disampaikan pada rapat konsultasi pengembangan Kopma Unlam (Universitas Lambung Mangkurat), di Kalimantan Selatan, 04 Oktober 2013
A. Muasal Agenda
B. Latar Belakang Pen-Judulan

Fakta menunjukkan bahwa
akhir-akhir ini banyak Kopma tergusur oleh karena kebijakan Pihak Rektorat.
Kebijakan ini sebagai imbas dari kebijakan pemerintah yang mendorong universitas
untuk lebih mandiri secara finansial sehingga rektorat lebih aktif dalam
mengoptimalkan sumber dayanya dalam membentuk income baru. Tanpa sengaja, akhirnya beberapa lahan
kopma-kopma di beberapa universitas di alih fungsikan untuk kepentingan
universitas sehingga pilihan yang
tersedia bagi kopma adalah minggir.
Ironisnya, kebijakan ini
berlangsung saat kopma jauh dari siap, sehingga berhenti berkarya lebih banyak
dipilih. Namun secara obyektif, sesungguhnya keadaan ini ditengarai karena
beberapa sebab yang antara lain sebagai berikut :
- Pembacaan Kampus Terhadap Kopma yang kurang tepat. Sampai detik ini, kopma masih dipandang sebagai lembaga bisnis yang berorientasi pada pemupukan laba semata. Ironisnya, hanya sedikit kopma yang bisa membuktikan secara organisasi bahwa kopma adalah organisasi ber-performance keuangan produktif sebagaimana persepsi dan ekspektasi di lingkungan civitas kampus. Kalaupun kopma sukses dengan kinerja keuangannya, namun kopma masih sering lalai untuk berbagi proporsional kepada universitas sebagai kompensasi rasional atas pelibatan beberapa asset universitas dalam mengoperasionalkan unit produktif kopma. Disisi lain, kebijakan pemerintah yang menuntut kemandirian financial, universitas tidak melihat lagi tertarik melihat kopma sebagai basis pengembangan kader koperasi penentu warna koperasi di negeri ini di masa mendatang. Walau fakta menunjukkan krisis 1997 yang bertahan adalah UMKM dan Koperasi, hal ini tidak kemudian mempengaruhi semangat sebagian universitas menjadikan dirinya sebagai pencetak kader koperasi handal yang akan menopang perekonomian bangsa di masa mendatang. Hal ini juga sebagai akibat belum difahaminya koperasi secara utuh sebagai alat efektif membangun demokratisasi ekonomi dan juga alat pemersatu bangsa. Koperasi yang dalam nafas kesehariannya mengusung gotong royong, belum diyakini sebagai alat efektif membangun kerekatan masyarakat yang pada akhirnya berimplikasi pada integritas sebuah bangsa. Kondisi-kondisi semacam ini makin mendukung universitas berkesimpulan bahwa kopma tidak memiliki nilai strategis baik bagi peningkatan eksistensi sebuah universitas (baca: rentang kontribusinya terhadap pembangunan bangsa) maupun dari daya dukung finansial.
- Kualitas Kopma yang tidak stabil. Kopma dihuni oleh mahasiswa yang sedang menuntut ilmu dalam jangka waktu rata-rata 5 (lima) tahun. Hal ini menyebabkan turn over keanggotaan kopma sangat tinggi. Setiap tahun dipastikan terjadi silih berganti di wilayah keanggotaannya sehingga hal ini menyebabkan kualitas kopma relatif labil. Apalagi kopma tersebut belum memiliki sistem pengkaderan yang baik, maka hampir bisa dipastikan pertumbuhan kualitas kopma relative berjalan alamiah dan bukan by design. Oleh karena itu, bukan lah hal aneh kalau stabilitas kopma begitu rentan dan bahkan tidak jarang kopma menjadi salah urus sehingga tak kunjung mewujud jadi organisasi mapan baik secara kelembagaan maupun secara perusahaan. Semua ini diawali dari belum terbentuknya para militan yang siap memperjuangkan ideologi kopma sampai titik darah penghabisan. Kondisi ini tentu menyebabkan rendahnya Bargainning Position Kopma dalam percaturan kampus.
C. Koperasi Sebagai Ideologi Yang
Harus diperjuangkan

Luasnya implikasi dari
keterbangunan “kebersamaan” dalam koperasi, menjadikan koperasi layak untuk
diperjuangkan. Tujuan-tujuan yang ingin dari sebuah koperasi sesungguhnya
relevan terhadap hakekat pembangunan nasional. Oleh karena itu, dalam pembacaan
makro, negara dan koperasi seharusnya membangun kemitraan strategis dalam membentuk dinergitas dalam melahirkan akslerasi
pembangunan. Artinya, memperjuangkan koperasi adalah sebuah keharusan
karena memiliki relevansi yang kuat dengan keterlahiran kehidupan yang
berkualitas baik secara individu maupun secara kolektif sebagai sebuah bangsa.
D. Membangun Kopma Tanpa Rektorat

Fakta menunjukkan bahwa
mayoritas insan kopma adalah para perantau dari berbagai daerah, sehingga
mereka tinggal di kos-kos an atau asrama. Sementara itu, secara finansial,
mereka adalah insan-insan yang di subsidi, walau sebagian kecil dari mereka
harus berjuang membiayai hidupnya sendiri demi sebuah cita-cita indah. Artinya,
dalam diri setiap mahasiswa terkandung
potensi kebutuhan yang besar, baik untuk keperluan sehari-hari maupun
kebutuhan yang berhubungan dengan kelancaran study mereka. Faktanya, setiap
hari mereka makan rata-rata 3 (tiga) kali sehari, mereka juga membutuhkan ragam
perlengkapan keseharian mulai dari peralatan mandi, alat tulis dan lain
sebagainya. Artinya, ketika semua kebutuhan tersebut dipenuhi dari “satu
ruang layanan” yang mereka miliki bersama dan mereka kendalikan secara
demokratis. Hal ini akan membentuk ragam aktivitas produktif yang tidak
hanya bermakna memenuhi kebutuhan keseharian mereka saja, tetapi tahapan
dan proses menuju kelahiran
dan operasionalisasi “ruang layanan” tersebut juga
mengandung unsur-unsur edukasi yang mempertinggi kapasitas diri dari segenap insan
yang terlibat, seperti keterbangunan keahlian manajemen, kewirausahaan dan
kepemimpinan.
Untuk hal itu, yang perlu
dilakukan bukan menambah pengeluaran mereka, tetapi merubah pola pengeluaran
dari individualis menjadi kolektif.
Untuk memperjelas pemahaman
atas hal itu, berikut di sajikan pendefenisiannya :
- kalau selama ini mereka makan di warung-warung yang menyebar di sekitar kampus, maka kolektivitas dimulai dari memusatkan makan di satu warung yang mereka sepakati bersama. Bisa saja diawali dari sarapan pagi berjama’ah. Bila keterbiasaan sudah terbangun, bisa dilanjutkan dengan makan siang berjama’ah. Ketika “kolektivitas” sudah teruji dan terbudayakan, maka saatnya berfikir untuk membentuk “dapur umum” dengan mempekerjakan satu atau dua orang karyawan untuk memasak bagi keperluan makan pagi dan siang mereka. Dengan cara ini maka, kalau biasanya para pebisnis warung makan memiliki margin rata-rata sebesar 30%, maka dengan penyelenggaraan “dapur umum” margin tersebut akan terakumulasi di dalam kas kolektif mereka. Untuk meningkatkan kuantitas kas, maka mereka bisa memperluas keanggotaannya dengan sistem satu bawa satu, artinya satu anggota di tugaskan untuk menggandeng satu temennya untuk bergabung. Untuk menghindari terjadinya mis-persepsi dikalangan para pendatang tersebut, maka sebelum mereka resmi bergabung harus terlebih dahulu diberikan pendidikan yang minimal menekankan pada 2 (dua) hal yaitu : (i) filosopi kebersamaan yang dianut dan ; (ii) perlunya konsistensi partisipasi. Dalam kembangannya, bisa saja dapur umum tersebut mewujud menjadi warung yang juga melayani non-anggota. Dalam cara ini, maka secara tegas diberlakukan pelayanan khusus pada anggota nya. Hal ini bukan hanya sebagai pembeda, tetapi juga salah satu strategi menarik non-anggota menjadi anggota. Artinya, semakin banyak yang bergabung, maka semakin cepat pertumbuhan akumulasi kas.
- Pada akumulasi kas tertentu, aktivitas menjadi bisa diperluas atau ditambah. Katakanlah aktivitas yang akan diselenggarakan “mencuci berjama’ah” dengan menggunakan “mesin cuci” yang pembeliannnya menggunakan akumulasi kas yang terkumpul dari makan berjama’ah. Ketika jumlah mesin cuci sudah cukup untuk keperluan anggota, bisa aja kemudian di format menjadi “laundry centre” yang juga melayani non-anggota. Pada “laundry centre” ini juga ditegaskan adanya perlakuakn khusus kepada anggota, sehingga perbedaan perlakuan ini juga menjadi alat efektif untuk mendorong non-anggota menjadi anggota.
- Demikian seterusnya, sehingga bisa saja diperluas ke arah aktivitas yang memenuhi kebutuhan lainnya, seperti warnet, copy centre, mini market dan lain sebagainya, sepanjang aktivitas tersebut menjadi kesepakatan bersama. Bahkan bukan tidak mungkin, ketika semua kebutuhan anggota sudah terpenuhi maka aktivitas bisa dikembangkan kearah fasilitasi pengembangkan keilmuan dan wawasan melalui kajian-kajian isu-isu strategis, fasilitasi pengembangan talenta kewirausahaan para anggota, baik berbasis teknologi tepat guna, industri kreatif, jasa, perdagangan dan lain sebagainya.
Contoh diatas menggambarkan
secara nyata betapa kebersamaan begitu dahsyat kemanfaatannya ketika di–drive
secara bertahap dan berkesinambungan. Lewat merubah pola konsumsi ,
ragam karya mewujud dengan kemanfaatan-kemanfaatan nyata yang mengikutinya.
Inilah yang biasa disebut dengan efisiensi kolektif . Illustrasi
diatas juga menunjukkan bahwa semua karya lahir secara mandiri dengan
menjadikan “kolektivitas” sebagai modal terpenting. Untuk kesemua itu,
tidak perlu anggota melakukan pengeluaran tambahan untuk
aktivitas-aktivitas produktif tersebut dan bahkan kemandirian kolektif
tersebut bisa dilakukan tanpa intervensi atau fasilitasi
dari pihak rektorat.
E. Ego Sebagai Musuh Terbesar
Nalar kolektif membenarkan
kedahsyatan pertumbuhan kebermanfaatan. Dengan demikian, bukanlah terlalu
berlebihan untuk berkesimpulan bahwa sesungguhnya kopma tidak punya alasan lagi
untuk tidak maju. Kopma tidak perlu lagi meng-kambing hitam-kan
kebijakan rektorat yang tidak berpihak atau pendapat senanda yang akhirnya
menjadi apologi untuk tidak
berkembang. Persoalan terbesar sesungguhnya adalah bagaimana “mempersatukan
ego” sehingga ego-ego individualis tergerus melalui aksi-aksi
penyadaran. Jadi, persoalan terbesar kopma bukan eksisnya usaha-usaha non-kopma
yang ada disekitar kampus, tetapi terletak pada diri mereka sendiri dengan
segenap ego yang melekat pada masing-masing individu.
F. Penutup
“Menyatukan ego” memang
bukan perkara mudah, tetapi ketika hal ini dipandang sebagai sebuah tantangan
dan ketika proses-proses penyatuan ego itu dipandang mengandung potensi
pengembangan kemampuan managerial, kepemimpinan dan kewirausahaan, maka “kopma
dengan segala dinamikanya” sesungguhnya tidak hanya sebatas
membentuk efisiensi kolektif, tetapi
juga memiliki
relevansi kuat dengan pembentukan soft skill yang menjadi pelengkap
ilmu pengetahuan yang didapat selama proses
perkuliahan di kampus. Jadi, apapun fakultas dan jurusan anda , efisiensi
kolektif dan keterbentukan soft skill adalah 2 (dua) hal penting yang memiliki relevansi dengan
keseharian dan juga masa depan anda.
Mungkin ada baiknya beberapa
tanya berikut ini sebagai penghujung tulisan dan sekaligus bahan kontemplasi :
- masih adakah alasan pembenar untuk meninggalkan ruang juang indah di kopma yang ternyata memliki relevansi kuat dengan pemenuhan kebutuhan dan juga masa depan anda?.
- masih relevankah untuk mendefenisikan kopma adalah perusak konsentrasi belajar atau penyebab IP (index prestasi) study anda bermasalah, ketika ternyata proses kopma memiliki relevansi dalam peningkatan kapasitas diri?
Demikian tulisan ini disajikan
sebagai bahan kontemplasi dan sumber pemupukan energi. Ketika anda memutuskan
menjadi bagian dari barisan pejuang militan kopma, secara obyektif hal itu
merupakan keputusan brilian. Akan KAH?
Posting Komentar
.