yang telah tertata kuat menjadi tiang bangun keyakinan atas semua harap yang tak kunjung nyata ini.
Aku tak pernah berfikir bahwa kamu tak menginginkan akhir yang sama dengan mimpiku. Itu pula penguatku untuk tetap memegang teguh semua ini. Ketiadaanmu saat ku melemah, kebelumnyataanmu disaat mimpi ini berada dijurang keputusasaan, keheninganmu saat ku butuh suara magismu, tak pernah menjadi peniada semangat untuk menunggu.
Terkadang aku galau, galau oleh ingin yang tak bersandar, kalut atas layar bathin yang tak jua menemukan pelabuhannya. Mungkin lelah jiwa sedang menerpa kala semua itu hadir. Ku pilih untuk berdiam diri dan menyendiri di sudut senyap. Saat itu berlangsung, sesungguhnya aku sedang mengumpulkan serpihan kekuatan untuk bisa kembali berdiri tegak diatas keyakinan yang ntah kamu meyakininya.
Hantaman badai tak kan pernah bisa memecah kesabaran yang membatu ini. Hempasan ombak tak kan memecah ruang elastis penantian ini. Cadas batu karang tak cukup kuat menembus pertahanan kapal keyakinan ini. Sepi ini memang sungguh menyiksa, berkawan dengan Tuhan sering membuat sepi ini terasa mendamaikan.
Keghaiban telah menjadi sahabat sebentuk penantian yang belum berujung ini.
Posting Komentar
.