Sebuah Pengantar Koperasi Memasuki Era
SHU 0 (nol)
A. SEKELUMIT LIAR ANDAI
“Seharusnya kita bersama atas dasar keyakinan dan saling percaya.
Seharusnya, duduk bersama adalah momen berbagi cerita, saat tuk berkeluh kesah,
waktu untuk menata ulang semangat kebersamaan, masa untuk mengemukakan asa.
Selayaknya kepentingan bersama diatas segalanya, walau terkadang hal itu
menegaskan hasrat sempit yang menurut pandangan pribadi kita mungkin sangat
penting. Seharusnya ada kesabaran dan kebijakan berpandangan saat perbedaan
mengedepan. Seharusnya kita mengembangkan saling peduli dan melihat kesusahan
yang sedang menimpa sebagian dari kita adalah momentum mengedukasikan betapa
sejuknya kebersamaan lewat aksi berbasis ketulusan. Seharusnya kebersamaan ini
berbuah indah dan bukan terjebak pada prasangka dan curiga yang tak berujung...sebab
seharusnya kebersamaan ini dikembalikan pada muasal niat yaitu sebentuk
kebahagiaan bersama.
Perseteruan tak seharusnya terjadi....tetapi menjadi penting untuk dicari
akarnya sehingga perulangan berbasis masalah serupa tang berulang. Perbedaan
adalah sebuah rahmat yang membuat semua berkenan duduk bersama merilis jalan
tengah. Tetapi yang paling sulit adalah ketika kebersamaan ini bermula dari
pemahaman, maksud dan tujuan yang berbeda sehingga mempersulit untuk memandang
masalah dari sudut pandang serupa. Mungkin...inilah muasal sulitnya membentuk
kesamaan tiap kali beda mengemuka. Namun
demikian, jika “mengingat muasal kebersamaan
pun” tak mampu menjadi pengobat segala gundah, mungkin berpisah adalah
pilihan terbaik yang tersedia”. Mungkin langkah ini tampak sebuah kebodohan,
tetapi terkadang kebersamaan tak bisa dipaksakan”.
Beberapa alinea diatas mungkin mewakili perwajahan koperasi di negeri
tercinta ini. Pemahaman yang keliru tentang “koperasi” telah menjadi “core problem” kebelumberdayaannya. Betul
kata pendahulu bahwa titik kunci berkoperasi adalah “edukasi”, edukasi yang
menjelaskan tentang apa, mengapa dan bagaimana seharusnya berkoperasi. Bahkan,
seharusnya itu dilakukan sebelum seseorang menyatakan diri bergabung dalam
koperasi. Kalau demikian tahapannya, maka berharap empowering berbasis kolektivitas
adalah layak.
Sebuah keanehan ketika warga
koperasi menghujat ketidakmajuan koperasi itu sendiri, sebab hal itu bak
menepuk air terpercik wajah sendiri. Namun, untuk kepentingan “auto
koreksi” dan sekaligus menata solusi bertahap, agenda itu menjadi
strategis. Ironisnya, sebagian dari aktivis hanya tertarik pada tingkat wacana
dan belum ikhlas untuk mencurahkan energi membangun “contoh nyata” yang menginspirasi banyak orang untuk menauladaninya.
Sebagai awalan, mungkin perlu
dilakukan distribusi peran dimana
sebagian concern di tingkat
pemikiran dan sebagian lagi concern
di tingkat implementasi.
Berkoperasi itu persoalan “keseimbangan
berpendapat dan berbuat”. Mungkin
kalimat ini menjadi penegas bahwa koperasi adalah ideologi yang praksis
dan terukur. Mengingat koperasi adalah
persoalan “pemberdayaan” yang melibatkan stake holder yang tidak sedikit,
maka proses capaian harus digapai lewat tahapan-tahapan yang berkelanjutan.
Pada titik inilah diperlukan saling asah, saling asuh dan saling asih.
B. MEMAHAMI “KOPERASI SEBAGAI KUMPULAN MODAL” Sebagai
“MUASAL
PERSETERUAN”
Sebagian besar (tidak semuanya)
masyarakat memahami koperasi sebagai kumpulan modal. Pemahaman ini selanjutnya
menggiring koperasi dibaca sebagai badan
usaha yang berorientasi pada pemupukan laba. Inilah muasal yang kemudian
membuat istilah SHU dan LABA hanya
sebatas pembeda koperasi dan non koperasi. Ironisnya, perolehan SHU sering
melalui eksploitasi anggotanya melalui penerapan “margin pinjaman” atau “margin
harga” yang lebih tinggi di banding tempat usaha lainnya. Transaksi
subyektif berbasis rasa memiliki pun menjadi sulit didapati. Bahkan, tak jarang
transaksi anggota terjadi karena adanya unsur keterdesakan keadaan. Inilah yang kemudian menjadi pemicu RAT sering
berubah jadi ajang pelepasan dendam dan ketidakpuasan yang dialami anggota .
RAT yang seharusnya menjadi forum “auto koreksi berjama’ah” dan dinantikan semua orang sering berubah menjadi
media pembantaian pengurus dan pengawas.
Situasi berbeda akan didapati
ketika koperasi difahami sebagai kumpulan orang yang berkomitmen
memperkuat diri melalui penyatuan potensi. Nilai-nilai kerjasama dan
saling tolong menolong akan membentuk iklim kekeluargaan yang saling asah, saling asuh dam saling asih. Tak
akan ada yang merasa terzalimi karena setiap aktivitas koperasi berbasis
kesepakatan bersama. Tujuan-tujuan yang didefenisikan bersama akan diikuti
distribusi peran proporsional dalam pencapaiannya. Dalam situasi ini, anggota tak akan merasa “kesusahan” nya di
jadikan obyek oleh koperasinya
sendiri untuk kepentingan pemupukan
modal.
Edukasi (pendidikan) adalah
solusi utama untuk memecah kebuntuan ini. Edukasi tentang “pemahaman apa, mengapa dan bagaimana berkoperasi”
menjadi palang pintu untuk membangun tindakan kolektif dalam sebuah koperasi.
Langkah ini memerlukan formula yang efektif ditengah populasi yang majemuk.
C. “SHU BESAR” SEBUAH “UTOPIA”.....KAH
???
Dalam pola penghitungannya,
SHU alias sisa hasil usaha adalah selisih antara pendapatan dan biaya. Pada
pemahaman yang singkat, sekilas pola penghitungan ini tak berbeda dengan
perhitungan laba di lembaga usaha yang lain (non koperasi). Satu hal yang
menjadi catatan, SHU itu tidak sama dengan laba atau hanya kata pembeda
dengan bentuk usaha lainnya (seperti
UD,CV, PT dan lain sebagainya). Walau ada
kesamaan dalam cara menghitungnya. Didalam koperasi, peta pendapatan
dan peta biaya sesungguhnya adalah
persoalan ”kesepakatan bersama” diantara segenap unsur organisasi. Hal ini
dilakukan koperasi karena anggota adalah subjek dan sekaligus obyek dari
pembangunan koperasi itu sendiri. Hal
ini tidak
akan pernah terjadi di badan usaha non koperasi dimana konsumen mutlak dijadikan obyek penumpukan laba.
Adanya unsur “kesepakatan bersama” merupakan pembeda nyata dan sekaligus
letak semangat “tolong menolong” yang selalu didengungkan koperasi. Di
Koperasi, nilai-nilai kegotongroyongan dan saling tolong menolong seharusnya mewarnai
perencanaan pendapatan dan biaya. Inilah kolektivitas dimana perumusan cita-cita dan pencapaiannya
dilakukan bersama-sama oleh segenap unsur organisasi (pengurus, pengawas dan
anggota).
Ketika sebuah koperasi tetap
mengagungkan SHU (materialitas) yang dalam perolehannya meng-eksploitasi
potensi anggotanya (memandang anggota sebagai obyek market), maka pertanyaannya
menarik adalah : “apakah SHU yang bisa dibagikan koperasi kepada anggotanya bisa
mencapai sebesar penghasilan anggotanya
per bulan???”. Pada koperasi-koperasi berbasis konsumsi (yang
menyelenggarakan unit toko, uni simpan pinjam dan lain sebagainya), sepertinya
mencapai SHU sebesar itu adalah utopis. Hal ini mungkin saja bisa
tercapai bila sebuah koperasi menyelenggarakan unit produksi skala massal dan
melayani market yang luas (bukan hanya sebatas anggotanya).
Untuk kebahagiaan bersama
koperasi bermula, sehingga fokus aktivitas koperasi selayaknya bertumpu
pada penyelesaian masalah dan sekaligus membentuk keadaan yang lebih
berpengharapan bagi segenap anggotanya. Oleh karena itu, dalam bahasa tolong menolong
maka margin keuntungan bukan menjadi perkara wajib untuk di terapkan. Untuk mempermudah pemahaman tersebut berikut
ini di ilustrasikan singkat dalam aplikasi teknis didataran praktika :
1. Pada Unit Layanan Toko.
Ketika
segenap anggota bersepakat untuk mendirikan toko sebagai media pemenuhan
kebutuhan mereka, koperasi bisa menerapkan sistem harga pokok. Defenisi harga
pokok yang dimaksud adalah harga perolehan dari suplier plus biaya angkut plus
biaya operasional. Dengan demikian, dalam skala tertentu anggota akan menikmati
harga yang lebih murah dibanding mereka berbelanja di luar koperasinya. Kalau
kemudian dalam perjalananannya Toko koperasi tersebut melayanani non anggota,
maka bisa saja koperasi kemudian menerapkan harga umum bagi yang konsumen non
anggota.
2. Pada Unit Simpan Pinjam.
Hakekat
koperasi adalah saling tolong menolong yang dalam operasioalisasinya menjunjung
tinggi nilai-nilai kebersamaan/ kegotongroyongan. Untuk mendukung tujuan-tujuan
kolektif
(bersama), segenap potensi segenap unsur organisasi (baca: pengurus, pengawas
dan anggota) dikumpulkan untuk membentuk kesiapan dalam hal menolong
anggota2nya yang kebetulan sedang
membutuhkan pertolongan keuangan. Pertanyaan yang menarik adalah seberapa
jauhkah koperasi memastikan bahwa pinjaman yg diberikan berkontribusi dalam
peningkatan taraf hidup anggotanya dalam arti luas?. Ataukah koperasi hanya
melakukan fungsi distribusi tanpa berfikir apakah pinjaman itu benar2
dibutuhkan anggota tersebut atau tidak dan kemudian koperasi hanya
berkepentingan dalam hal perputaran uang guna membentuk bola salju SHU ?. Roh
Simpan Pinjam ini perlu di defenisikan sebelum mulai di operasionalkan. Simpan
pinjam koperasi jangan sampai terjebak menjadi agen yang membiarkan anggotanya
menjadi konsumtif. “Use Your Money Wisely”,
jargon ini layak di edukasikan agar anggota koperasi betul-betul bijaksana
dalam menata kehidupan perekonomiannya. Untuk itu, simpan pinjam koperasi bisa
dimanfaatkan sebagai sarana edukasi lewat produk-produknya yang membentuk
karekater –karakter yang bijaksanan.
Untuk memperjelas pemikiran tersebut, berikut ini dijelaskan beberapa tawaran pemikiran dalam
pengelolaan unit simpan pinjam, yaitu :
- Unit Simpan pinjam selayaknya dijadikan media untuk melatih para anggota dalam hal menabung. Menabung adalah persoalan disiplin diri dan terkadang harus diawali dengan ”memaksakan diri”. Dengan membiasakan diri menabung, akan membentuk pola hidup yang terencana dan terhindar dari ”budaya konsumtif”. Disamping itu, menabung juga bagian dari pembentukan masa depan yang lebih baik dan berpengharapan. Dalam arti luas, ketika segenap unsur organisasi berkomitmen membudayakan menabung, maka dipastikan akan terkumpul akumulasi sumber daya yang akan membuka peluang koperasi untuk mengembangkan banyak hal dan mendukung perbaikan kesejahteraan anggotanya.
- pinjaman selayaknya diberikan untuk mendukung peningkatan produktivitas anggota melalui kegiatan-kegiatan produktif yang dikelolanya. Bahkan bila perlu, untuk kepentingan peningkatan produktivitas anggotanya pinjaman yang diberikan tidak dikenakan jasa pinjaman. Kalau prakteknya semacam ini, maka dipastikan nilai-nilai kesetiakawanan akan menjelma menjadi sumber lipatan energi bagi koperasi untuk mengembangkan dirinya secara kelembagaan. Disamping itu, pinjaman untuk kepentingan lainnya yang berbau konsumsi ditekan sedemikian rupa sebagai bentuk pendidikan kepada anggotanya. Lain halnya kalau untuk kepentingan-kepentingan emergency atau un-predictable situation (situasi yang tak diduga sebelumnya di luar kekuasaan manusia). Kalau hal ini diterapkan, maka segenap unsur organisasi koperasi akan merasa seperti satu rumpun keluarga yang saling mendukung lewat paket-paket koperasi bernuansa kegotongroyongan dan mempermudah anggota mencapai tujuan-tujuan hidupnya.
Mungkin hal
ini tampak berseberangan dengan realitas koperasi kebanyakan, tetapi tulisan
ini memang bermaksud mengembalikan koperasi ke dalam roh perjuangannya. Dalam perspektif koperasi berbasis konsumsi
(melayani anggotanya), maka
3. Pada
Unit Perumahan.
Ketika sebuah koperasi berkeinginan membantu
anggotanya untuk bisa memiliki rumah tinggal yang layak, maka koperasi juga
bisa menerapkan harga pokok sehingga angggota bisa menikmati harga yang paling
murah. Penambahan margin hanya dimaksudkan untuk menutup biaya-biaya
operasional saja.
4.
Pada
Usaha Manufaktur (Produksi). Ketika koperasi sudah bisa
men-drive sebuah kebersamaan menjadi “captive market”, maka akan semakin mudah
bagi koperasi untuk merumuskan unit-unit layanan baru berbasis kebutuhan
anggota, termasuk sektor manufaktur. Pada titik ini, ketika manufaktur juga melayani non anggota (market yang lebih
luas), maka koperasi bisa menerakan 2 (dua) metode harga yaitu; (i) harga
khusus anggota berbentuk “harga pokok” dan; (ii) harga yang berlaku umum
diterapkan bagi non anggota (lokal, domestik maupun ekspor).
5.
Pada
usaha Perhotelan. Mungkin, sebagian orang beranggapan “koperasi
memiliki hotel bintang 5 (lima)” adalah bagaikan mimpi di siang bolong. Apa
yang tak mungkin terlahir dari sebuah kebersamaan. Untuk perkara teknis pengelolaan, koperasi
cukup mendatangkan para ahlinya (para profesional). Kalau kemudian akumulasi
amunisi sudah melampaui kebutuhan membangun sebuah hotel, maka bukan hal yang
tak mungkin “anggota koperasi” menikmati hotel bintang 5 (lima) dengan harga
pokok juga.
6.
dan
lain sebagainya.
D. MENGGESER “MARGIN” MENJADI “SAVING” SEBAGAI JALAN TENGAH
Ketika spirit tolong menolong,
kegotongroyongan dan kesetiakawanan di implementasikan dalam nuansa
kebermanfaatan (benefit oriented),
maka hakekatnya koperasi telah secara nyata meningkatkan pendapatan riil
masyarakat. Namun demikian, aplikasi metode
ini ditengah persaingan usaha memerlukan taktik yang bijak, sebab bisa saja
aplikasi metode ini berimplikasi pada terganggunya stabilitas perkenomian sebuah daerah dalam
arti luas. Di sisi lain, untuk mengangkat koperasi memiliki kemampuan merambah dalam
seluruh aspek kebutuhan ekonomi anggotanya juga memerlukan pertumbuhan modal
(amunisi) yang progressif. Untuk itu,
berikut ini disampaikan gagasan “Aplikasi
strategi bertransaksi=menabung”.
Pada cara ini, setelah koperasi menghitung harga pokoknya (harga
perolehan+biaya perolehan+biaya operasional+biaya overheadnya+biaya salary),
selanjutnya koperasi memantau harga umum yang berlaku. Kemudian koperasi
merapkan harga yang sama dengan umum, tetapi selisih harga pokok dengan harga
umum dijadikan sebagai tabungan masing-masing anggota. Strategi ini juga
efektif bagi peningkatan permodalan (kemandirian koperasi) melalui pendekatan
transaksi. Bahkan lebih dari itu, semua unit layanan koperasi juga bisa
dimanfaatkan sebagai tempat menabung bagi anggota. Misalnya pada unit layanan
toko, disamping bertransaksi juga sudah bermakna menabung (karena ada selisih
antara harga pokok dan harga umum), toko juga bisa difungsikan sebagai media
untuk menabung bagi anggotanya yang ingin menabungkan sisa recehan belanjanya.
Sekilas nampak “recehan”, tetapi ketika terjadi berulang-ulang dan dilakukan
seluruh anggota, maka tanpa disadari akan terbentuk akumulasi tabungan yang
sangat efektif bagi pembentukan kemandirian koperasi.
Aplikasi “Aplikasi strategi bertransaksi=menabung” ini, disatu
sisi tidak akan mengganggu stabilitas ekonomi sebuah daerah disisi lain akan
berimplikasi pada hal-hal sebagai berikut :
- Terjadinya perbedaan “pola harga” akan menegaskan perbedaan perlakukan terhadap “anggota” dan “non anggota”. Disisi lain, mengingat bahwa prinsip keanggotaan sukarela dan terbuka, maka perbedaan pola harga ini akan menjadi alat kampanye efektif untuk memperluas keanggotaan koperasi itu sendiri. Inilah yang kemudian di sebut dengan pendekatan ketauladanan, sehingga bergabungnya setiap orang dalam koperasi didasarkan pada satu kesadaran dan keyakinan betapa dahsyatnya sebuah kebersamaan.
- Pada saat hal ini efektif bagi pertumbuhan anggota berbasis kesadaran, maka hal ini berarti bahwa akan terbentuk akumulasi modal yang membuka peluang koperasi untuk terus memperluas kebermanfaatannya bagi kehidupan perekonomian anggota.
D.
STRATEGI PENGEMBANGAN KOPERASI BERBASIS EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA SEBAGAI SEBUAH KEBUTUHAN.
Koperasi adalah gerakan sosial
(society
movement) berbasis kesadaran kolektif.
Lahirnya kebermanfaatan ekonomi adalah imbas terbentuknya “budaya
kolektif” sebagai hasil dari proses edukasi sosial yang dilakukan oleh koperasi secara
konsisten. Untuk efektivitas edukasi itu
sendiri, koperasi harus menyesuaikan dengan karakter sosial dan budaya yang
berlaku di sebuah tempat. Atas dasar
pemikiran itu lah, pengembangan koperasi berbasis ekonomi, sosial dan budaya
menjadi sebuah kebutuhan mutlak dalam membangun “kolektivitas” yang pada
akhirnya berimplikasi pada kebermanfatan koperasi bagi peningkatan
kesejahteraan ekonomi anggotanya. KAH..???
+ komentar + 2 komentar
Pak Arsad, ini sebuah pemikiran yang progesif dan mendalam. Paham kolektivitas dan konsep menggeser marjin menjadi savings adalah pemikiran sangat progresif. Yang masih harus kita perdebatkan adalah strategi membangun perhotelan dan koperasi produksi yang mulai bergeser keluar dari pelayanan khusus kepada anggota koperasi. Intinya: apakah tidak sebaiknya dipikirkan kerjasama bersama koperasi sukses lainnya (tingkat sekunder) dan membangun usaha bersama kolektif (perhotelan, produksi) yang SHUnya dikembalikan kepada primer untuk melayani anggotanya?
Pak Robby..terimakasih atas apresiasinya dan hal ini menyemangati saya untuk terus mengembangkan isu ini. Menggeser isu margin menjadi saving sesungguhnya ingin mengembalikan hakekat koperasi sebagai media tolong menolong dan gotong royong. Gagasan ini juga diharapkan bisa menjadi koreksi bijak atas SHU minded yang dalam pencapaiannya mengeksploitasi anggotanya sendiri.
Saya sangat apresiate dengan gagasan Pak Robby tentang perhotelan dan produksi berbasis kemitraan antar koperasi. Saya dan kawan2 di wilayah purwokerto (kab.banyumas) saat ini juga sedang mencoba merangkul koperasi-koperasi lain untuk bersama2 (bergotong royong) membangun sesuatu. Sementara ini, kami mencoba masuk ke sekunder PKPRI dan membangun isu ini. Kami mohon doa dari Pak Robby sehingga di purwokerto lahir karya wujud kolektivitas yg terbangun (khususnya perhotelan dan produksi) yang akan berimbas pada peningkatan kesejahteraan anggota dalam arti luas.
Sebenarnya, dengan bergesernya SHU minded menjadi benefit minded, harapan saya hal ini akan membuat semua koperasi bisa dipersatukan berdasarkat spirit kolektif dan tidak mempermasalahkan lagi perbandingan modal.
Saya tahu ini perjalanan panjang, tetapi sy meyakini niat baik akan ketemu jalannya. Untuk itu, saya berharap Pak Robby tak bosan-bosan men-support spirit perjuangan yang digagas anak2 muda, khususnya di purwokerto dan Indonesia pada umumnya.
Posting Komentar
.