KELAKAR SANG BUDAYAWAN AHMAD TOHARI TENTANG
“DISIPLIN WAKTU & PENJUAL BUKU BAJAKAN”
(Pwt/19/04/18). Pagi
menjelang siang ini terasa menjadi begitu special sebab tidak ada angin tidak
ada hujan bisa bertemu dan bahkan duduk bersebelahan dengan seorang budayawan kharismatik
kelahiran Banyumas, Kang Achmad Tohari. Kami dipertemukan oleh satu agenda di Kota Purwokerto.
Pada undangan acara itu tertulis
jam 09.00 Wib, namun sampai jam menunjukkan pukul 09.05 Wib acara belum dimulai.
Bangku depan yang dikhususkan untuk tamu VVIP baru terisi beberapa saja.
Demikian halnya juga di barisan tamu undangan juga masih jauh dari penuh . Sambil menungggu acara dimulai, para tamu yang
sudah datang lebih dahulu pun berinisiatif membinglai pembicaraan ringan satu
sama lain, dengan orang yang duduk disebelah atau juga orang yang didepannya,
tak terkecuali penulis yang kebetulan bersebelahan
dengan Bung Ahmad Tohari. disisi kanan beliau
ada Pak Amir yang kali hadir mewakil Danrem.
Perbincangan ringan ngalor
ngidul itu pun berlangsung gayeng tanpa tema yang terencana tentunya. Namanya juga perjumpaan dadakan, jadi semua
hanya menyesuaikan saja kemana arah angin pembicaraan. Lagian pula,
perbincangan ini hanya sekedar mengisi waktu sampai sang announcer memberi aba-aba bahwa acara akan dimulai.
Pak Amir membuka
perbincangan seputar apresiasi dan hormat nya
terhadap karya dan novel & cerpen yang disusun oleh Sang Budayawan.
Apresiasi semacam ini memang sangat layak disematkan pada Kang Ahmad Tohari mengingat
beberapa novel dan cerpen-nya memang keren dan satu diantaranya adalah Ronggeng Dukuh Paruk , sebuah cerita
fiksi yang demikian fenomenal dan bahkan sudah diterjemahkan ke dalam beberapa
bahasa asing seperti Jepang, Belanda, Jerman dan Inggris.
Berawal dari cerita novel,
kemudian sampailah pada perbincangan
tentang titik-titik edar dimana karya bisa didapati, mulai dari perpustakaan, distributor,
percetakan, toko resmi sampai dengan pasar lowak dan bahkan pasar ndak jelas. Yang
menjadi soal adalah adanya praktek oenjualan karya KW alias not orisinil tanpa seizin sang pencpta
karya atau percetakan pemilik hak copy
right-nya. Sampai di titik ini, penulis pun langsung penasaran apa komentar
sang budayawan senior ini. Apakah beliau menunjukkan ekspresi marah dengan barisan
penjual buku bajakan itu?.
Jawaban beliau sungguh
diluar dugaan. Dengan tenang, santun dan lemah lembut penuh kebijaksanaan
beliau mengatakan, “ saya tidak marah dan bahkan
kasihan pada mereka mengapa harus mencari rezeki dengan cara seperti itu. Insha
Allah saya sudah kenyang (baca: merasa cukup) sehingga tidak perlu merasa
was-was dengan tindakan-tindak semacam itu. Saya hanya kasihan pada mereka”,
ungkap beliau. Mendengar jawaban bijak
semacam itu, saya dan pak amir hanya bisa terdiam sambil memandang beliau. “Ini
kebijaksanaan tingkat tinggi”, bisik penulis dalam bathinnya sendiri.
Satu per satu kursi depan mulai terisi dan demikian juga halnya di area kursi barisan belakang. Namun, sampai jam
09.15 acara belum juga dimulai. Perbincangan ngalor ngidulpun berlangsung dan
sesekali dibarengin tersenyum dan tertawa bersama. Mungkin karena acara belum
juga dimulai, kami pun tergoda membahas
tentang “waktu & kedisiplinan”. Pak Amir yang berlatar belakang
TNI tentu sangat setuju dalam urusan kesisiplinan. Bagi mereka, urusan waktu & kedisiplinan
adalah harga mati yang tidak pernah bisa ditawar.

“kita
sulit berharap mendapati bangsa ini maju kalau urusan waktu saja kita tidak pernah
serius”, ungkap beliau. Setelah menghela nafas sebentar beliau
melanjutkan, “Orang
sering bilang saya blo’on karena
tetap hadir tepat waktu di setiap acara. Tetapi hal itu tidak mengendorkan saya
untuk tetap berprinsip demikian. Bahkan, saya berfikir hanya orang blo’on-lah
yang mengkategorikan saya blo’on ketika bersikeras untuk memegang
teguh disiplin waktu”, kelakar Budayawan
Kondang Banyumas yang disambut tawa bahak penulis dan juga pak amir.
Membincang tentang waktu memang sesuatu yang sulit dan bahkan "terlambat dimulainya acara" seperti sudah budaya turun temurun hingga kini. Namun demikian, sebagai penawar sekaligus belajar untuk menjadi lebih bijak, tak ada salahnya berpandangan bahwa keterlambatan mereka ke suatu acara mungkin disebabkan oleh saking banyaknya orang yang harus dilayani, sehingga keterlambatan pun tak mungkin dihindari.
Posting Komentar
.