PERMOHONAN “MAAF”
YANG BERULANG DIKESEMPATAN SERUPA
Idul Fitri pun datang kala ramadhan tlah berujung yang ditandai gema takbir di setiap sudut
kampung berpenduduk mayoritas muslim. Idul Fitri sering didefenisikan
sebagai hari kemenangan setelah sebulan lamanya berjuang dengan pengekangan
nafsu, haus dan lapar yang terdefenisi dalam sebutan “berpuasa”. Kemenangan ini pun sering di intrepretasikan ke dalam
tindakan-tindakan bernuansa perayaan. Bahkan, persiapan kemenangan sepertinya telah menjadi faktor penyebab utama majunya shaf-shaf tarawih di masjid pada 10
(sepuluh) hari terakhir ramadhan, sebab di hari-hari itu banyak yang
menyibukkan diri dalam aktivitas persiapan lebaran. Pada situasi ini, substansi
ramadhan tampaknya mengalami degradasi penghayatan. Puasa 20 (dua) puluh hari di sebelumnya
tampaknya belum mampu menahan laju ingin untuk kemudian tetap berdiri tegak dan khusu' di
shaf-shaf tarawih yang sesungguhnya lebih menjanjikan kebahagiaan hakiki. Inikah yang disebut keterjebakan manusia dalam
semu?. Wallahu a’lam....
Lebaran juga identik dengan “bermohon dan sekaligus menebar maaf”.
Aura magis idul fitri telah melahirkan kelapangan hati pada banyak orang untuk melebur
akumulasi kekeliruan dalam satu kata “maaf”, mulai seorang suami pada istrinya, seorang
ibu/bapak kepada anaknya, seorang teman degan teman lainnya, seorang sohib
dengan sahabatnya dan bahkan seorang lelaki dengan mantan kekasih hatinya. Semua
lebur dalam jabat tangan yang disertai kalimat yang bernada serupa. Ramadhan
yang syarat dengan nilai-nilai maghfiroh tampaknya telah membukakan hati untuk bermurah maaf.
Mungkin kurang tepat men-soal apakah dalam tradisi bermaafan semacam
ini berlangsung dalam situasi tulus dan ikhlas, karena itu sudah menjadi
rahasia pribadi masing-masing. Tak bijak pula mengkomparasi tingkat kekhusu’an dan kesahihan “bertatap
muka langsung” dengan “sekedar ucapan dan permohonan maaf via sms atau video
conference”. Kurang arif juga menakar keseriusan “broadcasting ucapan dan permohonan maaf” yang banyak dilakukan para
pemilik dan penikmat Black Barry. Kurang patut juga mempertanyakan apakah “kekeliruan
dan salah” yang lebur dalam aksi salam-salaman juga bermakna “lebur atau terhapus”
di pandangan Allah SWT. Yang jelas, semua berharap aksi "saling memaafkan" yang terucap di lebaran sejalan dengan
penghapusan dosa dalam catatan Tuhan, walau mungkin bisa dibayangkan betapa sibuknya
malaikat pencatatan amal manusia untuk menghapus catatan-catatan keburukan yang
pernah tertuliskan. Tetapi, kurang tepat juga kalau kemudian menyebut malaikat pasti
lelah dan sangat sibuk di setiap lebaran tiba, sebab malaikat punya cara kerja sendiri
yang pasti berbeda dengan cara manusia melakukan aktivitas dan tanggungjawabnya.
Teringat tema “pertaubatan” dimana “penerimaan” terjadi
bila ada kesadaran atas ragam kesalahan dan bertekad untuk tidak mengulangnya dan sekaligus memperbaiki diri.
Artinya, pasca bertaubat, idealnya seseorang berubah menjadi manusia yang jauh lebih
baik dari sebelumnya dan berusaha untuk selalu lebih mendekat pada-Nya. Adakah
hal serupa berlaku dalam “tradisi bermaafan” di momen lebaran
idul fitri?. Adakah benar permaafan yang terlafalkan identik dengan score 0-0
(baca: kosong-kosong) ?. Ataukah “peleburan maaf” dijadikan pembenar untuk
kembali menjadi pribadi sebelumnya sebab berkeyakinan akan memiliki kesempatan memohonkan maaf kembali di lebaran berikutnya?. Persoalannya adalah
apakah ada kepastian bagi setiap orang akan bertemu kembali di Idul Fitri berikutnya.
Selamat menikmati sisa lebaran yang sebagian mungkin terbatasi
oleh waktu cuti dan harus segera kembali ke kota perjuangan hidup. Semoga, segala pengeluaran dan pengorbanan
demi perayaan idul fitiri demi “menjemput dan sekaligus menebar maaf” bukanlah sebuah ke-sia-sian, tetapi sesuatu yang di nilai Allah SWT sebagai
sebuah ibadah dan kebaikan yang akan mempertinggi drajat dihadapan-Nya. Amin Ya Robbal ‘Alamin.....
Posting Komentar
.