
Entah sudah menjadi kebiasaan atau gimana sebenarnya, shaf-shaf Isya dan tarawih mesjid kian maju ke depan seiring dengan semakin dekatnya lebaran. Apakah dikarenakan jama'ah lebih menyibukkan diri dalam agenda persiapan menghadapi lebaran seperti buat kue dan mencari pakaian baru?. Entahlah, yang jelas fenomenda ini hampir berulang setiap tahunnya. Adakah ini menandakan belum tertangkapnya "nilai-nilai kesucian" yang terkandung dalam ramadhan ?. Ataukah ini sebentuk "pesan bijak"
bagi para alim ulama, kyai, peng-khutbah dan para guru agar mencari "metode" yang lebih up to date sehingga "Ramadhan" bisa efektif menjadikan pola hidup keseharian bergeser ke arah yang lebih berkualitas?.
Disisi lain, beberapa tanya selalu berputar dikepala; adakah budaya mudik telah menggugurkan kewajiban berpuasa?. layakkah "mudik" sebagai pembenar untuk berpredikat sebagai musafir yang mendapat keringanan dalam urusan kewajiban berpuasa?.Apakah teknologi yang serba canggih tak cukup bisa mewakili "sungkem dan permohonan maaf" sehingga mudik tidak menjadi seperti sebuah kewajiban?.
Serangkaian tanya itu hanyalah tanya dimana penulispun tak punya fakta cukup untuk berkesimpulan dan juga belum memiliki ilmu komplit untuk menjawabnya...walau mungkin ada baiknya sederetan tanya itu menjadi bahan kontemplasi kaitannya dengan cita-cita setiap orang menjadi pribadi yang lebih baik melalui ramadhan.
Idul Fitri memang fenomenal di negeri berpenduduk mayoritas Islam ini. Idul fitri sebagai pertanda berakhirnya Bulan Suci Ramadhan dan juga tibanya hari kemenangan sesudah berpuasa sebulan lamanya. Oleh karena itu, tak pelak lagi kalau kemudian hari kemenagan ini juga didefenisikan sebagai hari raya.

Sebagai gambaran saja sampai tulisan ini diturunkan (15/07/2015), data BI (Bank Indonesia) Purwokerto menunjukkan angka penarikan uang tunai sebesar p 3,3T, naik Rp 600milyar dibanding lebaran tahun 2014. Ini menunjukkan bagaimana kecenderungan masyarakat yang mengambil tabungannya demi merayakan idul fitri. Fakta ini seolah membenarkan bahwa Lebaran selalu identik dengan lonjakan konsumsi.
dari sudut pandang berbeda, mungkin lebih bijak untuk tidak memandang lonjakan konsumsi ini sebagai bentuk kegagalan ramadhan, manakala lonjakan berasal dari meningkatnya kesadaran ummat dalam hal bersedekah dan mengembangkan kepedulian lewat aksi berbagi. Kalau hal ini yang menjadi faktor dominan, maka menjadi menarik untuk bisa mempertahankan budaya konsumtif semacam ini. Bahkan layak dibudayakan dijadikan strategi untuk mengakselerasi pertumbuhan ekonomi. hal ini menjad sangat mungkin mengingat adanya pandangan dan keyakinan kuat "berbagi atau memberi identik dengan pelipatgandaan rezeki". Tentu aksi semacam ini jauh berbeda dengan aksi pelipatgandaan uang. Namun demikian, lonjakan konsumsi ini juga akan menjadi tidak baik, kalau ternyata persepsi kurang tepat tentang makna iedul fitri sebagai pendorongnya. Sebab hal ini akan menjebakkan diri pada pemaksaan yang seharusnya tidak perlu untuk dilakukan.
Ah sudahlah..saat ini bukan waktu yang tepat untuk mempersoalkannya sebab bisa jadi akan mendapat reaksi keras dari kaum ibu yang saat ini mungkin sedang asik berburu keinginan di pasar atau sedang antri di salon untuk mempercantik diri hingga tempak lebih muda dari usia senyatanya . Lihatlah betapa pusat-pusat perbelanjaan sesak oleh lautan manusia seolah takut tidak kebagian. Lihat pula pasar tradisional yang berburu ketupat dan juga panjangnya antrian di rumah-rumah pemotongan ayam . Sepertinya, "bayang kupat opor" di kepala setiap orang telah menjadikan mereka tertib dan begitu sabar menunggu giliran untuk mendapatkan ayam.
"opor kupat ayam" memang sudah menjadi ikon lebaran dan bahkan seperti sudah menjadi menu wajib. Artinya, tidak sah lebaran kalau tak ada sajian opor ayam. Sesaat terbersit rasa kasian terhadap kaum ayam yang jiwanya terancam sebab bayang penyembelihan terasa begitu dekat. Kaum ayam telah menjadi pihak yang harus merelakan diri menjadi bagian penting dari sebuah perhelatan bertajuk "lebaran", semoga kepergian dan pengorbanan mereka tak sia-sia dihadapan-Nya dan juga tidak mendatangkan keburukan bagi para pencicipnya. Tetapi, mungkin kepedulian semacam ini hanya menjadi bahan joke atau tertawaan banyak orang, apalagi sampai dimobilisasi menjadi gerakan "save ayam"dipastikan sepi pendukung, sebab kalimat "opor ayam" sudah identik dengan "lebaran". Bahkan, aura kasta opor ayam lebih tinggi satu tingkat diatas baju lebaran dan lebih rendah satu tingkat dibawah agenda sungkeman.
Purwokerto, 15 Mei 2015
Insoirasi ditengah antrian
di sebuah rumah pemotongan ayam....
Posting Komentar
.