Sudirman
Cup dan Pesan Moral Pegelaran Sebuah Turnamen
![]() |
sumber fhoto : bola.com |
Sudirman Cup, menjadi bagian dari deretan
rangkaian pegelaran kompetisi temporal mengingat belum digelarnya kompetisi
resmi akibat perseteruan yang belom berujung antara PSSI dan Pemerintah.
Sebelumnya juga digelar Piala Presiden yang menghasilkan Persib Bandung sebagai
Juaranya. DI propinsi Jawa Tengah pernah di gelar Kapolda Cup dan ditingkat
kabupaten gelar Bupati Banyumas Cup dimana Persak Kebumen keluar sebagai
juaranya. Bahkan saat tulisan ini disusun, Bupati Cilacap pun sedang
berlangsung. Di daerah-daerah lain juga
banyak di gelar turnamen-turnamen temporal sebagai pengisi kosongnya kompetisi
resmi akibat perseteruan para petinggi yang tak bertemu solusi.
Perhelatan kompetisi-kompetisi non-resmi ini pun
menular mulai tingkat lokal, regional sampai di kampung2 yang populer di sebut
dengan istilah Tarkam. Uniknya,
setingkat tarkam pun tak jarang menghadirkan para pemain be-label nasional, mulai dari pemain level
divisi utama sampai dengan bintang sepak bola selevel ISL. Sepertinya di lingkaran pemain, kelangsungan
hidup telah menggerus ego level walau harus berhadapan dengan resiko tinggi dimana kemungkin cedera
fatal sangat mungkin terjadi. Bagaimanapun juga, ketika para pemain profesional
berada diantara pemain non-profesional, ada kemungkinan mereka menjadi korban
dari taktik kotor seperti tackling keras
demi ego kemenangan kampungnya. Emosi yang belum tertata dan sikap yang jauh
dari sikap sportivitas dari sebagian pemain kelas kampung itu sangat mungkin
berakibat fatal dimana para pemain-pemain potensial yang sudah listing
di high
level akan menjadi sasaran. Kala
ini terjadi, bukan saja pemain tersebut yang akan di rugikan secara pribadi
berupa kemungkinan tidak merumput lagi di lapangan hijau, tetapi juga negara
dalam arti kehilangan insan-insan bola ber-skill
istimewa yang berpotensi mengharumkan nama bangsa lewat olah raga.
Mungkin atau bahkan pasti sangat berbeda
dengan tarkam, pegelaran Presiden Cup atau Sudirman Cup pasti di kelola oleh
para profesional yang memiliki record dan segudang pengalaman yang
tidak diragukan lagi dalam mengelola sebuah turnamen. Hal ini terlihat
bagaimana kualitas pegelaran yang hampir sama dan atau bahkan lebih baik
dibandingkan dengan pegelaran kompetisi resmi. Animo masyarakat dan pecinta
sepakbola tanah air juga begitu antusias hadir setiap kali tim atau club sepak
bola kesayangan mereka bertanding. Kita
lihat bagaimana Stadion Gelora Bung Karno penuh penonton saat Persib Bandung
lawan Sriwijaya Palembang di Piala Presiden. Hal serupa juga terlihat saat
pegelaran partai final Sudirman Cup yang pada partai final menampilkan Mitra
Kukar dan Semen Padang. Bahkan hujan yang mengguyur tak menyurutkan semangat
para fans untuk tetap hadir dan memberi dukungan secara langsung kepada tim
kesayangannya.
Pegelaran turnamen sepertinya menjadi “obat
rindu” masyarakat pencinta dan penggila bola tanah air. Besarnya animo
masyarakat menunjukkan bahwa cinta terhadap sepak bola dan tim kesayanganya
begitu menubuh sampai mereka tak peduli dengan istilah kompetisi
resmi atau hanya sebatas turnamen.
Namun demikian, dari sisi pembinaan dan
kontinuitas prestasi, belum adanya
kepastian pegelaran turnamen resmi membuat peta kekuatan tidak menemukakan peta
idealnya. Sebab, banyak klub yang melakukan strategi instan dengan membangun
satu tim yang bukan dari hasil pembinaan jangka panjang, tetapi langsung
merekrut para pemain yang sudah jadi atau sudah punya nama besar. Kondisi ini didukung pula oleh situasi
ekonomi mayoritas pemain sepak bola tanah air yang terguncang oleh
ketidakpastian kompetisi. Pada pola
pembentukan tim yang demikian, disatu sisi memang sangat mungkin bisa
melahirkan kejayaan instan, tetapi disisi dimungkinkan masuknya unsur-unsur
non-teknis sepak bola yang tidak relevan dengan keterbentukan prestasi jangka
panjang.
Mungkin turnamen semacam Presiden Cup dan Sudirman
Cup efektif menjadi penghibur atau obat rindu bagi masyarakat penggila atau
pencinta sepak bola. Mungkin pegelaran turnamen-turnamen semacam ini bisa
menjawab kelanjutan hidup para pemain yang rata-rata hanya memiliki skill dan
mengandalkan hidup dari sepak bola. Pegelaran turnamen semacam ini pun
mendatangkan efek ekonomis yang multiplier effect, mulai dari
penyelenggara, tim peserta, para pemain, stasiun televisi dan tak ketinggalan
pula para pedagang jersey, pedagang di lingkungan stadion, catering, hotel,
transportasi dan lain sebagainya. Artinya dahaga hobby dan ekonomi menemukan
titik matching nya.
Menarik untuk menebar tanya, adakah realitas
kecintaan dan kerinduan masyarakat sepak bola tanah air menjadi inspirasi
segenap pihak yang sedang berseberangan
dan memiliki kewenangan untuk membangun bijak sehingga solusi terbentuk
dan kompetisi resmi segera di gelar?. Ataukah mereka tetap berdiri diatas ego
kelompok dan tetap kekeh terhadap pendirian masing-masing?. Yang jelas,
tertundanya kompetisi resmi telah menimbulkan multi efek dan ragam
persoalan kemanusiaan seperti nasib para pemain bola yang terkatung-katung
ditengah hidup yang harus terus berlanjut. Sayangnya, para pemain hanya bisa
mendefenisikan ini sebagai “nasib” walau tak sampai men-judge
ini sebagai “takdir”.
Sementara itu, ragam kesedihan bernada ekonomi di
lingkungan pemain sepak bola sebagai akibat tidak adanya kompetsi, memberi pesan
bijak pada sisi pembinaan yaitu tentang masa depan pemain pasca
tidak merumput lagi di lapangan hijau. Banyak data menunjukkan betapa
dramatisnya nasib pemain pasca tidak menjadi seorang atlit olah raga lagi. Apa
yang mereka alami pasca pensiun seolah mereka tidak pernah di idolakan, seolah
mereka tidak pernah melahirkan nama harum satu daerah, seolah mereka tidak
pernah berbuat sesuatu yang sesungguhnya sangat berarti. Kondisi semacam ini
tidak saja terjadi pada cabang olah raga sepak bola, tetapi hampir di seluruh
cabang olah raga tanah air.
Oleh karena itu, idealnya para pemain tidak saja
dijejali tentang skill sepak bola dan mengabaikan lainnya. Pada diri pemain
juga harus dibangun karakter dan skill lainnya yang bisa membuat mereka memilki
banyak pilihan pasca pensiun dari lapangan hijau. Demi kepentingan prestasi,
pada diri mereka memang perlu dibangun patriotisme dalam membela satu daerah
atau negara, tetapi pada diri mereka juga perlu dibangun patriotisme dalam
membangun masa depan diri mereka yang berkelanjutan. Hal ini tidak saja menjadi kebutuhan pemain,
tetapi juga harus dipandang sebagai tanggungjawab dan kewajiban moral sebuah
klub terhadap para pemainnya. Akan KAH?
Selamat Untuk Mitra Kukar Selaku Juara Piala Sudirman Cup...
Sebuah Pencapaian Fantastic....!!!!!
Selamat Untuk Mitra Kukar Selaku Juara Piala Sudirman Cup...
Sebuah Pencapaian Fantastic....!!!!!
Posting Komentar
.