MEMBANGUN KOPMA TANPA REKTORAT | ARSAD CORNER

MEMBANGUN KOPMA TANPA REKTORAT

Minggu, 06 Oktober 20130 komentar


MEMBANGUN KOPMA TANPA REKTORAT

disampaikan pada rapat konsultasi pengembangan Kopma Unlam (Universitas Lambung Mangkurat), di Kalimantan Selatan, 04 Oktober 2013
A.  Muasal Agenda
Tema ini tidak terjadual dalam agenda Pendidikan Dasar Perkoperasian yang diselenggarakan oleh Kopma Unlam (Koperasi mahasiswa Universitas Lambung mangkurat), Kalimantan Selatan, yang diselengarakan tanggal 04-06 Oktober 2013. Tema ini sesungguhnya diinspirasi oleh semangat kawan-kawan aktivis kopma Unlam (baca: panitia penyelenggara Diksarkop) untuk menemukan “cara efektif” dalam membangun dan meningkatkan eksistensi Kopma Unlam dalam arti luas.  Semangat yang kuat itu kemudian menginspirasi keterselenggaraan “diskusi informal” 30 (tiga puluh) orang kader militan Kopma Unlam di Jum’at malam, tepatnya jam 20.00 Wita sampai dengan 23.30 Wita, di Aula Balai Budidaya Air Tawar (BBAT), Mandiangin, Kalimantan Selatan.

B.  Latar Belakang Pen-Judulan
Judul tulisan ini tampak “provokatif”, tetapi sesungguhnya tak bermaksud merendahkan rektorat di Universitas. Judul ini adalah simbol semangat, di mana Kopma harus merubah mindset- nya tentang strategi pengembangan Kopma.

Fakta menunjukkan bahwa akhir-akhir ini banyak Kopma tergusur oleh karena kebijakan Pihak Rektorat. Kebijakan ini sebagai imbas dari kebijakan pemerintah yang mendorong universitas untuk lebih mandiri secara finansial sehingga rektorat lebih aktif dalam mengoptimalkan sumber dayanya dalam membentuk income baru.   Tanpa sengaja, akhirnya beberapa lahan kopma-kopma di beberapa universitas di alih fungsikan untuk kepentingan universitas sehingga  pilihan yang tersedia bagi kopma adalah minggir.

Ironisnya, kebijakan ini berlangsung saat kopma jauh dari siap, sehingga berhenti berkarya lebih banyak dipilih. Namun secara obyektif, sesungguhnya keadaan ini ditengarai karena beberapa sebab yang antara lain sebagai berikut :
  1. Pembacaan Kampus Terhadap Kopma yang kurang tepat. Sampai detik ini, kopma masih dipandang sebagai lembaga bisnis yang berorientasi pada pemupukan laba semata. Ironisnya, hanya sedikit kopma yang bisa membuktikan secara organisasi bahwa kopma adalah organisasi ber-performance keuangan produktif sebagaimana persepsi dan ekspektasi di lingkungan civitas kampus. Kalaupun kopma sukses dengan kinerja keuangannya, namun kopma masih sering lalai untuk berbagi proporsional kepada universitas sebagai kompensasi rasional atas pelibatan beberapa asset universitas dalam mengoperasionalkan unit produktif kopma. Disisi lain, kebijakan pemerintah yang menuntut kemandirian financial,  universitas tidak melihat lagi tertarik melihat kopma  sebagai basis pengembangan kader koperasi penentu warna koperasi di negeri ini di masa mendatang. Walau fakta menunjukkan krisis 1997 yang bertahan adalah UMKM dan Koperasi, hal ini tidak kemudian mempengaruhi semangat sebagian universitas menjadikan dirinya sebagai pencetak kader koperasi handal  yang akan menopang perekonomian bangsa di masa mendatang. Hal ini juga sebagai akibat belum difahaminya koperasi secara utuh sebagai alat efektif  membangun demokratisasi ekonomi dan juga  alat pemersatu bangsa. Koperasi yang dalam nafas kesehariannya mengusung gotong royong, belum diyakini sebagai alat efektif membangun kerekatan masyarakat yang pada akhirnya berimplikasi pada integritas sebuah bangsa.  Kondisi-kondisi semacam ini  makin mendukung universitas berkesimpulan bahwa kopma tidak memiliki nilai strategis baik bagi peningkatan eksistensi sebuah universitas (baca: rentang kontribusinya terhadap pembangunan bangsa) maupun  dari daya dukung  finansial.
  2. Kualitas Kopma yang tidak stabil.  Kopma dihuni oleh mahasiswa yang sedang menuntut ilmu dalam jangka waktu rata-rata 5 (lima) tahun. Hal ini menyebabkan turn over keanggotaan kopma sangat tinggi. Setiap tahun dipastikan terjadi silih berganti di wilayah keanggotaannya sehingga hal ini menyebabkan kualitas kopma relatif labil. Apalagi kopma tersebut belum memiliki sistem pengkaderan yang baik, maka hampir bisa dipastikan pertumbuhan kualitas kopma relative berjalan alamiah dan  bukan by design. Oleh karena itu, bukan lah hal aneh kalau stabilitas kopma begitu rentan dan bahkan tidak jarang kopma menjadi salah urus sehingga tak kunjung mewujud jadi organisasi  mapan baik secara kelembagaan maupun secara perusahaan. Semua ini diawali dari belum terbentuknya para militan yang siap memperjuangkan ideologi kopma sampai titik darah penghabisan.  Kondisi ini tentu menyebabkan rendahnya Bargainning Position Kopma dalam percaturan kampus

 C.  Koperasi Sebagai Ideologi Yang Harus diperjuangkan
Koperasi adalahkumpulan orangotonom untuk memenuhi kebutuhan dan aspirasi ekononomi, sosial dan budaya melalui perusahaan yang mereka miliki bersama dan mereka kendalikan secara demokratis. Satu hal yang menjadi catatan, perusahaan koperasi adalah alat atau media untuk memenuhi ragam aspirasi dan kebutuhan. Jadi, perusahaan dalam koperasi bukanlah tujuan. Pertumbuhan atau dinamika kebutuhan dan aspirasi selajutnya menjadi “roh” yang men-drive arah aktivitas koperasi bagi terbentuknya kesejahteraan anggota dalam arti luas. Sementara itu, dalam mendukung terbentuknya kebersamaan yang produktif dari sebuah kumpulan orang, maka koperasi menjadikan “pendidikan” sebagai senjata utama dalam hal’ (i) membentuk kesamaan persepsi, ekspektasi dan keterbangunan kesadaran untuk berpartisipasi; (ii) mengendalikan dinamika kebutuhan dan aspirasi untuk tetap fokus pada keterciptaan hidup yang berkualitas. Pembacaan ini menjadikan koperasi mewujud sebagai organisasi yang unik, dimana kerekatan antar individu  dijadikan sebagai modal penting dalam memproduksi kebermanfaatan-kebermanfaatan koperasi bagi segenap anggotanya dan juga bagi lingkungannya. Dalam cara baca demikian, ideologi koperasi sesungguhnya fokus pada keterbangunan karakter orang dari individualis menjadi mencintai kolektifitas (kebersamaan).  

Luasnya implikasi dari keterbangunan “kebersamaan” dalam koperasi, menjadikan koperasi layak untuk diperjuangkan. Tujuan-tujuan yang ingin dari sebuah koperasi sesungguhnya relevan terhadap hakekat pembangunan nasional. Oleh karena itu, dalam pembacaan makro, negara dan koperasi seharusnya membangun kemitraan strategis dalam membentuk dinergitas dalam melahirkan akslerasi pembangunan. Artinya, memperjuangkan koperasi adalah sebuah keharusan karena memiliki relevansi yang kuat dengan keterlahiran kehidupan yang berkualitas baik secara individu maupun secara kolektif sebagai sebuah bangsa.  


D. Membangun Kopma Tanpa Rektorat
Tema “membangun Kopma Tanpa Rektorat” mengusung semangat kemandirian berkarya sebagaimana hakekat koperasi sebagai kumpulan orang-orang otonom. Aplikasi awal dari konsep ini sesungguhnya sangat sederhana, yaitu merubah pola “konsumsi individualis” menjadi pola “konsumsi kolektif”.

Fakta menunjukkan bahwa mayoritas insan kopma adalah para perantau dari berbagai daerah, sehingga mereka tinggal di kos-kos an atau asrama. Sementara itu, secara finansial, mereka adalah insan-insan yang di subsidi, walau sebagian kecil dari mereka harus berjuang membiayai hidupnya sendiri demi sebuah cita-cita indah. Artinya, dalam diri setiap mahasiswa terkandung  potensi kebutuhan yang besar, baik untuk keperluan sehari-hari maupun kebutuhan yang berhubungan dengan kelancaran study mereka. Faktanya, setiap hari mereka makan rata-rata 3 (tiga) kali sehari, mereka juga membutuhkan ragam perlengkapan keseharian mulai dari peralatan mandi, alat tulis dan lain sebagainya. Artinya, ketika semua kebutuhan tersebut dipenuhi dari “satu ruang layanan” yang mereka miliki bersama dan mereka kendalikan secara demokratis. Hal ini akan membentuk ragam aktivitas produktif yang tidak hanya bermakna memenuhi kebutuhan keseharian mereka saja, tetapi tahapan dan proses menuju kelahiran dan operasionalisasi “ruang layanan” tersebut juga mengandung unsur-unsur edukasi yang mempertinggi kapasitas diri dari segenap insan yang terlibat, seperti keterbangunan keahlian manajemen, kewirausahaan dan kepemimpinan.
Untuk hal itu, yang perlu dilakukan bukan menambah pengeluaran mereka, tetapi merubah pola pengeluaran dari individualis menjadi kolektif.  

Untuk memperjelas pemahaman atas hal itu, berikut di sajikan pendefenisiannya :
  • kalau selama ini mereka makan di warung-warung yang menyebar di sekitar kampus, maka kolektivitas dimulai dari memusatkan makan di satu warung yang mereka sepakati bersama. Bisa saja diawali dari sarapan pagi berjama’ah. Bila keterbiasaan sudah terbangun, bisa dilanjutkan dengan makan siang berjama’ah. Ketika “kolektivitas” sudah teruji dan terbudayakan, maka saatnya berfikir untuk membentuk “dapur umum” dengan mempekerjakan satu atau dua orang karyawan untuk memasak bagi keperluan makan pagi dan siang mereka. Dengan cara ini maka, kalau biasanya para pebisnis warung makan memiliki margin rata-rata sebesar 30%, maka dengan penyelenggaraan “dapur umum” margin tersebut akan terakumulasi di dalam kas kolektif mereka. Untuk meningkatkan kuantitas kas, maka mereka bisa memperluas keanggotaannya dengan sistem satu bawa satu, artinya satu anggota di tugaskan untuk menggandeng  satu temennya untuk bergabung. Untuk menghindari terjadinya mis-persepsi dikalangan para pendatang tersebut, maka sebelum mereka resmi bergabung harus terlebih dahulu diberikan pendidikan yang minimal menekankan pada 2 (dua) hal yaitu : (i) filosopi kebersamaan yang dianut dan ; (ii) perlunya konsistensi partisipasi. Dalam kembangannya, bisa saja dapur umum tersebut mewujud menjadi warung yang juga melayani non-anggota. Dalam cara ini, maka secara tegas diberlakukan pelayanan khusus pada anggota nya.  Hal ini bukan hanya sebagai pembeda, tetapi juga salah satu strategi menarik non-anggota menjadi anggota. Artinya, semakin banyak yang bergabung, maka semakin cepat pertumbuhan akumulasi kas.
  • Pada akumulasi kas tertentu, aktivitas menjadi bisa diperluas atau ditambah. Katakanlah aktivitas yang akan diselenggarakan “mencuci berjama’ah” dengan menggunakan “mesin cuci” yang pembeliannnya menggunakan akumulasi kas yang terkumpul dari makan berjama’ah. Ketika jumlah mesin cuci sudah cukup untuk keperluan anggota, bisa aja kemudian di format menjadi “laundry centre” yang juga melayani non-anggota. Pada “laundry centre” ini juga ditegaskan adanya perlakuakn khusus kepada anggota, sehingga perbedaan perlakuan ini juga menjadi alat efektif untuk mendorong non-anggota menjadi anggota.
  • Demikian seterusnya, sehingga bisa saja diperluas ke arah aktivitas yang memenuhi kebutuhan lainnya, seperti warnet, copy centre, mini market dan lain sebagainya, sepanjang aktivitas tersebut menjadi kesepakatan bersama. Bahkan bukan tidak mungkin, ketika semua kebutuhan anggota sudah terpenuhi maka aktivitas bisa dikembangkan kearah fasilitasi pengembangkan keilmuan dan wawasan melalui kajian-kajian isu-isu strategis, fasilitasi pengembangan talenta kewirausahaan para anggota, baik berbasis teknologi tepat guna, industri kreatif, jasa, perdagangan dan lain sebagainya.

Contoh diatas menggambarkan secara nyata betapa kebersamaan begitu dahsyat kemanfaatannya ketika di–drive secara bertahap dan berkesinambungan. Lewat merubah pola konsumsi , ragam karya mewujud dengan kemanfaatan-kemanfaatan nyata yang mengikutinya. Inilah yang biasa disebut dengan efisiensi kolektif . Illustrasi diatas juga menunjukkan bahwa semua karya lahir secara mandiri dengan menjadikan “kolektivitas” sebagai modal terpenting. Untuk kesemua itu, tidak perlu anggota melakukan pengeluaran tambahan untuk aktivitas-aktivitas produktif tersebut dan bahkan kemandirian kolektif tersebut bisa dilakukan tanpa intervensi atau fasilitasi dari pihak rektorat.

 E.  Ego Sebagai Musuh Terbesar
Nalar kolektif membenarkan kedahsyatan pertumbuhan kebermanfaatan. Dengan demikian, bukanlah terlalu berlebihan untuk berkesimpulan bahwa sesungguhnya kopma tidak punya alasan lagi untuk tidak maju. Kopma tidak perlu lagi meng-kambing hitam-kan kebijakan rektorat yang tidak berpihak atau pendapat senanda yang akhirnya menjadi apologi  untuk tidak berkembang. Persoalan terbesar sesungguhnya adalah bagaimana “mempersatukan ego” sehingga ego-ego individualis tergerus melalui aksi-aksi penyadaran. Jadi, persoalan terbesar kopma bukan eksisnya usaha-usaha non-kopma yang ada disekitar kampus, tetapi terletak pada diri mereka sendiri dengan segenap ego yang melekat pada masing-masing individu.


F.  Penutup
Ketika indahnya kebersamaan dengan segenap kedahsyatannya adalah sebuah keinginan yang harus diwujudkan, maka mulailah bergerak dari hal terkecil yang mungkin untuk dilakukan. Ketika “bayang indah kebersamaan” itu menjadi satu keinginan kolektif untuk mewujudkannya, maka mulailah meredam ego individu yang tidak hanya akan merugikan diri sendiri (dari perspektif kepribadian), tetapi juga telah menyebabkan kerugian materil yang jumlahnya cukup besar kalau terakumulasikan.

Menyatukan ego” memang bukan perkara mudah, tetapi ketika hal ini dipandang sebagai sebuah tantangan dan ketika proses-proses penyatuan ego itu dipandang mengandung potensi pengembangan kemampuan managerial, kepemimpinan dan kewirausahaan, maka “kopma dengan segala dinamikanya” sesungguhnya tidak hanya sebatas membentuk  efisiensi kolektif, tetapi juga memiliki relevansi kuat dengan pembentukan soft skill yang menjadi pelengkap ilmu pengetahuan yang  didapat selama proses perkuliahan di kampus. Jadi, apapun fakultas dan jurusan anda , efisiensi kolektif dan keterbentukan soft skill adalah 2 (dua) hal penting yang memiliki relevansi dengan keseharian dan juga masa depan anda.

Mungkin ada baiknya beberapa tanya berikut ini sebagai penghujung tulisan dan sekaligus bahan kontemplasi :
  • masih adakah alasan pembenar untuk meninggalkan ruang juang  indah di kopma yang ternyata memliki relevansi kuat dengan pemenuhan kebutuhan dan juga masa depan anda?.
  • masih relevankah untuk mendefenisikan kopma adalah perusak konsentrasi belajar atau penyebab IP (index prestasi) study anda bermasalah, ketika ternyata proses kopma memiliki relevansi dalam peningkatan kapasitas diri?
Demikian tulisan ini disajikan sebagai bahan kontemplasi dan sumber pemupukan energi. Ketika anda memutuskan menjadi bagian dari barisan pejuang militan kopma, secara obyektif hal itu merupakan keputusan brilian.   Akan KAH?
Share this article :

Posting Komentar

.

 
Copyright © 2015. ARSAD CORNER - All Rights Reserved