![]() |
Harian Suara Merdeka 090413 |
SBY bingung naikkan BBM, itu judul salah satu tulisan di harian Radar Banyumas mengutip pidato SBY di pembukaan munas APINDO (Assosiasi Pengusaha Indonesia). Jika dinaikkan maka terjadi inflasi yang linier dengan pertumbuhan kemiskinan. Jika tidak dinaikkan berimplikasi pada defeisit perdagangan dan keamanan fiskal. Sebuah simalakama yang muasalnya berawal dari "subsidi".
Negara terlanjur memanjakan rakyat sejak dulu kala, sehingga pemberlakuan subsidi BBM menjadi masalah akut yang tak kunjung menemui solusi terbaik dan bijak. Di naikkan untuk kalangan tertentu pun terkesan diskriminasi, manaikkan secara keseluruhan berpotensi mengganggu stabilitas dan membatasi pasokan juga menuai masalah di lapangan. Sepertinya menjadi Presiden memang serba salah, walau masih banyak orang yang mengincar posisi ini dengan alasannya masing-masing.
Dilihat dari sisi biaya produksi BBM, sepertinya langkah efeisiensi tetap berjarak dengan besarnya subsidi. Walaupun sesungguhnya, ini variabel yang mungkin bisa membantu walau sedikit. kalau subsidi adalah sebuah kebaikan negara, apakah rakyat sebagai obyek subsudi sudah tak bisa diajak berempati terhadap dilema ini?. Apakah rakyat Indonesia tidak bisa diajak lagi mengerti bahwa negara berada di ambang ketidakmampuan menanggung subsidi. Adakah ini akibat dari berjaraknya rakyat dengan negara, sehingga kesusahan negara seolah tak melahirkan empati rakyat. Adakah nasionalisme kita sudah mengalami degradasi yang begitu dalam, sehingga menggambarkan seolah-olah negara dan masyarakat memiliki agenda sendiri-sendiri.
Persoalan BBM ini memang kompleks. Kompleksitas masalahnya berawal dari pemberlakuan "subsidi". Ironisnya, BBM sudah seperti sembako bagi kehidupan rakyat dan juga roda ekonomi, maka jadilah masalah ini menjadi super kompleks.
Berdiri diatas kepentingan negara, tentu yang mengemuka adalah "akumulasi subsidi" yang membebani keuangan negara begitu berat. Hal sama ketika berdiri diatas kepentingan rakyat dan pelaku ekonomi, penaikan harga BBM juga bermakna kenaikan biaya hidup atau biaya produksi. Dimana negara akan berposisi?. Dimana pula rakyat akan berempati?. mungkinkah keduanya akan duduk bersama dalam judul "tentang kita"?. Ataukah itu menjadi sulit dilakukan karena ke"kita"an harus bertemakan "beban?". Satu hal yang jelas, masalah yang "super kompleks" ini memerlukan solusi segera.
Berfikir mengembangkan energi alternatif menjadi penting, sebab ini bisa menjadi bagian dari solusi. Kalau negara dan wakil rakyat seharusnya duduk bersama menciptakan solusi atas "persoalan subsidi", maka para ilmuan dan teknokrat selayaknya duduk bersama dalam judul menggagas "energi alternatif" yang lebih murah dan juga ramah lingkungan. mungkin KAH?
Posting Komentar
.