Kali
ini..atas pertimbangan saving energi...saya memilih naik kereta untuk
memenuhi undangan mengisi sebuah pelatihan di Depok. Saya
berangkat jam 01.20 bersama seorang junior dan sekaligus guru ideologi saya
dalam urusan koperasi, Om Suroto. Kebetulan beliaupun di undang pada acara yg
sama. Tepat jam 06.15 wib kereta tiba di Stasiun Jatinegara. Setelah
menyempatkan diri bersih2 dan sarapan di flat sang junior yang satu ini, kami
pun beranjak ke stasiun kalibata dan kemudian naik KRL menuju Depok baru.
Sejujurnya, ini pengalaman pertamaku naik KRL di ibu kota negara ini.
Situasi tampak lengang, mungkin karena hari sabtu adalah week end bagi rakyat Jakarta
dan sekitarnya, sehingga kami bisa dapat tempat duduk dan bisa menikmati gerakan
kereta. Disepanjang perjalanan menuju Depok Baru, kami sempet membahas tentang
lonjakan kenyamanan transportasi kereta saat ini. Om Suroto sempet memuji keberhasilan PT.
KAI melakukan reformasi pelayanan. Tak terlihat lagi para pedagang
menjajakan asongannya dan tak tampak lagi para pengamen yang menjajakan
suaranya yang sering jauh dari standart. Tiket masuk pun sudah di format dalam
sistem kartu yang berfungsi sebagai pembuka gate saat masuk ataupun
keluar stasiun, sehingga penyaringan penumpang sudah dilakukan sejak pertama
kali melewati memasuki area stasiun. AC pun begitu menyejukkan se isi
ruangan gerbong dan di lengkapi dengan cahaya terang benderang. Aku pun melihat
beberapa kursi di pojokan gerbong di lokalisir untuk penumpang berkebutuhan
khusus, seperti manula, ibu yang membawa anak dan bahkan penumpang cacat.
Bahkan di bagian dinding bertuliskan permohonan perkenan
penumpang untuk mengingatkan bila ada penumpang yang tidak memenuhi kriteria
khusus menduduki bangku-bangku tersebut. Tak sampai disitu, beberapa gerbong di
siapkan khusus untuk kaum wanita dengan stiker yang tegas pada sisi luar gebong
ber cat ping, simbol warna kesukaan wanita. Kebijakan tersebut di inspirasi
beberapa kejadian pelecehan seksual pada kaum wanita saat penumpang
penuh. Sungguh aku terkagum dan kemudian berkesimpulan bahwa manajemen PT. KAI
sangat melindungi dan menempatkan wanita pada posisi yang sangat
terhormat. Aku bersepakat pujian juniorku tentang reformasi pelayanan
jenis transportasi umum plat merah ini.

Alhamdulillah, pelatihan berjalan lancar dan peserta
begitu antusias mengikuti serangkaian materi yang disajikan oleh beberapa
nara sumber. Tepat Jam 17.00 wib, kami pun berpamitan dan 2 (dua) orang panitia
mengantarkan kami ke Stasiun Depok Baru.
Setelah me-recharge kartu tiket penumpang, kami pun masuk ke stasiun. Setelah sampai diatas, Sang Junior baru menyadari bahwa seharusnya kami menunggu kereta di bagian seberang. Akhirnya kami turun lagi melewati lorong bawah dan naik ke sisi sebelahnya. Sayangnya, terlambat sampai di atas sehingga harus menunggu kereta pemberangkatan berikutnya.
Di masa penantian, aku mencoba menikmati suasana dan menyaksikan para penumpang yang lalu lalang. Di sisi seberang, aku menyaksikan setiap kereta tiba dipenuhi penumpang dan tali gantungan yang diperuntukkan bagi para penumpang yang berdiri terpakai semua dan bahkan sebagian tak kebagian. Suasana ini sangat kontras dengan tadi pagi saat perjalanan dari kalibata -Depok Baru. Mungkin nanti kereta yang akan kunaikin juga kondisi penumpangnya sama, gumamku dalam hati.
Setelah me-recharge kartu tiket penumpang, kami pun masuk ke stasiun. Setelah sampai diatas, Sang Junior baru menyadari bahwa seharusnya kami menunggu kereta di bagian seberang. Akhirnya kami turun lagi melewati lorong bawah dan naik ke sisi sebelahnya. Sayangnya, terlambat sampai di atas sehingga harus menunggu kereta pemberangkatan berikutnya.
Di masa penantian, aku mencoba menikmati suasana dan menyaksikan para penumpang yang lalu lalang. Di sisi seberang, aku menyaksikan setiap kereta tiba dipenuhi penumpang dan tali gantungan yang diperuntukkan bagi para penumpang yang berdiri terpakai semua dan bahkan sebagian tak kebagian. Suasana ini sangat kontras dengan tadi pagi saat perjalanan dari kalibata -Depok Baru. Mungkin nanti kereta yang akan kunaikin juga kondisi penumpangnya sama, gumamku dalam hati.
Jam 18.05 Wib, KRL yang ku nanti pun datang. Alhamdulillah...
kekhawatiranku terjawab dan aku yakin akan sampai di gambir sebelum jam pemberangkatan
yang tertera di tiket yang sudah ku pesan sejak awal berangkat dari Purwokerto.
Disisi lain, firasatku juga terbukti dimana kereta sesak orang sebagaimana ku
saksikan tadi di rel seberang kereta yang menuju Bogor. Aku dan temanku pun tak
mendapat tempat duduk, untungnya masih ada tersisa 3 (tiga) buah segitiga untuk
pegangan tangan bagi penumpang yang berdiri, sehingga keseimbangan tubuhku terjaga
saat kereta berjalan. Aku melihat begitu banyak penumpang yang berdiri dan
sebagian besar dari mereka sepertinya tidak membutuhkan
pegangan untuk menjaga keseimbangan. Bahkan mereka tampak stabil dan asik bermain dengan gadget atau HP
nya masing-masing. Semua mereka terlihat sudah terbiasa dengan kondisi semacam
ini. Kesan nrimo dan santai dalam situasi
berdesak-desakan semacam ini begitu
tegas dan semua tampak comfort.
Baru saja aku menggapai segi tiga pegangan tangan yang tersedia di kereta, Sang junior menyarankan untuk segera merubah posisi tas rangselku ke bagian depan. Aku tak perlu bertanya mengapa dan langsung mentaati saja sarannya, sebab temenku satu ini sudah cukup lama tinggal di Jakarta. Satu hal yang muncul di benakku, saran temenku itu mengindikasikan betapa perlunya waspada di kota sebesar ini, apalagi ku tahu dia pernah mengalami kehilangan tas dan labtop 2 (dua) kali di kereta. Ini Jakarta Bung....ujarku dalam hati sambil tersenyum sendiri.
Baru saja aku menggapai segi tiga pegangan tangan yang tersedia di kereta, Sang junior menyarankan untuk segera merubah posisi tas rangselku ke bagian depan. Aku tak perlu bertanya mengapa dan langsung mentaati saja sarannya, sebab temenku satu ini sudah cukup lama tinggal di Jakarta. Satu hal yang muncul di benakku, saran temenku itu mengindikasikan betapa perlunya waspada di kota sebesar ini, apalagi ku tahu dia pernah mengalami kehilangan tas dan labtop 2 (dua) kali di kereta. Ini Jakarta Bung....ujarku dalam hati sambil tersenyum sendiri.
Seketika mataku tertuju pada dinding gerbong kereta
persis disamping pintu otomatis keluar masuk gerbong. Ku dapati anak berumur
kira-kira 11 atau 12 tahun yang masih berseragam olah raga. Dari sepatu yang
dia pakai, sepertinya anak ini baru saja selesai mengikuti latihan sepak bola.
Mungkin anak ini bercita-cita sukses dan tenar seperti Bambang Pamungkas atau
bahkan bermimpi seperti Ronaldo. Sambil berdiri, dia merapatkan
badan dan kepalanya ke dinding gerbong dengan mata terpejam. Anak ini
sepertinya keletihan setelah berktivitas seharian demi keterwujudan mimpinya. Sampai
jam segini, anak seumur itu belum sampai di rumah. Hal ini sangat berbeda
dengan kondisi di kampung dimana pada jam segini anak seusianya biasanya berada di
musholla atau di langgar melaksanakan sholat maghrib dan juga mengaji. Mungkin
anak itu sudah terlatih dan dipaksa keadaan akrab dengan aksi menjama’
sholat, fikirku positif sambil menyamakan rencanaku sendiri untuk menjama’
maghrib dan isya di mesjid stasiun bila sudah sampai di Gambir. Aku memang musyafir di
Jakarta pada hari ini, tetapi cukupkah alasan mereka yang sebagian besar penghuni tetap jakarta sedang berada di
kereta ini untuk menyelenggarakan sholat jama’??...aku tak berani berkesimpulan untuk tanya satu
ini.............
Tiba-tiba telingaku sedikit terusik dengan tangisan seorang anak
kecil. Ku cari sumber suara tangis itu sambil melongok ke sana ke mari. Ku
temukan sekitar 3 (tiga) meter dari posisiku berdiri. Disela-sela orang berdiri,
ku lihat sang ibu sedang berupaya keras menenangkan anaknya. Mungkin aku
saja yang merasa asing dengan suasana itu, sebab ku saksikan orang di
sebelahnya dan juga sekitarnya tetep
cuek dan sebagian ada yang menghibur telinganya dengan headset yang mengalunkan
lagu-lagu pilihannya. Suara tangis anak kecil itu semakin menjadi...dimana
ayah dari anak itu, tanyaku dalam bathin. Aku hanya teringat kebiasaanku di Purwokerto untuk
selalu mendampingi istri kemanapun saat anak-anak kami masih balita.
Tetapi...mungkin inilah Jakarta, ibu kota tempat menggantungkan ribuan mimpi
tentang sebuah masa depan berpengharapan....
Ting tong....Stasiun Duren Kalibata...junior yang juga
guru ideologi koperasiku pun berpamitan turun duluan, sebab flat beliau tak
jauh dari stasiun Kalibata. Saat kereta hampir berhenti, sahabat ku satu ini
sempat bercanda ”kabarin ya mas kalau kesasar”, sebuah perhatian
yang meragukan kecanggihanku berpetualang di kota besar...aku hanya tersenyum
sambil sedikit menjulurkan lidahku sebagai bentuk perlawanan kelelakian..kereta
pun kemudian bergerak melanjutkan perjalanan.
Ting tong....Stasiun Cawang...begitu terdengar pengumuman
dari kereta, Tiba-tiba suara serak ku dengar dari sisi belakangku...
”permisi”....aku melongok ke belakang sambil memberi space untuk
lewat menuju pintu gerbong. Ternyata seorang nenek umur 60
tahunan. Tetapi aku tak melihat seorang pun menemaninya saat turun. Luar biasa
fikirku, setua itu sang nenek keluyuran sendirian di Jakarta . Tega bener ya
anak, cucu atau mantunya..fikirku. Sesaat kemudian, kembali ku tersenyum
dan berkata, ini Jakarta bung...ini bukan kampung halaman. Jangan-jangan nenek
itu memang sudah terbiasa dan bahkan merasa terganggu kalau bepergian ditemenin
anak, cucu atau menantunya. Tapi, nenek itu bawa HP atau KTP ndak ya untuk
mengabarkan kepada sanak keluarganya bila terjadi sesuatu. Hmmm....aku nya aja
kali yang terlalu lebay.... Faktanya, nenek tua itu juga melenggang santai dan
penuh percaya diri di kesendiriannya.
Ting...tong...Stasiun Tebet....sebagian orang dari dalam gerbong
antri bergerak keluar dan sesaat kemudian penumpang baru masuk dan satu
diantaranya seorang kakek tua renta sekitar umur 70-an. Ironisnya, tak ada
satupun pegangan tangan kereta yang tersisa. Tiba-tiba seorang lelaki yang masih muda beranjak dari tempat
duduknya dan mempersilahkan sang kakek untuk duduk. Waw...ternyata
masih ada sisi kemanusiaan di kota yang
masyarakatnya terkenal individualis. Aku terhenyak menyaksikan kebijakan itu
seolah mengoreksi persepsiku terhadap karaktek penghuni kota besar ini.
Ting tong...Stasiun Manggarai...ku dapati lagi
pemandangan aneh. Seorang petugas kereta berseragam biru memakai helm putih
menggotong 2 (dua) tas barang dengan susah payah. Sebelum kereta bergerak dia berpesan kepada
petugas lainnya yang berdiri di sisi luar kereta untuk menginformasikan bahwa barang
ini akan diamankan di stasiun kereta berikutnya, Cikini. Saat petugas lainnya dalam kereta menanyakan
perihal barang tersebut, Petugas itu menjelaskan bahwa barang itu ketinggalan, sementara
penumpangnya sudah kadung naik kereta duluan sehingga perlu diamankan agar sang pemilik tidak kesulitan mencarinya.
Waw...satu budaya baru hasil ”reformasi pelayanan” PT.KAI begitu
kentara. Kesalutanku pun bertambah lagi seputar revolusi pelayanan
ini. Sesampai di Stasiun Cikini, sang petugas tersebut pun turun dan menggondol
kedua tas barang tersebut menuju kantor stasiun. Semoga kejujuran dan ikhlasmu
kan berbuah berkah...doa’ku melepas pandangan seiring kereta melanjutkan
perjalanan.

Azan Isya berkumandang seolah menyambut kedatanganku. Ku cari sumber suara itu dan kemudian menunaikan niatku menjama’ sholat Maghrib dan Isya’. Setelah menyempatkan diri meluruskan badan di serambi masjid stasiun, akupun bergegas menuju penukaran tiket on line dan kemudian masuk gambir dan naik ke lantai 03 mendapati kereta Argo Lawu tujuan Purwokerto. Kusempatkan membeli satu paket KFC dan ku lahap saat kereta belum mulai jalan.
16 Nopember 2013
Diatas Kereta Argo Lawu
Disepanjang perjalanan Jakarta Purwokerto yang
menginsirasi...
Posting Komentar
.