>Perjuangan tersulit seorang pria adalah menjadi laki2 dan membuat wanitanya merasa bahagia menjadi perempuan...KAH..??
Menjadi laki2 sesungguhnya bukan perkara mudah bagi seorang pria. Pilihan cara fikir, sikap keseharian,pemaknaan atas setiap kejadian, pemahaman atas ragam geliat yang menghampiri hidupnya,rekam jejak pengalaman bathin,terintegrasi menjadi faktor-faktor pembentuk karakter sekaligus pembeda dirinya dengan pria yang lain.
Ketika Sang pria menyandarkan kelelakiannya pada sang wanita lewat sebuah ikatan pernikahan yang juga diyakini sebagai ikatan kebathinan, karakter itu teruji. Rasa cinta sebagai perekat sering kali melahirkan keikhlasan untuk berkorban.Akulturasi karakter terjadi, perbedaan menggiring perjuangan bagi keterbentukan jalan tengah, jalan tengah yang sesungguhnya belum tentu membawa kebahagiaan di kadar yang sama. Kefahaman dan kelenturan serta pandangan dalam proses akulturasi, menjadi penentu warna perwajahan yang mengemuka.
Ketika sang pria punya cita yang jauh terdefenisi sebelum ikatan terpatrikan, sebagaimana juga sang wanita, pada titik itu pula dua cita terpersatukan dalam judul ikatan. Haruskah Sang pria akan kehilangan kelelakiannya atas nama sebuah cinta..???. Haruskah sang perempuan kehilangan kewanitaannya dengan mengorbankan segala impiannya...???. Ataukah spirit mencari jalan tengah akan dibentuk sebagai jalan baru yang akan di tuju..???. Adakah kemakluman sang wanita yang dibarengi kesadaran memposisikan diri sebagai pengikut menjeburkan diri atas nama pengabdian ???. Ataukan nama sorga yang begitu indah, sehingga sang wanita rela tidak menjadi dirinya??. Ataukah kepasrahan dan pengabdian sang perempuan adalah strategi bagi keterlahiran "ikhlas" sang lelaki sehingga mengorbankan hidupnya untuk menjadikan sang wanita bahagia sebagai perempuan ???.Catatan kecil yang sederhana, tetapi memerlukan pemikiran dalam sebelum melakukan pilihan-pilihan sikap.
Dalam konteks pemahaman bahwa sang pria adalah pemimpin yang melekat tanggungjawab sebagai nakhoda, maka membuat sang wanita merasa bahagia menjadi perempuan bukanlah hal ringan dimana saat yang sama sang pria itu tetap menjadi laki-laki.Fakta menunjukkan, banyak sang lelaki merasa terkebiri. Disisi lain, banyak wanita mendefenisikan sebagai perempuan tak bahagia karena diposisikan lemah. Andai mereka bertemu dan saling mengungkapkan ketidakbahagiaan, maka pada titik inilah potensi petaka keterbentukan ikatan baru atas nama ketidaksempurnaan hidup. Kesamaan rasa menjadi perekat dan sering tak sadar menjebakkan pada ekspresi berlebihan.
Membentuk capaian kualitas kebahagiaan pada tinglat kadar yang sama bukanlah seperti membalikkan tangan. Kaum apatis mengatakan itu hal mustahil, sementara kaum perpectionis terjebak pada defenisi kebahagiaan bertepuk sebelah tangan. Sementara aliran bijaksana memahami bahwa keseimbangan adalah persoalan cara pandang yang dipengaruhi kualitas komunikasi yang terbangun. Bahkan mereka melihat perbedaan adalah materi pendorong untuk duduk bersama dan membentuk kebijakan-kebijakan berfikir demi ketercapaian defenisi bersama.
Pada akhirnya, Perjuangan terberat sang pria adalah menjadi laki2 sekaligus menjadikan wanitanya bahagia sebagai perempuan. Demikian pula sebaliknya. Komunikasi mungkin efektif dalam pembentukan keseimbangan, keseimbangan yang bukan identik dengan kadar yang sama, tetapi pada keikhlasan menerima manusia sebagai karakter unik, yang butuh apresiasi dan penciptaan ruang dalam mengekspresikannya. Kebersamaan bukan berarti proses saling mengeliminasi karakter untuk meniadakan perbedaan, tetapi menciptakan jalan damai bagi ketersaluran karakter pada titik keterujian.
Perbedaan bukanlah materi yang baik membentuk perdebatan, tetapi harus dibentuk menjadi sumber kekuatan....KAH???
Thanks atas Jum’at yang menginspirasi
Menjadi laki2 sesungguhnya bukan perkara mudah bagi seorang pria. Pilihan cara fikir, sikap keseharian,pemaknaan atas setiap kejadian, pemahaman atas ragam geliat yang menghampiri hidupnya,rekam jejak pengalaman bathin,terintegrasi menjadi faktor-faktor pembentuk karakter sekaligus pembeda dirinya dengan pria yang lain.
Ketika Sang pria menyandarkan kelelakiannya pada sang wanita lewat sebuah ikatan pernikahan yang juga diyakini sebagai ikatan kebathinan, karakter itu teruji. Rasa cinta sebagai perekat sering kali melahirkan keikhlasan untuk berkorban.Akulturasi karakter terjadi, perbedaan menggiring perjuangan bagi keterbentukan jalan tengah, jalan tengah yang sesungguhnya belum tentu membawa kebahagiaan di kadar yang sama. Kefahaman dan kelenturan serta pandangan dalam proses akulturasi, menjadi penentu warna perwajahan yang mengemuka.
Ketika sang pria punya cita yang jauh terdefenisi sebelum ikatan terpatrikan, sebagaimana juga sang wanita, pada titik itu pula dua cita terpersatukan dalam judul ikatan. Haruskah Sang pria akan kehilangan kelelakiannya atas nama sebuah cinta..???. Haruskah sang perempuan kehilangan kewanitaannya dengan mengorbankan segala impiannya...???. Ataukah spirit mencari jalan tengah akan dibentuk sebagai jalan baru yang akan di tuju..???. Adakah kemakluman sang wanita yang dibarengi kesadaran memposisikan diri sebagai pengikut menjeburkan diri atas nama pengabdian ???. Ataukan nama sorga yang begitu indah, sehingga sang wanita rela tidak menjadi dirinya??. Ataukah kepasrahan dan pengabdian sang perempuan adalah strategi bagi keterlahiran "ikhlas" sang lelaki sehingga mengorbankan hidupnya untuk menjadikan sang wanita bahagia sebagai perempuan ???.Catatan kecil yang sederhana, tetapi memerlukan pemikiran dalam sebelum melakukan pilihan-pilihan sikap.
Dalam konteks pemahaman bahwa sang pria adalah pemimpin yang melekat tanggungjawab sebagai nakhoda, maka membuat sang wanita merasa bahagia menjadi perempuan bukanlah hal ringan dimana saat yang sama sang pria itu tetap menjadi laki-laki.Fakta menunjukkan, banyak sang lelaki merasa terkebiri. Disisi lain, banyak wanita mendefenisikan sebagai perempuan tak bahagia karena diposisikan lemah. Andai mereka bertemu dan saling mengungkapkan ketidakbahagiaan, maka pada titik inilah potensi petaka keterbentukan ikatan baru atas nama ketidaksempurnaan hidup. Kesamaan rasa menjadi perekat dan sering tak sadar menjebakkan pada ekspresi berlebihan.
Membentuk capaian kualitas kebahagiaan pada tinglat kadar yang sama bukanlah seperti membalikkan tangan. Kaum apatis mengatakan itu hal mustahil, sementara kaum perpectionis terjebak pada defenisi kebahagiaan bertepuk sebelah tangan. Sementara aliran bijaksana memahami bahwa keseimbangan adalah persoalan cara pandang yang dipengaruhi kualitas komunikasi yang terbangun. Bahkan mereka melihat perbedaan adalah materi pendorong untuk duduk bersama dan membentuk kebijakan-kebijakan berfikir demi ketercapaian defenisi bersama.
Pada akhirnya, Perjuangan terberat sang pria adalah menjadi laki2 sekaligus menjadikan wanitanya bahagia sebagai perempuan. Demikian pula sebaliknya. Komunikasi mungkin efektif dalam pembentukan keseimbangan, keseimbangan yang bukan identik dengan kadar yang sama, tetapi pada keikhlasan menerima manusia sebagai karakter unik, yang butuh apresiasi dan penciptaan ruang dalam mengekspresikannya. Kebersamaan bukan berarti proses saling mengeliminasi karakter untuk meniadakan perbedaan, tetapi menciptakan jalan damai bagi ketersaluran karakter pada titik keterujian.
Perbedaan bukanlah materi yang baik membentuk perdebatan, tetapi harus dibentuk menjadi sumber kekuatan....KAH???
Thanks atas Jum’at yang menginspirasi
Posting Komentar
.