Para hamba yang ber-Tuhan kan Allah di wajibkan menjalankan perintah bernama puasa di bulan Ramadhan, sebuah ibadah unik yang syarat dengan uji kejujuran,kesabaran dan ketekunan dalam ber-Tuhan. Disamping menahan haus dan lapar, syarat2 sah ibadah ini juga menggiring manusia untuk meniadakan kebiasaan2 buruk, seperti pra sangka, membicarakan kekurangan orang lain dan fikiran2 negatif lainnya. Ragam syarat tersebut sesungguhnya ingin membawa manusia menjadi taqwa. Bahkan, demi murninya moment kesucian ramadhan, Tuhan menegaskan para syaitan di kerangkeng. Dengan demikian, manusia benar2 menjalani puasanya dengan segenap potensi dirinya tanpa adanya pengaruh syaitan sama sekali.
Dalam sesi perjalanan sebuah puasa, tanya muncul kemudian, apakah yang mempengaruhi amarah dan segala tindakan negatif lainnya yang terkadang tak terhindarkan di sepanjang ramadhan. Adakah hal ini semata-mata karena diri kita sendiri tanpa oengaruh syiatan, ataukah sifat2 syaitan telah menyatu dalam diri kita???. Cukupkah "ketiadaan Tuhan di hati" sebagai pembenar keberlangsungan segala tindakan2 keliru itu???. Ataukah sesungguhnya kita telah menjelma menjadi syaitan dengan segala sifat2 buruk nya???.Amarah sering hadir bersamaan dengan berlangungnya puasa. rasa lapar dan haus seolah menjadi pintu pembenar ragam amarah. Tanpa kita sadari, tiap kali amarah itu kita tunjukkan, tiap kali pula senyum simpul dilayangkan kaum fakir dan miskin yang sudah sangat terlatih dengan rasa lapar dan haus di sepanjang Tahun (bukan hanya ramadhan). Bahkan tak jarang mereka menjadi geli menyiksaan kebodohan kita yang semacam ini.
Begitu tiba waktu berbuka puasa tiba, ragam menu berselera tersaji di meja makan, bahkan jumlahnya tak jarang melebihi kemampuan kita untuk menghabiskannya.Bukankah dengan ramadhan kesempatan makan dan minum hanya 2 (dua) waktu, yaitu "sahur dan berbuka"?. Artinya, seharusnya ada akumulasi efisiensi budget tercipta. Namun, fakta sering berkata pengeluaran di ramadhan justru lebih banyak ketimbang bulan2 sebelumnya. Pada titik ini, puasa sebagai media latihan kesederhanaan dipertanyakan. Sayangnya, tanya ini kembali berujung pada kebisuan tak bernada.
Di sepuluh hari terahir ramadhan, fokus fikiran mulai terbagi. aura lebaran membentuk fenomena tersendiri dan unik kalau tidak mau dikatakan tingkat kekhusu'an berpuasa telah terganggu. Ragam persiapan digelar layaknya menyambut sebuah selebrasi yang penuh gengsi. Spirit bertanding dan agar bisa tampil lebih baik dari yg lain di hari fitri sering tak terhindari. Naluri konsumsi kembali membuncah, ramadhan sang peramu kesederhanaan sering tak memperlihatkan bentukannya. Lagi2 efektivitas ramadhan dipertanyakan bagi penganut gaya dan kebiasaan semacam ini.
Dalam konteks idealnya, sesungguhnya ramadhan akan mengembalikan manusia ke fitrahnya, mengembalikan kita pada pola fikir dan pola tingkah sebagaimana tercermin dalam kalam Nya dan sabda rasul-Nya. Dengan demikian, pribadi kita akan menjadi lebih baik dan lebih bijaksana dibanding sebelumnya. Pola kehidupan akan menjadi lebih sederhana, kepedulian terhadap sesama semakin menguat,empati & kesetiakawanan akan semakin tinggi dan kecintaan kepada Allah SWT akan lebih berwujud dalam keseharian kira. Andai semacam ini menjadi buah ramadhan kita, maka memobilisasi rasa kesetiakawanan menjadi alat penggerus kemiskinan lewat aksi saling berbagi, akan sangat mungkin di wujudkan. Apalagi pribadi yg ramadhan telah berhasil membentuk ingatan betapa tidak enaknya lapar. Disamping itu, ketika ramadhan telah membentuk dan bahkan pandangan kita bawa apa2 yg kita raih dan kita miliki semata2 titipan Allah semata, hal ini akan mempertebal kemauan kita mewujudkan rasa syukur dengan berbagi.
Ramadhan tlah usai, ada yg sedih atas kepergiannya dan berujung tanya bernada asa agar dipertemukan lagi ditahun berikutnya, namun ada pula yg kemudian fokus merayakan kemenangan dalam wujud mencukupkan dahaga atas apa2 yg tak mungkin dilakukan saat ramadhan berlangsung, tanpa memperdulikan apakah sesungguhnya kita masuk dalam kategori orang yang berpuasa dengan benar dan layak atau tidak untuk merayakannya. Ramadhan memang telah berlalu, saatnya puasa dalam konteks budaya hidup dan membimbing kita dalam menjalani kesempatan hidup diwaktu berikutnya. Kita perlu berpuasa atas ingin yg sering berlebihan, puasa atas hasrat memperkaya diri sendiri tanpa peduli merugikan orang lain, negara atau lainnya, puasa untuk merasa puas sendiri dan kemudian mempertinggi keinginan saling peduli dan berbagi.
Pada akhirnya, mungkin tak berlebihan berkesimpulan bahwa pola fikir dan tindakan yang diwujudkan di keseharian pasca ramadhan..merupakan salah satu indikator untuk menakar keberhasilan kita dalam ber-ramadhan. KAH???
Saudaraku,sahabatku, tulisan ini bukan bentuk koreksi bagi siapapun, hanya sebatas kontemplasi dan auto koreksi, semoga bisa menginspirasi.
Thanks God..atas Jum'at yg menginspirasi.Para hamba yang ber-Tuhan kan Allah di wajibkan menjalankan perintah bernama puasa di bulan Ramadhan, sebuah ibadah unik yang syarat dengan uji kejujuran,kesabaran dan ketekunan dalam ber-Tuhan. Disamping menahan haus dan lapar, syarat2 sah ibadah ini juga menggiring manusia untuk meniadakan kebiasaan2 buruk, seperti pra sangka, membicarakan kekurangan orang lain dan fikiran2 negatif lainnya. Ragam syarat tersebut sesungguhnya ingin membawa manusia menjadi taqwa. Bahkan, demi murninya moment kesucian ramadhan, Tuhan menegaskan para syaitan di kerangkeng. Dengan demikian, manusia benar2 menjalani puasanya dengan segenap potensi dirinya tanpa adanya pengaruh syaitan sama sekali.
Dalam sesi perjalanan sebuah puasa, tanya muncul kemudian, apakah yang mempengaruhi amarah dan segala tindakan negatif lainnya yang terkadang tak terhindarkan di sepanjang ramadhan. Adakah hal ini semata-mata karena diri kita sendiri tanpa oengaruh syiatan, ataukah sifat2 syaitan telah menyatu dalam diri kita???. Cukupkah "ketiadaan Tuhan di hati" sebagai pembenar keberlangsungan segala tindakan2 keliru itu???. Ataukah sesungguhnya kita telah menjelma menjadi syaitan dengan segala sifat2 buruk nya???.Amarah sering hadir bersamaan dengan berlangungnya puasa. rasa lapar dan haus seolah menjadi pintu pembenar ragam amarah. Tanpa kita sadari, tiap kali amarah itu kita tunjukkan, tiap kali pula senyum simpul dilayangkan kaum fakir dan miskin yang sudah sangat terlatih dengan rasa lapar dan haus di sepanjang Tahun (bukan hanya ramadhan). Bahkan tak jarang mereka menjadi geli menyiksaan kebodohan kita yang semacam ini.
Begitu tiba waktu berbuka puasa tiba, ragam menu berselera tersaji di meja makan, bahkan jumlahnya tak jarang melebihi kemampuan kita untuk menghabiskannya.Bukankah dengan ramadhan kesempatan makan dan minum hanya 2 (dua) waktu, yaitu "sahur dan berbuka"?. Artinya, seharusnya ada akumulasi efisiensi budget tercipta. Namun, fakta sering berkata pengeluaran di ramadhan justru lebih banyak ketimbang bulan2 sebelumnya. Pada titik ini, puasa sebagai media latihan kesederhanaan dipertanyakan. Sayangnya, tanya ini kembali berujung pada kebisuan tak bernada.
Di sepuluh hari terahir ramadhan, fokus fikiran mulai terbagi. aura lebaran membentuk fenomena tersendiri dan unik kalau tidak mau dikatakan tingkat kekhusu'an berpuasa telah terganggu. Ragam persiapan digelar layaknya menyambut sebuah selebrasi yang penuh gengsi. Spirit bertanding dan agar bisa tampil lebih baik dari yg lain di hari fitri sering tak terhindari. Naluri konsumsi kembali membuncah, ramadhan sang peramu kesederhanaan sering tak memperlihatkan bentukannya. Lagi2 efektivitas ramadhan dipertanyakan bagi penganut gaya dan kebiasaan semacam ini.
Dalam konteks idealnya, sesungguhnya ramadhan akan mengembalikan manusia ke fitrahnya, mengembalikan kita pada pola fikir dan pola tingkah sebagaimana tercermin dalam kalam Nya dan sabda rasul-Nya. Dengan demikian, pribadi kita akan menjadi lebih baik dan lebih bijaksana dibanding sebelumnya. Pola kehidupan akan menjadi lebih sederhana, kepedulian terhadap sesama semakin menguat,empati & kesetiakawanan akan semakin tinggi dan kecintaan kepada Allah SWT akan lebih berwujud dalam keseharian kira. Andai semacam ini menjadi buah ramadhan kita, maka memobilisasi rasa kesetiakawanan menjadi alat penggerus kemiskinan lewat aksi saling berbagi, akan sangat mungkin di wujudkan. Apalagi pribadi yg ramadhan telah berhasil membentuk ingatan betapa tidak enaknya lapar. Disamping itu, ketika ramadhan telah membentuk dan bahkan pandangan kita bawa apa2 yg kita raih dan kita miliki semata2 titipan Allah semata, hal ini akan mempertebal kemauan kita mewujudkan rasa syukur dengan berbagi.
Ramadhan tlah usai, ada yg sedih atas kepergiannya dan berujung tanya bernada asa agar dipertemukan lagi ditahun berikutnya, namun ada pula yg kemudian fokus merayakan kemenangan dalam wujud mencukupkan dahaga atas apa2 yg tak mungkin dilakukan saat ramadhan berlangsung, tanpa memperdulikan apakah sesungguhnya kita masuk dalam kategori orang yang berpuasa dengan benar dan layak atau tidak untuk merayakannya. Ramadhan memang telah berlalu, saatnya puasa dalam konteks budaya hidup dan membimbing kita dalam menjalani kesempatan hidup diwaktu berikutnya. Kita perlu berpuasa atas ingin yg sering berlebihan, puasa atas hasrat memperkaya diri sendiri tanpa peduli merugikan orang lain, negara atau lainnya, puasa untuk merasa puas sendiri dan kemudian mempertinggi keinginan saling peduli dan berbagi.
Pada akhirnya, mungkin tak berlebihan berkesimpulan bahwa pola fikir dan tindakan yang diwujudkan di keseharian pasca ramadhan..merupakan salah satu indikator untuk menakar keberhasilan kita dalam ber-ramadhan. KAH???
Saudaraku,sahabatku, tulisan ini bukan bentuk koreksi bagi siapapun, hanya sebatas kontemplasi dan auto koreksi, semoga bisa menginspirasi.
Thanks God..atas Jum'at yg menginspirasi.Para hamba yang ber-Tuhan kan Allah di wajibkan menjalankan perintah bernama puasa di bulan Ramadhan, sebuah ibadah unik yang syarat dengan uji kejujuran,kesabaran dan ketekunan dalam ber-Tuhan. Disamping menahan haus dan lapar, syarat2 sah ibadah ini juga menggiring manusia untuk meniadakan kebiasaan2 buruk, seperti pra sangka, membicarakan kekurangan orang lain dan fikiran2 negatif lainnya. Ragam syarat tersebut sesungguhnya ingin membawa manusia menjadi taqwa. Bahkan, demi murninya moment kesucian ramadhan, Tuhan menegaskan para syaitan di kerangkeng. Dengan demikian, manusia benar2 menjalani puasanya dengan segenap potensi dirinya tanpa adanya pengaruh syaitan sama sekali.
Dalam sesi perjalanan sebuah puasa, tanya muncul kemudian, apakah yang mempengaruhi amarah dan segala tindakan negatif lainnya yang terkadang tak terhindarkan di sepanjang ramadhan. Adakah hal ini semata-mata karena diri kita sendiri tanpa oengaruh syiatan, ataukah sifat2 syaitan telah menyatu dalam diri kita???. Cukupkah "ketiadaan Tuhan di hati" sebagai pembenar keberlangsungan segala tindakan2 keliru itu???. Ataukah sesungguhnya kita telah menjelma menjadi syaitan dengan segala sifat2 buruk nya???.Amarah sering hadir bersamaan dengan berlangungnya puasa. rasa lapar dan haus seolah menjadi pintu pembenar ragam amarah. Tanpa kita sadari, tiap kali amarah itu kita tunjukkan, tiap kali pula senyum simpul dilayangkan kaum fakir dan miskin yang sudah sangat terlatih dengan rasa lapar dan haus di sepanjang Tahun (bukan hanya ramadhan). Bahkan tak jarang mereka menjadi geli menyiksaan kebodohan kita yang semacam ini.
Begitu tiba waktu berbuka puasa tiba, ragam menu berselera tersaji di meja makan, bahkan jumlahnya tak jarang melebihi kemampuan kita untuk menghabiskannya.Bukankah dengan ramadhan kesempatan makan dan minum hanya 2 (dua) waktu, yaitu "sahur dan berbuka"?. Artinya, seharusnya ada akumulasi efisiensi budget tercipta. Namun, fakta sering berkata pengeluaran di ramadhan justru lebih banyak ketimbang bulan2 sebelumnya. Pada titik ini, puasa sebagai media latihan kesederhanaan dipertanyakan. Sayangnya, tanya ini kembali berujung pada kebisuan tak bernada.
Di sepuluh hari terahir ramadhan, fokus fikiran mulai terbagi. aura lebaran membentuk fenomena tersendiri dan unik kalau tidak mau dikatakan tingkat kekhusu'an berpuasa telah terganggu. Ragam persiapan digelar layaknya menyambut sebuah selebrasi yang penuh gengsi. Spirit bertanding dan agar bisa tampil lebih baik dari yg lain di hari fitri sering tak terhindari. Naluri konsumsi kembali membuncah, ramadhan sang peramu kesederhanaan sering tak memperlihatkan bentukannya. Lagi2 efektivitas ramadhan dipertanyakan bagi penganut gaya dan kebiasaan semacam ini.
Dalam konteks idealnya, sesungguhnya ramadhan akan mengembalikan manusia ke fitrahnya, mengembalikan kita pada pola fikir dan pola tingkah sebagaimana tercermin dalam kalam Nya dan sabda rasul-Nya. Dengan demikian, pribadi kita akan menjadi lebih baik dan lebih bijaksana dibanding sebelumnya. Pola kehidupan akan menjadi lebih sederhana, kepedulian terhadap sesama semakin menguat,empati & kesetiakawanan akan semakin tinggi dan kecintaan kepada Allah SWT akan lebih berwujud dalam keseharian kira. Andai semacam ini menjadi buah ramadhan kita, maka memobilisasi rasa kesetiakawanan menjadi alat penggerus kemiskinan lewat aksi saling berbagi, akan sangat mungkin di wujudkan. Apalagi pribadi yg ramadhan telah berhasil membentuk ingatan betapa tidak enaknya lapar. Disamping itu, ketika ramadhan telah membentuk dan bahkan pandangan kita bawa apa2 yg kita raih dan kita miliki semata2 titipan Allah semata, hal ini akan mempertebal kemauan kita mewujudkan rasa syukur dengan berbagi.
Ramadhan tlah usai, ada yg sedih atas kepergiannya dan berujung tanya bernada asa agar dipertemukan lagi ditahun berikutnya, namun ada pula yg kemudian fokus merayakan kemenangan dalam wujud mencukupkan dahaga atas apa2 yg tak mungkin dilakukan saat ramadhan berlangsung, tanpa memperdulikan apakah sesungguhnya kita masuk dalam kategori orang yang berpuasa dengan benar dan layak atau tidak untuk merayakannya. Ramadhan memang telah berlalu, saatnya puasa dalam konteks budaya hidup dan membimbing kita dalam menjalani kesempatan hidup diwaktu berikutnya. Kita perlu berpuasa atas ingin yg sering berlebihan, puasa atas hasrat memperkaya diri sendiri tanpa peduli merugikan orang lain, negara atau lainnya, puasa untuk merasa puas sendiri dan kemudian mempertinggi keinginan saling peduli dan berbagi.
Pada akhirnya, mungkin tak berlebihan berkesimpulan bahwa pola fikir dan tindakan yang diwujudkan di keseharian pasca ramadhan..merupakan salah satu indikator untuk menakar keberhasilan kita dalam ber-ramadhan. KAH???
Saudaraku,sahabatku, tulisan ini bukan bentuk koreksi bagi siapapun, hanya sebatas kontemplasi dan auto koreksi, semoga bisa menginspirasi.
Thanks God..atas Jum'at yg menginspirasi.Para hamba yang ber-Tuhan kan Allah di wajibkan menjalankan perintah bernama puasa di bulan Ramadhan, sebuah ibadah unik yang syarat dengan uji kejujuran,kesabaran dan ketekunan dalam ber-Tuhan. Disamping menahan haus dan lapar, syarat2 sah ibadah ini juga menggiring manusia untuk meniadakan kebiasaan2 buruk, seperti pra sangka, membicarakan kekurangan orang lain dan fikiran2 negatif lainnya. Ragam syarat tersebut sesungguhnya ingin membawa manusia menjadi taqwa. Bahkan, demi murninya moment kesucian ramadhan, Tuhan menegaskan para syaitan di kerangkeng. Dengan demikian, manusia benar2 menjalani puasanya dengan segenap potensi dirinya tanpa adanya pengaruh syaitan sama sekali.
Dalam sesi perjalanan sebuah puasa, tanya muncul kemudian, apakah yang mempengaruhi amarah dan segala tindakan negatif lainnya yang terkadang tak terhindarkan di sepanjang ramadhan. Adakah hal ini semata-mata karena diri kita sendiri tanpa oengaruh syiatan, ataukah sifat2 syaitan telah menyatu dalam diri kita???. Cukupkah "ketiadaan Tuhan di hati" sebagai pembenar keberlangsungan segala tindakan2 keliru itu???. Ataukah sesungguhnya kita telah menjelma menjadi syaitan dengan segala sifat2 buruk nya???.Amarah sering hadir bersamaan dengan berlangungnya puasa. rasa lapar dan haus seolah menjadi pintu pembenar ragam amarah. Tanpa kita sadari, tiap kali amarah itu kita tunjukkan, tiap kali pula senyum simpul dilayangkan kaum fakir dan miskin yang sudah sangat terlatih dengan rasa lapar dan haus di sepanjang Tahun (bukan hanya ramadhan). Bahkan tak jarang mereka menjadi geli menyiksaan kebodohan kita yang semacam ini.
Begitu tiba waktu berbuka puasa tiba, ragam menu berselera tersaji di meja makan, bahkan jumlahnya tak jarang melebihi kemampuan kita untuk menghabiskannya.Bukankah dengan ramadhan kesempatan makan dan minum hanya 2 (dua) waktu, yaitu "sahur dan berbuka"?. Artinya, seharusnya ada akumulasi efisiensi budget tercipta. Namun, fakta sering berkata pengeluaran di ramadhan justru lebih banyak ketimbang bulan2 sebelumnya. Pada titik ini, puasa sebagai media latihan kesederhanaan dipertanyakan. Sayangnya, tanya ini kembali berujung pada kebisuan tak bernada.
Di sepuluh hari terahir ramadhan, fokus fikiran mulai terbagi. aura lebaran membentuk fenomena tersendiri dan unik kalau tidak mau dikatakan tingkat kekhusu'an berpuasa telah terganggu. Ragam persiapan digelar layaknya menyambut sebuah selebrasi yang penuh gengsi. Spirit bertanding dan agar bisa tampil lebih baik dari yg lain di hari fitri sering tak terhindari. Naluri konsumsi kembali membuncah, ramadhan sang peramu kesederhanaan sering tak memperlihatkan bentukannya. Lagi2 efektivitas ramadhan dipertanyakan bagi penganut gaya dan kebiasaan semacam ini.
Dalam konteks idealnya, sesungguhnya ramadhan akan mengembalikan manusia ke fitrahnya, mengembalikan kita pada pola fikir dan pola tingkah sebagaimana tercermin dalam kalam Nya dan sabda rasul-Nya. Dengan demikian, pribadi kita akan menjadi lebih baik dan lebih bijaksana dibanding sebelumnya. Pola kehidupan akan menjadi lebih sederhana, kepedulian terhadap sesama semakin menguat,empati & kesetiakawanan akan semakin tinggi dan kecintaan kepada Allah SWT akan lebih berwujud dalam keseharian kira. Andai semacam ini menjadi buah ramadhan kita, maka memobilisasi rasa kesetiakawanan menjadi alat penggerus kemiskinan lewat aksi saling berbagi, akan sangat mungkin di wujudkan. Apalagi pribadi yg ramadhan telah berhasil membentuk ingatan betapa tidak enaknya lapar. Disamping itu, ketika ramadhan telah membentuk dan bahkan pandangan kita bawa apa2 yg kita raih dan kita miliki semata2 titipan Allah semata, hal ini akan mempertebal kemauan kita mewujudkan rasa syukur dengan berbagi.
Ramadhan tlah usai, ada yg sedih atas kepergiannya dan berujung tanya bernada asa agar dipertemukan lagi ditahun berikutnya, namun ada pula yg kemudian fokus merayakan kemenangan dalam wujud mencukupkan dahaga atas apa2 yg tak mungkin dilakukan saat ramadhan berlangsung, tanpa memperdulikan apakah sesungguhnya kita masuk dalam kategori orang yang berpuasa dengan benar dan layak atau tidak untuk merayakannya. Ramadhan memang telah berlalu, saatnya puasa dalam konteks budaya hidup dan membimbing kita dalam menjalani kesempatan hidup diwaktu berikutnya. Kita perlu berpuasa atas ingin yg sering berlebihan, puasa atas hasrat memperkaya diri sendiri tanpa peduli merugikan orang lain, negara atau lainnya, puasa untuk merasa puas sendiri dan kemudian mempertinggi keinginan saling peduli dan berbagi.
Pada akhirnya, mungkin tak berlebihan berkesimpulan bahwa pola fikir dan tindakan yang diwujudkan di keseharian pasca ramadhan..merupakan salah satu indikator untuk menakar keberhasilan kita dalam ber-ramadhan. KAH???
Saudaraku,sahabatku, tulisan ini bukan bentuk koreksi bagi siapapun, hanya sebatas kontemplasi dan auto koreksi, semoga bisa menginspirasi.
Thanks God..atas Jum'at yg menginspirasi.
Dalam sesi perjalanan sebuah puasa, tanya muncul kemudian, apakah yang mempengaruhi amarah dan segala tindakan negatif lainnya yang terkadang tak terhindarkan di sepanjang ramadhan. Adakah hal ini semata-mata karena diri kita sendiri tanpa oengaruh syiatan, ataukah sifat2 syaitan telah menyatu dalam diri kita???. Cukupkah "ketiadaan Tuhan di hati" sebagai pembenar keberlangsungan segala tindakan2 keliru itu???. Ataukah sesungguhnya kita telah menjelma menjadi syaitan dengan segala sifat2 buruk nya???.Amarah sering hadir bersamaan dengan berlangungnya puasa. rasa lapar dan haus seolah menjadi pintu pembenar ragam amarah. Tanpa kita sadari, tiap kali amarah itu kita tunjukkan, tiap kali pula senyum simpul dilayangkan kaum fakir dan miskin yang sudah sangat terlatih dengan rasa lapar dan haus di sepanjang Tahun (bukan hanya ramadhan). Bahkan tak jarang mereka menjadi geli menyiksaan kebodohan kita yang semacam ini.
Begitu tiba waktu berbuka puasa tiba, ragam menu berselera tersaji di meja makan, bahkan jumlahnya tak jarang melebihi kemampuan kita untuk menghabiskannya.Bukankah dengan ramadhan kesempatan makan dan minum hanya 2 (dua) waktu, yaitu "sahur dan berbuka"?. Artinya, seharusnya ada akumulasi efisiensi budget tercipta. Namun, fakta sering berkata pengeluaran di ramadhan justru lebih banyak ketimbang bulan2 sebelumnya. Pada titik ini, puasa sebagai media latihan kesederhanaan dipertanyakan. Sayangnya, tanya ini kembali berujung pada kebisuan tak bernada.
Di sepuluh hari terahir ramadhan, fokus fikiran mulai terbagi. aura lebaran membentuk fenomena tersendiri dan unik kalau tidak mau dikatakan tingkat kekhusu'an berpuasa telah terganggu. Ragam persiapan digelar layaknya menyambut sebuah selebrasi yang penuh gengsi. Spirit bertanding dan agar bisa tampil lebih baik dari yg lain di hari fitri sering tak terhindari. Naluri konsumsi kembali membuncah, ramadhan sang peramu kesederhanaan sering tak memperlihatkan bentukannya. Lagi2 efektivitas ramadhan dipertanyakan bagi penganut gaya dan kebiasaan semacam ini.
Dalam konteks idealnya, sesungguhnya ramadhan akan mengembalikan manusia ke fitrahnya, mengembalikan kita pada pola fikir dan pola tingkah sebagaimana tercermin dalam kalam Nya dan sabda rasul-Nya. Dengan demikian, pribadi kita akan menjadi lebih baik dan lebih bijaksana dibanding sebelumnya. Pola kehidupan akan menjadi lebih sederhana, kepedulian terhadap sesama semakin menguat,empati & kesetiakawanan akan semakin tinggi dan kecintaan kepada Allah SWT akan lebih berwujud dalam keseharian kira. Andai semacam ini menjadi buah ramadhan kita, maka memobilisasi rasa kesetiakawanan menjadi alat penggerus kemiskinan lewat aksi saling berbagi, akan sangat mungkin di wujudkan. Apalagi pribadi yg ramadhan telah berhasil membentuk ingatan betapa tidak enaknya lapar. Disamping itu, ketika ramadhan telah membentuk dan bahkan pandangan kita bawa apa2 yg kita raih dan kita miliki semata2 titipan Allah semata, hal ini akan mempertebal kemauan kita mewujudkan rasa syukur dengan berbagi.
Ramadhan tlah usai, ada yg sedih atas kepergiannya dan berujung tanya bernada asa agar dipertemukan lagi ditahun berikutnya, namun ada pula yg kemudian fokus merayakan kemenangan dalam wujud mencukupkan dahaga atas apa2 yg tak mungkin dilakukan saat ramadhan berlangsung, tanpa memperdulikan apakah sesungguhnya kita masuk dalam kategori orang yang berpuasa dengan benar dan layak atau tidak untuk merayakannya. Ramadhan memang telah berlalu, saatnya puasa dalam konteks budaya hidup dan membimbing kita dalam menjalani kesempatan hidup diwaktu berikutnya. Kita perlu berpuasa atas ingin yg sering berlebihan, puasa atas hasrat memperkaya diri sendiri tanpa peduli merugikan orang lain, negara atau lainnya, puasa untuk merasa puas sendiri dan kemudian mempertinggi keinginan saling peduli dan berbagi.
Pada akhirnya, mungkin tak berlebihan berkesimpulan bahwa pola fikir dan tindakan yang diwujudkan di keseharian pasca ramadhan..merupakan salah satu indikator untuk menakar keberhasilan kita dalam ber-ramadhan. KAH???
Saudaraku,sahabatku, tulisan ini bukan bentuk koreksi bagi siapapun, hanya sebatas kontemplasi dan auto koreksi, semoga bisa menginspirasi.
Thanks God..atas Jum'at yg menginspirasi.Para hamba yang ber-Tuhan kan Allah di wajibkan menjalankan perintah bernama puasa di bulan Ramadhan, sebuah ibadah unik yang syarat dengan uji kejujuran,kesabaran dan ketekunan dalam ber-Tuhan. Disamping menahan haus dan lapar, syarat2 sah ibadah ini juga menggiring manusia untuk meniadakan kebiasaan2 buruk, seperti pra sangka, membicarakan kekurangan orang lain dan fikiran2 negatif lainnya. Ragam syarat tersebut sesungguhnya ingin membawa manusia menjadi taqwa. Bahkan, demi murninya moment kesucian ramadhan, Tuhan menegaskan para syaitan di kerangkeng. Dengan demikian, manusia benar2 menjalani puasanya dengan segenap potensi dirinya tanpa adanya pengaruh syaitan sama sekali.
Dalam sesi perjalanan sebuah puasa, tanya muncul kemudian, apakah yang mempengaruhi amarah dan segala tindakan negatif lainnya yang terkadang tak terhindarkan di sepanjang ramadhan. Adakah hal ini semata-mata karena diri kita sendiri tanpa oengaruh syiatan, ataukah sifat2 syaitan telah menyatu dalam diri kita???. Cukupkah "ketiadaan Tuhan di hati" sebagai pembenar keberlangsungan segala tindakan2 keliru itu???. Ataukah sesungguhnya kita telah menjelma menjadi syaitan dengan segala sifat2 buruk nya???.Amarah sering hadir bersamaan dengan berlangungnya puasa. rasa lapar dan haus seolah menjadi pintu pembenar ragam amarah. Tanpa kita sadari, tiap kali amarah itu kita tunjukkan, tiap kali pula senyum simpul dilayangkan kaum fakir dan miskin yang sudah sangat terlatih dengan rasa lapar dan haus di sepanjang Tahun (bukan hanya ramadhan). Bahkan tak jarang mereka menjadi geli menyiksaan kebodohan kita yang semacam ini.
Begitu tiba waktu berbuka puasa tiba, ragam menu berselera tersaji di meja makan, bahkan jumlahnya tak jarang melebihi kemampuan kita untuk menghabiskannya.Bukankah dengan ramadhan kesempatan makan dan minum hanya 2 (dua) waktu, yaitu "sahur dan berbuka"?. Artinya, seharusnya ada akumulasi efisiensi budget tercipta. Namun, fakta sering berkata pengeluaran di ramadhan justru lebih banyak ketimbang bulan2 sebelumnya. Pada titik ini, puasa sebagai media latihan kesederhanaan dipertanyakan. Sayangnya, tanya ini kembali berujung pada kebisuan tak bernada.
Di sepuluh hari terahir ramadhan, fokus fikiran mulai terbagi. aura lebaran membentuk fenomena tersendiri dan unik kalau tidak mau dikatakan tingkat kekhusu'an berpuasa telah terganggu. Ragam persiapan digelar layaknya menyambut sebuah selebrasi yang penuh gengsi. Spirit bertanding dan agar bisa tampil lebih baik dari yg lain di hari fitri sering tak terhindari. Naluri konsumsi kembali membuncah, ramadhan sang peramu kesederhanaan sering tak memperlihatkan bentukannya. Lagi2 efektivitas ramadhan dipertanyakan bagi penganut gaya dan kebiasaan semacam ini.
Dalam konteks idealnya, sesungguhnya ramadhan akan mengembalikan manusia ke fitrahnya, mengembalikan kita pada pola fikir dan pola tingkah sebagaimana tercermin dalam kalam Nya dan sabda rasul-Nya. Dengan demikian, pribadi kita akan menjadi lebih baik dan lebih bijaksana dibanding sebelumnya. Pola kehidupan akan menjadi lebih sederhana, kepedulian terhadap sesama semakin menguat,empati & kesetiakawanan akan semakin tinggi dan kecintaan kepada Allah SWT akan lebih berwujud dalam keseharian kira. Andai semacam ini menjadi buah ramadhan kita, maka memobilisasi rasa kesetiakawanan menjadi alat penggerus kemiskinan lewat aksi saling berbagi, akan sangat mungkin di wujudkan. Apalagi pribadi yg ramadhan telah berhasil membentuk ingatan betapa tidak enaknya lapar. Disamping itu, ketika ramadhan telah membentuk dan bahkan pandangan kita bawa apa2 yg kita raih dan kita miliki semata2 titipan Allah semata, hal ini akan mempertebal kemauan kita mewujudkan rasa syukur dengan berbagi.
Ramadhan tlah usai, ada yg sedih atas kepergiannya dan berujung tanya bernada asa agar dipertemukan lagi ditahun berikutnya, namun ada pula yg kemudian fokus merayakan kemenangan dalam wujud mencukupkan dahaga atas apa2 yg tak mungkin dilakukan saat ramadhan berlangsung, tanpa memperdulikan apakah sesungguhnya kita masuk dalam kategori orang yang berpuasa dengan benar dan layak atau tidak untuk merayakannya. Ramadhan memang telah berlalu, saatnya puasa dalam konteks budaya hidup dan membimbing kita dalam menjalani kesempatan hidup diwaktu berikutnya. Kita perlu berpuasa atas ingin yg sering berlebihan, puasa atas hasrat memperkaya diri sendiri tanpa peduli merugikan orang lain, negara atau lainnya, puasa untuk merasa puas sendiri dan kemudian mempertinggi keinginan saling peduli dan berbagi.
Pada akhirnya, mungkin tak berlebihan berkesimpulan bahwa pola fikir dan tindakan yang diwujudkan di keseharian pasca ramadhan..merupakan salah satu indikator untuk menakar keberhasilan kita dalam ber-ramadhan. KAH???
Saudaraku,sahabatku, tulisan ini bukan bentuk koreksi bagi siapapun, hanya sebatas kontemplasi dan auto koreksi, semoga bisa menginspirasi.
Thanks God..atas Jum'at yg menginspirasi.Para hamba yang ber-Tuhan kan Allah di wajibkan menjalankan perintah bernama puasa di bulan Ramadhan, sebuah ibadah unik yang syarat dengan uji kejujuran,kesabaran dan ketekunan dalam ber-Tuhan. Disamping menahan haus dan lapar, syarat2 sah ibadah ini juga menggiring manusia untuk meniadakan kebiasaan2 buruk, seperti pra sangka, membicarakan kekurangan orang lain dan fikiran2 negatif lainnya. Ragam syarat tersebut sesungguhnya ingin membawa manusia menjadi taqwa. Bahkan, demi murninya moment kesucian ramadhan, Tuhan menegaskan para syaitan di kerangkeng. Dengan demikian, manusia benar2 menjalani puasanya dengan segenap potensi dirinya tanpa adanya pengaruh syaitan sama sekali.
Dalam sesi perjalanan sebuah puasa, tanya muncul kemudian, apakah yang mempengaruhi amarah dan segala tindakan negatif lainnya yang terkadang tak terhindarkan di sepanjang ramadhan. Adakah hal ini semata-mata karena diri kita sendiri tanpa oengaruh syiatan, ataukah sifat2 syaitan telah menyatu dalam diri kita???. Cukupkah "ketiadaan Tuhan di hati" sebagai pembenar keberlangsungan segala tindakan2 keliru itu???. Ataukah sesungguhnya kita telah menjelma menjadi syaitan dengan segala sifat2 buruk nya???.Amarah sering hadir bersamaan dengan berlangungnya puasa. rasa lapar dan haus seolah menjadi pintu pembenar ragam amarah. Tanpa kita sadari, tiap kali amarah itu kita tunjukkan, tiap kali pula senyum simpul dilayangkan kaum fakir dan miskin yang sudah sangat terlatih dengan rasa lapar dan haus di sepanjang Tahun (bukan hanya ramadhan). Bahkan tak jarang mereka menjadi geli menyiksaan kebodohan kita yang semacam ini.
Begitu tiba waktu berbuka puasa tiba, ragam menu berselera tersaji di meja makan, bahkan jumlahnya tak jarang melebihi kemampuan kita untuk menghabiskannya.Bukankah dengan ramadhan kesempatan makan dan minum hanya 2 (dua) waktu, yaitu "sahur dan berbuka"?. Artinya, seharusnya ada akumulasi efisiensi budget tercipta. Namun, fakta sering berkata pengeluaran di ramadhan justru lebih banyak ketimbang bulan2 sebelumnya. Pada titik ini, puasa sebagai media latihan kesederhanaan dipertanyakan. Sayangnya, tanya ini kembali berujung pada kebisuan tak bernada.
Di sepuluh hari terahir ramadhan, fokus fikiran mulai terbagi. aura lebaran membentuk fenomena tersendiri dan unik kalau tidak mau dikatakan tingkat kekhusu'an berpuasa telah terganggu. Ragam persiapan digelar layaknya menyambut sebuah selebrasi yang penuh gengsi. Spirit bertanding dan agar bisa tampil lebih baik dari yg lain di hari fitri sering tak terhindari. Naluri konsumsi kembali membuncah, ramadhan sang peramu kesederhanaan sering tak memperlihatkan bentukannya. Lagi2 efektivitas ramadhan dipertanyakan bagi penganut gaya dan kebiasaan semacam ini.
Dalam konteks idealnya, sesungguhnya ramadhan akan mengembalikan manusia ke fitrahnya, mengembalikan kita pada pola fikir dan pola tingkah sebagaimana tercermin dalam kalam Nya dan sabda rasul-Nya. Dengan demikian, pribadi kita akan menjadi lebih baik dan lebih bijaksana dibanding sebelumnya. Pola kehidupan akan menjadi lebih sederhana, kepedulian terhadap sesama semakin menguat,empati & kesetiakawanan akan semakin tinggi dan kecintaan kepada Allah SWT akan lebih berwujud dalam keseharian kira. Andai semacam ini menjadi buah ramadhan kita, maka memobilisasi rasa kesetiakawanan menjadi alat penggerus kemiskinan lewat aksi saling berbagi, akan sangat mungkin di wujudkan. Apalagi pribadi yg ramadhan telah berhasil membentuk ingatan betapa tidak enaknya lapar. Disamping itu, ketika ramadhan telah membentuk dan bahkan pandangan kita bawa apa2 yg kita raih dan kita miliki semata2 titipan Allah semata, hal ini akan mempertebal kemauan kita mewujudkan rasa syukur dengan berbagi.
Ramadhan tlah usai, ada yg sedih atas kepergiannya dan berujung tanya bernada asa agar dipertemukan lagi ditahun berikutnya, namun ada pula yg kemudian fokus merayakan kemenangan dalam wujud mencukupkan dahaga atas apa2 yg tak mungkin dilakukan saat ramadhan berlangsung, tanpa memperdulikan apakah sesungguhnya kita masuk dalam kategori orang yang berpuasa dengan benar dan layak atau tidak untuk merayakannya. Ramadhan memang telah berlalu, saatnya puasa dalam konteks budaya hidup dan membimbing kita dalam menjalani kesempatan hidup diwaktu berikutnya. Kita perlu berpuasa atas ingin yg sering berlebihan, puasa atas hasrat memperkaya diri sendiri tanpa peduli merugikan orang lain, negara atau lainnya, puasa untuk merasa puas sendiri dan kemudian mempertinggi keinginan saling peduli dan berbagi.
Pada akhirnya, mungkin tak berlebihan berkesimpulan bahwa pola fikir dan tindakan yang diwujudkan di keseharian pasca ramadhan..merupakan salah satu indikator untuk menakar keberhasilan kita dalam ber-ramadhan. KAH???
Saudaraku,sahabatku, tulisan ini bukan bentuk koreksi bagi siapapun, hanya sebatas kontemplasi dan auto koreksi, semoga bisa menginspirasi.
Thanks God..atas Jum'at yg menginspirasi.Para hamba yang ber-Tuhan kan Allah di wajibkan menjalankan perintah bernama puasa di bulan Ramadhan, sebuah ibadah unik yang syarat dengan uji kejujuran,kesabaran dan ketekunan dalam ber-Tuhan. Disamping menahan haus dan lapar, syarat2 sah ibadah ini juga menggiring manusia untuk meniadakan kebiasaan2 buruk, seperti pra sangka, membicarakan kekurangan orang lain dan fikiran2 negatif lainnya. Ragam syarat tersebut sesungguhnya ingin membawa manusia menjadi taqwa. Bahkan, demi murninya moment kesucian ramadhan, Tuhan menegaskan para syaitan di kerangkeng. Dengan demikian, manusia benar2 menjalani puasanya dengan segenap potensi dirinya tanpa adanya pengaruh syaitan sama sekali.
Dalam sesi perjalanan sebuah puasa, tanya muncul kemudian, apakah yang mempengaruhi amarah dan segala tindakan negatif lainnya yang terkadang tak terhindarkan di sepanjang ramadhan. Adakah hal ini semata-mata karena diri kita sendiri tanpa oengaruh syiatan, ataukah sifat2 syaitan telah menyatu dalam diri kita???. Cukupkah "ketiadaan Tuhan di hati" sebagai pembenar keberlangsungan segala tindakan2 keliru itu???. Ataukah sesungguhnya kita telah menjelma menjadi syaitan dengan segala sifat2 buruk nya???.Amarah sering hadir bersamaan dengan berlangungnya puasa. rasa lapar dan haus seolah menjadi pintu pembenar ragam amarah. Tanpa kita sadari, tiap kali amarah itu kita tunjukkan, tiap kali pula senyum simpul dilayangkan kaum fakir dan miskin yang sudah sangat terlatih dengan rasa lapar dan haus di sepanjang Tahun (bukan hanya ramadhan). Bahkan tak jarang mereka menjadi geli menyiksaan kebodohan kita yang semacam ini.
Begitu tiba waktu berbuka puasa tiba, ragam menu berselera tersaji di meja makan, bahkan jumlahnya tak jarang melebihi kemampuan kita untuk menghabiskannya.Bukankah dengan ramadhan kesempatan makan dan minum hanya 2 (dua) waktu, yaitu "sahur dan berbuka"?. Artinya, seharusnya ada akumulasi efisiensi budget tercipta. Namun, fakta sering berkata pengeluaran di ramadhan justru lebih banyak ketimbang bulan2 sebelumnya. Pada titik ini, puasa sebagai media latihan kesederhanaan dipertanyakan. Sayangnya, tanya ini kembali berujung pada kebisuan tak bernada.
Di sepuluh hari terahir ramadhan, fokus fikiran mulai terbagi. aura lebaran membentuk fenomena tersendiri dan unik kalau tidak mau dikatakan tingkat kekhusu'an berpuasa telah terganggu. Ragam persiapan digelar layaknya menyambut sebuah selebrasi yang penuh gengsi. Spirit bertanding dan agar bisa tampil lebih baik dari yg lain di hari fitri sering tak terhindari. Naluri konsumsi kembali membuncah, ramadhan sang peramu kesederhanaan sering tak memperlihatkan bentukannya. Lagi2 efektivitas ramadhan dipertanyakan bagi penganut gaya dan kebiasaan semacam ini.
Dalam konteks idealnya, sesungguhnya ramadhan akan mengembalikan manusia ke fitrahnya, mengembalikan kita pada pola fikir dan pola tingkah sebagaimana tercermin dalam kalam Nya dan sabda rasul-Nya. Dengan demikian, pribadi kita akan menjadi lebih baik dan lebih bijaksana dibanding sebelumnya. Pola kehidupan akan menjadi lebih sederhana, kepedulian terhadap sesama semakin menguat,empati & kesetiakawanan akan semakin tinggi dan kecintaan kepada Allah SWT akan lebih berwujud dalam keseharian kira. Andai semacam ini menjadi buah ramadhan kita, maka memobilisasi rasa kesetiakawanan menjadi alat penggerus kemiskinan lewat aksi saling berbagi, akan sangat mungkin di wujudkan. Apalagi pribadi yg ramadhan telah berhasil membentuk ingatan betapa tidak enaknya lapar. Disamping itu, ketika ramadhan telah membentuk dan bahkan pandangan kita bawa apa2 yg kita raih dan kita miliki semata2 titipan Allah semata, hal ini akan mempertebal kemauan kita mewujudkan rasa syukur dengan berbagi.
Ramadhan tlah usai, ada yg sedih atas kepergiannya dan berujung tanya bernada asa agar dipertemukan lagi ditahun berikutnya, namun ada pula yg kemudian fokus merayakan kemenangan dalam wujud mencukupkan dahaga atas apa2 yg tak mungkin dilakukan saat ramadhan berlangsung, tanpa memperdulikan apakah sesungguhnya kita masuk dalam kategori orang yang berpuasa dengan benar dan layak atau tidak untuk merayakannya. Ramadhan memang telah berlalu, saatnya puasa dalam konteks budaya hidup dan membimbing kita dalam menjalani kesempatan hidup diwaktu berikutnya. Kita perlu berpuasa atas ingin yg sering berlebihan, puasa atas hasrat memperkaya diri sendiri tanpa peduli merugikan orang lain, negara atau lainnya, puasa untuk merasa puas sendiri dan kemudian mempertinggi keinginan saling peduli dan berbagi.
Pada akhirnya, mungkin tak berlebihan berkesimpulan bahwa pola fikir dan tindakan yang diwujudkan di keseharian pasca ramadhan..merupakan salah satu indikator untuk menakar keberhasilan kita dalam ber-ramadhan. KAH???
Saudaraku,sahabatku, tulisan ini bukan bentuk koreksi bagi siapapun, hanya sebatas kontemplasi dan auto koreksi, semoga bisa menginspirasi.
Thanks God..atas Jum'at yg menginspirasi.
Posting Komentar
.