A. Sebentuk Review Sebagai Awalan
Seiring berjalannya waktu,
sepertinya banyak KUD yang mulai meredup dan bahkan sebagian seperti hidup
segan mati tak mau. Kejayaan masa lalu seperti lenyap ditelan bumi.
Pegiat koperasinya pun seperti kehilangan gairah untuk bertahan dan bahkan
memilih meninggalkan medan perjuangan sebelum perang usai . Kondisi ini membuat
KUD kian terpuruk dan kehilangan arah.
Situasi ini sangat disayangkan, padahal bila ditinjau dari filosophy dan
konsepsinya KUD memiliki nilai strategis dan padanya melekat beberapa potensi
yang bisa dimanfaatkan untuk bertahan
dan bahkan berkembang.
Beberapa tahun terakhir ini,
pemerintah mencoba melakukan serangkaian upaya menghidupkan kembali KUD yang
kemudian dikemas dalam judul “revitalisasi”. Harapan baru pun
muncul dan tampaknya langkah pemerintah ini disambut para pegiat koperasi
dengan penuh semangat. Satu hal yang menjadi perhatian dan mensikapi tumbuhnya
kembali gairah pegiat koperasi, yaitu tentang “motivasi dasar” yang
melatarbelakangi keterlahiran “semangat” itu sendiri. Sebab, bila
ternyata motivasi ini didorong oleh adanya peluang berbagai “fasilitas
pemerintah”, maka berharap KUD berjaya kembali sepertinya hanya sebatas
khayal.
Kita masih ingat saat pemerintah mengeluarkan berbagai
scheme fasilitas diawal reformasi. Saat
itu, koperasi tumbuh bagaikan jamur di musim hujan. Beberapa waktu kemudian,
satu persatu rontok dan bahkan tak sedikit
yang menyisakan masalah hingga kini.
Tak ada yang menginginkan
ragam kesedihan itu menjadi bagian dari sejarah perjalanan KUD, namun pilihan
yang tersedia saat ini adalah “mengambil hikmah”. Sejarah
kelam bukan pembenar untuk berhenti,
tetapi harus dijadikan bahan auto koreksi sekaligus menjadikannya sebagai sumber
energi untuk menciptakan perubahan yang lebih berpengharapan.
B. Kembali Ke Konsepsi Jati Diri
sebagai Tema Perjuangan
Fakta menunjukkan, saat ini
banyak koperasi mengalami krisis jati diri. Akibat nyata dari situasi ini adalah
belum terlihatnya perbedaan yang nyata antara koperasi dan non koperasi. Dalam
mengembangkan ragam strategi, koperasi sering terjebak pada pertimbangan
ekonomis semata layaknya non koperasi. Arah organisasi relatif hanya ditentukan
oleh para elit organisasi (baca : pengurus dan pengawas) dan sangat jarang
melibatkan anggota yang sesungguhnya subyek dan obyek pembangunan
koperasi itu sendiri. Sulit mendapati kolektivitas (kebersamaan) secara nyata
dan bahkan sering anggota dijadikan obyek aktivitas koperasi untuk kepentingan pertumbuhan
laba. SHU (Sisa Hasil Usaha) hanya dijadikan istilah pembeda dengan non
koperasi. Filosopi yang terkandung dalam istilah SHU itu tidak lagi mampu
menyemangati berbagai rumusan pengembangan. Interaksi yang terjadi pun adalah transaksi
rasional dan jauh dari
semangat kepemilikan. Intinya, Pemberdayaan (empowering) sebagai ciri
koperasi belum terlihat.
Banyak koperasi telah terjebak
dalam praktek kapitalisme yang mementingkan pertumbuhan laba. Nilai-nilai
keunggulan yang terkandung dalam konsepsi jati diri ditinggalkan dan akibatnya
koperasi masuk ke dalam persaingan terbuka (face to face) dengan
non-koperasi. Ironisnya, koperasi sulit memenangkan persaingan dan tetap dalam
posisi terpuruk.
Semua ini bermula dari pemahaman
yang keliru tentang apa, mengapa dan bagaimana seharusnya berkoperasi. Kekeliruan
pemahaman ini semakin mendapat suntikan energi dengan berkembangnya
paradigma hidup individualis dan hedonisme. Akibatnya, spirit
kebersamaan, kegotongroyongan dan kesetiakawanan yang menjadi ciri
khas koperasi perlahan menipis.
Oleh karena itu, perlu
dilakukan upaya-upaya konstruktif untuk mengembalikan koperasi ke konsepsi jati
dirinya. Sebab pada koperasi ber-jati diri lah layak berharap kedahsyatan dan
kebermanfaatan berkoperasi sesungguhnya. Koreksi bijak harus dilakukan melalui
“ketauladan
berkarya” sehingga menginspirasi koperasi lainnya untuk berbuat
sama.
C. “Penguatan Kelembagaan”
Sebagai Titik Masuk Untuk Kembali
Me-referensi alinea diatas,
ketika koperasi ingin mewujudkan mimpinya, maka syarat pertama yang harus
terpenuhi adalah organisasi/kelembagaan yang sehat. Untuk itu, dalam rangka
mengembalikan koperasi kepada konsepsinya, yang perlu dilakukan pertama
kali adalah membangun “kapasitas
kelembagaan”.
Kelembagaan atau organisasi
itu ibarat sebuah rumah yang bisa
melindungi dari hujan dan panas, enak dilihat dan nyaman ketika dimasuki.
Disamping itu, rumah itu harus dilengkapi rangkaian pengamanan sehingga sulit
ditembus oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab.
Oleh karena itu, mengingat
koperasi adalah organisasi yang selalu mengedepankan kolektivitas
(kebersamaan), maka ada beberapa hal
yang perlu menjadi prioritas dalam membangun kapasitas
kelembagaan/organisasi koperasi, antara lain :
1.
Pernyamaan persepsi. Kepada segenap unsur organisasi perlu
difahamkan bahwa koperasi adalah kumpulan orang dan bukan kumpulan
modal. Saat ini, mayoritas
pegiat koperasi masih memandang koperasi sebagai kumpulan modal. Akibatnya,
koperasi tergiring dalam wilayah pertumbuhan SHU dan dalam pencapaiannya sering
melupakan nilai-nilai perjuangan koperasi dan cenderung mengeksploitasi
anggotanya. Ironisnya, SHU yang diharapkan sering tak mewujud sehingga yang ada hanyalah kekecewaan ber-ulang.
2.
Memahami “apa, mengapa dan bagaimana”
seharusnya berkoperasi. Pemahaman ini
selanjutnya akan membentuk tindakan yang berpihak pada pertumbuhan organisasi
yang kemudian berimplikasi pada pertumbuhan usaha koperasi.
3.
Mengembangkan Partisipasi.
Bergabung ke dalam koperasi berarti secara sadar mengambil tanggungjawab untuk
ikut membesarkan organisasi dan usaha. Untuk itu, segenap unsur organisasi
hendaknya mengembangkan partisipasinya, baik dalam tahapan “perumusan
tujuan” maupun dalam proses “pencapaian tujuan”. Dengan demikian,
apapun capaian dari sebuah koperasi, difahami dan dimaknai sebagai hasil karya bersama (kolektif).
4.
Menjadi “agen efektif”. Anggota
adalah subyek dan obyek pembangunan koperasi itu sendiri. Oleh karena itu,
kualitas dan kuantitas kesadaran menjadi kunci pertumbuhan dan perkembangan
kapasitas organisasi/kelembagaan koperasi. Semua unsur organisasi harus menjadi
agen
penyampai nilai-nilai kebaikan koperasi kepada anggota lainnya sebagaimana juga
anggota menjadi agen penyampai ragam masukan dan gagasan dari anggota kepada
segenap perwakilan anggota (pengurus dan pengawas).
5.
dan lain sebagainya.
Idealnya, pengetahuan tentang
koperasi tersebut dimulai sejak pertama kali seseorang bergabung dengan
koperasi. Untuk itu, “edukasi/pendidikan” yang terus
menerus menjadi kunci utama dalam membangun kapasitas organisasi/kelembagaan.
Jika hal ini tidak dilakukan, maka bisa dibayangkan sebuah koperasi akan
menjadi kumpulan orang yang memiliki persepsi dan ekspektasi (harapan)
yang berbeda-beda. Akibat berikutnya
adalah sulitnya melihat sesuatu dari sudut pandang yang sama.
D. “Penguatan Usaha” sebagai Penyempurna
Untuk itu, disamping
pengembangan kapasitas organisasi yang mengarah pada terbentuknya spirit untuk
melakukan transaksi subyektif, koperasi juga selayaknya mengembangkan kapasitas
usahanya dalam arti luas. Transaksi subyektif bukan berarti koperasi tidak
memerlukan serangkaian upaya dalam bidang usaha, tetapi koperasi harus terus
melakukan inovasi bagi terwujudnya peningkatan nilai efisiensi kolektif.
Dengan demikian, kebermanfaatan dan kebermaknaan koperasi benar-benar dirasakan
oleh anggotanya dan hal ini juga akan menjadi faktor akselerasi
(percepatan) bagi pertumbuhan loyalitas
anggota.
E. Menatap Ke Depan Sebagai Penghujung.
Demikian beberapa disampaikan
kepada segenap peserta Pendidikan dan Pelatihan ini. Semoga pemikiran sederhana
ini bisa menjadi pemantik bagi tumbuhnya kembali semangat membangun KUD sebagai kekuatan ekonomi,
sosial dan budaya masyarakat. Amin.
Posting Komentar
.