A. MERANGKAI HIKMAH dan MEMAKNAI MU’JIZAT

Mukjizat..apa itu mu’jizat?. orang banyak menyebutnya sebagai miracle, sebentuk pertolongan yang hadir
disaat akal sudah tak mampu berfikir dan menemukan solusi atas persoalan rumit
yang sedang melanda. Kehadiran mukjizat begitu membahagiakan dan
sangat bernilai sebab kedatangannya selalu diwaktu yang sangat dibutuhkan dan tidak terduga
sebelumnya. Adakah mu’kizat datang tanpa sebuah alasan?. Adakah mukjizat sebentuk hadiah ataukah
kedatangannya bisa dinalar?. Banyak yang mendefenisikan bahwa mu’jizat hanya
diperuntukkan bagi para rasul, sehingga mukjizat yang sering disebutkan manusia
biasa lebih tepat disebut dengan karomah yang kehadirannya mutlak menjadi hak
prerogatif Allah SWT. Namun, sebagai
manusia yang hidup dalam wilayah horizontal dan juga mengenal logika “sebab
–akibat”, mungkin tidak berlebihan mendefenisikan karomah adalah sebentuk
pembalasan atau hadiah dari Tuhan atas
ragam kebaikan yang pernah dilakukan dimasa lalu. Bahkan, mungkin sudah lupa
kapan kebaikan itu dilakukan dan kepada siapa pula kebaikan itu diberikan.
Pemaknaan ini sepertinya lebih bijak dan meng-inspirasi untuk terus melakukan
kebaikan yang lebih banyak lagi.
Hidup adalah sebuah perjalanan dan juga kesempatan. Dunia adalah media sementara untuk kemudian berujung pada alam akhir yang menjanjikan kekekalan ada
didalamnya. Untuk menjalani dan mewarnai hidup, Tuhan pun membekali Manusia dengan akal dan fikiran hingga berkemampuan merancang
ingin, angan atau cita-citanya dan juga memiliki kebisaaan untuk beranalisa dan atau memprediksi tentang esok hari.
Namun demikian, tidak satupun dari manusia memiliki kemampuan dalam hal memastikan
apa yang akan terjadi kemudian, bahkan satu detik sesudah saat ini sekalipub. Hal itu
merupakan wujud nyata keterbatasan kemampuan dan pengetahuan manusia serta sekaligus penegasan bahwa ada Allah SWT yang mempengaruhi dan berkuasa penuh atas hidup manusia.
Nalar ini membawa pada satu simpul bahwa manusia hanya perlu bercita-cita dan kemudian mengoptimalkan segala kemampuan
olah fikir dan energinya secara efektif, selebihnya biarlah menjadi urusan Sang
Penguasa. Tentu segala sesuatunya harus berlandaskan niat baik, sehingga
daya dukung Tuhan terhadap ketercapaian cita-cita
itu menjadi lebih berpeluang. Hal ini memang sulit diterima oleh para peng-agung akal dan
fikiran. Namun apa menariknya pula untuk memaksakan, karena Tuhan pun
sesungguhnya tidak punya kepentingan kepada manusia yang nota bene adalah salah
satu ciptaan-Nya. Bahkan manusia pun tak boleh memaksakan manusia lain untuk meyakini-Nya,
sebab ber-Tuhan adalah persoalan pilihan. Namun, mengingatkan satu sama lain
adalah termasuk kebaikan yang nyata, sehingga layak untuk terus diupayakan pendengungannya. Persoalan kemudian pada akhirnya mereka mau mengikuti atau
tidak atas apa yang diingatkan atau disamapaikan, biarlah itu menjadi urusan-Nya, sebab
kepentingan manusia adalah berbuat baik secara terus menerus.
B. Sebentuk Usaha, Do’a dan Kebelumterkabulan
Adalah sifat manusia selalu memiliki motif dalam melakukan sesuatu,
baik itu motif horizontal maupun motif vertikal. Persoalan kemudian akan
berhasil mendapatkan motif atau tidak, itu menjadi
persoalan perkenan Tuhan. Manusia hanya bisa berjalan pada nalar kenormalan dan
kepatutan saja, seperti orang bekerja diayakini akan mendapat hasil, baik dalam
judul gaji/salary (bagi karyawan) maupun keuntungan (bagi para wirausaha).
Mungkin, bagi karyawan atau PNS angka yang didapat memiliki kepastian yang
lebih ketimbang para wirausahawan. Adanya kontrak kerja pada sektor swasta dan
kepemilikan NIP pada sektor PNS selalu diikuti dengan kebijakan atau peraturan
tentang penggajian. Artinya, satu-satunya yang menghentikan hak atas sejumlah
gaji pada profesi karyawan adalah apabila dikeluarkan alias dipecat atau karena perusahaan atau pemerintah
kehilangan kemampuan memenuhi kewajibannya terhadap para pegawai tersebut. Hal
berbeda dengan para wirausaha dimana mereka bertarung dengan keyakinanannya
disetiap hari dan juga selalu teruji kebenaran atau koreksi atas prediksinya
tentang sebuah hasil. Namun, pada sisi manapun yang menjadi pilihan peran,
kesemuanya adalah bagian dari upaya manusia untuk mempertahankan dan sekaligus membuat
hidup tetap berlanjut.
Pertanyaan menarik kemudian adalah mengapa tiap orang tak berpenghasilan
sama walau semua orang sudah berupaya sekuat tenaga?. Mengapa setiap orang tampaknya
memiliki tingkat kebahagiaan yang berbeda-beda walau pada tingkat perolehan
atau capaian materi yang serupa?. Adakah keterkabulan do’a bisa juga mewujud
dalam bentuk kebelum terkabulan?. ...................
kita bahas di tulisan edisi berikutnya...
Posting Komentar
.