ME-REPOSISI
MINDSET BERKOPERASI
SEBAGAI
STRATEGI MENYAMBUT PEMBERLAKUAN MEA
(MASYARAKAT
EKONOMI ASEAN)
A. Pembuka
Akhir-akhir ini,
Masyarakat Ekonomi ASEAN atau lebih dikenal dengan istilah MEA banyak ditemakan
dalam berbagai kegiatan ilmiah semacam seminar, lokakarya dan aktivitas sejenis
lainnya. Demikian pula di kalangan pelaku usaha, MEA hangat dibicarakan.
Akademisi maupun para pengamat tidak mau ketinggalan men-temakan MEA secara
serius dari berbagai sudut pandang masing-masing berikut analisa implikasinya.
Secara sederhana
MEA adalah penyatuan pasar di kawasan ASEAN. Penyatuan ini menjadikan batas
antar negara seolah-olah menjadi hilang. Bagaimana tidak, kala MEA diberlakukan
maka akan berlangsung apa yang disebut free flow (arus bebas) dalam hal barang dan jasa, sumber daya manusia
dan modal (baca: investasi). Pemberlakukan Free flow menjadi bagian hangat dari setiap pembicaraan
yang terjadi. Sebagian melihat free flow sebagai peluang dan
sebagian lainnya melihat sebagai ancaman serius. Sejalan dengan hal itu,
sebagian pihak pun berpendapat Indonesia masih jauh dari siap untuk menyambut kedatangan
MEA dan sebagian lainnya meng-claim
bahwa Indonesia sudah benar-benar siap. Kedua kelompok ini memiliki dasar argumennya
sendiri-sendiri.
Terlepas dari 2
(dua) pendapat yang bertolakbelakang itu, satu hal yang pasti bahwa kedatangan MEA
adalah sesuatu pasti sebagaimana telah menjadi kesepakatan para pemimpin negara-negara dikawasan ASEAN, termasuk Indonesia.
Kedatangannya yang tidak mungkin di tolak menyebabkan satu-satunya pilihan yang
tersedia adalah men-sikapinya.
B. 2 (dua) Pilihan Sikap Yang
Terbuka
Berkaitan dengan
pemberlakuan MEA, Ada 2 (dua) pilihan sikap yang terbuka, yaitu menyambutnya
dengan optimis dan atau pesimis. Masing-masing pilihan memiliki
konsekuensinya sendiri-sendiri. Ketika memilih optimis, maka energi akan
terfokus untuk melakukan serangkaian persiapan sehingga kedatangan MEA akan
bernilai harapan. Sebaliknya, ketika pesimis yang dipilih sebagai sikap,
maka dipastikan MEA akan dipandang sebagai ancaman serius yang menakutkan. Ironisnya
ketakutan selalu efektif menjadi faktor yang memperlemah semangat untuk
melakukan sesuatu. Namun demikian, bagi kalangan penyuka tantangan, menyerah adalah kata yang pantang
kecuali kematian benar-benar datang.
Tulisan ini mendasarkan
pada sikap optimis dan memandang MEA
adalah sebuah peluang. Free Flow
barang/jasa, SDM dan modal/Investasi
kala MEA diberlakukan merupakan inspirasi energi untuk berbuat lebih
baik lagi. Alasannya sederhana, pemberlakuan MEA merupakan kesempatan besar untuk;
(i) memperluas market dengan segala kemudahannya dan; (ii) kesempatan besar
meng-ekspansi usaha ke negara-negara ASEAN baik untuk memperluas market maupun
untuk alasan lebih mendekatkan dengan pasar sehingga peluang keuntungan menjadi
lebih terbuka. Tentu pandangan semacam ini tidak hanya ada di fikiran orang
Indonesia peganut faham optimistic,
tetapi hal serupa juga pasti ada di
fikiran orang-orang pengikut faham optimistic dari negara-negara lain
di kawasan ASEAN. Oleh karena itu, persaingan di kalangan dunia usaha pasti
akan semakin sengit dan semakin terbuka dimana face to face tidak mungkin
bisa di hindarkan. Adanya kemiripan fungsi dan jenis barang/jasa diantara para
pelaku usaha akan menjadi sangat mungkin. Bagi kalangan konsumen (end user), kondisi ini menjadi lebih
menarik sebab pilihan yang tersedia semakin banyak, tetapi akan menjadi
persoalan serius bagi pelaku usaha di sektor yang sama karena mereka harus
berfikir lebih keras bagaimana menarik perhatian konsumen sehingga menjatuhkan pilihan
pada barang/jasa yang mereka tawarkan.
Namun demikian, bagi pelaku usaha yang
optimis, persaingan yang kian sengit justru menjadi inspirasi dan sekaligus pemacu
adrenaline
kreatif. Tidak ada lasan untuk menghindari
persaingan hanya karena pemberlakuan MEA, sebab para pelaku usaha sudah
terlatih dengan persaingan sejak pertama kali terjun dan menekuni dunia usaha, mulai dari persaingan harga, kualitas
produk/jasa, teknologi, kemasan, sumber, informasi dan lain sebagainya. Oleh
karena itu, pemberlakukan MEA sesungguhnya hanya meningkatkan intensitas persaingan mulai dari jumlah pemain di sektor
bisnis serua dan juga tensi persaingan yang semakin tinggi. Dengan kata lain,
bagi setiap pelaku usaha “persaingan atau kompetisi” bukanlah
sesuatu yang baru dan atau menakutkan.
C. Koperasi dan MEA
Sebagai bagian
dari barisan pelaku usaha (selain BUMN dan swasta), Koperasi juga dituntut bijaksana
merespon kedatangan MEA. Adanya free flow sangat memungkinkan
aktivitas usaha yang dijalankan koperasi sama dengan yang dijalankan pelaku
usaha dari negara lain. Namun demikian,
sebagaimana pelaku usaha lainnya, koperasi pun sebenarnya sudah bersaing dengan pelaku usaha di negeri
ini sejak kelahirannya pertama kali. Ironisnya, fakta mayoritas menunjukkan
koperasi masih belum menggembirakan
walau keberadaannya sering di puja dan selalu di identikkan sebagai jenis badan
usaha paling cocok dengan budaya masyarakat Indonesia. Bayangkan saja, Indonesia mengenal hari
koperasi (setiap tanggal 12 juli) yang selalu dirayakan setiap tahunnya dengan
pegelaran upacara kenegaraan dan bentuk perayaan lainnya bernada seremonial.
Hal ini menandaskan bahwa negara
memiliki concern tersendiri terhadap
koperasi. Perhatian sebesar itu tidak terjadi
pada pelaku usaha swasta (PT, CV, UD dan lain sebagainya) dan bahkan BUMN.
Ironisnya, perhatian semacam itu belum
efektif sebagai; (i) pemicu peningkatan animo masyarakat untuk menjadi
bagian dari barisan perjuangan koperasi dan; (ii) pemicu akselerasi pertumbuhan dan perkembangan
koperasi itu sendiri. Secara umum, Peran koperasi secara kumulatif juga belum
menunjukkan kontribusi strategis dalam percaturan ekonomi nasional. Bahkan, masih
ada kesan kuat koperasi identik dengan kata
“lemah” dan sarat dengan urusan “bantuan”. Ragam fasilitasi dan
intervensi yang telah dilakukan pemerintah belum bisa melahirkan
koperasi-koperasi mandiri dan bahkan menciptakan ketergantungan yang akud di
sebagian koperasi. Kalaupun ada beberapa koperasi yang menonjol dan eksis, hal
ini menjadi tidak tampak karena tertutupi oleh redupnya mayoritas koperasi
lainnya. Bahkan, saat induk koperasi dunia ICA (International Cooperative
Alliance) mengeluarkan daftar 300 (tiga ratus) koperasi terbaik dunia, tidak satu pun koperasi
di Indonesia yang masuk dalam daftar tersebut.
Atas kondisi
semacam itu, mungkin tidak berlebihan
untuk berkesimpulan kalau koperasi masih
belum memiliki faktor-faktor yang membuatnya layak sejajar dan atau siap
bersaing dengan badan usaha lainnya di negeri ini. Lebih dari itu, koperasi pun
sesungguhnya masih jauh dari kata “siap” untuk bisa berbicara di era MEA. Hal ini
kemudian menginspirasi 2 (dua) tanya penting
dan genting, yaitu; (i) Apakah imbas MEA baik
atau buruk bagi koperasi?; (ii) apakah dampak
itu menjadi pemicu pertumbuhan/perkembangan ataukah pengantar koperasi ke
pintu kematian?. Lagi-lagi jawaban atas 2 (dua) pertanyaan ini sangat
tergantung dari cara koperasi memandang MEA apakah optimis ataukah pesimis.
D. Nalar Sederhana Keunggulan Koperasi.
Secara teori
sederhana, bertahan atau tidaknya sebuah usaha sangat tergantung pada ada
atau tidaknya respon positif dari target marketterhadap apa yang
ditawarkan oleh pelaku usaha. Atas dasar itulah, disamping menghasilkan produk/jasa
berkualitas, ragam strategi pemasaran
disusun dan diaplikasikan sehingga pangsa pasar yang menjadi target bisa
mengetahui, mengerti, memahami dan kemudian merespon dengan baik kehadiran
sebuah produk/jasa. Saat pelanggan sudah mencoba, aktivitas pemasaran mereka tingkatkan
lagi agar pelanggan tersebut menjadi loyal dan mengkonsumsi barang/jasa
tersebut secara terus menerus. Tahapan serupa terus dilakukan sebagai bagian
dari upaya agar income yang terbentuk
tumbuh dan berkembang sehingga bisa menutup biaya operasional dan menghasilkan
keuntungan.
Dalam tinjauan
pemasaran, koperasi sesungguhnya memiliki keunikan dan bisa menjadikannya
sebagai sumber keunggulan. Kalau pelaku usaha non-koperasi harus berjuang
membentuk pelanggan, tidak demikian pada koperasi dimana pelanggan terbentuk
bersamaan dengan kelahirannya dan terus tumbuh linier bersamaan dengan perkembangan
jumlah anggotanya. Hal inilah yang menyebabkan koperasi sering disebut dengan istilah
captive market (pasar tertutup) dan
atau located market (market
terlokalisir). Uniknya lagi, fungsi ganda (dual
fungtion) anggota koperasi sebagai pemilik dan sekaligus sebagai pelanggan,
menyebabkan semua aktivitas usaha koperasi terus terkomunikasikan dengan baik
dan intens tanpa biaya pemasaran yang tinggi sebagaimana yang dilakukan oleh
para pelaku usaha non-koperasi. Bukankah
ini keunggulan yang tidak tertandingi?.
Namun demikian,
kenapa faktor keunggulan ini tak kunjung menjadikan koperasi unggul?. Jangankan
untuk bersaing, koperasi pun masih banyak yang disibukkan oleh persoalan rumah
tangganya sendiri, mulai dari penataan organisasi, administrasi dan juga
konsistensi semangat berkoperasi dari segenap unsur organisasinya. Apa yang salah dan menjadi faktor penyebab
kondisi melempem menahun pada gerakan koperasi?.
E. Ketidaksetiaan Pada Jati Diri Sebagai Muasal.
Pada tahun 1995,
di Manchester, Inggris, Induk koperasi dunia (ICA), dimana Indonesia menjadi
salah satu anggotanya, merumuskan Jatidiri koperasi yang kemudian dikenal
dengan sebutan ICIS (ICA Cooperative’s Identity Statemen). Dalam rumusannya,
Jati Diri koperasi terdiri dari 3 (tiga) bagian, yaitu; (i) defenisi; (ii)
nilai-nilai dan; (iii) prinsip-prinsip, dimana ketiga hal tersebut dijelaskan
berikut ini :
a.
DEFENISI : Koperasi adalah perkumpulan otonom dari orang-orang yang bersatu secara
sukarela untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dan aspirasi-aspirasi
ekonomi,sosial & budaya bersama melalui perusahaan yang mereka
miliki bersama & mereka kendalikan secara demokratis.
b.
NILAI-NILAI : Koperasi berdasarkan nilai-nilai menolong diri sendiri, tanggungjawab
sendiri, demokrasi, persamaan, keadilan dan kesetiakawanan. Anggota koperasi
percaya pada nilai-nilai etis kejujuran, keterbukaan, tanggungjawab sosial,
serta peduli terhadap orang lain.
c.
PRINSIP-PRINSIP ; (1) Keanggotaan sukarela dan terbuka; (2) Pengendalian oleh
anggota-anggota secara demokrasi; (3) Partisipasi ekonomi anggota; (4) Otonomi
dan kebebasan; (5) Pendidikan, pelatihan dan informasi; (6) Kerjasama antar
koperasi dan; (7) Kepedulian terhadap komunitas
Konsep ICIS ini
kemudian disosialisasikan di Indonesia dengan istilah JATI DIRI KOPERASI.
Mereferensi
realitas mayoritas koperasi di Indonesia yang masih kurang menggembirakan, maka
kesimpulan awal musababnya adalah tanggalnya JATI DIRI KOPERASI dari keseharian
koperasi. Koperasi terjebak pada pragmatisme dan concern pada raihan SHU dimana cara perolehannya tidak berbeda
dengan pelaku usaha non-koperasi dalam meraih laba. Hubungan antara koperasi
dengan anggota sebatas transaksi rasional materialitas tanpa dibarengi dengan ikatan emosional kuat dan atau berbasis
pada nilai-nilai kesetiakawanan dan kegotongroyongan yang diagungkan koperasi.
Dengan kata lain “ roh” koperasi telah tercabut dari praktek kesehariannya.
Koperasi pun dimaknai sebagai perusahaan ansih sehingga alam bawah sadar mendorong
naluri pertumbuhan modal. Koperasi tidak lagi difahami sebagai kumpulan orang yang kunci suksesnya terletak pada
keterbangunan anggotanya. Perusahaan (baca: unit layanan) dibaca sebagai tujuan
bukan alat pemenuhan kebutuhan dan aspirasi ekonomi, sosial dan budaya dari
segenap anggotanya. Singkat kata, koperasi telah men-jarak dari keseharaian anggota
yang nota bene adalah pemilik sah koperasi itu sendiri. Akibatnya, anggota
tidak merasa memiliki dan bahkan tidak punya ke banggaan atas capaian
perusahaan koperasi. Elite organisasi (baca: pengurus dan pengawas) terjebak
pada aksi
kepahlawanan keliru sehingga koperasi tidak mewujud sebagai oganisasi
pemberdayaan dimana semua unsur (baca: pengurus, pengawas dan anggota) bergerak
secara bersama-sama sesuai peran proporsionalnya masing-masing. Tidak terlihat
lagi semangat kebersamaan ditempatkan sebagai tulang punggung. Juga tidak
dipandang lagi bahwa mencerdaskan anggota melalui pendidikan adalah penting dan
menjadi faktor penentu kebesaran dan keluasan perusahaan koperasi. Pertumbuhan
jumlah anggota juga hanya berbasis pemenuhan syarat administratif untuk
kemudian menjadi pembenar mengkonsumsi
berbagai unit layanan bisnis koperasi. Koperasi tidak lagi melihat bahwa
keyakinan dan pemahaman terhadap konsepsi dasar koperasi (apa,mengapa dan
bagaimana) menjadi fundamental yang akan
menentukan akselerasi pertumbuhan dan perkembangan koperasi secara organisasi
dan perusahaan. Demikian juga dalam hal keterlahiran unit layanan bisnis
koperasi, pertimbangan peluang (baca: kalkulasi ekonomi) lebih mengedepan
ketimbang semangat untuk mengakomodir dinamika aspirasi dan kebutuhan ekonomi, sosial, budaya
dari mayoritas anggota. Perusahaan koperasi
seolah berdiri sendiri di satu sisi, anggota dengan agenda pribadinya
pun berdiri sendiri di sisi lainnya. Akibatnya, di perusahaan koperasi sulit
mendapati transaksi subyektif, yaitu
transaksi yang didasarkan pada rasa memiliki dan keinginan kuat untuk ikut
membesarkan perusahaan koperasi. Dis-Integrasi aspirasi/kebutuhan anggota dengan agenda pengembangan perusahaan
koperasi semakin men-jarakkan anggota dengan koperasi. Ironisnya, pola
ini tak kunjung membuat perusahaan koperasi berdiri gagah, menonjol atau
memiliki daya saing tinggi yang lebih dibanding pelaku usaha lainnya.
Persoalan-persoalan
sebagaimana dijelaskan diatas merupakan akibat langsung dari tanggalnya jati
diri dalam keseharian koperasi. Berfikir instan dan berharap hasil cepat
mungkin adalah sulit, sebab koperasi itu tumbuh melalui tahapan-tahapan berkelanjutan (baca: incremental). Dalam konteks ideal, tumbuhnya koperasi dibaca
sebagai dampak dari terbangunannya pemahaman dan kemauan orang-orang (baca: anggota) mengambil
tanggungjawab untuk ikut mengembangkan partisipasinya.
F. Reposisi Mindset Sebagai Cara Pembuktian Kedigdayaan
Nalar konsepsi
koperasi sebagaimana terdefenisi dalam JATI DIRI KOPERASI merupakan pembeda dan
sekaligus sumber keunggulan. Oleh karena itu, kalau kemudian koperasi belum
berkembang, maka core problem nya
terletak pada ketidak-konsisten-an koperasi tampil dengan warna bajunya
sendiri. Bila berharap koperasi maju, maka nalar konsepsi yang mengandung
nilai-nilai keberdayaan dan bahkan keunggulan harus dijadikan sebagai panduan.
Artinya, kembali ke jatidiri koperasi secara bertahap dan berkesinambungan
adalah jalan terbaik membangun koperasi
yang besar secara perusahaan dan meng-anggota secara organisasi. Bila hal ini
tercipta, maka mewujudkan perusahaan koperasi sebagai located market (market terlokalisir) atau captive market (market tertutup) akan menjadi sangat
memungkinkan. Jika tidak dan terjadi pembiaran pola pengelolaan dan
pengembangan keliru seperti kebanyakan yang dipraktekkan kebanyakan koperasi
saat ini, maka keadaan pasti tidak pernah akan berubah. Artinya, kedigdayaan
koperasi sebagai media pemberdayaan yang mencerdaskan dan sekaligus
men-sejahterakan masyarakat hanya ada dalam angan-angan dan atau sebatas nalar
logis pada ruang-ruang diskusi ilmiah saja. Bila koperasi konsisten
meng-implementasi jadi diri koperasi secara bertahap dan berkesinambungan, maka
keberdayaan akan membawa pada kemandirian dan secara otomatis meningkatkan daya
saing dan juga melahirkan bargainning
posistion (posisi tawar) strategis ditengah para pelaku usaha lainnya.
Sebagai
illustrasi sederhana digambarkan berikut ini :
1.
Pendidikan anggota yang
diselenggarakan koperasi berhasil melahirkan kesadaran bahwa sesungguhnya kunci
retail
business adalah pada kuantitas permintaan. Artinya, semakin banyak permintaan
maka semakin murah harga perolehan. Pemahaman ini selanjutnya membangun
kesadaran anggota sebuah koperasi membentuk
efisiensi kolektif (efisiensi yang
terbentuk akibat kebersamaan yang terbangun) melalui aksi “join buying” alias
pembelian bersama pada beberapa item kebutuhan pokok seperti gula, teh, susu, beras
dan lain sebagainya. Karena terbentuk akumulasi permintaan dari segenap
anggota, maka koperasi pun bisa membeli pada suplier/vendor dengan harga yang
lebih murah dan pada akhirnya harga yang
diperoleh anggota pun menjadi lebih murah pula. Terbangunnya komitmen bersama
ini telah menyebabkan terbentuknya peningkatan pendapatan riil (keterpenuhan
kebutuhan dengan harga lebih murah dan atau lebih banyak dengan jumlah rupiah
yang sama) dari segenap anggotanya.
2.
Pendidikan kepada segenap anggota
koperasi tentang “hidup bersih” telah
membentuk komitmen untuk membudayakan hidup
bersih dan sehat. Mereka pun bersepakat untuk memisahkan sampah-sampah
rumah tangga menjadi sampah organik
dan non-organik. Selanjutnya, aksi
ini pun menginspirasi lahirnya unit layanan bank sampah. Lewat program ini,
disamping budaya hidup bersih menjadi gaya hidup anggota, disisi lain
sampah-sampah rumah tangga menjadi bernilai dan menjadi pendapatan tambahan
anggota.
3.
Kesadaran “makna kebersamaan” yang dididikkan kepada segenap anggota koperasi beranggotakan
pemilik lahan sawit rata-rata 2 Ha/anggota telah menginspirasi gagasan
pendirian PKS (Pabrik Kelapa Sawit) sebagai tambahan aktivitas koperasi yang
mereka miliki. Uniknya lagi, fokus PKS ini bukan pada perolehan laba/SHU dari
produksi PKS, tetapi pada terjaminnya stabilitas harga beli hasil sawit anggota
yang selama ini selalu dipermainkan oleh para tengkulak.
4.
Dsb.
Beberapa
contoh diatas minimal memberi 3 (tiga) pesan
tegas, yaitu :
1.
meletakkan “kualitas kebersamaan” yang dibangun melalui pendidikan anggota
sebagai tulang punggung pengembangan ragam kemanfaatan dari berkoperasi.
2.
memperlihatkan secara jelas bahwa
lahirnya unit layanan bisnis (baca: perusahaan koperasi) di inspirasi oleh
aspirasi dan kebutuhan yang berkembang di mayoritas anggota. Hal ini pun akan
mendorong anggota setia menjaga keberadaannya sebab memiliki hubungan langsung
dengan kualitas kesejahteraan anggota dalam arti luas.
3.
Kesejahteraan anggota diawali dari
aksi pencerdasan melalui pendidikan yang diselenggarakan koperasi dan kemudian melahirkan
kesadaran-kesadaran baru untuk meningkatkan kesejahteraan melalui mobilisasi
kebersamaan.
G. Beberapa Stimulan Pemikiran Teknis
Membangun Koperasi Besar Meng-anggota.
Mewujudkan
koperasi besar dan meng-anggota memerlukan konsistensi
upaya dan proses bertahap dan berkesinambungan. Dalam
bahasa semangat, tidak ada kata terlambat untuk memperbaiki diri dan
tahapan-tahapan itu harus segera dimulai. Sebagai stimulan, berikut ini
disajikan beberapa gagasan teknis bernada operasional yang sangat mungkin
dilakukan koperasi, yaitu:
1.
Melakukan reposisi mindset tentang
koperasi. Koperasi harus difahamkan kepada segenap unsur organisasi (baca:
pengurus, pengawas dan anggota): (a)
sebagai kumpulan orang; (b) fokusnya adalah pada keterbangunan orang
melalui pendidikan berkelanjutan dengan ragam pola variatif yang menyesuaikan karakter mayoritas anggota;
(c) kebesarannya merupakan akibat langsung dari tebangunnya kesadaran
memobilisasi kebersamaan sebagai modal terpenting dan; (d) kesejahteraan adalah
imbas dari aspirasi cerdas dari
anggota terdidik yang teroperasionalisasi ke dalam unit-unit layanan bisnis
koperasi yang dikelola dengan profesional. Untuk itu, koperasi wajib
menyelenggarakan pendidikan kepada anggotanya sejak mereka berposisi sebagai
calon anggota. Dengan demikian, koperasi merupakan kumpulan orang cerdas yang
faham apa, mengapa dan bagaimana seharusnya berkoperasi.
2.
Menandaskan bahwa “perusahaan
koperasi” adalah media atau alat untuk memenuhi aspirasi dan kebutuhan ekonomi, sosial
dan budaya dari mayoritas anggota. Demikian
juga kebesaran koperasi sangat tergantung dari kesadaran anggota mengambil
tanggungjawab untuk membesarkan perusahaan lewat pengembangan partisipasi aktif.
3.
Melahirkan aktivitas layanan bisnis
koperasi berbasis aspirasi mayoritas anggota dan menghindarkan diri terjebak pada
pertimbangan peluang keuntungan semata. Untuk itu,
dalam men-design aktivitas yang akan dijalankan perusahaan, koperasi harus taat dengan azas subsidiary. Azas subsidiary
menegaskan bahwa; (i) apa-apa yang bisa dikerjakan oleh anggota sebaiknya tidak
dikerjakan oleh koperasi dan Sebaliknya; (ii) apa-apa yang tidak bisa
dikerjakan oleh anggota, itulah yang sebaiknya dikerjakan oleh koperasi.
Dengan taat azas subsidiary maka dipastikan semua aktivitas perusahaan koperasi
akan disambut dan didukung oleh segenap anggotanya. Disisi lain, keseharian
koperasi dengan anggotanya akan begitu erat dan tidak ber-jarak sebab antara
anggota dan perusahaan koperasi terjalin ikatan emosional dan juga hubungan
saling mendukung.
4.
Penegasan “roh” kelahiran unit layanan. Fakta lapangan sering menunjukkan di satu sisi anggota pengen harga murah
dan disisi lain berharap SHU tinggi. 2 (dua) harapan ini hampir mustahil
diwujudkan disaat bersamaan. Oleh karena
itu, untuk menghindari hal-hal demikian, maka setiap kelahiran aktivitas unit
layanan bisnis koperasi harus di ikuti dengan pendefenisian “roh” kelahirannya,
apakah dimaksudkan untuk mencetak SHU tinggi dengan memposisikan anggota
sebagai konsumen ataukah untuk mencetak
manfaat (seperti harga lebih murah, jasa pinjaman lebih murah dsb).
Selanjutnya, “roh” kelahiran tersebut menjadi dasar pengelolaan operasional
unit layanan bisnis koperasi tersebut.
5.
Profesionalisme pengelolaan berbasis
nilai-nilai. Semua aktivitas perusahaan koperasi harus di kelola
secara profesional berbasis sistem kerja yang berorientasi pada service
excelent dengan efisiensi dan efektivitas tinggi sesuai dengan “roh”
yang didefenisikan. Namun demikian, profesionalisme yang dijalankan tidak abai
dengan nilai-nilai koperasi sebagaimana termaktub dalam konsep JATI
DIRI KOPERASI.
6.
Skala rasional unit bisnis perusahaan koperasi. Bisnis mengenal
istilah skala rasional sehingga operasionalnya mampu mengatasi biaya-biaya yang
timbul dalam membentuk kemanfaatan
(materil maupun non-materil). Oleh
karena itu, pertumbuhan anggota harus
didorong percepatannya agara perusahaan koperasi berjalan pada skala yang layak
untuk memobilisasi produktifitas. Hal ini bisa dilakukan dengan mobilisasi
internal sebuah koperasi atau dengan cara penggabungan beberapa koperasi untuk
menyelenggarakan usaha tertentu. Penggabungan yang dimaksud bisa berbentuk
kerjasama parsial (kerjasama saling menguntungkan) dan atau penggabungan secara utuh (amalgamasi
kelembagaan).
7.
Apresiasi rasional dan motivasional
bagi pekerja koperasi. Sampai detik ini, persoalan
apresiasi terhadap pekerja koperasi masih tergolong rendah. Disamping menyebabkan
rendahnya minat usia produktif bekerja di koperasi, hal ini juga menjadi faktor
penyebab sulitnya mendapati sdm-sdm qualified yang bekerja di koperasi. Visi besar koperasi harus
didukung oleh sdm-sdm yang memiliki kapasitas mumpuni. SDM-SDM yang bekerja di koperasi
harus faham konsepsi, punya semangat mencerdaskan anggota, punya moralitas
juang tinggi, memiliki gairah terhadap pemberdayaan dan cerdas dalam meng-intrepretasikan
konsepsi ke dalam dataran operasional
yang produktif.
8.
Mengembangkan kerjasama simbiosis
mutualime (saling menguntungkan). Satu hal yang menjadi catatan,
semangat juang koperasi adalah menggerus persaingan dan mengedepankan kerjasama.
Oleh karena itu, koperasi harus mengembangkan kerjasama dengan siapapun dan
pihak manapun sepanjang tidak mencederai otonomi koperasi, saling memperkuat
dan atau saling menguntungkan dalam arti luas.
9.
Melek teknologi. Perkembangan teknologi begitu cepat dan terbukti mempengaruhi seluruh
aspek kehidupan masyarakat, termasuk para anggota koperasi. Oleh karena itu, koperasi
harus melek teknologi, baik untuk tujuan mendukung aktivitas produktif yang
diselenggarakan oleh anggotanya maupun akselerasi pertumbuhan kualitas layanan
bisnis yang diselenggarakan oleh koperasi.
10.
Melek regulasi. Sebagai bagian dari pelaku usaha yang tidak lepas kaitannya dengan
regulasi, koperasi harus melek regulasi berikut perkembangannya. Dengan
demikian, eksistensi dan operasionalisasi koperasi secara kelembagaan maupun
secara perusahaan tidak bertabrakan
dengan regulasi yang sifatnya wajib ditaati dan dipatuhi.
11.
Dan lain sebagainya.
F. Keterbangunan Koperasi Besar Meng-Anggota dan Kesiapan Menyambut MEA
Pada koperasi
besar meng-anggota dapat dipastikan terbentuk located market dan juga captive
market. Artinya, bargainning position (posisi tawar
koperasi) akan tumbuh liner bersamaan dengan tumbuhkembangnya anggota baik
secara kuantitas maupun kualitas (baca: partisipasi). Pada kondisi demikian,
koperasi akan mewujud sebagai perusahaan besar dengan keunikannya yang khas. Pengaruh-pengaruh
negatif dari luar (baca: eksternal)
lebih sulit untuk masuk sebab akan berbenturan dengan akumulasi loyalitas
berbasis kesadaran yang terbangun secara massif di internal koperasi. Disamping
itu, koperasi besar meng-anggota juga akan memiliki peluang mengembangkan aktivitasnya
melalui jalinan kemitraan mutualisme dengan sesama koperasi dan atau pelaku
usaha lainnya. Pada level capain semacam ini, koperasi akan sangat siap bersanding
sejajar dengan pelaku ekonomi lain dan atau bersaing secara terbuka. Disamping
itu, MEA dengan segala implikasinya tidak akan menjadi ancaman bagi koperasi,
tetapi justru menjadi peluang untuk lebih eksis secara kelembagaan dan juga
peluang untuk lebih men-sejahterakan segenap anggotanya.
G. Penghujung
Semangat, Akal
dan fikiran adalah modal terbesar mempertahankan atau memperluas makna hidup.
Alur logika yang sama berlaku pada kehidupan sebuah koperasi. Kalau keterbentukan MEA adalah hasil olah akal
dengan mempertimbangkan ragam faktor, maka pensikapan MEA pun harus
mengoptimalkan semangat, akal dan fikiran ke dalam tindakan cerdas. Ancaman
hanya akan menjadi nyata ketika terjadi pembiaran atas kedatangannya.
Oleh karena itu, mereferensi pada rasionalitas
konsepnya, tidak ada alasan bagi koperasi memandang MEA sebagai hal menakutkan.
Pensikapan bijak nan produktif dengan berpegang teguh pada jati diri koperasi
harus dilakukan, baik untuk kepentingan mempertahankan diri maupun dalam tujuan
memperluas kiprah koperasi di percaturan ekonomi, sosial dan budaya. Tentunya,
modal semangat aja tidak cukup, tetapi harus dibarengi dengan kemauan mengoptimalkan segenap akal, fikiran dan
energi demi kelahiran faktor-faktor logis
untuk bisa terus tumbuh dan berkembang dalam segala situasi, termasuk dalam
dinamika saat MEA diberlakukan.
Sebagai
penghujung, kemajuan koperasi sesungguhnya bukan persoalan ketidakmampuan tetapi
hanya persoalan kesadaran akan makna persatuan dan kemauan untuk memobilisasi
kebersamaan. Oleh karena itu, membangun kesadaran dahsyatnya sebuah kebersamaan
lewat koperasi merupakan sesuatu yang urgent untuk di edukasikan
secara sungguh-sungguh sampai menemukan titik efektivitasnya.
Demikian tulisan
ini disampaikan sebagai pemantik energi dan sekaligus inspirasi semangat dan
optimistik gerakan koperasi menyambut kehadiran MEA. Semoga bisa menginspirasi gairah untuk berbenah dalam koridor Jati Diri
koperasi, yang merupakan ciri khas,
pembeda dan sekaligus sumber keunggulan yang tidak dimiliki oleh pelaku usaha
lainnya. Amin....salam juang koperasi..!!!!
Posting Komentar
.