MENSINERGIKAN
KOPERASI SIMPAN PINJAM dan KEWIRAUSAHAAN
A. Prolog
Disamping itu,
dijadikannya “Jati Diri Koperasi” sebagai sumber inspirasi dan menjiwai
segenap mengembangkan koperasi. Hal ini dapat dimaknai sebagai bentuk keinginan
kuat melahirkan koperasi-koperasi yang kesehariannya lekat dengan keunikannya.
Dalam hal ini, jati diri koperasi tidak hanya berfungsi sebagai pembeda, tetapi
menjadikannya sebagai sumber keunggulan yang akan membawa
koperasi pada kebermaknaan dan kebermanfaatan bagi kehidupan ekonomi, sosial dan budaya dari segenap
anggotanya.
Pengintrepretasian
Jati Diri Koperasi memerlukan satu perenungan mendalam, sebab ini tidak hanya tentang
defenisi, nilai dan prinsip-prinsip, tetapi juga mendorong koperasi untuk konsisten
dan komitmen dengan “ruh perjuangannya”. Pengintegrasian
nilai-nilai ekonomi, sosial dan budaya ke dalam ruh pengelolaan perusahaan koperasi
perlu diarus utamakan, sehingga
akan mendudukkan koperasi secara tegas sebagai sebuah organisasi dan perusahaan
pemberdayaan masyarakat.
Dalam asa
kebanyakan orang, koperasi sering di impikan bisa sejajar dengan para pelaku
ekonomi lainnya. Dalam konteks semangat hal ini bisa difahami dan juga bisa
dijadikan sumber inspirasi untuk lebih mengembangkan koperasi. Hanya saja, dalam proses pencapaiannya, koperasi harus
tetap menjadi dirinya sendiri dan tidak tergoda dengan praktek-praktek
non-koperasi. Artinya, keberdayaan atau kesetaraan koperasi dengan pelaku
ekonomi lainnya sesungguhnya hanya sebagai imbas dari akumulasi pencapaian dari
koperasi-koperasi yang terus bergerak sesuai ruh nya, bukan karena dia
menyimpang dari jati diri nya.
B. Sekilas Menilik
Persepsi dan Realitas
Hal berbeda akan
didapati ketika koperasi dibangun dengan semangat kebersamaan dan aktivitas
yang berorientasi pada keterjawaban dinamika aspirasi dan kebutuhan anggota;
maka yang akan terbangun adalah transaksi subyektif (transaksi yang didasarkan pada semangat
kepemilikan). Dengan demikian, koperasi akan tumbuh/berkembang bersama
anggotanya dan sebaliknya anggota pun akan berkembang bersama koperasinya. Pada
koperasi semacam ini lah protoype jangka panjang memungkinkan
di susun dan diaplikasikan.
C. “Azas Subsidiary” dan “mencerdaskan” Sebagai
Dasar Pendefinisian Aktivitas Koperasi.
Koperasi adalah sebuah organisasi yang lahir dari keyakinan kolektif dari
individu-individu. Artinya, koperasi merupakan kumpulan orang dimana setiap individu mempunyai motif dan harapan. Oleh karena itu, musyawarah
sebagai ciri khas koperasi dalam membuat satu keputusan, merupakan media yang
baik dalam membentuk “jalan tengah” atas ragam kepentingan
yang ada. Keterwakilan kepentingan mayoritas diharapkan mampu menjadi sumber terbanggunnya
ikatan emosional setiap orang atas apa-apa yang diputuskan bersama. Hal ini
penting sebab dalam mewujudkan apa yang diputuskan memerlukan komitmen
partisipasi optimal dari segenap unsur organisasi. Inilah yang
dikatakan sebagai pemberdayaan dalam arti bergerak bersama (baca: empowering)
dimana keterlibatan aktif semua unsur organisasi termasuk anggota menjadi kunci
keberhasilan. Oleh karena itu, kemampuan
setiap orang mendefenisikan kepentingannya dalam satu aktivitas yang dijalankan
koperasi, merupakan muasal yang mendorong setiap anggota mengambil tanggungjawab secara sadar dan
selalu ikut membesarkan organisasi dan perusahaan koperasi.
Dalam nalar yang
demikian, maka ketika koperasi memiliki toko swalayan, anggota akan
mentransaksikan kebutuhannya di toko tersebut dan bukan ke toko yang lain.
Demikian pula ketika koperasi menjalankan aktivitas simpan pinjam, toko saprodi (sarana produksi) dan lain
sebagainya, maka anggota dengan antusias menjadikannya sebagai pilihan utama setiap
kali mentransaksikan kebutuhannya.
Untuk tujuan itu,
perumusan aktivitas koperasi perlu berpedoman pada azas subsidiary. Azas ini
menegaskan bahwa apa-apa yang sudah di kerjakan anggota, sebaiknya tidak
dikerjakan oleh koperasi. Sebaliknya, apa-apa yang tidak bisa dikerjakan
anggota, maka itulah yang seharusnya dikerjakan koperasi. Dengan demikian,
posisi perusahaan koperasi adalah mesin penjawab bagi dinamika aspirasi
dan kebutuhan di lingkaran anggota. Dalam situasi semacam ini, ikatan emosional
anggota akan terbentuk seiring dengan kian meluasnya kebermanfaatan nyata yang
dirasakan oleh anggota.
Disamping itu,
aktivitas koperasi juga harus bersifat “mencerdaskan”, baik secara ekonomi,
sosial dan budaya. Dengan demikian, koperasi akan menjadi lokomotif bagi
anggotanya dalam meningkatkan hidup yang berkualitas. Dalam dimensi ekonomi,
koperasi harus mencerdaskan anggota dalam menggunakan atau meningkatkan
pendapatannya. Lewat aktivitas perusahaan koperasi, anggota bisa mendapati apa
yang disebut dengan efisiensi kolektif, sehingga anggota bisa merasakan ada manfaat
lebih yang nyata tatkala mereka
menjadi bagian dari barisan koperasi. Lebih luas dari itu, efisiensi
kolektif yang terbentuk dari kebersamaan
juga bisa mendorong anggota untuk lebih
produktif dalam kehidupan ekonominya. Demikian
halnya dalam dimensi sosial dan budaya, koperasi seyogyanya mampu
menjadi agen efektif dalam membangun karakter anggotanya. Dengan demikian,
akumulasi anggota yang memiliki karakter sosial dan budaya yang baik akan
menjadi modal sosial yang
penting dalam menumbuhkan koperasi secara kelembagaan maupun perusahaan. Inilah
yang dimaksud pengintegrasian dimensi ekonomi, sosial dan budaya dalam nafas
pengelolaan organisasi dan perusahaan koperasi. Pada titik ini, peningkatan
kualitas hidup anggota sebagai fokus pertumbuhan dan perkembangan koperasi ,
akan mendorong aktivitas koperasi ke arah tanpa batas seiring dengan dinamika kebutuhan
ekonomi, sosial dan budaya dari segenap pemiliknya (baca : anggota). Disinilah
letak ke-unik-an dan juga sumber keunggulan koperasi.
Hal ini merupakan
tantangan bagi koperasi mengingat derasnya arus kapitalisme yang mendorong
orang lebih mencintai individualisme sebagai gaya hidup (life style). Artinya,
koperasi yang selalu mengusung kerjasama (kolektivitas) harus berhadapan
langsung (head to head) dengan realitas sosial yang sudah terjebak akud dalam
kompetisi liar dimana semua orang ingin keluar sebagai pemenang sehingga harus
saling mengalahakn. Oleh karena itu, koperasi diharapkan mampu mengambil peran
strategis dalam mem-filter perkembangan zaman yang sering dikemas dalam istilah “modernisasi”.
Koperasi harus mengambil tanggungjawab sosial mempertahankan nilai-nilai arif
yang menjadi akar budaya asli masyarakat Indonesia.
D. Edukasi Sebagai
Senjata Ampuh
UU No. 17 Tahun 2012 juga menekankan
perlunya penyelenggaraan pendidikan. Pencantuman “pendidikan” sebagai satu
hal yang harus dilaksanakan koperasi merupakan bentuk kesadaran nyata
bahwa pendidikan merupakan satu kebutuhan dalam mengembangkan organisasi
maupun perusahaan koperasi. Dalam tinjauan ideal, pendidikan tidak terbatas
pada pemberian ilmu pengetahuan saja, tetapi juga bertanggungjawab terhadap
keterbentukan perubahan perilaku. Untuk
peningkatan efektivitasnya, metode pendidikan harus diperkaya sesuai dengan
dinamika kehidupan anggota.
Kalau menilik
kenyataan, masih banyak koperasi melupakan perlunya penyelenggaraan “pendidikan”.
Rekruitmen anggota cenderung fokus pada kesanggupan calon anggota memenuhi
persyaratan administratif dan jarang sekali yang men-syaratkan pengetahuan dan
pemahaman koperasi yang cukup sebagai hal yang harus dipenuhi. Disamping itu,
koperasi juga masih jarang memiliki “konsep pendidikan anggota” yang
teraplikasi secara terus menerus. Akibatnya, anggota mempersepsikan dirinya dan
juga koperasi menurut perspektifnya masing-masing. Atas kondisi semacam ini,
hadirnya perdebatan kepentingan sering timbul di perjalanan sebuah koperasi.
Hal berbeda pasti didapatkan ketika koperasi
mendidik anggotanya sebelum bergabung minimal dalam hal apa, mengapa dan bagaimana
seharusnya berkoperasi. Hal ini tidak hanya akan membentuk terbangunnya iklim
kondusif organisasinya, tetapi
juga meng-akselerasi pertumbuhan organisasi dan perusahaan koperasi. Kondisi ideal semacam ini layak
diharapkan, sebab semua anggota yang akan bergabung adalah individu-individu
yang sudah memiliki pemahaman yang benar tentang koperasi. Disamping itu,
persinggungan-persinggungan kepentingan dan atau konflik psikologis akan
lebih mudah terselesaikan, sebab setiap individu telah terikat secara moral
dengan nilai-nilai yang sudah tertanan sejak mula bergabung di koperasi.
E. Menilik
Relevansi Koperasi dan Kewirausahaan
Sekilas, koperasi dan wirausaha tampak berseberangan, sebab wirausaha
cenderung sebatas aktivitas personal atau beberapa orang saja. Sementara itu, koperasi
bersifat kolektif alias bersama-sama. Ketika koperasi dipersepsikan sebagai korporasi
yang
fokus dengan pertumbuhan modal dan keuntungan, maka koperasi dan
wirausaha akan terjebak dalam persaingan
secara terbuka dan berhadap-hadapan
Namun demikian, ketika berpedoman pada azas susidiary dan juga membaca koperasi sebagai kumpulan
orang yang berkomitmen hidup bersama, maka koperasi dan wirausaha menjadi
memiliki relevansi dan saling memperkuat.
Lewat koperasi, para anggota yang berprofesi sebagai wirausahawan/ti bisa
mengagendakan hal-hal yang berkaitan dengan peningkatan kapasitas (kualitas dan
kuantitas) usaha yang dijalankannya.
Berikut ini
diberikan illustrasi singkat untuk mempermudah hubungan produktif antara koperasi dan wirausahawan :
·
Sekelompok
individu yang berprofesi sebagai wirausahawan/ti mendirikan koperasi dan fokus aktivitas yang dipilih adalah simpan
pinjam. Mereka menjadikan simpan pinjam sebagai buffer financial institution
(institusi penyanggah keuangan) atas usaha-usaha yang mereka jalankan. Disamping
itu, untuk meningkatkan kapasitas usaha anggotanya, koperasi menyewa konsultan manajemen yang berfungsi
sebagai tempat anggota berkonsultasi dalam hal pengembangan usahanya
masing-masing.
·
Beberapa
wirausahawan/ti (pengrajin) membentuk koperasi. Untuk mendukung perkembangan
usaha anggotanya, koperasi menyiapkan ruang pajang (gallery) guna untuk
memasarkan hasil kerajinan anggotanya. Disamping itu, koperasi juga fokus pada
pengembangan pemasaran atas hasil kerajinan anggotanya. Bahkan koperasi menyewa konsultan untuk meng-up grade
teknologi proses produksi yang dilakukan
oleh anggotanya sehingga bisa meningkatkan nilai tambah produk yang dihasilkan anggotanya.
·
Beberapa
wirausahawan/ti (pedagang eceran di terminal) mendirikan koperasi. Untuk
mendapatkan harga yang lebih murah, maka koperasi menyelenggarakan join
buying (pembelian bersama). Dalam hal ini, koperasi difungsikan sebagai
grosir yang memasok semua kebutuhan barang dagangan
anggotanya.
Beberapa
illustrasi diatas menunjukkan relevansi antara aktivitas yang dijalankan anggota yang
berpofesi sebagai wirausahawan dengan aktivitas koperasi. Illustrasi diatas
juga menjelaskan hubungan linear antara pertumbuhan perusahaan koperasi dan
pertumbuhan perusahaan anggotanya.
Beberapa kondisi diatas juga menunjukkan bahwa kerjasama yang terbentuk bukan saling meniadakan/kompetisi,
tetapi saling mendukung dan memperkuat. UU No.17 Tahun 2012 pun
menegaskan bahwa aktivitas koperasi itu
berdasarkan usaha yang dijalankan anggotanya dan atau kebutuhan ekonomi
anggotanya.
F. Koperasi Simpan Pinjam (KSP) dan Pemberdayaan Kewirausahaan
Dalam Core Aktivitasnya KSP
adalah simpan dan pinjam yang dalam penggarapannya fokus pada anggota. UU No.17/2012 juga dengan
tegas menegaskan bahwa KSP hanya boleh melayani anggotanya. Disamping itu, KSP
juga harus fokus pada aktivitas keuangan dan tidak boleh ber-investasi pada
sektor riil. Dalam konteks kelembagaan, UU No.17/2012 juga mendorong KSP untuk lebih
profesional dalam pengelolaan
sampai-sampai memasukkan standar kompetensi sebagai standar bagi pengelola sebuah KSP.
Dari sisi lainnya,
jati diri koperasi yang ditegaskan UU No.17/2012 sebagai sumber inspirasi dalam
mengembangkan koperasi, membuat pola pengelolaan KSP perlu menata ulang mindset pengelolaan. Keterjebakan
pada pola korporasi yang menekankan
pada pertumbuhan asset dan omzet perusahaan, harus ditata ulang sehingga terbentuk relevansi
yang kuat terhadap anggota secara nyata.
Sebagai bahan
perenungan, berikut ini disajikan beberapa tanya yang menginspirasi:
1. Apakah KSP pernah
terfikir apakah pinjaman yang diberikan mendatangkan
kebaikan atau keburukan bagi hidup anggotanya. Ataukah pinjaman yang
diberikan telah mendorong anggota menjadi konsumtif?.
2. Apakah KSP terfikir
untuk memposisikan pinjaman sebagai jembatan untuk membudayakan menabung bagi segenap anggota?.
3.
Apakah anggota
pinjam di koperasi karena rasa memiliki ataukah sebagai alternatif terakhir
walau harus menanggung jasa yang lebih tinggi?
4.
Kalau faktanya
gairah anggota menabung di koperasi
rendah, apakah dikarenakan anggota tidak/belum percaya pada KSP atau memang
karena anggota tidak memiliki uang untuk ditabungkan karena sudah terjebak
dalam konsumerisme?.
5.
Misalkan SHU
sebagai salah satu faktor yang dinilai bisa membahagiakan anggota, sebesar
apakah jumlah sebaran pinjaman terhadap anggota agar anggota
memperoleh SHU sama dengan pendapatannya sebulan atau bahkan setahun?.
6.
Kalau kemudian
perolehan SHU KSP didorong dari tingginya margin/jasa pinjaman, bukankah KSP
telah mengeksploitasi anggotanya sendiri dalam perburuan SHU?.
7.
apakah
pertumbuhan KSP linier dengan pertumbuhan kualitas hidup anggotanya?.
8.
Untuk apa
sesungguhnya KSP terlahir?
Pertanyaan-pertanyaan
diatas memerlukan jawaban yang clear sehingga positioning KSP sebagai perusahaan
koperasi menjadi jelas ditinjau dari
keterjawaban aspirasi dan kebutuhan ekonomi, sosial dan budaya anggota.
Artinya, perlu dibangun relevansi antara eksistensi KSP dengan keinginan meningkatkan kualitas hidup anggota dalam arti
luas. Dengan demikian, KSP sebagai organisasi pemberdayaan akan mewujud secara
nyata. Oleh karena itu, pengintegrasian
aspirasi dan kebutuhan anggota ke dalam ruh pengelolaan sebuah KSP merupakan hal yang harus diarus utamakan.
Sebagai pemantik,
berikut ini di jabarkan sebuah illustrasi gagasan:
Sekelompok individu meyakini lewat “bersama-sama” akan terbentuk peningkatan harapan baru yang tidak
mungkin diperoleh bila sendirian. Mereka menginginkan hidup mereka lebih
berkualitas lewat menyatukan diri. Untuk
itu, mereka mendirikan sebuah KSP. Mereka merumuskan beberapa komitmen tentang
fungsi KSP ini, yaitu :
1.
sebagai media membudayakan “menabung” demi keterbentukan masa depan dan
menghindarkan diri dari konsumerisme;
2.
mengembangkan budaya saling tolong menolong dalam hal-hal yang bersifat
emergency seperti kecelakaan, kematian dan lain sebagainya yang berhubungan
dengan sesuatu yang tak direncana datangnya.
3.
membudayakan pola hidup produktif
Ketiga komitmen ini telah mempengaruhi kebijakan
pengelolaan KSP tersebut, antara lain :
1.
menyelenggarakan pendidikan secara terus menerus dalam konteks membangun semangat
solidaritas, disiplin, kesadaran untuk menabung dan membudayakan hidup
produktif melalui optimalisasi segala potensi.
2.
penerapan jasa pinjaman berjenjang sebagai berikut :
a)
pinjaman konsumsi dikenakan jasa 5% per bulan. Tingginya jasa pinjaman
untuk konsumsi dimaksudkan sebagai bentuk edukasi yang menghindarkan anggota
dari perilaku konsumtif.
b)
pinjaman produktif 0,3%/bulan. Rendahnya jasa pinjaman untuk kegiatan
produktif ini dimaksudkan untuk mendorong anggota agar lebih produktif lewat
pengembangan jiwa kewirausahaan;
c)
untuk pinjaman emergency 0,15% per bulan. Hal ini didasarkan pada semangat
kesetiakawanan dan saling tolong menolong.
Illustrasi diatas
menunjukkan menandaskan beberpa hal berikut ini :
- bagaimana aspirasi dan kebutuhan ekonomi, sosial dan budaya anggota terintegrasi di dalam pola pengelolaan KSP yang mereka miliki secara bersama-saman.
- Perusahaan koperasi (baca : KSP) adalah alat atau media untuk mencapai tujuan-tujuan yang mereka rumuskan bersama-sama. Dalam kondisi demikian, bisa dilihat bagaimana KSP berperan sebagai mesin penjawab bagi keterbangunan kualitas hidup (baca: kesejahteraan) anggotanya.
- Transaksi yang terjadi merupakan transaksi subyektif yang didasarkan pada semangat kepemilikan dan membesarkan.
- Kemanfaatan yang mereka dapat tidak dalam bentuk SHU (Surplus Hasil Usaha) tetapi jauh lebih besar dari itu yakni keterbangunan kualitas hidup segenap anggotanya.
- Illustrasi tersebut juga menggambarkan KSP sebagai media efektif pemberdayaan kewirausahaan akan senantiasa terbuka. Rendahnya jasa pinjaman merupakan faktor keunggulan yang membuat mereka lebih bisa bersaing dikarenakan biaya modal usaha yang sangat rendah. Dalam dimensi makro ekonomi, persoalan negeri ini tentang jumlah wirausahan yang masih rendah, yaitu baru 0,6% dari jumlah ideal 2,5% dari total jumlah penduduk, akan berpotensi berkembang melalui koperasi.
Dalam cara baca demikian, maka indikator kesuksesan KSP tidak
lagi fokus pada pertumbuhan omzet, asset dan modal yang berasal dari penyisian
SHU, tetapi pada terbangunnya kesejahteraan anggota secara bertahap dan
berkrsinambungan. Pada posisi anggota sudah lebih sejahtera, maka mereka akan
lebih berkemampuan dalam hal menabung dan mengembangkan tujuan-tujuan hidupnya.
Dengan demikian, pertumbuh dan perberkembangan KSP akan linier dengan
pertumbuhan dan perkembangan anggotanya.
Hal semacam ini tentu
tidak didapatkan pada KSP yang mengusung semangat korporasi, dimana
perkembangannya di dominasi oleh elite organisasi (baca: pengurus/manajemen dan
pengawas) yang dalam prakteknya cenderung terdorong melanggengkan transaksi
rasional. Pada pola korporasi, semangat kapitalistik akan lebih
mendominasi pemikiran dalam menyusun strategi dan bahkan bukan tidak mungkin memposisikan anggota sebagai populasi yang di
eksploitasi secara terus menerus. Ukuran-ukuran keberhasilan pun menjadi cenderung
pada kalkulasi matematis yang berorientasi pada pertumbuhan omzet, Asset dan
SHU.
Oleh karena itu,
ketika KSP diharapkan bisa melahirkan dan atau mendorong tumbuh kembangnya
wirausahawan/ti yang berasal dari anggota, maka pola pengembangan KSP
berbasis Jati Diri Koperasi jauh lebih
memungkinkan. Hal ini bukan saja karena
adanya jasa rendah atas pinjaman modal, tetapi berpeluang mengembangkan
kapasitas anggota dalam mengelola usahanya. Hal ini bisa diwujudkan KSP lewat
penyelenggaraan ragam pendidikan, pelatihan, pembinaan teknis (bintek) dan
pendampingan.
G. Penghujung
Membangun KSP yang meng-anggota memang bukan pekerjaan mudah. Walau pasti
sangat sulit diawalnya, tetapi implikasi
positif jangka panjang yang luar biasa baik bagi pertumbuhan kesejahteraan
anggota dalam arti meningkatnya kualitas hidup maupun bagi perkembangan KSP nya
sebagai sebuah organisasi dan perusahaan.
Penulis menyadari
bahwa pemikiran-pemikiran diatas mungkin akan mengundang polemik pemikiran
dikarenakan cenderung menabrak realitas pengelolaan kebanyakan KSP saat ini,
tetapi adanya manfaat dan makna lebih luas yang akan tercipta ketika mewujud, menjadi satu pembenar bahwa hal ini layak
untuk di perjuangkan.
Demikian
pemikiran sederhana ini di paparkan sebagai satu stimulan memperkaya gagasan
dalam menumbuhkembangkan KSP secara organisasi dan perusahaan, juga mengembangkan
semangat kewirausahaan di kalangan anggota KSP. Semoga menginspirasi semangat
para pegiat atau aktivis koperasi untuk terus memperkaya khasanah bergagasan
bagi kelahiran kebermanfaatan dan kebermaknaan yang baru dari berkoperasi.
Amin.
+ komentar + 1 komentar
Referensi buku nya apa aja ya?
Posting Komentar
.