KETIKA AKU BEGITU MERINDU...
Aku rindu mandersa (surau/musholla) milik Kakek (orang
tua dari bapakku). Aku rindu menapaki tangganya setahap demi setahap sampai menuju manara puncak (lantai 03). dimana aku biasa menyuarakan azan tanpa bantuan microphone. Tak peduli suaraku bagus atau tidak, dogma tentang
kemuliaan mengumandangkan azan telah membangunkan percaya diri untuk melengkingkan satu persatu kalimat azan itu sampai selesai.
Aku sering menaiki tangga itu sendirian dan terkadang barengan dengan adik-adik ayahku yang umurnya hanya
selisih satu atau dua tahun saja. Kami sering
berebut kesempatan memukul kentong sekeras-kerasnya
untuk mengabarkan pada semua orang kalau waktu sholat telah tiba.
Tak kalah serunya saat Bulan Ramadhan dimana bunyi kentong maghrib demikian magis-nya bagi
siapapun yang sedang berpuasa, khususnya anak-anak seusia kami saat itu. Terkadang sengaja menghabiskan bekal buka
puasa yang sengaja kami bawa dari bawah, sesudahnya baru memukul kentong. Kebiasaan buruk ini pun membuat Sang Kakek marah karena
terlambat memukul kentong gara-gara aksi nyeleneh nan egois itu.
Mandersa ini juga tempat diriku digembleng mengenal
huruf dan belajar mengaji. Aku masih ingat begitu sering beranjak dari ruang belajar mengaji dengan alasan mau melihat jam dinding ruang persujudan
untuk memastikan apakah waktu sholat Isya
sudah masuk atau belum. Kalau sudah masuk, maka ini menjadi alasan tak terbantahkan
untuk meninggalkan ruang belajar mengaji dan kemudian mengumandangkan azan di
menara mandersa dengan penuh percaya diri. Sejujurnya, ini strategiku menghindari
giliran membuktikan kebenaran tajwid
membaca alqur’an dihadapan Sang Guru yang tak lain adalah kakekku sendiri. Masih
terngiang suara nenek kala mencontohkan dan membimbing cara membaca Alqur’an
dengan baik. Uniknya, beliau melakukannya dari seberang posisi duduk sila para murid-muridnya
(sehingga beliau membacanya dari sisi terbalik).
Akupun rindu
suasana tadarusan ramadhan tiap
kali usai sholat tarawih. Ketukan kaleng menjadi momok bagi siapapun sebab suaranya bak
palu hakim dan penanda hilangnya hak peserta tadarusan dalam
melantunkan ayat Alqur’an. Inilah aturan baku yang berlaku dimana setiap peserta tadarus yang sedang dapat
giliran melantunkan ayat Alqur’an wajib menghentikan bacaannya bila terkoreksi oleh 3
(tiga) kali ketukan dari peserta tadarus lainnya.
Tak jarang aturan main ini menjadi awal lahirnya dendam antara satu peserta dengan peserta lainnya. Kejengkelan pun sering muncul kala harus berhenti
di ayat pertama hanya karena keliru dalam membunyikan huruf dan atau salah
dalam urusan panjang pendek. Namun demikian, tanpa disadari aturan ini telah
melahirkan begitu banyak pelajaran bagi kami, mulai dari berhati-hati dalam
melantunkan ayat, bersabar menunggu setiap giliran, berfikir cermat & kritis,
berani ambil resiko, belajar berbesar jiwa dan lain sebagainya.
Masih seger diingatan seputar aksi nakal bersama
temen sebaya yang kebanyakan sedang memasuki masa puber. Kain Tabir pembatas
barisan peserta tadarus pria dan wanita selalu
menjadi media kreativitas negatif.
Membuat lobang kecil pada kain tabir menjadi cara demi bisa melihat barisan wanita yang sedang
mengaji dan atau sedang menyimak. Kami pun tak jarang berebut kesempatan memaksimalkan
lubang kecil magis di kain tabir itu sebagai media menyampaikan pesan yang
tertulis dalam secuil kertas. Ujung-ujungnya, aksi ini pun tidak jarang menjadi
muasal tumbuhkembangnya benih cinta monyet diantara para peserta
tadarusan. Disisi lain, pemanfaatan lubang magis ini pun selalu menjadi muasal jeweran bila ketahuan sang guru/pendamping tadarusan.
Aku pun sedang merindukan saat di setiap sore berangkat
ke Madrasah Ibtidaiyah, Dengan peci dikepala berikut tas berisikan kitab, ku
kayuh sepeda BMX kebanggaanku
lengkap dengan termos es lilin yang setia
menempel di bagian belakang. Masih kuat
di memoriku saat para Ustadz/ah menyampaikan ragam pelajaran seperti fiqih,
hadist, bahasa arab, imlak, nahu, shorof, tarikh, lughot dan lainnya.
Terlepas ilmu agama hanya kudalami sampai MTs (Madrasad Tsanawiyah), setidaknya deretan pelajaran itu telah menjadi bekal mengisi perjalanan waktu, menemani dalam menghadapi rintangan hidup penuh dinamika dan drama nan melelahkan, menjadi penyemangat saat akal lumpuh memakna realitas hidup dan atau sedang terjebak dalam ragam soal yang tak kunjung bertemu jawab.
Aku sedang merindu...merindu masa kecil yang kental
dengan lingkungan religius yang begitu mendamaikan
dan menentramkam jiwa, sebuah masa yang telah membawaku ke kehidupan saat ini. Kerinduan ini berujung harap terbangun spirit untuk belajar agama lebih giat lagi, agar terbimbing menjadi pribadi yang lebih baik lagi....Aaamiin.
Posting Komentar
.