CAH NDESO.COM : PENGALAMAN PERTAMAKU NAIK KRL DI IBU KOTA | ARSAD CORNER

CAH NDESO.COM : PENGALAMAN PERTAMAKU NAIK KRL DI IBU KOTA

Sabtu, 16 November 20130 komentar



Kali ini..atas pertimbangan saving energi...saya memilih  naik kereta untuk memenuhi undangan mengisi sebuah pelatihan di Depok. Saya berangkat jam 01.20 bersama seorang junior dan sekaligus guru ideologi saya dalam urusan koperasi, Om Suroto. Kebetulan beliaupun di undang pada acara yg sama. Tepat jam 06.15 wib kereta tiba di Stasiun Jatinegara. Setelah menyempatkan diri bersih2 dan sarapan di flat sang junior yang satu ini, kami pun beranjak ke stasiun kalibata dan kemudian naik KRL menuju Depok baru.


Sejujurnya, ini pengalaman pertamaku naik KRL di ibu kota negara ini. Situasi tampak lengang, mungkin karena hari sabtu adalah week end  bagi rakyat Jakarta dan sekitarnya, sehingga kami bisa dapat tempat duduk dan bisa menikmati gerakan kereta. Disepanjang perjalanan menuju Depok Baru, kami sempet membahas tentang lonjakan kenyamanan transportasi kereta saat ini. Om Suroto sempet memuji keberhasilan PT. KAI melakukan reformasi pelayanan. Tak terlihat lagi para pedagang menjajakan asongannya dan tak tampak lagi para pengamen yang  menjajakan suaranya yang sering jauh dari standart. Tiket masuk pun sudah di format dalam sistem kartu yang berfungsi sebagai pembuka gate saat masuk ataupun keluar stasiun, sehingga penyaringan penumpang sudah dilakukan sejak pertama kali melewati memasuki area stasiun. AC pun begitu menyejukkan se isi ruangan gerbong dan di lengkapi dengan cahaya terang benderang. Aku pun melihat beberapa kursi di pojokan gerbong di lokalisir untuk penumpang berkebutuhan khusus, seperti manula, ibu yang membawa anak dan bahkan penumpang cacat.  Bahkan di bagian dinding bertuliskan permohonan perkenan penumpang untuk mengingatkan bila ada penumpang yang tidak memenuhi kriteria khusus menduduki bangku-bangku tersebut. Tak sampai disitu, beberapa gerbong di siapkan khusus untuk kaum wanita dengan stiker yang tegas pada sisi luar gebong ber cat ping, simbol warna kesukaan wanita. Kebijakan tersebut di inspirasi beberapa kejadian pelecehan seksual pada kaum wanita saat penumpang penuh. Sungguh aku terkagum dan kemudian berkesimpulan bahwa manajemen PT. KAI sangat melindungi dan menempatkan wanita pada posisi yang sangat terhormat. Aku bersepakat pujian juniorku tentang reformasi pelayanan jenis transportasi umum plat merah ini.



Tingtong...di telinga kami terdengar nada pengingat bahwa kereta sudah sampai Stasiun Depok Baru. Setelah kereta berhenti dan pintu terbuka secara otomatis, kemudian kami pun beranjak keluar dan langsung menuju gate  exit stasiun. Setelah sempet istrahat beberapa menit sambil  menikmati minum secangkir kopi panas dan gorengan, panitia penjemputan tiba dan langsung membawa kami bergerak menuju lokasi penyelenggaraan pelatihan. Sekitar jam 10.15 wib, kami dah berada di lokasi. Bercengkrama sesaat dan setelahnya menuju kamar untuk istrahat sejenak sebelum acara di mulai.  



Alhamdulillah, pelatihan berjalan lancar dan peserta begitu antusias  mengikuti serangkaian materi yang disajikan oleh beberapa nara sumber. Tepat Jam 17.00 wib, kami pun berpamitan dan 2 (dua) orang panitia mengantarkan kami ke Stasiun Depok Baru.

Setelah me-recharge kartu tiket penumpang, kami pun masuk ke stasiun. Setelah sampai diatas, Sang Junior baru menyadari bahwa seharusnya kami menunggu kereta di bagian seberang. Akhirnya kami turun lagi melewati lorong bawah dan naik ke sisi sebelahnya. Sayangnya, terlambat sampai di atas sehingga harus menunggu kereta pemberangkatan berikutnya.

Di masa penantian, aku mencoba menikmati suasana dan menyaksikan para penumpang yang lalu lalang. Di sisi seberang, aku menyaksikan setiap kereta tiba dipenuhi penumpang dan tali gantungan yang diperuntukkan bagi  para penumpang yang berdiri terpakai semua dan bahkan sebagian tak kebagian. Suasana ini sangat kontras dengan tadi pagi saat perjalanan dari kalibata -Depok Baru. Mungkin nanti kereta yang akan kunaikin juga kondisi penumpangnya sama, gumamku dalam hati.



Keasikanku menikmati suasana sejenak terhenti saat di hadapanku ada seorang nenek dan anaknya  berdiri dihadapanku menunggu kereta datang. Rasa kemanusiaanku muncul seketika dan kemudian mempersilahkan mereka duduk di tempat yang aku duduki. Saat berdiri, aku sempat melihat pagar berkawat duri sekitar satu meter persis diatas kepalaku. Tahu aku sedang mengamati kawat berduri yang menempel pada pagar berkawat itu, Sang Junior mencoba menjelaskan bahwa kawat berduri itu adalah bagian dari tindakan pencegahan  agar para penumpang tidak naik ke atas atap gerbong, sebagaimana kebiasaan mereka saat  reformasi pelayanan belum dilakukan.  Luar biasa fikirku...betapa nekatnya ya masyarakat indonesia, khususnya penghuni jakarta sekitarnya.  Bisa dibayangkan bagaimana mereka duduk diatas gerbong dalam kondisi kereta berjalan dan tak peduli dengan  keselamatan mereka sendiri..sungguh gila dan nekat..fikirku. Hadirnya kawat duri itu membuat kekagumanku lebih lagi  terhadap keberhasilan  reformasi BUMN yang satu ini. 


Jam 18.05 Wib, KRL yang ku nanti pun datang. Alhamdulillah... kekhawatiranku terjawab dan aku yakin akan sampai di gambir sebelum jam pemberangkatan yang tertera di tiket yang sudah ku pesan sejak awal berangkat dari Purwokerto. Disisi lain, firasatku juga terbukti dimana kereta sesak orang sebagaimana ku saksikan tadi di rel seberang kereta yang menuju Bogor. Aku dan temanku pun tak mendapat tempat duduk, untungnya masih ada tersisa 3 (tiga) buah segitiga untuk pegangan tangan bagi penumpang yang berdiri, sehingga keseimbangan tubuhku terjaga saat kereta berjalan. Aku melihat begitu banyak penumpang yang berdiri dan sebagian besar dari mereka  sepertinya tidak membutuhkan pegangan untuk menjaga keseimbangan. Bahkan mereka tampak  stabil dan asik bermain dengan gadget atau HP nya masing-masing. Semua mereka terlihat sudah terbiasa dengan kondisi semacam ini. Kesan nrimo dan santai dalam  situasi berdesak-desakan semacam ini  begitu tegas dan semua tampak comfort.

Baru saja aku menggapai segi tiga pegangan tangan yang tersedia di kereta, Sang junior menyarankan untuk segera merubah posisi tas rangselku ke bagian depan. Aku tak perlu bertanya mengapa dan langsung mentaati saja sarannya, sebab temenku satu ini sudah cukup lama tinggal di Jakarta.  Satu hal yang muncul di benakku, saran temenku itu mengindikasikan betapa perlunya waspada di kota sebesar ini, apalagi ku tahu dia pernah mengalami kehilangan tas dan labtop 2 (dua) kali di kereta. Ini Jakarta Bung....ujarku dalam hati sambil tersenyum sendiri. 



Seketika mataku tertuju pada dinding gerbong kereta persis disamping pintu otomatis keluar masuk gerbong. Ku dapati anak berumur kira-kira 11 atau 12 tahun yang masih berseragam olah raga. Dari sepatu yang dia pakai, sepertinya anak ini baru saja selesai mengikuti latihan sepak bola. Mungkin anak ini bercita-cita sukses dan tenar seperti Bambang Pamungkas atau bahkan bermimpi seperti Ronaldo. Sambil berdiri, dia merapatkan  badan dan kepalanya ke dinding gerbong dengan mata terpejam. Anak ini sepertinya keletihan setelah berktivitas seharian demi keterwujudan mimpinya. Sampai jam segini, anak seumur itu belum sampai di rumah. Hal ini sangat berbeda dengan kondisi di kampung dimana pada jam segini anak seusianya biasanya berada di musholla atau di langgar melaksanakan sholat maghrib dan juga mengaji. Mungkin anak itu sudah terlatih dan dipaksa keadaan akrab dengan aksi menjama’ sholat, fikirku positif sambil menyamakan rencanaku sendiri untuk menjama’ maghrib dan isya di mesjid stasiun bila sudah sampai di  Gambir. Aku memang musyafir di Jakarta pada hari ini, tetapi cukupkah alasan mereka yang sebagian besar penghuni tetap jakarta sedang berada di kereta ini untuk menyelenggarakan sholat jama’??...aku tak berani berkesimpulan untuk tanya satu ini.............

 

Tiba-tiba telingaku sedikit terusik dengan tangisan seorang anak kecil. Ku cari sumber suara tangis itu sambil melongok ke sana ke mari. Ku temukan sekitar 3 (tiga) meter dari posisiku berdiri. Disela-sela orang berdiri, ku lihat sang ibu sedang berupaya keras menenangkan anaknya. Mungkin aku saja yang merasa asing dengan suasana itu, sebab ku saksikan orang di sebelahnya dan juga sekitarnya  tetep cuek dan sebagian ada yang menghibur telinganya dengan headset yang mengalunkan lagu-lagu pilihannya. Suara tangis anak kecil itu semakin menjadi...dimana ayah dari anak itu, tanyaku dalam bathin.  Aku hanya teringat kebiasaanku di Purwokerto untuk selalu mendampingi istri kemanapun saat anak-anak kami masih balita. Tetapi...mungkin inilah Jakarta, ibu kota tempat menggantungkan ribuan mimpi tentang sebuah masa depan berpengharapan....



Ting tong....Stasiun Duren Kalibata...junior yang juga guru ideologi koperasiku pun berpamitan turun duluan, sebab flat beliau tak jauh dari stasiun Kalibata. Saat kereta hampir berhenti, sahabat ku satu ini sempat bercanda ”kabarin ya mas kalau kesasar”, sebuah perhatian yang meragukan kecanggihanku berpetualang di kota besar...aku hanya tersenyum sambil sedikit menjulurkan lidahku sebagai bentuk perlawanan kelelakian..kereta pun kemudian bergerak melanjutkan perjalanan.



Ting tong....Stasiun Cawang...begitu terdengar pengumuman dari kereta, Tiba-tiba suara serak ku dengar dari sisi belakangku... ”permisi”....aku melongok ke belakang sambil memberi space untuk lewat menuju pintu gerbong. Ternyata seorang nenek umur 60 tahunan. Tetapi aku tak melihat seorang pun menemaninya saat turun. Luar biasa fikirku, setua itu sang nenek keluyuran sendirian di Jakarta . Tega bener ya anak, cucu atau mantunya..fikirku. Sesaat kemudian, kembali ku tersenyum dan berkata, ini Jakarta bung...ini bukan kampung halaman. Jangan-jangan nenek itu memang sudah terbiasa dan bahkan merasa terganggu kalau bepergian ditemenin anak, cucu atau menantunya. Tapi, nenek itu bawa HP atau KTP ndak ya untuk mengabarkan kepada sanak keluarganya bila terjadi sesuatu. Hmmm....aku nya aja kali yang terlalu lebay.... Faktanya, nenek tua itu juga melenggang santai dan penuh  percaya diri di kesendiriannya.



Hmmm...setelah si nenek berlalu keluar gerbong dan beberapa penumpang baru naik dan salah satunya adalah sepasang remaja naik. Sepertinya mereka ini mau malam mingguan. Hal ini tercermin dari harum parfume yang masih tajam dari kedua tubuh remaja ini. Pegangan kereta yang tersedia hanya 1 (satu), persis di sebelah gantungan tanganku. Hmmm....ku fikir itu masalah buat mereka, tetapi justru mereka menemukan alasan untuk menggelar aksi romantisme. Sang lelaki menggantungkan satu tangannya dan tangan satunya memeluk puteri hatinya dalam bahasa melindungi. Hmmmm...serasa ingin cepet sampai di rumah dan bertemu istri, gumamku dalam hati sesaat menyaksikan aksi sepasang kekasih itu. Apakah kualitas romantisme mereka akan sama di saat sudah berkeluarga dan mempunyai anak?...pretttt...ngapaen juga aku mikir sejauh itu. Aku hanya ndoain kelak mereka  menjadi pasangan hidup yang bahagia. Ku fikir itu lebih bijak ketimbang memikirkan atau menduga-duga lebih jauh...bisa-bisa aku di bilang kepo.....



Ting...tong...Stasiun  Tebet....sebagian orang dari dalam gerbong antri bergerak keluar dan sesaat kemudian penumpang baru masuk dan satu diantaranya seorang kakek tua renta sekitar umur 70-an. Ironisnya, tak ada satupun pegangan tangan kereta yang tersisa. Tiba-tiba seorang  lelaki yang masih muda beranjak dari tempat duduknya dan mempersilahkan sang kakek untuk duduk. Waw...ternyata masih  ada sisi kemanusiaan di kota yang masyarakatnya terkenal individualis. Aku terhenyak menyaksikan kebijakan itu seolah mengoreksi persepsiku terhadap karaktek penghuni kota besar ini.



Ting tong...Stasiun Manggarai...ku dapati lagi pemandangan aneh. Seorang petugas kereta berseragam biru memakai helm putih menggotong 2 (dua) tas barang dengan susah payah. Sebelum kereta bergerak dia berpesan kepada petugas lainnya yang berdiri di sisi luar kereta untuk menginformasikan bahwa barang ini akan diamankan di stasiun kereta berikutnya, Cikini.  Saat petugas lainnya dalam kereta menanyakan perihal barang tersebut, Petugas itu menjelaskan bahwa barang itu ketinggalan, sementara penumpangnya sudah kadung naik kereta duluan sehingga  perlu diamankan agar sang pemilik tidak kesulitan mencarinya. Waw...satu budaya baru hasil ”reformasi pelayanan” PT.KAI begitu kentara. Kesalutanku pun bertambah lagi seputar revolusi pelayanan ini. Sesampai di Stasiun Cikini, sang petugas tersebut pun turun dan menggondol kedua tas barang tersebut menuju kantor stasiun. Semoga kejujuran dan ikhlasmu kan berbuah berkah...doa’ku melepas pandangan seiring kereta melanjutkan perjalanan.



Ting tong...Stasiun Gondang dia...giliranku turun karena KRL tidak mampir di gambir. Setelah melalu gate keluar, aku menukarkan kartu dan mendapat uang pengembalian sebesar Rp 5.000,oo. Sebuah pelayanan luar biasa, simpulku sambil menuruni anak tangga dan aku langsung disambut barisan para tukang ojeg yang menawarkan service transportasi berjenis  roda 2 (dua). Berlagak sok penduduk Jakarta, dengan santai aja ku katakan ”gambir bang”. Tak lebih dari 10 menit, aku telah tiba di Gambir dan di pintu gerbang staiun abang ojek menghentikan sepeda motornya. Ku ucapkan terima kasih sambil menyerahkan uang Rp 10.000,oo. Dia pun berlalu sambil mengucapkan terima kasih juga.   

Azan Isya berkumandang seolah menyambut kedatanganku. Ku cari sumber suara itu dan kemudian menunaikan niatku menjama’ sholat Maghrib dan Isya’. Setelah menyempatkan diri meluruskan badan di serambi masjid stasiun, akupun bergegas menuju penukaran tiket on line dan kemudian masuk gambir dan naik ke lantai 03 mendapati kereta Argo Lawu tujuan Purwokerto. Kusempatkan membeli satu paket KFC dan ku lahap saat kereta belum mulai jalan.





16 Nopember 2013

Diatas Kereta Argo Lawu

Disepanjang perjalanan Jakarta Purwokerto yang menginsirasi...
Share this article :

Posting Komentar

.

 
Copyright © 2015. ARSAD CORNER - All Rights Reserved