
Dalam acara ini, IIBF menghadirkan 3 (tiga) nara sumber atau lebih
tepatnya disebut pemantik sarasehan, yaitu
: (1). Bapak Mayjen (Purn) sunarto: (2) Bapak
Rahmad Imanda dan ; (3)
Muhammad Arsad Dalimunte. Acara ini dihadiri para pengurus dan anggota IIBF,
masyarakat, para pengusaha dan tokoh muda Banyumas yang antara lain : Mas Oji
yang dikenal sebagai tokoh muda Muhammadiyah, Mas Larto yang biasa disebut tokoh
koperasipreuner, Mas Herry Kristanto aktivis sosial dan salah satu punggawa
zona bombong, Mas Aldo Sang bankir yang beralih profesi menjadi pengusaha dan lain sebagainya.
Diawali
dengan menyanyikan lagu indonesia
raya yang dipimpin oleh Tante Uthe sang pemillik CafĂ© D’saung, refleksi ini
kemudian dilanjutkan sarasehan yang langsung di moderatori oleh Om Irwan Sang Ketua IIBF Banyumas. Sebagai bentuk penghormatan atas segala jasa dan pengorbanan para pahlawan, Om Irwan mengajak segenap peserta untuk membacakan surat Al-Fathihah.Beliau juga sempat menghimbau untuk senantiasa menjaga persatuan dan meningkatan kerekatan diantara komunitas-komunitas yang ada di lingkungan Kabupaten Banyumas.
Selaku nara sumber I, MayJen
(pur) Sunarto membuka pembicaraannya dengan memaparkan tentang kutipan sejarah
yang mengingatkan dan sekaligus menegaskan bahwa pendirian bangsa ini tidak mudah, penuh dengan tumpah darah dan pengorbanan yang tidak ternilai harganya. Beliau berpesan kepada generasi muda jangan sampai melupakan sejarah bangsa, sebab hal ini merupakan modal penting membangun spirit kebangsaan dan menjadi inspiasi dalam mengisi
kemerdekaan yang berkualitas dan sarat dengan spirit patriotisme. Beliau juga menyampaikan pesan bijak kepada peserta
yang sebagian besar para pengusaha bahwa


Sementara
itu, Muhammad Arsad Dalimunte membicarakan tentang koperasi dan mengkaitkannya
dengan patriotisme. Kali ini koperasi di bahsakan dengan ke-KITA-an yang menurut beliau sudah mulai luntur
dikekinian zaman dan kehidupan masyarakat.
Untuk itu, Beliau menegaskan bahwa perlu dilakukan refresh spirit dalam gerakan membangun ke-KITA-an di masyarakat. Beliau mengurai singkat tentang makna ke-KITA-an yang senantiasa membimbing pada kebijaksanaan bersikap maupun berpandangan. Perasaan ke-kita-an akan menge-nol kan penindasan dalam segala bentuk. Perasaan ke-kita-an akan melahirkan rasa damai dan tentram. Perasaan ke-kita-an akan mendatangkan perasaan malu untuk melukai siapapun. Perasaan ke-kita-an akan membuat semua orang memiliki harapan. Perasaan ke-kita-an akan memposisikan “berbuat baik” menjadi sebuah kebutuhan. Perasaan ke-kita-an akan membawa setiap diri untuk lebih menyadari muasal kelahirannya dan kemudian mendekatkan diri pada Tuhan. Beliau melanjutkan bahwa Setiap orang sesungguhnya memiliki perasaan ke-kita-an. Hanya saja, sering tanpa disadarari batas ke-kita-an terbentuk oleh kebanggaan atas kelompok yang biasanya terbangun berdasarkan status sosial, ras dan lain sebagainya hingga lahirlah sekat-sekat yang men-jarakkan antara satu dengan lainnya. Keinginan untuk saling mengalahkan atau mejaga kepentingan sempit kelompok sering kali mengkerdilkan luasnya makna dari kebersamaan itu sendiri. Ke-kita-an memang tidak mudah didengungkan, namun untuk alasan itu pula membangun karakter “peduli dan empati” layak diarus-utamakan. Semoga kesadaran akan makna sebuah ke-kita-an, menjadi inspirasi energi bagi setiap orang untuk mengambil inisiatif membangun ke-kita-an diantara kita dari ruang yang paling kecil dan hal ini juga merupakan bagian dari bentuk sebuah patriotisme.
Untuk itu, Beliau menegaskan bahwa perlu dilakukan refresh spirit dalam gerakan membangun ke-KITA-an di masyarakat. Beliau mengurai singkat tentang makna ke-KITA-an yang senantiasa membimbing pada kebijaksanaan bersikap maupun berpandangan. Perasaan ke-kita-an akan menge-nol kan penindasan dalam segala bentuk. Perasaan ke-kita-an akan melahirkan rasa damai dan tentram. Perasaan ke-kita-an akan mendatangkan perasaan malu untuk melukai siapapun. Perasaan ke-kita-an akan membuat semua orang memiliki harapan. Perasaan ke-kita-an akan memposisikan “berbuat baik” menjadi sebuah kebutuhan. Perasaan ke-kita-an akan membawa setiap diri untuk lebih menyadari muasal kelahirannya dan kemudian mendekatkan diri pada Tuhan. Beliau melanjutkan bahwa Setiap orang sesungguhnya memiliki perasaan ke-kita-an. Hanya saja, sering tanpa disadarari batas ke-kita-an terbentuk oleh kebanggaan atas kelompok yang biasanya terbangun berdasarkan status sosial, ras dan lain sebagainya hingga lahirlah sekat-sekat yang men-jarakkan antara satu dengan lainnya. Keinginan untuk saling mengalahkan atau mejaga kepentingan sempit kelompok sering kali mengkerdilkan luasnya makna dari kebersamaan itu sendiri. Ke-kita-an memang tidak mudah didengungkan, namun untuk alasan itu pula membangun karakter “peduli dan empati” layak diarus-utamakan. Semoga kesadaran akan makna sebuah ke-kita-an, menjadi inspirasi energi bagi setiap orang untuk mengambil inisiatif membangun ke-kita-an diantara kita dari ruang yang paling kecil dan hal ini juga merupakan bagian dari bentuk sebuah patriotisme.
Ada satu hal yang layak menjadi catatan dari
respon Om Herry Kristanto. Beliau menegaskan bahwa Patriotisme atau kepahlawanan perlu
dikontekstualkan ke realitas kekinian, mulai dari menjalankan profesi pengusaha maupun aktivitas sosial bertajuk
kepedulian. Oleh karena itu, perlu upaya konstruktif untuk membangun harapan-harapan dan mengarah pada capaian-capain baru yang
meng-energi satu sama lain.
Posting Komentar
.