BELAJAR BERSAMA
TENTANG
DAMPAK PEMBERLAKUAN UU NO 17 TAHUN
2012 TERHADAP KESEHARIAN KOPERASI
disampaikan pada agenda Sosialisasi UU No. 17 Tentang Perkoperasian, yang dilaksanakan oleh DEKOPIN , di Hotel Atrium, Purwokerto, Banyumas, Jawa Tengah, Januari 2014
A. Pembuka

Sampai tulisan ini disajikan, belum ada kabar
tentang hasil akhir dari perjuangan kawan-kawan yang mencoba melakukan Judicial
Review atas UU ini di Mahkamah Konstitusi. Artinya, sampai detik ini
asumsinya adalah UU No.17 Tahun 2012 masih berlaku dan menjadi dasar hukum dari
keberdaaan dan operasionalisasi koperasi di negeri ini.
Me-referensi
asumsi diatas, maka tulisan ini mencoba mengajak segenap audience untuk “belajar
bersama” menganalisa dampak pemberlakuan UU ini terhadap
keseharian kehidupan koperasi. Hal ini perlu dilakukan mengingat bahwa ada
beberapa hal dari UU ini yang memerlukan penyesuaian-penyesuian di tingkat
operasionalisasi organisasi maupun perusahaan koperasi.
B. Dampak Pemberlakuan UU No.17 tahun 2012 Terhadap
Keseharian Koperasi.
Sebagai
stimulan dalam diskusi, berikut
disajikan beberapa dampak memerlukan perhatian
sebagai imbas dari pemberlakuan UU No.17 Tahun 2012 ini, yaitu :

2.
Keanggotaan koperasi bersifat suka rela dan terbuka. Hal ini menjadi bagian dari prinsip-prinsip koperasi, tetapi perlu di sendirikan
dengan maksud untuk mempertegas saja. Fakta lapangan menunjukkan banyak
koperasi yang terbentuk oleh latar belakang kesamaan status, profesi dan
lainnya, seperti KPRI, Kopkar, Koperasi
Pemuda, Koperasi Petani dan lain sebagainya.
Tanpa disadari, hal ini telah membentuk ego sektoral yang menggerus
nilai-nilai universal koperasi yang menjunjung tinggi equality (kesetaraan)
tanpa membedakan ras, jender, agama, suku dan lain sebagainya. Kalau ego
sektoral ini tetap dipelihara, maka koperasi sulit menjalankan prinsip
keanggotaan yang terbuka terhadap semua kalangan lapisan masyarakat.
3.
Pendidikan. UU No. 17 Tahun 2012 menekankan perlunya penyelenggaraan pendidikan.
Pencantuman “pendidikan” sebagai satu hal yang harus dilaksanakan koperasi merupakan
bentuk kesadaran yang nyata bahwa pendidikan merupakan satu kebutuhan
dan juga ujung tombak dalam mengembangkan organisasi maupun perusahaan
koperasi. Dalam tinjauan ideal, pendidikan tidak terbatas pada pemberian ilmu
pengetahuan saja, tetapi juga bertanggungjawab terhadap keterbentukan perubahan
perilaku yang merupakan aplikasi dari ilmu itu sendiri. Oleh karena itu, metode pendidikan harus
variatif dan terus melakukan pengayaan metode sehingga terbentuk perubahan yang
efektif. Kalau menilik kenyataan, banyak
koperasi melupakan perlunya penyelenggaraan “pendidikan”. Rekruitmen anggota
cenderung fokus pada kesanggupan memenuhi persyaratan administratif dan masih
jarang yang men-syaratkan pengetahuan dan pemahaman koperasi yang
cukup sebagai hal yang harus dipenuhi oleh anggotanya. Disamping anggota, pendidikan juga harus
menyentuh pengurus, pengawas dan segenap karyawan/ti koperasi, baik dalam hal
pengetahuan perkoperasian maupun spesifik pada peningkatan kompetensi dan
kapabilitas diri.
4.
Pengurus. Dalam Pasal 55-65 UU No 17 Tahun
2012 yang mengatur tentang pengurus, ada beberapa hal yang perlu menjadi
perhatian, antara lain :
a)
Pengurus bisa berasal
dari anggota maupun non-anggota. Terbukanya peluang non-anggota menjadi pengurus merupakan sesuatu yang baru.
b)
Pengurus memiliki
gaji dan tunjagan yang ditetapkan oleh Rapat Anggota atas usul pengawas. Hal
ini juga baru, sebab biasanya pengurus hanya dapat insentif. Namun demikian,
resiko yang muncul adalah seorang pengurus harus memiliki jam kerja.
c)
Pengurus dipilih dan
diangkat pada Rapat Anggota atas usul pengawas. Sebelum UU baru,
pengurus langsung dipilih oleh anggota dalam Rapat Anggota, namun dalam UU Baru
ini harus orang-orang yang bisa dipilih adalah yang diusulkan oleh pengawas.
d)
Khusus KSP (Koperasi
Simpan Pinjam), sesuai padal 92, pengurus harus memenuhi standar kompetensi
yang diatur dalam Peraturan Mentri. Dalam implementasinya, perolehan
sertifikasi kompetensi tentu memerlukan proses belajar dan juga biaya.
Disamping itu, semakin sedikit yang memiliki sertifikasi kompetensi maka
semakin sedikit pula pilihan anggota dalam memilih pengurus.
5.
Pengawas ( Pasal 48 sd 54). Berikut ini disajikan
Beberapa hal yang memerlukan perhatian tentang pengawas:
- Pengawas bertugas mengusulkan calon pengurus.
- Pengawas berwenang menetapkan penerimaan dan penolakan anggota baru serta pemberhentian anggota lama sesuai dengan Anggaran Dasar.
- Pengawas dapat memberhentikan sementara pengurus dengan menyebutkan alasannya dan kemudian dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari harus diadakan rapat anggota.
- Khusus KSP (Koperasi Simpan Pinjam), sesuai padal 92, sebagaimana pengurus, pengawas juga harus memenuhi standar kompetensi yang diatur dalam Peraturan Mentri.
6.
Modal. Menilik pasal 66 sd 77 yang mengatur tentang modal, ada
beberapa hal yang perlu dicermati :
- Hilangnya istilah simpanan pokok (SP) dan simpan wajib (SW) dan kemudian muncul istilah Setoran Pokok (SP) dan sertifikat Modal Koperasi (SMK). Yang menjadi catatan adalah Setoran Pokok (SP) tidak dapat di kembalikan. Sementara itu, Setiap anggota harus membeli SMK yang jumlah minimumnya ditetapkan dalam Anggaran Dasar. Sementara itu, nilai nominal SMK perlembar maksimal sama dengan nilai setoran pokok.
- Koperasi dapat menerima modal penyertaan dari masyarakat maupun pemerintah. Koperasi juga bisa menerbitkan obligasi. Dari perspektif penguatan permodalan, hal ini memperbesar peluang koperasi untuk mengakses permodalan. Hanya saja yang harus menjadi komitmen adalah masuknya modal penyertaan dan penerbitan obligasi tidak mengganggu otonomi dan indedepensi koperasi dan berorientasi pada peningkatan atau perluasan kebermanfaatan berkoperasi bagi anggotanya.

7.
SHU (Selisih Hasil Usaha). Koperasi dilarang
membagikan kepada anggota SHU yang berasal dari transaksi dengan non-anggota. SHU
yang berasal dari non-anggota dapat digunakan untuk mengembangkan usaha
koperasi dan meningkatkan pelayanan kepada anggota. Hal ini menjadi persoalan
serius, khususnya bagi koperasi-koperasi yang menjalankan usaha yang tidak
hanya melayani anggota, seperti usaha toko, perumahan, penyewaan alat
transportasi dan lain sebagainya. Hal ini juga sulit diterima anggota koperasi
bila sudah terbiasa menerima SHU dalam jumlah yang menggembirakan. Disamping itu, dari sisi teknis operasional,
koperasi harus menyiapkan seperangkat alat administratif (manual atau berbasis
IT) untuk memisahkan transaksi anggota dan transaksi non-anggota.
8. Jenis Koperasi. Penjenisan koperasi
didasarkan pada kesamaan kegiatan usaha dan atau kepentingan ekonomi anggota.
Penjenisan koperasi dalam UU No.17 tahun 2012, ada 4 (empat) jenis koperasi
yaitu : koperasi konsumen, koperasi produsen, koperasi jasa dan koperasi simpan
pinjam. Dengan demikian, penjenisan ini otomatis meniadakan apa yang di sebut dengan
KSU alias koperasi serba usaha. Penjenisan ini
tidak mendatangkan masalah bagi koperasi yang memiliki satu usaha/layanan saja,
tetapi hal ini menjadi persoalan bagi koperasi-koperasi yang menyelenggarakan
usaha/layanan lebih dari satu sebagaimana KSU. Dengan diberlakukannya UU ini,
KSU di wajibkan untuk melakukan penyesuaian kelembagaan dan juga jenis usaha.
Dalam konteks organisasi dan kelembagaan, mungkin hal ini tidak terlalu rumit
yaitu cukup dengan menjadikan KSU menjadi beberapa koperasi sesuai dengan
aktivitasnya sepanjang anggotanya sama dengan yang terdaftar di KSU. Kesulitan
terletak pada pemisahan administrasi kekayaannya. Apalagi rata-rata KSU yang
menyelenggarakan USP cenderung menjadikan USP sebagai sumber permodalan
koperasi, sementara UU No.17 Tahun 2012 tidak memperbolehkan KSP investasi pada
sektor riil. Hal ini memerlukan pensikapan bijak sehingga tidak menyebabkan
hilangnya animo masyarakat untuk berkoperasi. Opsi-opsi yang di tawarkan harus
mendatangkan kenyamanan dan menjaga kepercayaan masyarakat terhadap
koperasi. Sebagai stimulan berikut ini
disajikan bagian darii materi sosialisasi UU No.17 Tahun 2012 yang disusun oleh
Dekopinwil Banten tentang opsi-opsi dalam merubah USP menjadi KSP, antara lain:
- USP dipisah dari Koperasi Induk dan menjadi KSP dengan badan hukum terpisah dari induknya, sementara induk tetap berjalan dengan unit usaha selain simpan pinjam.
- USP dan Unit Usaha lain berdiri sebagai badan hukum terpisah. Koperasi induk melebur ke dalam KSP baru (kasus dimana USP koperasi dominan).
- USP dan Unit Usaha lain berdiri sebagai badan hukum terpisah. Koperasi induk melebur kedalam koperasi (baru) dari unit usaha lain-lain. (kasus dimana unit lain lebih dominan).
- Beberapa USP koperasi dipisah dan bergabung dengan KSP gabungan. Koperasi induk tetap berjalan dengan unit selain USP.
- Beberapa USP koperasi bergabung menjadi KSP Gabungan. Koperasi Induk tutup/melebur menjadi koperasi sektor riil dengan badan hukum baru.
9.
dsb
Beberapa hal
diatas merupakan hal-hal yang dinilai memerlukan perhatian dan juga penyesuaian
baik dalam konteks organisasi dan kelembagaan maupun dalam konteks
perusahaan.
C. Penutup

Posting Komentar
.