Kata
“bisnis” sesungguhnya sudah terdefenisikan dalam kamus bahasa maupun teori
ilmiah. Namun bukan berarti sebuah keharaman bagi setiap orang membangun
persepsi baru tentang bisnis walau terkadang merusak defenisi yang berlaku secara
umum. Inilah dinamika hidup, dimana dinamika zaman selalu membentuk
pandangan-pandangan baru atas sesuatu.
Namun
demikian, saya dikagetkan oleh pemikiran seorang sahabat yang mengatakan bahwa
bisnis juga terkadang berhubungan dengan dosa. Seketika saya merespon dengan
tegas bahwa “ adalah sebuah sebuah
kesalahan yang nyata ketika komoditas bisnis
adalah barang-barang terlarang dan berpotensi merusak bagi konsumen”. Kemudian
orang itu kembali menyahut : “Semua orang tahu narkoba, minuman-minuman
keras, money laundry, tempe bongkrek, daging segar berpengawet, bahan
berformalin adalah sebuah kesalahan karena mengandung unsur-unsur yang
berpotensi merusak atau merugikan orang lain atau pihak tertentu dalam arti
luas. Tetapi saya tertarik mendalami kalimat anda tentang “merusak”, karena
pada titik itulah sesungguhnya “maksud dasar” dari statemen saya”. Saya tak mengerti maksudmu,
ujarku.
Setelah
menghisap rokoknya dalam-dalam, kemudian dia bersuara lagi, “ secara jujur saya menilai bahwa rokok adalah
komoditas yang tidak hanya merusak diri (perokok aktif), tetapi juga berpotensi
merusak orang lain (perokok passive). Gilanya lagi, saya pun tak kunjung bisa
berhenti dari kebiasaan jelek ini walau menyadari akibat negatifnya. Metodologi
pembahasaan produk ini telah berhasil memasukkan ke dalam otak saya kalau rokok
adalah teman sejati sambil minum kopi, sebagai sumber inspirasi dan pemecah
kebuntuan ide, pembunuh rasa sepi, sebagai teman setia dalam sesi berkhayal
liar dan lain sebagainya yang terasa semua benar dan membuat saya semakin sulit
menjauhinya. Saya tak bisa menyalahkan pabriknya, saya hanya bisa menyesali keterjebakan
dalam candu rokok tanpa membangun keinginan kuat untuk meninggalkannya. Terbersit
gagasan berhenti merokok dengan
meniadakan sumbernya atau mengasingkan diri di sebuah tempat dimana tidak ada
tersedia rokok dari jenis apapun. Tetapi, saya berfikir hal terbaik adalah
membangun “kesadaran sendiri” tanpa menggugat rokok itu sendiri. Akhirnya saya
menetapkan tanggal dan bulan berhenti merokok walau saya belom menetapkan
tahunnya. Tetapi, kembali mendalami kata “merusak” dalam bisnis, rusak yang
diakibatkan mengkonsumsi komoditas narkoba, tempe bongkrek gampang melihat kadar kerusakan yang
ditimbulkannya. Tetapi yang paling meresahkan adalah kerusakan yang diakibatkan bisnis tetapi hampir tak terlihat
“. Maksudnya???, langsung ku sela karena penasaran dan ingin mengetahui isi
fikiran orang aneh satu ini.
“ sejujurnya saya sedang resah dengan cara-cara bisnis
yang menggunakan metode perubahan
mindset manusia alias cuci otak. Inilah yang sangat saya khawatirkan, sebab
datangnya tak disadari tetapi efeknya jangka panjang dan bisa merusak tatanan
nilai-nilai luhur bangsa ini . Saya melihat tumbuhnya hedonisme atau
konsumerisme ditengah masyarakat adalah hasil rekayasa sistematis dan
terencana. Bahkan hedonisme perlahan berhasil memposisikan diri sebagai
“ideologi” bagi banyak orang dan hal ini berpengaruh besar dalam perubahan
nilai-nilai dan budaya masyarakat. Barang/komoditas bisnis di persepsikan melebihi
fungsi dasarnya. Cobalah anda lihat, bagaimana mobil tidak lagi sebatas fungsi
transportasi tetapi telah menjelma menjadi fungsi harga diri dan menjelaskan status
sosial. Demikian juga Handphone yang sudah melebihi fungsi dasarnya sebagai
alat komunikasi. Anda lihat berapa banyak anak
yang merengek pada ibu bapaknya hanya karena ingin menukar merk HP nya
agar terlihat modern dan mengikuti zaman. Kita juga melihat paradigma di
masyarakat bahwa pesta pernikahan berlomba kemewahan melebihi fungsi dasarnya
sebagai media sosialisasi agar terhindar dari fitnah. Kelompok Ibu-ibu juga
mulai banyak menyelenggarakan kocokan arisan yang dapatnya hanya Rp 1 juta,
tetapi dilaksanakan ditempat-tempat yang menghabiskan Rp 800.000,oo. Arisan yang fungsi dasarnya untuk “belajar
menabung dan saling membantu” telah beralih fungsi ajang kumpul2 berdasarkan
kesamaan status sosial. Rumah sakit pun
memberlakukan kelas yang tidak hanya
membedakan pola pelayanan, tetapi juga
seolah memberi gambaran tentang status sosial dan tingkat ekonomi sang
pasien. Bahkan sampai urusan tempat peristrahatan terakhir (baca: kuburan) pun
telah menunjukkan kelas sosial
seseorang. Sepertinya Semua yang dilakukan untuk membangun kesan hebat, walau
di lakukan tanpa sengaja dan di perkuat dengan kalimat pembenar yang semakin
menancapkan betapa pentingnya terlihat hebat dalam segala hal. Tak jarang kita
mendengar kalimat “sebagai penghormatan terakhir” sebagai pembenar atas
pemilihan tempat kuburan elit. Tak jarang kita mendengar kalimat : mosok bos
kok naik sepeda motor, mosok arisan RT panganane cuma seperti ini, kok mau
kondangan hanya pakai baju ini yang sudah saya pakai di kondngan si anu, dan
lain sebagainya dan lain sebagainya yang pada akhirnya mendorong orang untuk
lebih konsumtif. Pada titik inilah
kemudian ladang bisnis menjadi terbuka lebar dan angka inflasi pun menjadi
sulit dikendalikan. Celakanya, siapa yang panen dari suksesnya menumbuhkan
budaya konsumtif itu???. Hebatnya lagi, masyarakat (baca: konsumen) tidak
merasa kalau konsumtif adalah sebuah ancaman membahayakan. Inilah yang kemudian saya katakan cara
bisnis yang menimbulkan efek kerusakan luar biasa dan tidak terasa datangnya. Turunan dari keberhasilan rekayasa itu adalah
munculnya produk bisnis sebagai pemuas
naluri hedon yang tumbuh tadi. Artinya, gagasan pemunculan produk berawal dari
semakin nyatanya budaya hedon di kalangan masyarakat. Disatu sisi, hal ini
tampak baik karena memunculkan peluang bisnis, tetapi semakin kuatnya budaya
hedon menjadi ancaman serius pada sisi lainnya.. Pungkasnya.
Semakin
aneh aja ini orang fikirku. Tetapi, aku kemudian bertanya lagi, “apa salahnya kalau kemudian seseorang
memanfaatkan peluang dan men-drive nya sebagai bisnis yang menghasilkan dan
tidak hanya menghidupi dirinya, tetapi juga banyak orang.??” . Kemudian secepat
kilat dia menjawab pertanyaan dengan tanya baru yang membuatku berfikir: “ apakah disebut sebagai sebuah kebaikan
ketika bisnis yang kita jalankan mendatangkan keburukan bagi orang lain (baca :
konsumen), walau tak terlihat sekalipun???”. Apakah atas nama “biar hidup
berlanjut” kemudian kita boleh alfa dalam hal kepedulian atas efek buruk yang
ditimbulkan dari bisnis yang kita jalankan??”. Mungkin menjual sepatu sekolah
dengan berbagai ragam merk dengan tingkat harga yang berbeda-beda tampak bukanlah
masalah dan bahkan memberi lebih banyak
pilihan bagi konsumen. Tetapi terfikirkan kah kalau hal itu telah menimbulkan
luka dalam bagi seorang siswa yang orang
tuanya tak mampu membelikan, sementara tema sekelasnya memakainya setiap hari
di hadapannya??. Bukankah seorang pasien
akan bertambah menderita secara psichologis karena dia tak mampu membayar di
kelas VIP, sehingga keadaan memaksanya untuk menerima kualitas pelayanan di
kelas 3 (tiga) dan berjubel diantara pasien lainnya???. Masih ingatkah anda
bagaimana seorang pemulung menggendong anaknya yang telah meninggal dan harus berjalan
dari sebuah rumah sakit di Jakarta menuju kampungnya di bogor karena tidak
memiliki uang untuk membayar biaya ambulance???. Kemudian saya lihat dia meneteskan air mata dan bahkan
sesenggukan. Setelah menyeka air matanya, dia kemudian melanjutkan. “ aku tak bisa
menahan air mata saat anak TK
dari berbagai penjuru
sekolah yang sedang mengikuti
lomba “marching band” di sebuah kabupaten. Demi sebuah “nama baik atau reputasi
sekolah” anak-anak belia itu diperlombakan. Atas nama sebuah capaian prestasi,
para belia ini diajarkan untuk saling mengalahkan. siapa yang diuntungkan dari
event ini??. Apakah ini sebuah edukasi
ataukah ini tentang sebuah bisnis bagi
penyelenggara??. Bahkan anak-anak belia itu belum mengerti apa arti
kemenangan. Kalimat apa yang harus dijelaskan
oleh orang tua dan para guru pada anak belia itu ketika melihat
temen-temennya dari TK yang lain berhak membawa pulang piala kemenangan, sementara dia pulang tidak membawa apa-apa. Saya pun
tak bisa melihat beda nyata cara berpakaian satu TK dibanding TK lainnya. Aku tak bisa
menyaksikan wajah-wajah tak percaya diri dari para orang tua siswa-siswi TK
dari sebuah desa terpencil. Kalau ini tentang persoalan nama baik sekolah,
tidak adakah cara lain untuk menaikkan citra sekolah???. Kalau ini tentang
mencetak anak berprestasi, tidakkah ada cara lain membentuk prestasi siswa???.
Kalau ini tentang bisnis bagi penyelenggara, tidak adakah ide lain yang juga
bisa mendatangkan penghasilan???. Atau semua ini juga di awali dari keinginan
“tampak hebat”???. Aku juga ndak habis fikir mengapa perempuan dijadikan tool dalam pemasaran. Mereka diseragami dengan pakaian minim yang mempertontonkan lekuk tubuh indah dan bagaian-bagian sensitif yang begitu menonjol. Apakah metode pencitraan produk tidak ada cara yang lebih cerdas???. Kalau itu hanya sebuah kebetulan, merngapa hanya wanita yang cantik dan memiliki tubuh yang aduhai yang diseragami. Pernahkah mereka berfikir seandainya itu terjadi pada anak mereka???. Aku pun tak habis
fikir mengapa saat ramadhan yang jelas-jelas
sebuah aktivitas religius dan mengajarkan tentang kesederhanaan hidup justru membuat
hidup lebih boros di sebagian orang yang menjalani puasa itu sendiri. Idul
Fitri yang hakekatnya hari kemenangan telah diartikan sebagai moment untuk
perayaan yang berujung dari pelipatan budget pengeluaran. Ironisnya,
harga-harga apapun menjadi mendadak melonjak. Siapa lagi yang diuntungkan dari
mobilisasi persepsi tentang puasa dan lebaran itu????.
Hmmm...aku
speechless mendengar penjelasan itu. Terus,
apa kesimpulan anda tentang semua itu, tanyaku. Kemudian dia menjawab; “Saya merasa semua ini adalah “hasil
rekayasa” dari suatu kekuatan yang tidak
terlihat dan bahkan nyaris tak terdeteksi. Mereka telah berhasil merubah
pandangan-pandangan kita lewat penancapan mindset lewat berbagai ragam media.
Mereka berhasil mendorong keberpihakan kita atas hal-hal baru yang mereka
kampanyekan, hingga yang tadinya bukan sebuah keinginan menjadi kebutuhan pokok
dalam fikiran kita. Keberhasilan mereka
perlahan membuat kita menjadi konsumtif dan ironisnya sebagian dari masyarakat
yang tidak mampu menyesuaikan terpinggirkan. Lihatlah betapa “hutang” demi
memperoleh sesuatu yang kita inginkan sudah menjadi sebuah budaya. Bahkan tanpa
disadari, untuk apa yang kita inginkan (sebagai hasil dari rekayasa mereka atas
fikiran kita) kita rela mengorbankan pendapatan masa depan kita. Mereka sudah
merancang “pemanfaatan” penghasilan kita walau kita belom menerimanya. Lihatlah
paradigma materialitas yang begitu menggejala, sehingga sebagian besar orang
berlomba-lomba untuk mengumpulkan harta
sebanyak-banyaknya dengan harapan bisa membeli apapun yang diinginkannya. Kata
“sederhana” terkooptasi menjadi kebiasaan orang miskin saja, dimana
kesederhanaan adalah akibat dari ketidakmampuan. Kesederhanaan tidak lagi
dipandang sebagai cara mengendalikan diri dari sifat tamak. Kesederhanaan tak
dipandang lagi sebagai bagian dari kesetiakawanan atau muasal keterbangunan
spirit berbagi satu sama lain. Mereka berhasil membuat kita meng-gilai persaingan
individu dan saling mengalahkan,
akibatnya budaya gotongroyong perlahan kehilangan gairahnya ”.
Tiba-tiba
telepon genggamnya berdering. Ternyata dari Istrinya yang mengabarkan kalau anak-anaknya sudah
siap berangkat keluar kota untuk liburan tahunan keluarga ke tempat wisata
terkenal di sebuah kota tepatnya di negara Australia. Seketika aku protes, bukankah
membiasakan liburan keluarga juga bagian
dari keberhasilan rekayasa kekuatan tak terdefenisi itu ???. Dengan enteng
sambil tersenyum dia menjawab, “ Ini cara
saya mengabarkan pada anak dan istri saya betapa luasnya ciptaan Tuhan ”. Kemudian dia berlalu secepat kilat dengan
mobil mewahnya sambil tersenyum pada saya.
Hmmm...aku
hanya bisa geleng-geleng kepala dan kemudian beranjak jalan kaki menuju
kontrakanku sambil memutar kembali pembicaraan aneh bersama orang aneh itu.
Posting Komentar
.